You are on page 1of 34

I. 1.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Era globalisasi dan pasar bebas pada saat ini, mengakibatkan berbagai jenis barang dan jasa dengan ratusan merek membanjiri pasar Indonesia. Persaingan antar merek setiap produk akan semakin tajam dalam menarik perhatian konsumen. Bagi konsumen, pasar menyediakan berbagai pilihan produk dan merek yang bernaeka ragam, dimana konsumen bebas memilih produk dan merek yang akan dibelinya. Keputusan membeli ada pada diri konsumen. Konsumen akan mempertimbangkan berbagai kriteria dalam memutuskan pembelian produk dan merek tertentu. Diantaranya adalah dengan membeli produk yang sesuai dengan kebutuhan, selera, dan daya belinya. Globalisasi, perdagangan bebas, serta pertumbuhan bisnis yang sangat cepat ditambah semakin ketatnya persaingan usaha dalam merebut hati konsumen mendorong perusahaan untuk berkompetisi dalam setiap aktivitas perusahaan termasuk dalam bidang pemasaran. Pada bidang pemasaran ini perusahaan melakukan kompetisi diantaranya pada aspek harga, pelayanan dan merek dari suatu produk. Perusahaan harus selalu waspada terhadap strategi para pesaing yang berusaha merebut pangsa pasar. Merek menjadi lebih dipertimbangkan oleh perusahaan dewasa ini, terutama pada kondisi persaingan merek yang semakin tajam. Perusahaan semakin menyadari arti penting merek bagi suksesnya sebuah produk. Oleh karenanya, aktivitas-aktivitas strategi pengelolaan merek, meliputi penciptaan merek, pengembangan merek, perluasan merek untuk memperkuat posisi merek pada persaingan menjadi sangat diperhatikan oleh perusahaan. Semua upaya tersebut dimaksudkan agar merek yang dimiliki oleh perusahaan dapat menjadi kekayaan atau ekuitas bagi perusahaan. Salah satu strategi yang digunakan dalam aktivitas pengelolaan merek adalah melalui penciptaan merek yang dapat selalu diingat oleh konsumen dan membuat konsumen tidak berkeinginan untuk berpindah ke merek yang lain. Untuk itu perlu dilakukan suatu upaya agar merek suatu produk dapat selalu melekat di pikiran konsumen. Strategi yang dilakukan antara lain dengan membentuk long term relationship antara perusahaan (produsen) dengan konsumen adalah dengan membangun dan mengelola ekuitas merek secara tepat (Lassar et al, 1995). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, salah satu kunci sukses perusahaan dalam memenangkan persaingan pasar terletak pada proses penciptaan merek. Menurut Aaker (1997), perang pemasaran akan menjadi perang antar merek. Berbagai perusahaan dan investor akan mulai menyadari bahwa merek merupakan aset terpenting perusahaan, sehingga salah satunya cara untuk dapat menguasai pasar adalah memiliki pasar dengan merek yang dominan. Tujuan atau fokus utama pada banyak perusahaan saat ini adalah menciptakan merek yang kuat dan dominan. Merek yang kuat membantu perusahaan, antara lain dalam

mempertahankan identitas perusahaan (Cobb-Walgren et al, 1995). Bagi konsumen maupun produsen, merek suatu produk memberikan arti penting. Produsen perlu memberikan merek kepada produk-produknya agar produk yang dihasilkan dapat dibedakan dengan produk sejenis yang dihasilkan oleh perusahaan yang lain. Merek menjadi sangat penting ketika produsen menghadapi pasar persaingan yang sangat ketat. Produk tersebut harus dipasarkan dan dapat menarik perhatian konsumen. Oleh karena itu, merek harus dikenal dan dipahami oleh konsumen. Bagi konsumen, merek memiliki beragam arti. Merek dapat melambangkan kualitas suatu produk yang dihasilkan produsen tertentu. Merek juga dapat memberikan suatu citra tertentu bagi konsumen, serta memberikan arti differensiasi tertentu bagi konsumen, sehingga konsumen dapat membedakan suatu produk dengan produk lainnya yang sejenis. Pentingnya arti merek bagi produsen, membuat produsen harus membangun merek tersebut agar memiliki ekuitas merek (brand equity). Ekuitas merek merupakan nilai atau penghargaan yang dimiliki oleh sebuah merek sehingga merek tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi, citra yang baik, persepsi kualitas yang baik pula pada diri konsumen, sehingga selanjutnya konsumen akan membeli dan mengonsumsi barang atau produk merek tersebut. Ekuitas merek juga merupakan hasil dari persepsi konsumen yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ekuitas merek tidak dapat mudah dipahami tanpa memperhitungkan faktor-faktor yang membentuk ekuitas merek dalam benak konsumen. Oleh sebab itu, pemahaman mengenai merek dan ekuitas merek menjadi penting untuk dipelajari. 1.2 Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menggali pemaparan konsep, aplikasi dan contoh kasuskasus yang berhubungan dengan merek dan ekuitas merek, juga beberapa alat analisis yang digunakan untuk menghitung ekuitas merek. Berdasarkan hal ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman mengenai konsep, aplikasi, dan kasus-kasus yang berhubungan merek dan ekuitas merek.

II. TINJAUAN TEORITIS 2.1 Merek (Brand) 2.1.1 Pengertian Merek Pengertian merek berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanda yang digunakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan sebagainya) pada barang-barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal; cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk untuk menyatakan nama dan sebagainya. Menurut UU Merek No.15 Tahun 2001 pasal 1 ayat 1 merek diartikan sebagai tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf, angka, susunan

warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang mempunyai daya pembeda dan dipergunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Aaker (1997) menyatakan bahwa merek adalah nama dan/atau simbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap, atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu, untuk membedakannya dari barang-barang atau jasa yang dihasilkan kompetitor. The American Marketing Association mendifinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Tujuan pemberian merek adalah untuk mengidentifikasikan produk atau jasa yang dihasilkan sehingga berbeda dari produk atau jasa yang dihasilkan oleh pesaing. Pengertian yang serupa juga diungkapkan oleh Kotler (2003) yang berpendapat bahwa merek merupakan sebuah nama, istilah, tanda, simbol, atau desain atau kombinasi dari seluruhnya, yang bertujuan untuk mengidentifikasi barangbarang maupun jasa dari suatu kelompok penjual dan untuk membedakan produk mereka dari para pesaing. Disamping itu, menurut Stanton (1997) merek adalah nama, istilah, simbol atau desain khusus atau beberapa kombinasi unsur-unsur ini yang dirancang untuk mengidentifikasikan barang atau jasa yang ditawarkan oleh penjual. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa merek mempunyai dua unsur, yaitu Brand Name yang terdiri dari huruf-huruf atau kata-kata yang dapat terbaca, serta Brand Mark yang berbentuk simbol. Merek mengandung identitas perusahaan untuk secara konsisten memberikan ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek juga lebih dari sekedar jaminan kualitas karena di dalamnya terkandung enam pengertian (Kotler, 1997), sebagai berikut: 1. Atribut produk. Seperti halnya kualitas, gengsi, nilai jual kembali desain, dan lainlain. Mercedes menyatakan sesuatu mahal, produk yang dibuat dengan baik, terancang baik, tahan lama, bergengsi tinggi, dan sebagainya. 2. Manfaat. Meskipun suatu merek membawa sejumlah atribut konsumen sebenarnya membeli manfaat dari produk tersebut. Dalam hal ini atribut merek diperlukan untuk diterjemahkan menjadi manfaat fungsional atau manfaat emosional. Sebagai gambaran, atribut "mahal" cenderung diterjemahkan sebagai manfaat emosional, sehingga orang yang mengendarai mercedes akan merasa dirinya dianggap penting dan dihargai. 3. Nilai. Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. Mercedes menyatakan produk yang berkinerja tinggi, aman, bergengsi, dan sebagainya. Dengan demikian produsen Mercedes juga mendapat nilai tinggi di mata masyarakat. 4. Budaya. Merek juga mencerminkan budaya tertentu. Mercedes mencerminkan budaya Jerman yang terorganisir, konsisten, tingkat keseriusannya tinggi, efisien, dan berkualitas tinggi.

