You are on page 1of 26

BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Keperawatan Jiwa pada Geropsikiatrik 1.

Pengertian Geriatric psychiatry atau kedokteran jiwa usia lanjut (geropsikiatri) merupakan bagian ilmu kedokteran jiwa yang mencurahkan perhatian kepada segala gangguan jiwa yang terdapat pada orang yang sudah lanjut usia. Hal ini sangat penting karena orang yang sudah lanjut usia merupakan individu dengan ciri serta masalahnya tersendiri. Keperawatan geriatrik adalah cabang keperawatan yang memperhatikan pencegahan,diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis pada lanjut usia dan dengan meningkatkan umur panjang. Pelayanan/ asuhan keperawatan gangguan mental pada lanjut usia memerlukanpengetahuan khusus karena kemungkinan perbedaan dalam manifestasi klinis, patogenesis, danpatofisiologi gangguan mental antara dewasa muda dan lanjut usia. WHO (1989) telah mencapai konsensus bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia (elderly) adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih. Menurut Departemen Kesehatan RI, batasan lanjut usia adalah seseorang dengan usia 60-69 tahun. Sedangkan usia lebih dari 70 tahun dan lanjut usia berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan seperti kecacatan akibat sakit disebut lanjut usia resiko tinggi. Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut DepKes RI pada tahun 2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3 tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70 tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih atau sekitar 9,77 % dari total penduduk. Diperkirakan pada akhir tahun 2030, populasi penduduk lanjut usia keseluruhan mencapai jumlah 70 juta dan pada tahun 2050 mencapai 82 juta.

2. Proses Penuaan Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Walaupun proses penuaan benar adanya dan merupakan sesuatu yang normal, tetapi pada kenyataannya proses ini menjadi bebanbagi orang lain dibadingkan dengan proses lain yang terjadi. Perawat yang akan merawat lansiaharus mengerti sesuatu tentang aspek penuaan yang normal dan tidak normal. a. Penuaan Primer : Perubahan pada tingkat sel (dimana sel yang mempunyai inti DNA/RNA pada prosespenuaan DNA tidak mampu membuat protein dan RNA tidak lagi mampu mengambil oksigen, sehingga membran sel menjadi kisut dan akibat kurang mampunya membuat protein maka akanterjadi penurunan imunologi dan mudah terjadi infeksi. b. Penuaan Skunder : Proses penuaan akibat dari faktor lingkungan, fisik, psikis dan sosial. Secara umum perubahan proses fisiologis proses menua adalah:terjadi dalam sel seperti: 1) Perubahan Mikro a) Berkurangnya cairan dalam sel b) Berkurangnya besarnya sel c) Bekurangnya jumlah sel 2) Perubahan Makro adalah perubahan yang jelas terlihat seperti : a) Mengecilnya mandibula b) Menipisnya discus intervertebralis c) Erosi permukaan sendi-sendi d) Osteoporosis e) Atropi otot (otot semakin mengecil, bila besar berarti ditutupi oleh lemak tetapi kemampuannya menurun) f) Arterosklerosis g) Manopause pada wanita h) Kulit tidak elastic i) Rambut memutih

3. Teori Penuaan Gerontologis tidak setuju tentang adaptasi penuaan. Tidak ada satu teoripun dapat memasukan semua variable yang menyebabkan penuaan dan respon individu terhadap hal itu. Secara garis besar teori penuaan dibagi menjadi teori biologis, teori psikologis, dan teorisosiokultural. a. Teori Biologis 1) Biological Programming Theory Teori program biologis merupakan suatu proses sepanjang kehidupan sel yang terjadi sesuaidengan sel itu sendiri. Teori waktu kehiduan makhluk memperlihatkan adanya kemunduran biologis, kognitif, dan fungsi

psikomotor yang tidak dapat dihindari dan diperbaiki, walaupunperubahan diet atau hipotermi dalam waktu yang lama dapat menunda proses tersebut. 2) Wear and Tear Theory Teori wear and tear ini menyatakan bahwa perubahan struktur dan fungsi dapat dipercepatoleh perlakuan kejam dan diprlambat oleh perawatan. Masalah-masalah yang berkaitan denganpenuaan merupakan hasil dari akumulasi stres, trauma, luka, infeksi, nutrisi yang tidak adekuat, gangguan metabolik dan imunologi, dan perlakuan kasar yang lama.Konsep penuaan inimemperlihatkan penerimaan terhadap mitos dan stereotif penuaan. 3) Stress-Adaptasi Theory Teori adaptasi stres ini menegaskan efek positif dan negatif dari stres pada perkembanganbiopsikososial. Sebagai efek positif, stres menstimulasi seseorang untuk melakukan sesuatu yangbaru, jalan adaptasi yang lebih efektif. Efek negatif dari stres bisa menjadi ketidakmampuan fungsi karena perasaan yang terlalu berlebihan. Stres sering di asumsikan dapat mempercepatproses penuaan. Stres dapat mempengaruhi kemampuan penerimaan seseorang, baik secarafisiologi, psikologis, sosial dan ekonomi. Hal ini dapat berakibat sakit atau injuri.