5. Kepribadian. Merek juga mencerminkan kepribadian tertentu. Sering kali produk tertentu menggunakan kepribadian orang yang terkenal untuk mendongkrak atau menopang merek produknya. 6. Pemakai. Merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut. Pemakai Mercedes pada umumnya diasosikan dengan orang kaya, kalangan manajer puncak, dan sebagainya. Pemakai Dimension Kiddies tentunya adalah anak-anak. Lebih lanjut Kotler (1997) menambahkan bahwa dengan enam tingkatan pengertian merek, pemasar harus menentukan pada tingkat mana akan menanamkan identitas merek yaitu (i) pembeli tidak begitu tertarik pada atribut merek dibandingkan dengan manfaat merek, (ii) pesaing mudah meniru atribut tersebut, dan (iii) atribut yang sekarang mungkin akan kurang bernilai, sehingga merugikan merek yang terlalu terikat pada atribut tersebut. Selain itu, merek yang baik digunakan sebaiknya memiliki sifat berikut ini (Simamora, 2003): (1) mencerminkan manfaat dan kualitas, (2) singkat dan sederhana, (3) mudah diucapkan, didengar, dibaca dan diingat, (4) memiliki kesan berbeda dari merek-merek yang sudah ada, (5) mudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan tidak mengandung konotasi negatif dalam bahasa asing, dan (6) dapat didaftarkan dan mendapatkan perlindungan hokum sebagai hak paten. Sumarwan (2003) mengartikan merek sebagai nama penting bagi produk atau jasa, simbol dan indikator kualitas dari sebuah produk atau jasa. Merek dapat memberikan jaminan kualitas bagi konsumen dengan melihat pada level mana identitas merek tertanam di benak konsumennya. Merek yang paling tahan lama adalah merek yang memiliki nilai budaya, dan kepribadian yang tercermin dari merek tersebut. Fenomena persaingan yang ada dalam era globalisasi akan semakin mengarahkan sistem perekonomian Indonesia ke mekanisme pasar yang memposisikan pemasar untuk mengembangkan pangsa pasar. Salah satu cara untuk mencapai keadaan tersebut yaitu merek (brand) dari produk yang dewasa ini menjadi aset terbesar perusahaan (Durianto et al. 2004). 2.1.2 Tahap Perkembangan dan Manfaat Merek Menurut Goodyear dalam Rangkuti (2002), untuk memahami proses perkembangan suatu merek diperlukan enam tahap perkembangan: 1. Produk yang tidak memiliki merek (Unbranded Goods) Pada tahap pertama ini produk dikelola sebagai komoditi sehingga merek hampir tidak diperlukan. Kondisi ini sangat mendukung apabila permintaan lebih banyak dibandingkan pasokan, biasanya hal ini terjadi dalam situasi

perekonomian yang bersifat monolistik. Tujuan terpenting dari produk yang tidak memiliki merek adalah fungsi dan harganya murah. 2. Merek yang dipakai sebagai referensi (Brand as Reference) Pada tahap ini sudah terjadi persaingan, meskipun tingkatannya belum begitu ketat. Persaingan ini merangsang produsen untuk membuat diferensiasi terhadap produk yang dihasilkannya. Tujuannya adalah agar produk yang dihasilkan memiliki perbedaaan dari produk perusahaan lain. Strategi diferensiasi yang diterapkan pada tahap ini adalah dengan melakukan perubahan terhadap atribut fisik produk. 3. Merek sebagai kepribadian (Personality) Pada tahap ini, diferensiasi antar merek berdasarkan atribut fungsi semakin sulit dilakukan. Perusahaan melakukan tambahan nilai-nilai personality pada masingmasing merek. Pada tahap ini personality yang dimiliki oleh pelanggan dan merek semakin didekatkan, sehingga nilai yang dimiliki merek tersebut menjadi cerminan diri pelanggannya. 4. Merek sebagai simbol Pada tahap ini merek menjadi milik pelanggan. Pelanggan memiliki pengetahuan yang lebih mendalam mengenai merek yang ia gunakan. Pelanggan yang menggunakan merek pada tahap ini dapat mengekspresikan dirinya atau dapat menunjukkan jati dirinya. 5. Merek sebagai sebuah perusahaan Pada tahap ini merek memiliki identitas yang sangat kompleks sehingga pelanggan dapat dengan mudah menghubungi merek. Karena merek tersebut merupakan wakil perusahaan maka pihak perusahaan memiliki persepsi yang sama tentang merek yang dimilikinya. 6. Merek sebagai kebijakan moral Pada tahap ini pelanggan memiliki komitmen yang tinggi kepada perusahaan sehingga selalu menjaga reputasi produk yang digunakannya. Layaknya karyawan, pelanggan selalu merasa memiliki merek tersebut dan meyakini bahwa merek tersebut telah mewakili kepuasan moralnya baik secara etis maupun spiritual.

Adapun menurut Kotler (1996), ada beberapa manfaat dari pemberian merek, antara lain: 1. Merek memudahkan penjual untuk mengolah pesanan-pesanan dan menekan permasalahan. 2. Merek dan tanda dagang secara hukum melindungi penjual dari pemalsuan ciriciri produk. 3. Merek memberi penjual peluang kesetiaan konsumen pada produk. Telah terbukti bahwa kesetiaan pada merek tertentu berhasil melindungi penjual dari persaingan serta pengendalian yang lebih ketat dalam merencanakan strategi pemasaran. 4. Merek dapat membantu penjual dalam mengelompokkan pasar ke dalam segmen tertentu. 5. Citra perusahaan dapat dibina dengan adanya merek yang baik. Dengan membawa nama perusahaan, merek-merek ini sekaligus mengiklankan kualitas dan besarnya perusahaan. 6. Merek sebagai cara untuk memudahkan penanganan produk, meminta produksi agar bertahan pada standar mutu tertentu dan juga meningkatkan pilihan para pembeli. Di pihak konsumen, mereka menginginkan dicantumkannya merek untuk mempermudah mengenali perbedaan mutu serta agar dapat berbelanja dengan lebih efisien. 2.2 Ekuitas Merek (Brand Equity) 2.2.1 Pengertian Ekuitas Merek Menurut David A. Aaker (1996), Brand equity is a set of asset (and liabilities) linked to a brands names and symbol that adds to (or subtracts from) the value provided by the product or a service to a firms customers. The major asset categories are: Brand awareness, perceived quality, brand association, and brand loyalty (Sekumpulan asset yang terkait dengan nama merek dan simbol, sehingga dapat menambah nilai yang ada dalam produk atau jasa tersebut. Aset yang terdapat dalam merek tersebut meliputi: Brand awareness, perceived quality, brand association, and brand loyalty). Agar aset dan liabilitas mendasari brand equity, maka aset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama atau simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama dan simbol merek, beberapa atau semua aset liabilitas yang menjadi dasar brand equity akan berubah pula. Aaker juga menggambarkan konsep brand equity (ekuitas merek) sebagai berikut:

Gambar 1. Model Konseptual Ekuitas Merek oleh Aaker (1991) Aaker (1997) mengungkapkan bahwa aset ekuitas merek pada umumnya menambah atau mengurangi nilai bagi para konsumen. Aset-aset ini biasanya membantu mereka dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi dalam jumlah besar mengenai produk dan merek. Ekuitas merek juga bisa mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian. Kotler (1997) menjelaskan bahwa merek perlu dikelola dengan cermat agar ekuitas merek tidak mengalami penyusutan. Hal tersebut membutuhkan pemeliharaan atau peningkatan kesadaran merek, kualitas dan fungsi yang diyakini dari merek itu, asosiasi merek yang positif secara terus menerus. Selain itu, Levens (2010) mendefinisikan ekuitas merek adalah kekuatan merek, melalui penciptaan citra yang berbeda, untuk mempengaruhi perilaku pelanggan. Ekuitas merek mencerminkan nilai konsumen yang melekat pada janji merek dan berkembang dari lapisan merek. Ekuitas merek memiliki kekuatan yang melampaui produk dan atau jasa itu sendiri untuk masuk ke dalam gerakan sosial, partai politik, organisasi non profit, dan individu, seperti kandidat politik dan selebriti lainnya. Nilai yang diperoleh pelanggan melalui peningkatan atau pengembangan brand equity adalah (1) sebagai bahan interpretasi dan pemprosesan informasi oleh konsumen, (2) kepercayaan diri dan keputusan pembelian, (3) kepuasan manfaat. Nilai yang diperoleh perusahaan melalui peningkatan dan pengembangan brand equity adalah (1) efisiensi dan efektifitas program-program pemasaran; (2) loyalitas merek; (3) harga atau margin; (4) perluasan merek; (5) pengembangan perdagangan; (6) keunggulan bersaing (Aaker 1997).