b. Teori psikologis 1) Eriksons Stage of Ego Integrity Teori Erikson tentang perkembangan manusia mengidentifikasi tugas yang harus dicapai pada setiap tahap kehidupan. Tugas terakhir, berhubungan dengan refleksi tentang kehidupanseseorang dan pencapaiannya, ini diidentifikasi sebagai integritas ego. Jika ini tidak tercapaimaka akan mengakibatkan terjadinya gangguan. 2) Life Review Theory Pada lansia, melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan proses yang normal berkaitan dengan pendekatan terhadap kematian. Reintegrasi yang sukses dapat memberikan arti dalam kehidupan dan mempersiapkan seseorang untuk mati tanpa disertai dengan kecemasan danrasa takut. Hasil diskusi terakhir tentang proses ini menemukan bahwa melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan salah satu strategi untuk merawat masalah kesehatan jiwa pada lansia. 3) Stability of Personality Perubahan kepribadian secara radikal pada lansia dapat mengakibatkan penyakit otak. Para peneliti menemukan bahwa periode krisis psikologis pada saat dewasa tidak akan terjadi padainterval regular. Perubahan peran, perilaku dan situasi membutuhkan respon tingkah laku yangbaru. Mayoritas lansia pada studi ini memperlihatkan adaptasi yang efektif terhadap kebutuhanini c. Teori Sosiokultural 1) Disengagement Theory Postulat pada teori ini menyatakan bahwa lansia dan penarikan diri dari lingkungan sosialmerupakan bagian dari proses penuaan yang normal. Terdapat stereotype yang kuat dari teori initermasuk ide bahwa lansia merasa nyaman bila berhubungan dengan orang lain seusianya. 2) Activity Theory Teori aktivitas berpendapat bahwa penuaan harus disertai dengan keaktifan beraktifitas sebisa mungkin. Teori ini memperlihatkan efek positif dari aktivitas terhadap kepribadian lansia, kesehatan jiwa, dan kepuasan dalam hidup.

3) The Family in Later Life Teori keluarga berfokus pada keluarga sebagai unti dasar perkembangan emosi seseorang. Teori ini berpendapat bahwa pusat proses siklus kehidupan adalah perubahan sistem hubungandengan orang lain untuk medukung fungsi masuk, keluar dan perkembangan anggota keluarga. Gejala fisik, emosi, dan sosial dipercaya merupakan repleksi dari masalah negosiasi dan transisi pada siklus kehidupan keluarga. 4. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia Terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut: a. Penurunan Kondisi Fisik Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang. b. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : 1) Gangguan jantung 2) Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus 3) Vaginitis 4) Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi 5) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang

6) Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer, serta 7) Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain : a) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia b) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya c) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya d) Pasangan hidup telah meninggal e) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb. c. Perubahan Aspek Psikososial Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut: 1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personality), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.\ 2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya. 3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personality), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.

4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit. 5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personality), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya. d. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas. e. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil. Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak

punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia.

5. Jenis Gangguan Jiwa pada Lanjut Usia Gangguan jiwa adalah suatu sindroma atau pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. a. Gangguan Demensia Demensia, suatu gangguan intelektual yang umumnya progresif dan ireversibel, meningkat prevalensinya dengan bertambahnya usia. Dari orang Amerika yang berusia lebih dari 65 tahun, kira-kira 5 persen mengalami demensia parah, dan 15 persen mengalami demensia ringan. Dari orang Amerika yang berusia lebih dari 80 tahun, kira-kira 20 persennya menderita demensia parah. Berbeda dengan retardasi mental, gangguan intelektual pada demensia terjadi dengan berjalannya waktu yaitu fungsi mental yang sebelumnya telah tercapai secara bertahap akan hilang. Perubahan karakteristik dari demensia melibatkan fungsi kognisi, daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial, tetapi gangguan perilaku adalah sering. Gangguan perilaku adalah berupa agitasi, kegelisahan, berkelana, penyerangan, kekerasan, berteriak, disinhibisi social dan seksual, impulsivitas, gangguan tidur dan waham. Waham dan demensia terjadi selama perjalanan demensia pada hampir 75 % dari semua pasien. Walaupun demensia yang berhubungan dengan lanjut usia biasanya disebabkan oleh penyakit degenerative primer sistem saraf pusat dan penyakit vascular, banyak faktor berperan dalam gangguan kognitif, pada lanjut usia, penyebab campuran dari demensia sering ditemukan.