Gambar 2. Model Ekuitas Merek (Aaker, 1997)

2.2.2. Unsur-Unsur Ekuitas Merek Menurut Aaker (1997), ekuitas merek dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori: Brand Awareness (Kesadaran Merek) Kesadaran merek adalah kemampuan seorang pelanggan untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. (Aaker, 1997). Peran kesadaran merek dalam ekuitas merek tergantung pada tingkat pencapaian kesadaran di benak konsumen. Adapun penelusuran terhadap tingkat kesadaran merek dapat dilakukan dalam urutan seperti pada gambar berikut ini.

Top of Mind Brand Recall Brand Recognition

Unware Brand

Gambar 3. Diagram Piramida Brand Awareness

1. Unware brand (tidak menyadari merek) Merupakan tingkat yang paling rendah dalam piramida kesadaran merek, dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek. 2. Brand recognition (pengenalan merek) Tingkat minimal dari kesadaran merek. Hal ini penting pada saat seorang pembeli memilih suatu merek pada saat melakukan pembelian. 3. Brand recall (pengingatan kembali terhadap merek) Pengingatan kembali terhadap merek didasarkan pada permintaan seseorang untuk menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk. Hal ini diistilahkan dengan pengingatan kembali tanpa bantuan. 4. Top of mind (puncak pikiran) Puncak pikiran (top of mind) merupakan merek yang pertama kali diingat konsumen atau yang pertama kali ketika responden ditanya tentang suatu kategori produk. Top of mind juga merupakan tingkatan tertinggi dalam brand awareness dan juga merupakan pimpinan dari berbagai merek yang terdapat dalam produk yang serupa yang ada dalam benak konsumen. Kesadaran merek dapat dikatakan sempurna bila seluruh konsumen menempatkan merek tersebut dalam puncak pikirannya sebagai suatu katagori produk tertentu. Namun keadaan tersebut tidak mutlak karena suatu merek sudah cukup ideal bila kesadaran mereknya berbentuk segitiga terbalik, dengan bagian terlebar adalah puncak pikiran dan bagian tersempit adalah tidak mengenal merek sama sekali.

Merek yang memiliki top of mind yang tinggi akan mempunyai nilai merek (brand value) yang tinggi pula. Jika suatu merek tersimpan dengan baik dalam benak konsumen, akan mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli produk tersebut, walaupun biasanya merek yang tersimpan dalam benak konsumen adalah merek yang disuka atau merek yang dibenci, tetapi konsumen akan cendrung untuk mengingatnya karena sering menggunakan atau pernah menggunakannya. Upaya meraih kesadaran merek, baik dalam tingkat pengenalan maupun pengingatan kembali, melibatkan dua kegiatan, yaitu: berusaha memperoleh identitas merek dan berusaha mengaitkannya dengan kelas produk tertentu. Perceived Quality (Kesan Kualitas)

Pengertian kesan kualitas (perceived quality) menurut Aaker (1997), adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan maksud yang diharapkan. Persepsi kualitas secara umum berhubungan dengan prestise dan penghargaan terhadap suatu merek. Persepsi kualitas hampir selalu menjadi pertimbangan pada setiap pilihan konsumen. Kualitas dapat dikomunikasikan secara langsung dengan argumen bahwa sebuah atribut produk lebih unggul dibandingkan dengan yang dimiliki pesaing. Kualitas keseluruhan yang diukur pada brand perceived quality adalah kualitas dari atribut yang dimiliki oleh produk. Persepsi kualitas mempunyai peranan penting dalam membangun suatu merek. Persepsi konsumen terhadap kualitas suatu merek produk akan berpengaruh secara langsung kepada keputusan pembelian konsumen dan loyalitas mereka terhadap merek. Keterbatasan informasi, uang dan waktu akan membuat keputusan pembelian seorang konsumen sangat dipengaruhi oleh persepsi kualitas suatu merek yang ada di benak konsumen, sehingga sering kali alasan keputusan pembelian hanya didasarkan pada kesan kualitas merek yang akan dibelinya. Nama dan seberapa kuat sebuah merek merupakan aset penting, tidak hanya pada perusahaan manufaktur, tetapi juga pada perusahaan jasa seperti yang bergerak di bidang hotel, restoran dan caf (HORECA). Onkvisit dan Shaw (1989) berpendapat bahwa merek lebih berperan pada bidang jasa, karena merek merupakan suatu komoditas bagi konsumen. Apabila dikelola dengan tepat, merek dapat meningkatkan keunggulan kompetitif pada suatu hotel atau restoran (Kim dan Kim, 2004). Merek yang kuat juga merupakan aset sebuah hotel untuk membedakan hotel tersebut dengan hotel yang lain (Prasad dan Dev, 2000). Disisi lain, banyak restoran (foodservice) baik nasional maupun internasional mudah dikenal oleh konsumen melalui identitasnya. Konsumen dapat dengan mudah mengingat sebuah merek melalui simbol dari merek tersebut. Sebagai contoh, simbol huruf M emas (golden arches) sebagai logo Mc

Donald, dan simbol lingkaran hijau dengan gambar wanita bermahkota sebagai logo Starbucks coffee. Pada proses pembelian, konsumen tidak hanya mempertimbangkan pada faktor kualitas dan harga dari sebuah merek, tetapi juga faktor lain, termasuk negara asal merek (country of origin) (Lin dan Kao, 2004). Banyak konsumen mempunyai stereotype mengenai country of origin terhadap suatu merek, misalnya, masyarakat Indonesia percaya bahwa mobil buatan Jepang mempunyai mesin yang tangguh dan baik. Demikian juga dengan barang elektronik, masyarakat Indonesia cenderung memilih barang-barang elektronik buatan Jepang dibandingkan dengan buatan negara lain. Dalam hal makanan, konsumen langsung mengkaitkan Pizza dengan Italia, dan mereka percaya bahwa Pizza Italia adalah yang paling asli dan lezat. Hal tersebut memberikan bukti bahwa label made in yang terdapat dalan suatu produk, menjadi pertimbangan konsumen dalam melakukan pembelian terhadap suatu barang ataupun jasa (Yasin et al, 2007). Dapat diambil kesimpulan bahwa suatu produk itu bersifat superior atau inferior berdasarkan pada persepsi konsumen terhadap suatu negara. Produk dari suatu negara yang diminati lebih mudah diterima oleh konsumen (Yasin et al, 2007). Mattila (2001) mengemukakan bahwa hal-hal utama yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih sebuah restoran adalah kualitas (baik kualitas produk maupun pelayanan) dan atmosphere atau physical environment dari restoran tersebut. Physical environment mempengaruhi perilaku konsumen dan persepsi kualitas mereka pada suatu restoran. Physical environment dapat dijadikan alasan oleh konsumen untuk berada lebih lama di suatu restoran. Selain menu yang ditawarkan dan pelayanan yang diberikan, physical environement juga merupakan salah satu pertimbangan konsumen untuk mengunjungi kembali suatu restoran (Wakefield dan Blodgett, 1996). Kesan kualitas dapat memberikan nilai dalam beberapa bentuk seperti dapat dilihat pada diagram berikut ini:
Alasan untuk membeli Diferensiasi/ posisi Kesan Kualitas Harga optimum Minat saluran distribusi Perluasan brand

Gambar 4. Diagram Nilai dari Kesan Kualitas (Rangkuti, 2002) Freddy Rangkuty (2004: 60)

Terdapat lima keuntungan kesan kualitas, antara lain: 1. Alasan membeli. Kesan kualitas sebuah merek memberikan alasan yang penting untuk membeli. Hal ini mempengaruhi merek-merek mana yang harus dipertimbangkan, dan selanjutnya mempengaruhi merek apa yang akan dipilih. 2. Diferensiasi. Artinya, suatu karakteristik penting dari merek adalah posisinya dalam dimensi kesan kualitas. 3. Harga optimum. Keuntungan ketiga ini memberikan pilihan-pilihan di dalam menetapkan harga optimum (premium price). 4. Meningkatkan minat para distributor. Hal ini sangat membantu perluasan distribusi. 5. Perluasan merek. Kesan kualitas dapat dieksploitasi dengan cara mengenalkan berbagai perluasan merek, yaitu dengan menggunakan merek tertentu untuk masuk ke dalam kategori produk baru. Brand Association (Asosiasi Merek)

Asosiasi merek adalah segala kesan yang muncul di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek. Setiap produsen menginginkan produk yang mereka jual mempunyai kesan (image) yang baik dalam benak konsumen. Asosiasi merek berkaitan erat dengan persepsi yang terbentuk di benak konsumen mengenai karakteristik atau atribut-atribut yang dimiliki oleh suatu merek. Kesan-kesan yang timbul di benak konsumen terjadi karena semakin meningkatnya pengalaman konsumen dalam mengonsumsi suatu merek atau dengan semakin seringnya penampakan merek tersebut dalam strategi komunikasi produsen. Suatu merek yang telah mapan akan memiliki posisi yang tinggi dalam persaingan jika didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat. Berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan dan menimbulkan kesan negatif maupun positif disebut dengan brand image. Semakin banyak asosiasi yang saling berhubungan makin kuat brand image yang dimiliki oleh merek tersebut. Asosisi merek itu dapat berupa julukan, ciri khas, logo, karakteristik pemakai dan lain-lain. Asosiasi merek yang terbentuk pada konsumen menyangkut banyak atribut atau karakteristik dari produk tersebut.