Demensia telah diklasifikasikan sebagai kortikal dan subkortikal, tergantung pada letak lesi serebral. Suatu demensia subkortikal adalah ditemukan pada penyakit Huntington, penyakit Parkinson, hidrosefalus tekanan normal, demensia multiinfark, dan penyakit Wilson. Demensia subkortikal adalah disertai dengan gangguan pergerakan, apraksia gaya berjalan, retardasi psikomotor, apati dan mutisme akinetik yang dapat dikacaukan dengan katatonia. Demensia kortikal adalah ditemukan pada demensia tipe Alzheimer dan penyakit Pick, yang sering menunjukkan afasia, agnosia, dan apraksia. Dalam praktek klinis, dua jenis demensia ini tumpang tindih, dan diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan otopsi. b. Demensia tipe Alzheimer Dari semua pasien dengan demensia, 50 sampai 60 persen-nya memiliki demensia tipe Alzheimer, yang merupakan tipe demensia tersering. Prevalensi demensia tipe Alzheimer adalah lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Demensia tipe Alzheimer ditandai oleh penurunan fungsi kognitif dengan onset yang bertahap dan progresif. Daya ingat mengalami gangguan dan sekurangnya ditemukan satu seperti afasia, apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif. Urutan umum defisit adalah daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial. Awalnya, pasien mungkin memiliki suatu ketidakmampuan mempelajari dan mengingat informasi baru, selanjutnya gangguan penamaan, selanjutnya ketidakmampuan untuk mencontoh gambar. Penyebab penyakit Alzheimer adalah tidak diketahui, walaupun pemeriksaan neuropatologi dan biokimiawi postmortem telah menemukan kehilangan selektif neuron kolinergik. Temuan anatomik makroskopis adalah penurunan volume girus pada lobus frontalis dan temporalis, dengan relatif terjaganya korteks motorik dan sensorik primer. Demensia tipe Alzheimer tidak memiliki pencegahan atau penyembuhan yang tidak diketahui. Terapi adalah paliatif, terdiri dari nutrisi yang tepat, latihan dan pengawasan aktifitas sehari-hari. Medikasi mungkin berguna dalam menangani agitasi dan gangguan perilaku. Propanolol, pindolol, buspirone dan valproate semuanya telah dilaporkan membantu menurunkan agitasi dan agresi. Haloperidol berguna untuk mengendalikan gangguan perilaku akut.

c. Gangguan Depresif Gejala depresif ditemukan pada kira-kira 25 persen dari semua penduduk komunitas lanjut usia dan pasien rumah perawatan. Tanda dan gejala yang sering dari gangguan depresif adalah penurunan energi dan konsentrasi, gangguan tidur (terutama terbangun dini hari dan sering terbangun di malam hari), penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, dan keluhan somatik. Gejala yang tampak mungkin berbeda dibandingkan dengan pasien dewasa muda, pada pasien lanjut usia terdapat peningkatan pada keluhan somatik. Lanjut usia rentan terhadap episode depresif berat dengan ciri melankolik, ditandai oleh depresi, hipokondriasis, harga diri yang rendah, perasaan tidak berharga, dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri, dengan ide paranoid dan bunuh diri. Hampir 75 persen dari semua korban bunuh diri menderita depresi dan penyalahgunaan alkohol. Resiko bunuh diri yang tinggi bila diapatkan perasaan kesepian, tidak berguna, tidak berdaya, putus asa terutama bila hidup sendirian, kematian pasangan yang belum lama terjadi dan nyeri somatik. Pada pasien lanjut usia yang mengalami depresi, kadang terdapat gangguan kognitif yang dinamakan sindroma pseudodemensia. Sindrom ini harus dibedakan dengan demensia yang sebenarnya. Pada pseudodemensia, ada defisit konsentrasi dan atensi dan jarang disertai dengan gangguan berbahasa. Depresi juga kemungkinan berhubungan dengan penyakit fisik yang dialami dan medikasi yang digunakan untuk mengobati penyakit tersebut. d. Gangguan Bipolar I Gangguan bipolar I biasanya dimulai pada masa dewasa pertengahan, walaupun prevalensi seumur hidup sebesar 1 persen adalah stabil sepanjang hidup. Kerentanan akan rekurensi tetap, sehingga pasien dengan riwayat gangguan bipolar I mungkin datang dengan periode manik di kemudian hari. Tanda dan gejala mania pada lanjut usia adalah serupa dengan tanda dan gejala pada orang dewasa yang lebih muda dan berupa mood yang meninggi, ekspansif, atau mudah tersinggung; penurunan kebutuhan akan tidur; distraktibilitas; impulsivitas; dan, sering kali, asupan alkohol yang berlebihan. Perilaku bermusuhan atau paranoid biasanya ditemukan. Adanya gangguan kognitif, disorientasi, atau tingkat kesadaran yang berfluktuasi harus menyebabkan klinisi curiga akan penyebab organik.

Lithium tetap merupakan terapi terpilih untuk mania; tetapi, pemakaiannya pada pasien lanjut usia harus dimonitor dengan cermat, karena penurunan klirens pada lanjut usia menyebabkan toksisitas lithium adalah resiko yang bermakna. Efek neurotoksik juga lebih sering pada lanjut usia dibandingkan pada dewasa yang lebih muda. e. Skizofrenia Skizofrenia biasanya mulai pada masa remaja akhir atau masa dewasa muda dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia onset lambat dibandingkan laki-laki. Prevalensi skizofrenia paranoid tinggi pada tipe onset lambat. Kira-kira 20 persen orang skizofrenia tidak menunjukkan gejala aktif pada usia 65 tahun, 80 persen menunjukkan gangguan dengan berbagai tingkatan. Psikopatologi menjadi kurang jelas saat pasien bertambah tua. Skizofrenia tipe residual terjadi pada kira-kira 30 persen. Pasien yang tidak mampu merawat dirinya sendiri, dianjurkan dirawat di rumah sakit dalam waktu jangka panjang. Orang lanjut usia dengan skizofrenik adalah berespon baik terhadap obat antipsikotik. Medikasi harus diberikan dengan hati-hati. Dosis yang lebih rendah dari biasanya sering efektif pada lanjut usia. f. Gangguan Delusional Usia onset gangguan delusional biasanya antara usia 40 dan 55 tahun; tetapi, gangguan ini dapat terjadi kapan saja dalam periode geriatrik. Gangguan delusional terjadi dibawah stress fisik dan psikologis pada orang yang rentan dan mungkin dicetuskan oleh kematian pasangan, kehilangan pekerjaan, pensiun, isolasi sosial, keadaan finansial yang tidak baik, penyakit medis atau pembedahan yang menimbulkan kecacatan, gangguan penglihatan, dan ketulian. Waham yang tersering adalah waham kejar dan gangguan delusional dengan onset lambat yang ditandai dengan waham kejar, disebut parafrenia. Gangguan ini timbul selama beberapa tahun dan tidak disertai dengan demensia. Pasien dengan riwayat keluarga skizofrenia menunjukkan peningkatan parafrenia. Tidak jarang, waham somatik juga dapat ditemukan. Sindroma delusional mungkin juga diakibatkan oleh medikasi atau merupakan tanda awal tumor otak. Prognosis cukup baik pada sebagian besar kasus, dengan hasil terbaik dicapai melalui kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi.