Membantu proses/ penyusunan informasi Diferensiasi/ posisi Asosiasi Merek Alasan untuk membeli Menciptakan sikap/ perasaan positif Basis perluasan

Gambar 5. Diagram Nilai Asosiasi Merek (Rangkuti, 2002)

Asosiasi merek dapat menciptakan suatu nilai bagi perusahaan dan para pelanggan, karena ia dapat membantu proses penyusunan informasi untuk membedakan merek yang satu dengan merek yang lain. Terdapat lima keuntungan asosiasi merek, yaitu: 1. Dapat membantu proses penyusunan informasi. Asosiasi-asosiasi yang terdapat pada suatu merek, dapat membantu mengikhtisarkan sekumpulan fakta dan spesifikasi yang dapat dengan mudah dikenal oleh pelanggan. 2. Perbedaan. Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang sangat penting bagi usaha pembedaan. Asosiasi-asosiasi merek dapat memainkan peran yang sangat penting dalam membedakan satu merek dari merek yang lain. 3. Alasan untuk membeli. Pada umumnya, asosiasi merek sangat membantu para konsumen untuk mengambil keputusan untuk membeli produk tersebut atau tidak. 4. Penciptaan sikap atau perasaan positif. Asosiasi merek dapat merangsang perasaan positif yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap produk yang bersangkutan. 5. Landasan untuk perluasan. Asosiasi merek dapat menghasilkan landasan bagi suatu perluasan merek, yaitu dengan menciptakan rasa kesesuaian antara suatu merek dan sebuah produk baru. Selanjutnya apabila para konsumen beranggapan bahwa merek tertentu secara fisik berbeda dari merek pesaing, citra merek tersebut akan melekat secara terus menerus

sehingga dapat membentuk kesetiaan terhadap merek tertentu, yang disebut dengan loyalitas merek (brand loyalty). Brand Loyalty (Loyalitas Merek)

Loyalitas merek merupakan ukuran keterkaitan seorang konsumen pada sebuah merek. Ukuran tersebut memberikan jawaban tentang mungkin atau tidaknya seorang pelanggan beralih ke produk lain, terutama jika merek tersebut mengalami perubahan, baik yang menyangkut harga maupun atribut yang lain. Apabila loyalitas merek meningkat, maka kerentanan kelompok konsumen dari serangan pesaing dapat dikurangi. Hal tersebut merupakan suatu indikator dari ekuitas merek yang berkaitan dengan perolehan laba dari masa yang akan datang karena loyalitas merek secara langsung dapat diartikan sebagai penjualan di masa depan. Pengukuran brand loyalty dalam penelitian ekuitas merek suatu produk dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu perhitungan brand switching pattern matrix dan perhitungan brand loyalty setiap merek Loyalitas memiliki tingkatan sebagaimana dapat dilihat pada diagram berikut ini:

Commited Menyukai merek Pembeli yang puas dengan biaya peralihan Pembeli yang puas/ bersifat kebiasaan, tidak ada masalah untuk beralih Berpindah-pindah, peka terhadap perubahan harga, tidak ada loyalitas merek

Gambar 6. Piramida Loyalitas Merek

Berdasarkan piramida loyalitas di atas, dapat dijelaskan bahwa: a. Tingkat loyalitas yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal atau sama sekali tidak tertarik pada merek-merek apapun yang ditawarkan. Dengan demikian

b.

c.

d.

e.

merek memainkan peran yang kecil dalam keputusan pembelian. Pada umumnya, jenis konsumen seperti ini suka berpindah-pindah merek atau disebut tipe konsumen switcher atau price buyer (konsumen lebih memperhatikan harga di dalam melakukan pembelian). Tingkat kedua adalah para pembeli merasa puas dengan produk yang ia gunakan atau minimal ia tidak mengalami kekecewaan. Pada dasarnya, tidak terdapat dimensi ketidakpuasan yang cukup memadai untuk mendorang suatu perubahan, terutama apabila pergantian ke merek lain memerlukan suatu tambahan biaya. Para pembeli tipe ini dapat disebut pembeli tipe kebiasaan (habitual buyer). Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas, namun mereka memikul biaya peralihan (switching cost), baik dalam waktu, uang atau resiko sehubungan dengan upaya untuk melakukan pergantian ke merek lain. Kelompok ini biasanya disebut dengan konsumen loyal yang merasakan adanya suatu pengorbaan apabila melakukan penggantian ke merek lain. Para pembeli tipe ini disebut satisfied buyer. Tingkat keempat adalah konsumen benar-benar menyukai merek tersebut. Pilihan mereka terhadap suatu merek dilandasi pada suatu asosiasi, seperti simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakannya, atau kesan kualitas yang tinggi. Para pembeli pada tingkat ini disebut sahabat merek, karena terdapat perasaan emosional dalam menyukai merek. Tingkat teratas adalah para pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan dalam menemukan atau menjadi pengguna suatu merek. Merek tersebut sangat penting bagi mereka, baik dari segi fungsinya, maupun sebagai ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya (commited buyers).

Terdapat empat keuntungan loyalitas merek, yaitu: 1. Perusahaan yang memiliki basis pelanggan yang mempunyai loyalitas merek yang tinggi dapat mengurangi biaya pemasaran perusahaan karena biaya untuk mempertahankan pelanggan jauh lebih murah dibandingkan mendapatkan pelanggan baru. 2. Loyalitas merek yang tinggi dapat meningkatkan perdagangan. Loyalitas yang kuat akan meyakinkan pihak pengecer untuk memajang di rak-raknya, karena mereka mengetahui bahwa para pelanggan akan mencantumkan merek-merek tersebut dalam daftar belanjanya. 3. Dapat menarik minat pelanggan baru karena mereka memiliki keyakinan bahwa membeli produk bermerek terkenal minimal dapat mengurangi resiko. 4. Loyalitas merek memberikan waktu, semacam ruang bernafas, pada suatu perusahaan untuk cepat merespon gerakan-gerakan pesaing. Jika salah satu