g. Gangguan Kecemasan Gangguan kecemasan berupa gangguan panic, fobia, gangguan obsesif kompulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut, dan gangguan stress pascatraumatik. Menurut ECA, gangguan paling sering adalah fobia sebanyak 4 persen dan gangguan panik sebanyak 1 persen. Onset awal gangguan panik adalah jarang tetapi dapat terjadi. Orang lanjut usia telah harus menyiapkan diri menghadapi kematian dan kecemasan dapat timbul akibat pikiran mengenai kematian, bukan dengan ketenangan hati dan rasa integritas menurut Erik Erikson. Tanda dan gejala fobia pada lanjut usia kurang parah dibandingkan pada orang yang lebih muda tetapi efeknya sama. Gangguan pascatraumatik sering lebih parah pada lanjut usia dibandingkan pada orang muda karena adanya kecacatan fisik yang menyertai pada lanjut usia. h. Gangguan Somatoform Gangguan somatoform, ditandai oleh gejala fisik yang menyerupai penyakit medis, adalah relevan dengan psikiatri geriatrik karena keluhan somatic sering ditemukan pada lanjut usia. Hipokondriasis sering ditemukan pada pasien berusia diatas 60 tahun, walaupun insiden puncak adalah pada kelompok usia 40 sampai 50 tahun. Gangguan biasanya kronis dan pemeriksaan fisik ulang berguna untuk menenteramkan pasien bahwa mereka tidak memiliki penyakit yang mematikan. Tetapi prosedur invasif yang memiliki resiko tinggi, harus dihindari. i. Gangguan Tidur Fenomena yang berhubungan dengan tidur yang lebih sering pada orang usia lanjut adalah gangguan tidur, mengantuk di siang hari, tidur sejenak di siang hari dan pemakaian obat hipnotik. Disamping perubahan fisiologis dan sistem regulasi, penyebab gangguan tidur pada lanjut usia adalah gangguan tidur primer, gangguan mental lain, kondisi medis umum, dan faktor sosial dan lingkungan. Di anatara gangguan tidur primer, disomnia adalah yang paling sering, terutama insomnia primer, mioklonus nocturnal, sindroma kaki gelisah (restless leg syndrome) dan apnea tidur. Kondisi yang sering menggangu tidur pada lanjut usia adalah nyeri, nokturia, sesak nafas, dan nyeri perut.

Alkohol dengan jumlah yang kecil sekalipun dapat mengganggu kualitas tidur, yang menyebabkan fragmentasi tidur dan terbangun di dini hari. Alkohol juga dapat mencetuskan atau memperberat apnea tidur obstruktif. Banyak pasien lanjut usia menggunakan alkohol, hipnotik, dan depresan sistem saraf pusat lain unutk membantu mereka tertidur. Tetapi, data menunjukkan bahwa sebagian besar pasien lanjut usia lebih banyak mengalami terbangun dini hari dibandingkan gangguan dalam tertidur. Perubahan dalam struktur tidur di lanjut usia adalah tidur gerakan mata cepat (rapid aye movement, REM) sepanjang malam, peningkatan jumlah episode REM, penurunan lama episode, penurunan tidur REM total. Perubahan tidur gerakan mata lambat (non rapid eye movement, NREM) yaitu penurunan amplitude gelombang delta. Di samping pada lanjut usia juga mengalami bertambahnya terjaga setelah onset tidur. j. Post power Syndrome Adalah gejala yang terjadi dimana penderita hidup Dallam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (kariernya, kecantikannya, ketampanannya,

kecerdasannya, atau hal lain) dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Seperti yang terjadi pada kebanyakan orang pada usia mendekati pension. Selalu ingin mengungkapkan betapa begitu bangga akan masa lalunya dengan jerih payah yang luar biasa. Ada banyak factor yang menyebabkan terjadinya post power syndrome. Pension dini dan PHK adalah salah satu dari faktor tersebut. Bila orang mendapatkan pension dini tidak bisa menerimaa keadaan banhwa tenaganya sudah tidak dipakai lagi; walaupun menurutnya dirinya masih bisa memberi konstribusi yang siknifikan kepada perusahaan, post power sindrom akan dengan mudah menyerang. Kejadian traumatic juga menjadi salah satu penyebab terjadinya post power syndrome. Misalnya, kecelakaan yang dialami oleh seorang pelari yang menyebabkan kakinya harus diamputasi. Bila dia tidak mampu menerima keadaan yang dialaminya, dia akan mengalami post power syndrome. Post power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lanjut usia dan pension dari pekerjaannya.beberapa kasus post power syndrome yang berat diikuti oleh gangguan jiwa seperti tidak bisa berfikir rasional dalam jangka waktu tertentu, depresi yang berat, atau pada pribadi-pribadi introfert.