pesaing mengembangkan produk yang unggul, seorang pengikut setia akan memberi waktu pada perusahaan tersebut agar memperbaharui produknya dengan cara menyesuaikan atau menetralisasikannya. 2.3 Citra Merek Citra merek adalah sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk pada benak konsumen (Mowen, 1994). Citra merek mengacu pada skema memori akan sebuah merek, yang berisikan interpretasi konsumen atas atribut, kelebihan, penggunaan, situasi, para pengguna, dan karakteristik pemasar dan/atau karakteristik pembuat dari produk/merek tersebut. Citra merek adalah apa yang konsumen pikirkan dan rasakan ketika mendengar atau melihat nama suatu merek (Hawkins, Best & Coney, 1998). Citra merek merupakan serangkaian asosiasi yang ada dalam benak konsumen terhadap suatu merek, biasanya terorganisasi menjadi suatu makna. Hubungan terhadap suatu merek akan semakin kuat jika didasarkan pada pengalaman dan mendapat banyak informasi. Citra atau asosiasi merepresentasikan persepsi yang bisa merefleksikan kenyataan yang objektif ataupun tidak. Citra yang terbentuk dari asosiasi inilah yang mendasari dari keputusan membeli bahkan loyalitas merek (brand loyalty) dari konsumen. Konsumen lebih sering membeli produk dengan merek yang terkenal karena merasa lebih nyaman dengan hal-hal yang sudah dikenal, adanya asumsi bahwa merek terkenal lebih dapat diandalkan, selalu tersedia dan mudah dicari, dan memiliki kualitas yang tidak diragukan, sehingga merek yang lebih dikenal lebih sering dipilih konsumen daripada merek yang tidak (Aaker, 1991). Citra merek meliputi pengetahuan dan kepercayaan akan atribut merek (aspek Kognitif), konsekuensi dari penggunaan merek tersebut, dan situasi penggunaan yang sesuai, begitu juga dengan evaluasi, perasaan dan emosi yang diasosiasikan dengan merek tersebut (aspek Afektif). Citra merek didefinisikan sebagai persepsi konsumen dan preferensi terhadap merek, sebagaimana yang direfleksikan oleh berbagai macam asosiasi merek yang ada dalam ingatan konsumen. Meskipun asosiasi merek dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk tapi dapat dibedakan menjadi asosiasi performansi dan asosiasi imajeri yang berhubungan dengan atribut dan kelebihan merek (Peter & Olson, 2002). Menurut Timmerman (dalam Noble, 1999), citra merek sering terkonseptualisasi sebagai sebuah koleksi dari semua asosiasi yang berhubungan dengan sebuah merek. citra merek terdiri dari: a. Faktor fisik : karakteristik fisik dari merek tersebut, seperti desain kemasan, logo, nama merek, fungsi dan kegunaan produk dari merek itu. b. Faktor psikologis : dibentuk oleh emosi, kepercayaan, nilai, kepribadian yang dianggap oleh konsumen menggambarkan produk dari merek tersebut.

Citra merek sangat erat kaitannya dengan apa yang orang pikirkan, rasakan terhadap suatu merek tertentu sehingga dalam citra merek faktor psikologis lebih banyak berperan dibandingkan faktor fisik dari merek tersebut. 2.4 Strategi Pengembangan Merek

Menurut Rangkuti (2002) ada lima pilihan strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan merek, yaitu di antaranya: 1. Merek Baru (New Brand) Dilakukan ketika perusahaan tidak memiliki satupun merek yang sesuai dengan produk yang akan dihasilkan atau apabila citra merek tersebut tidak membantu untuk produk tersebut. 2. Perluasan Lini (Line Extention) Perluasan lini terjadi ketika perusahaan memperkenalkan unit produk tambahan dalam kategori produk yang sama dengan merek yang sama, biasanya dengan tampilan baru. 3. Perluasan Merek (Brand Extention) Perluasan merek terjadi ketika perusahaan memutuskan untuk menggunakan merek yang sudah ada pada produknya dalam kategori baru. Strategi perluasan merek memberikan sejumlah keuntungan, karena merek tersebut pada umumnya lebih cepat dihargai (karena sudah dikenal sebelumnya), sehingga kehadirannya dapat cepat diterima oleh konsumen. 4. Multi Merek (Multi Brand Strategy) Terjadi ketika perusahaan memperkenalkan berbagai merek tambahan dalam kategori produk yang sama. Tujuannya adalah untuk mencoba membentuk kesan, kenampakan (feature) serta daya tarik lain kepada konsumen sehingga lebih banyak pilihan. Dapat juga terjadi akibat warisan beberapa merek dari perusahaan lain yang telah diakuisisi oleh perusahaan. 5. Merek Bersama (Co-brand) Co-branding terjadi apabila dua merek atau lebih digabung dalam satu penawaran. Tujuan co-branding adalah agar merek yang satu dapat memperkuat merek yang lain, sehingga dapat menarik minat para konsumen. Apabila cobranding dilakukan dalam bentuk kemasan bersama, maka setiap merek tersebut memiliki harapan dapat menjangkau konsumen baru dengan mengaitkannya dengan merek lain.

Kapan masing-masing strategi tersebut dapat diterapkan, dapat dilihat pada diagram brand strategy (Kotler, 1997) di bawah ini:

Exiting Product

New Product Category (c) Brand Extention (a) New Brand

Exiting Brand New Brand

(d) Line Extention (b) Multi Brand

Gambar 7. Diagram Brand Strategy

Penjelasan dari gambar di atas adalah sebagai berikut: a. Merek Baru (New Brand) Sebuah perusahaan dapat menciptakan sebuah nama merek baru ketika memasuki sebuah kategori produk baru. Strategi ini dapat dilakukan karena tidak ada nama merek yang sesuai. b. Multi Merek (Multi Brand) Perusahaan ingin mengelola berbagai nama merek dalam kategori yang ada untuk mengemukakan fungsi dan manfaat yang berbeda. c. Perluasan Merek (Brand Extension) Usaha apapun yang digunakan untuk menggunakan sebuah nama merek yang sudah berhasil untuk meluncurkan produk baru atau produk yang dimodifikasi dalam kategori baru. d. Perluasan Lini (Line Extension) Strategi ini dapat dilakukan dengan cara perusahaan memperkenalkan berbagai macam feature atau tambahan variasi produk, dalam sebuah kategori produk yang ada di bawah nama merek yang sama.

2.5.

Metode Pengukuran Ekuitas Merek

Berikut adalah beberapa metode pengukuran yang dapat digunakan untuk menganalisis ekuitas merek.

2.5.1 Structural Equation Modelling (SEM) Teknik analisis Permodelan Persamaan Struktural atau Structural Equation Modelling (SEM) dari paket software statistik AMOS, menggambarkan pembentukan model dan pengujian hipotesis. SEM merupakan kombinasi dari analisis faktor dan analisis regresi. Teknik SEM memungkinkan seseorang peneliti menguji beberapa variabel dependen sekaligus dengan beberapa variabel independen. SEM merupakan sekumpulan teknik statistik yang dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan penelitian yang memiliki rangkaian hubungan yang relatif rumit dengan pengujian statistik secara simultan (Ferdinand, 2006). Keunggulan aplikasi Structural Equation Model (SEM) dalam penelitian manajemen adalah karena kemampuannya untuk mengkonfirmasi dimensi-dimensi dari sebuah konsep yang bersifat multidimensional dan jauh dari sederhana yang lazim terjadi pada penelitian manajemen, serta kemampuannya untuk mengukur pengaruh hubungan antar konstruk atau faktor yang sudah dibentuk secara teoritis. Ferdinand (2006) menyatakan beberapa alasan penggunaan program SEM sebagai alat analisis, dimana SEM sesuai digunakan untuk: a. Mengkonfirmasikan unidimensionalitas dari berbagai indikator untuk sebuah konstruk/konsep/faktor. b. Menguji kesesuaian atau ketepatan sebuah model berdasarkan data empiris yang diteliti. c. Menguji kesesuaian model sekaligus hubungan kausalitas antar faktor yang dibangun/diamati dalam model tersebut. SEM terdiri atas beberapa tahapan sebagai berikut (Widodo, 2006) : Pengembangan model berdasarkan teori Tujuannya adalah untuk mengembangkan sebuah model yang mempunyai justifikasi (pembenaran) secara teoritis yang kua guna mendukung upaya analisis terhadap suatu maslah yang sedang dikaji/diteliti. - Pengembangan diagram lintasan (path diagram) Tujuannya adalah menggambarkan model teoritis yang telah dibangun pada langkah pertama kedalam sebuah diagram jalur agar peneliti dengan mudah dapat mencermati hubungan kausalitas yang ingin diujinya. - Mengkonversi diagram jalur kedalam persamaan struktural Langkah ini membentuk persamaan-persamaan pada model struktural dan model pengukuran.

- Pemilihan data input dan teknik estimasi Tujuannya adalah menetapkan data input yang digunakan dalam pemodelan dan teknik estimasi model - Evaluasi masalah identifikasi model Tujuannya adalah untuk mendeteksi ada tidaknya masalah identifikasi berdasarkan evaluasi terhadap hasil estimasi yang dilakukan program komputer - Evaluasi Asumsi dan Kesesuaian model Tujuannya adalah untuk mengevaluasi pemenuhan asumsi yang disyaratkan SEM, dan kesesuaian model berdasarkan kriteria goodness-of-fit tertentu. - Interpretasi dan modifikasi model Tujuannya adalah untuk memutuskan bentuk perlakuan lanjutan setelah dilakukan evaluasi asumsi dan uji kesesuaian model. Terdapat beberapa variabel yang membangun SEM, diantaranya adalah: 1. Variabel laten (latent variable) Variabel laten merupakan konsep abstrak, misalkan : perilaku, perasaan, dan motivasi. Variabel laten ini hanya dapat diamati secara tidak langsung dan tidak sempurna melalui efeknya pada variabel teramati. Variabel laten dibedakan menjadi dua yaitu variabel eksogen dan endogen. Variabel eksogen setara dengan variabel bebas, sedangkan variabel endogen setara dengan variabel terikat. Notasi matematik dari variabel laten eksogen adalah (ksi) dan variabel laten endogen ditandai dengan (eta). 2. Variabel teramati (observed variable) atau variebel terukur (measured variable) Variabel teramati adalah variabel yang dapat diamati atau dapat diukur secara enpiris dan sering disebut sebagai indikator. (Efferin, 2008). Variabel teramati merupakan efek atau ukuran dari variabel laten. Pada metoda penelitian survei dengan menggunakan kuesioner, setiap pertanyaan pada kuesioner mewakili sebuah variabel teramati. Variabel teramati yang berkaitan atau merupakan efek dari variabel laten eksogen diberi notasi matematik dengan label X, sedangkan yang berkaitan dengan variabel laten endogen diberi label Y. Simbol diagram lintasan dari variabel teramati adalah bujur sangkar atau empat persegi panjang. Di samping itu, SEM memiliki dua elemen atau model, yaitu model structural dan model pengukuran, diantaranya adalah: 1. Model Struktural (Structural Model)

Model ini menggambarkan hubungan diantara variabel-variabel laten. Parameter yang menunjukkan regresi variabel laten endogen pada eksogen dinotasikan dengan (gamma). Sedangkan untuk regresi variabel endogen pada variabel endogen lainnya dinotasikan dengan (beta). Variabel laten eksogen juga boleh berhubungan dalam dua arah (covary) dengan dinotasikan (phi). Notasi untuk error adalah (sigma). 2. Model Pengukuran (Measurement Model) Setiap variabel laten mempunyai beberapa ukuran atau variabel teramati atau indikator. Variabel laten dihubungkan dengan variabel-variabel teramati melalui model pengukuran yang berbentuk analisis faktor. Setiap variabel laten dimodelkan sebagai sebuah faktor yang mendasari variabel-variabel terkait. Muatan faktor (factor loading) yang menghubungkan variabel laten dengan variabel teramati diberi label (lambda). Error dalam model pengukuran dinotasikan dengan (sigma).

Gambar 8. Structural Equation Model (SEM) 2.5.2 Analisa Biplot Analisa biplot merupakan suatu analisa statistika yang menyajikan posisi relatif n objek pengamatan dengan p peubah secara simultan dalam dua dimensi. Analisis tersebut mengkaji hubungan antara pengamatan dan peubah, selain itu juga menunjukkan hubungan antara peubah dan kesamaan antar pengamatan serta dapat dilihat juga penciri dari masingmasing objek (Gabriel 1971).

Dengan menggunakan biplot akan diperoleh visualisasi dari segugus objek dan peubah dalam bentuk grafik bidang datar. Data yang digunakan dalam metode biplot data berupa data rataan atau data asli. Pengolahan data didasarkan pada penguraian nilai singular (Singular Value Decompotion). Di mana SVD bertujuan menguraikan suatu matriks X berukuran n x p yang matriks data peubah ganda yang terkoreksi terhadap rataannya di mana n banyaknya objek dan p banyaknya peubah bebas. Struktur data dapat dianalisis dengan metode biplot yang diperlihatkan pada tabel berikut. Objek (Merek Produk) 1 2 n Sumber: Gabriel (1971) Peubah ke- (atribut) 2 X12 X22 Xn2

1 X11 X21 Xn1

P X1p X2p Xnp

di mana: n = Jumlah objek p = Jumlah peubah Xnp = Skala penilaian responden peubah ke-n Analisis ini digunakan pada data yang menggunakan skala interval. Data yang digunakan berupa matriks data X dengan n pengamatan dan p peubah yang dikoreksi terhadap nilai rata-ratanya, berpangkat r sebagai berikut: X = ULA ......................(1) di mana : U = Matriks yang berukuran (n x r) merupakan lajur saling ortogonal A = matriks berukuran (p x r) merupakan lajur saling ortogonal L = Matriks diagonal berukuran (r x r) yaitu akar ciri ( 0 dari XX) Menurut kaedah Singular Value Decompotion (SVD) persamaan (1) dapat diuraikan menjadi : X = U LL1- A...................(2) Jika UL = G dan L1-A =H maka persamaan di atas dapat dinyatakan sebagai berikut: X = GH..............................(3) Dengan demikian setiap elemen ke (I,J) unsur matriks X dapat dinyatakan sebagai berikut: Xij = gih j i = 1,2,...,n dan j =1,2,...,n di mana: gi dan hj adalah baris G dan H yang memiliki r

Matriks U digunakan sebagai titik koordinat pengamatan. Matriks LA adalah koordinat vektor peubah Pemeriksaan biplot dilakukan pada nilai =0, di mana pada keadaaan tersebut antara peubah diperiksa dengan mengamati vektor-vektor pengaruh lajur. Ragam, peragam dan korelasi antar peubah diperiksa dengan melihat panjang vektor suatu peubah. Jika peubah tersebut memiliki vektor yang panjang maka semakin besar keragaman yang dimiliki peubah tersebut. Nilai sudut antara dua peubah berarti semakin kuat hubungan diantara keduanya. Jika sudut antara dua peubah tersebut tegak lurus maka korelasi keduanya rendah dan jika kedua vektor peubah tersebut tumpul maka korelasinya negatif. 2.5.3 Analisa Segmentasi Analisis gerombol (cluster) adalah suatu prosedur yang bertujuan untuk menggerombolkan k objek pengamatan menjadi m gerombol (mk) berdasarkan kesamaankesamaan yang dimiliki sehingga keragaman dalam gerombol relatif lebih homogen dibandingkan keragaman antar gerombol. Pengelompokan didasarkan pada ukuran kemiripan (similarities) atau ketidakmiripan (dissimiarities) yang dinyatakan dalam fungsi jarak, semakin kecil jarak antar individu berarti semakin besar kemiripan antar individu tersebut (Dillon & Goldstein 1984). Jarak yang sering digunakan adalah jarak Mahalanobis dan jarak Euclid. Jarak Mahalanobis digunakan bila peubah-peubah amatan berkorelasi, sedangkan jarak Euclid digunakan bila semua peubah tidak saling berkorelasi atau saling orthogonal. Misalkan matriks X = (X1,X2,...,Xn), maka jarak Euclid antara objek i dan j didefenisikan sebagai: dij 2 = (Xik - X jk) (Xik - X jk) di mana: dij 2 = jarak antar objek pengamatan ke-i dan ke-j Xik = nilai peubah ke-k pada pengamatan ke-i Xjk = nilai peubah ke-k pada pengamatan ke-j Jika diantara peubah yang diamati terdapat korelasi, maka perlu dilakukan transformasi terhadap data asal menjadi komponen-komponen utamanya untuk menyederhanakan peubah-peubahnya. Jika tidak dilakukan transformasi biasanya digunakan ukuran jarak Mahalanobis yang didefenisikan sebagai berikut: dij2 = (Xi - X j) S -1 (Xi - X j) di mana : dij2 = jarak antar objek i dan objek j Xi = vektor nilai objek ke-i Xj = vektor nilai objek ke-j S = matriks peragam

Ukuran jarak Mahalonobis sangat baik digunakan jika peubah dari data yang diamati memiliki korelasi yang tinggi. Algoritma standar yang biasa digunakan dalam penggerombolan adalah (Anderberg 1973): 1. Menghitung ukuran kemiripan (ketakmiripan) antara pasangan obyek ke-i dan ke-j yang disusun dalam bentuk matriks. 2. Gabungkan dua individu yang memiliki jarak terdekat menjadi gerombol baru. 3. Memperbaharui matriks jarak antar gerombol dengan memakai salah satu dari berbagai metode berikut yaitu metode pautan tunggal (single linkage), pautan lengkap (complete linkage), pautan rataan (average linkage), metode Ward atau metode Centroid, di mana setiap metode mempunyai kriteria pengoptimalan tertentu. 4. Mengulangi langkah dua dan tiga sampai terbentuk hanya satu gerombol yang beranggotakan k individu. 2.4.4 Skala Likert, Rata-rata dan Standar Deviasi Skala likert merupakan skala memperlihatkan tanggapan konsumen terhadap karakteristik suatu produk (sangat setuju, setuju, bimbang, tidak setuju, sangat tidak setuju). Informasi yang diperoleh dengan skala likert berupa skala pengukuran ordinal, sehingga hasilnya dapat dibuat ranking tanpa dapat diketahui berapa besarnya selisih antara satu tanggapan ke tanggapan lainnya. Selanjutnya dari data yang diperoleh, dicari nilai rataratanya dan standar deviasinya untuk mengetahui ukuran pemusatan dan ukuran keragaman tanggapan responden. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Durianto et al. 2004).

z dimana: xi = nilai pengukuran ke-i fi = frekuensi kelas ke-i n = banyaknya pengamatan Hasil dari banyaknya nilai rata-rata standar deviasi tersebut kemudian dipetakan ke rentang skala yang mempertimbangkan informasi interval berikut: Internal = nilai tertinggi nilai terendah banyaknya kelas Rentang skala dan interpretasi yang digunakan pada setiap analisis tingkatan brand loyalty dalam penelitian ini adalah:

1,00-1,08 = sangat buruk 1,08-2,06 = buruk 2,06-3,40 = cukup 3,40-4,20 = baik 4,20-5,00 = sangat baik 2.5.5 Skala Semantic Differensial Skala ini merupakan salah satu dari skala faktor yang dikembangkan untuk menganalisis masalah pengukuran populasi yang multidimensi dan pengungkapan dimensi yang belum dikenal atau diketahui. Metode tersebut dikembangkan khususnya untuk mengukur arti psikologis dari suatu objek di mata seseorang. Metode tersebut dibuat dengan menempatkan dua skala penilaian dalam titik-titik ekstrim yang berlawanan, yang sering disebut bipolar. Biasanya di antara dua titik ekstrem terdapat lima atau tujuh titiktitik butir skala di mana responden menilai suatu konsep atau lebih pada setiap butir skala. Metode skala semantic differential sering digunakan dalam studi mengenai merek khususnya brand perceived quality atau penelitian mengenai kesan responden terhadap suatu objek.

2.5.6 Uji Reliabilitas Uji reliabilitas adalah uji keterandalan instrumen yang digunakan dalam riset. Instrumen riset yang terandal akan mampu mengungkap informasi yang sebenarnya di lapangan. Tersedia berbagai metode uji reliabilitas yang secara umum dibedakan untuk jumlah butir ganjil atau genap. Aplikasi uji reliabilitas digunakan brand association, untuk menganalisis produk digunakan metode spearman-brown untuk menguji reliabilitas instrumen penelitian.

Adapun rumus korelasi dari skor yang digunakan :

di mana: X = total skor belahan ganjil Y = total skor belahan genap XY = total skor hasil kali belahan ganjil dan genap rxy = hubungan antara dua belahan instrumen Rumus Spearman-Brown (Durianto et al. 2004) :

di mana: r11 = reliabilitas instrumen rxy = korelasi antara dua belahan instrumen Nilai reliabilitas yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai r product moment. Jika r11< r tabel maka dapat disimpulkan bahwa instrumen yang digunakan reliabel dan penelitian dapat dilanjutkan. 2.5.7 Test Cochran Test Cochran digunakan untuk menguji signifikansi hubungan setiap asosiasi yang ada dalam suatu merek. Asosiasi yang paling berhubungan akan membentuk brand image dari merek tersebut. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut (Engel et al. 1994 diacu dalam Durianto et al. 2004).

di mana: C = banyaknya variabel (asosiasi) Ri = jumlah baris jawaban ya Cj = jumlah kolom jawaban ya N = total sampel

Nilai Q yang diperoleh di atas dibandingkan dengan nilai X2 tabel dengan tertentu untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antar asosiasi. Jika terjadi kondisi Q > X2 tabel (,db), maka Ho atau asosiasi-asosiasi yang diuji tidak membentuk brand image dari suatu merek. Sebaliknya jika Q < X2 tabel (,db), maka terima Ho atau asosiasi-asosiasi yang diuji saling berhubungan membentuk brand image dari suatu merek. Hal tersebut akan dipaparkan pada analisis brand association. 2.5.8 Importance-Performance Analysis (IPA) Untuk analisis perbandingan performance (yang menunjukkan kinerja suatu merek produk) dengan importance (yang menunjukkan harapan responden yang terkait dengan variabel yang diteliti) digunakan diagram cartesius yang terbagi atas empat kuadran yang menggambarkan kondisi yang berbeda-beda (Durianto et al. 2004). Perbandingan performance dengan importance dirangkum dalam diagram cartesius yang terbagi atas empat kuadran yang dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 9. Diagram Cartesius Importance and Performance Analysis Untuk menganalisis persepsi kualitas merek, perbandingan importance dan performance. Importance yang digunakan adalah harapan responden yang terkait dengan variabel yang diteliti, sedangkan performance yang dimaksud adalah kinerja suatu produk. Subyek pengukuran perceived quality adalah responden yang merupakan pelanggan (pengguna) merek tersebut dan pengukuran dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan mengenai persepsi pelanggan seputar atribut produk. Perceived quality mempunyai peranan penting dalam membangun suatu merek. Persepsi kualitas yang positif akan mendorong keputusan pembelian dan menciptakan loyalitas terhadap produk tersebut, sebaliknya jika persepsi kualitas pelanggan negatif maka produk tidak akan disukai dan tidak akan bertahan lama di pasar. Untuk membangun kepercayaan pelanggan maka pihak manajemen perusahaan perlu mempelajari dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perceived quality.

Gambar 10. Contoh Model Hasil Penelitian dengan Importance-Performance Analysis 2.5.9 Brand Switching Pattern Matrix Analisis ini digunakan untuk menghitung Possibility Rate of Transitation (kemungkinan perpindahan merek) dari merek-merek yang diteliti. Semakin besar nilai ProT yang diperoleh maka semakin kecil tingkat loyalitas pelanggan. Formula yang digunakan (Durianto et al. 2004):

di mana: ProT = kemungkinan tingkat perpindahan merek Alx = konsumen yang tetap setia/loyal terhadap merek yang bersangkutan Atx = total konsumen yang diteliti dari merek x yang bersangkutan t = banyaknya/jumlah penelitian

III.

HASIL STUDI DAN PENELITIAN EKUITAS MEREK (BRAND EQUITY) Terdapat sejumlah studi dan hasil penelitian berkenaan dengan ekuitas merek. Setiap penelitian memiliki perbedaan-perbedaan dari segi kerangka pemikiran, metode pengukuran, hingga hasil yang disimpulkan. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa studi dan hasil penelitian tersebut. 3.1 : Kajian Ekuitas Merek Ikan Kaleng dan Implikasinya terhadap Bauran Pemasaran (Studi Kasus di Kota Bogor) Penulis : Zumi Saidah Sumber : Tesis, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Tahun : 2005 Judul

Kajian ekuitas merek ini bertujuan untuk menganalisa ekuitas merek berbagai produk ikan kaleng, menganalisa hubungan demografi konsumen dengan ekuitas merek ikan kaleng serta merumuskan strategi bauran pemasaran berdasarkan elemen-elemen ekuitas merek. Penelitian ini dilakukan di empat swalayan besar yang tersebar di Kota Bogor. Metode yang digunakan adalah teknik survai di lapangan terhadap konsumen ikan kaleng yang dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada responden. Lokasi yang menjadi tempat penyebaran kuesioner adalah swalayan Hero-Pajajaran, swalayan Ramayana-Plaza Jambu Dua, swalayan Superindo-Plaza Jembatan Merah dan swalayan Yogya-Plaza Bogor Indah yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa swalayan yang dipilih memiliki tingkat keramaian yang cukup tinggi dan merupakan swalayan yang cukup besar di kota Bogor. Selain itu juga menyediakan berbagai merek dagang ikan kaleng, serta lokasi dari masing-masing market place yang telah mewakili dari enam kecamatan yang ada di kota Bogor. Setelah pengumpulan data, data dianalisis dengan menggunakan beberapa alat analisis, diantaranya adalah analisa deskriptif, uji reliabilitas, uji cochran, skala likert, skala semantic differential, dan brand switching pattern matrix. Hasil penelitian brand equity menunjukkan bahwa merek ikan kaleng Gaga mendapatkan posisi yang lebih baik pada elemen brand awareness, yang kemudian disusul oleh merek Botan dan ABC. Merek Gaga mendapat peringkat pertama pada tingkatan top of mind dan peringkat ideal pada brand recall, brand recognition, dan brand unware sedangkan merek Botan secara keseluruhan mempunyai nilai rata-rata tertinggi pada setiap atribut produk ikan kaleng berdasarkan hasil pengukuran pada brand perceived quality. Merek ikan kaleng yang memiliki brand equity terkuat di antara ketiga merek tersebut adalah merek Botan.

3.2

Judul

: Analisis Persepsi Konsumen terhadap Ekuitas Merek Produk Es Krim Penulis : Fitrahdini, Ujang Sumarwan, dan Rita Nurmalina Sumber : Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Volume 3 No. 1 Tahun : 2010

Terdapat tiga produsen es krim terbesar di Indonesia, yaitu Walls, Campina, dan Indoeskrim Meiji, dimana Walls mendominasi pangsa pasar sebesar 50 persen, diikuti oleh Campina 30 persen, dan Indoeskrim Meiji 15 persen. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ekuitas merek Indoeskrim Meiji di pasar. Fakta di pasar, Indoeskrim Meiji menggunakan merek yang in line dengan merek-merek besar lainnya dalam satu holding (Salim Group) antara lain Indomie, Sambal Indofood, dan Susu Indomilk yang seharusnya dapat menguatkan ekuitas merek. Penelitian ini dilakukan di pusat-pusat perbelanjaan di Kota Bogor, Jawa Barat pada bulan April hingga Mei 2006. Desain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu crosssectional study. Responden yang disertakan dalam penelitian ini berjumlah 150 orang. Teknik pengambilan contoh dalam penelitian ini adalah teknik non probability sampling. Pemilihan Kota Bogor dan pusat perbelanjaan non probability sampling (purposive), sedangkan penentuan responden dilakukan secara non probability sampling (convinience). Responden yang ditemui adalah responden yang sedang melakukan aktivitas belanja di pusat perbelanjaan yang cukup ramai yaitu Ada Swalayan dan Hero, Ekalokasari Plaza, Ngesti Pajajaran, Ngesti Sukasari, Ramayana Pasar Bogor, Bogor Trade Mall, Warung Jambu, dan Yogya Cimanggu dengan pertimbangan jumlah responden yang bisa ditemui lebih banyak dan mewakili seluruh bagian Kota Bogor. Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan Structural Equation Model (SEM). Dalam penelitian ini dihipotesiskan adanya pengaruh dari variabel laten eksogen berupa variabel harga (1), variabel intensitas iklan dan promosi (2), dan variabel intensitas distribusi (3) terhadap variabel laten endogen kesadaran dan asosiasi merek (1), variabel persepsi kualitas merek (2), variabel persepsi loyalitas merek (3) dalam membentuk ekuitas merek secara keseluruhan (4). Berikut ini adalah model hipotesis Struktural Ekuitas Merek Indoeskrim Meiji (Model dimodifikasi dari Yoo et al. (2000))

Gambar 11. Model Hipotesis Struktural Ekuitas Merek Indoeskrim Meiji (Model dimodifikasi dari Yoo et al. (2000)) Hasil analisis Structural Equation Model (SEM) menunjukkan bahwa model hipotesis atau model teori sudah mampu menjelaskan fakta empiris yang ada di lapangan walaupun masih ada variabel yang memiliki nilai faktor muatan <1,96. Namun, model tersebut merupakan model yang paling optimal. Ekuitas merek Indoeskrim Meiji dibentuk oleh tiga dimensi yaitu loyalitas merek, perceived quality, dan asosiasi merek. Dimensi asosiasi merek merupakan penggabungan dari dimensi asosiasi merek dan kesadaran merek karena memiliki karakteristik yang hampir sama. Dimensi loyalitas merek memiliki kontribusi yang positif dan signifikan terhadap ekuitas merek Indoeskrim Meiji. Begitu juga dengan dimensi asosiasi merek, sedangkan dimensi kualitas merek memiliki kontribusi yang positif namun tidak signifikan. Ekuitas merek Indoeskrim Meiji dibentuk oleh variabel Loyalitas Merek dengan nilai sebesar 0,39, lebih tinggi dari variabel Asosiasi Merek yang memiliki nilai sebesar 0,24. Hal tersebut menunjukkan bahwa loyalitas merek adalah variabel yang sangat mempengaruhi ekuitas merek dari Indoeskrim Meiji. Dengan memperhatikan nilai faktor muatan, terlihat bahwa dimensi loyalitas merek memiliki kontribusi yang paling besar terhadap pembentukkan ekuitas merek dibandingkan dengan dimensi asosiasi dan kualitas merek. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus ini ekuitas merek Indoeskrim Meiji paling utama dibentuk oleh dimensi loyalitas merek. Meskipun ekuitas merek Indoeskrim Meiji

sebenarnya masih rendah apabila dilihat dari jawaban responden yang mayoritas netral. Namun terdapat dimensi ekuitas merek yang paling berpotensi untuk dikembangkan yaitu loyalitas merek. Dimensi kesan kualitas merek memiliki kontribusi terendah dan bentuk hubungan yang negatif terhadap ekuitas merek. Hal tersebut dipengaruhi oleh variabel harga yang memiliki kontribusi terendah terhadap kualitas merek. Harga yang tinggi pada produk es krim ternyata akan membuat kesan kualitas yang negatif terhadap produk tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa harga yang tinggi belum tentu dikaitkan dengan produk yang mempunyai kesan kualitas yang baik. Harga yang terlalu tinggi bahkan menjadikan kesan kualitas secara keseluruhan akan negatif dan bahkan menurunkan ekuitas merek.

3.3

Judul : The Impact of Promotional Mix Elements on Brand Equity Penulis : Nafiseh Sedaghat, Maedeh Sedaghat, dan Amir Koohkan Moakher Sumber : American Journal of Scientific Research EuroJournals Publishing, Inc Tahun : 2012

Penelitian ini bertujuan untuk menguji elemen bauran promosi yaitu bagaimana iklan, personal selling, sale promotion, public relations dan direct marketing mempengaruhi ekuitas merek. Model penelitian untuk studi ini adalah untuk menjelaskan hubungan antara ekuitas merek, elemen bauran promosi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan merek. Penelitian ini memiliki tiga hipotesis, yaitu: (H1) Elemen bauran promosi Samsung berpengaruh positif terhadap dimensi ekuitas merek, (H2) Dimensi Ekuitas Merek Samsung berpengaruh positif terhadap ekuitas merek, dan (H3) Elemen bauran promosi Samsung berpengaruh positif terhadap ekuitas merek. Di bawah ini merupakan gambar model penelitian.

Gambar 12. Model Penelitian The Impact of Promotional Mix Elements on Brand Equity

Ukuran sampel dari penelitian ini diperoleh 196, tetapi untuk meningkatkan validitas kuesioner dan mengantisipasi kemungkinan kuesioner yang rusak atau yang akan dikembalikan, jumlah tersebut dinaikkan menjadi 230 dan kuesioner tersebut disebarkan untuk pelanggan yang memilih alat vocal dan gambar Samsung di provinsi Mazandaran. Sejumlah 200 kuesioner yang akhirnya digunakan untuk penelitian. Dalam penelitian ini, untuk mempelajari dan menjelaskan pengaruh variabel independen (periklanan, personal selling, sale promotion, public relations dan direct marketing) dan variabel terikat (loyalitas merek, kesadaran merek, persepsi kualitas dan ekuitas merek) digunakan uji korelasi Pearson dan analisis regresi (Structural Equation Modeling). Temuan menunjukkan bahwa bauran promosi memiliki pengaruh positif pada ekuitas merek yang menyertai lain hasil penelitian lain. Para manajer dapat memanfaatkan hasil dari tulisan ini untuk memilih strategi yang tepat untuk menciptakan tingkat ekuitas merek yang tinggi. Misalnya, investasi yang besar untuk iklan, variasi iklan, konsentrasi pada sales, seperti pelatihan dalam berbagai bidang, penghargaan atas prestasi, berpartisipasi dalam acara-acara sosial yang berbeda untuk meningkatkan brand awareness, loyalitas dan sebagainya. Singkatnya, periklanan, personal selling, sale promotion, public relations dan direct marketing harus ditingkatkan dan dikembangkan sebagai faktor pembentukan merek. Tabel 1. Variabel dan Koefisien Langsung SEM

You might also like