6. Pemeriksaan pada keperawatan jiwa lansia a. Pemeriksaan fisik dan laboratorium Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan mengingat banyaknya perubahan fisiologis yang terjadi pada proses penuaan. Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis dan mendeteksi kondisi yang dapat diobati. Tomografi komputer, pencitraan resonansi magnetik, atau pemeriksaan penunjang lainnya dapat diindikasikan bilamana ditemukan perubahan status mental yang belum jelas. Termasuk medikasi yang saat ini sedang digunakan untuk mengatasi penyakit fisiknya, untuk mengetahui apakah ada efek samping psikiatriknya. b. Pemeriksaan status mental Pada pasien lanjut usia, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan status mental berulang-ulang karena adanya perubahan yang berfluktuasi dalam status mental pasien. Riwayat longitudinal dari pasien atau keluarga penting nilainya. 1) Deskripsi Umum Termasuk di dalam bagian ini adalah penampilan pasien, aktivitas psikomotorik, sikap terhadap pemeriksa dan aktivitas bicara. Gangguan motorik seperti gaya berjalan yang menyeret, postur bungkuk, gerakan jari memilin pil, tremor harus dicatat. Gerakan involunter pada mulut atau lidah mungkin merupakan efek samping fenotiazine. Wajah seperti topeng pada penyakit Parkinson. Air mata atau menangis dapat ditemukan pada gangguan depresif dan gangguan kognitif, terutama jika pasien merasa frustasi tidak bisa menjawab pertanyaan pemeriksa. 2) Penilaian fungsi Tanyakan mengenai kemampuan mereka mempertahankan kemandirian dan melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yaitu toilet, menyiapkan makanan, berpakaian, berdandan. 3) Alam perasaan Gangguan pada keadaan mood, terutama adalah depresi dan kecemasan dapat mengganggu fungsi daya ingat. Tanyakan mengenai pikiran bunuh diri, apakah pasien merasa tidak lagi berharga, merasa lebih baik mati dan jika mati, tidak membebani orang lain lagi. Suatu mood yang meluas atau euforik mungkin menyatakan suatu episode manik atau mungkin merupakan bagian dari

gangguan demensia. Afek yang datar, tumpul, terbatas, dangkal atau tidak sesuai, dapat merujuk ke gangguan depresif, skizofrenia atau disfungsi otak. 4) Gangguan persepsi Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia mungkin merupakan fenomena transien yang disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa harus mencatat dengan teliti kelainan yang terjadi apakah berhubungan dengan suatu kondisi organik. Halusinasi dapat disebabkan oleh tumor otak dan patologi lokal. 5) Kemampuan berbahasa Mencakup afasia, yang merupakan gangguan pengeluaran bahasa yang berhubungan dengan lesi organik otak. Pada afasia Broca, pengertian pasien tetap utuh tetapi kemampuan untuk berbicara terganggu, salah diucapkan. Pada afasia Wernicke, pasien diminta menunjukkan beberapa benda sederhana yang umum (kunci, pensil, tombol lampu). Pasien mungkin tidak dapat menunjukkan kegunaan benda sederhana tersebut (apraksia ideomotorik). 6) Fungsi visuospasial Suatu penurunan kapasitas fungsi visuospasial adalah normal dengan bertambahnya usia. Pemeriksaan neuropsikologi harus dilakukan jika fungsi visuospasial sangat terganggu.

7) Alam pikiran Hilangnya kemampuan untuk berpikir abstrak merupakan tanda awal dari demensia. Isi pikiran harus diperiksa mengenai fobia, obsesi, preokupasi somatik dan kompulsi. Gagasan bunuh diri pun harus diperiksa dengan teliti. 8) Sensorium dan kognisi Sensorium mempermasalahkan fungsi dari indera tertentu dan kognisi mempermasalah proses informasi dan intelektual. 9) Pertimbangan Adalah kapasitas umtuk bertindak sesuai dalam berbagai situasi. Sebagai contoh, apakah yang akan pasien lakukan bila menemukan sebuah amplop di jalan dengan perangko dan alamat sudah tertulis? Apa yang akan dilakukan bila mencium bau asap di dalam bioskop? Dapatkah pasien membedakan?

c. Pemeriksaan Neuropsiklogi Mini Mental State Examination (MMSE) adalah tes fungsi kognitif yang paling sering digunakan. Menilai orientasi, atensi, berhitung, daya ingat segera dan jangka pendek, bahasa dan kemampuan untuk mengikuti perintah sederhana. MMSE digunakan untuk mendeteksi gangguan sederhana, perjalanan penyakit dan untuk monitor respon pasien terhadap terapi. Tes ini tidak digunakan untuk membuat suatu diagnosis resmi. Weschler Adult Intelligence Scale Revised (WAIS-R) dapat memeriksa kemampuan intelektual yang memberikan skor verbal, skor intelegensia (IQ) dan kinerja. Bagian kinerja dari WAIS-R adalah indikator yang lebih peka dari kerusakan otak dibandingkan bagian verbalnya. Geriatric Depression Scale adalah instrumen penyaring yang berguna untuk memeriksaan depresi pada pasien lanjut usia, walaupun tanpa adanya demensia, sering mengganggu kinerja psikomotorik. Langkah lain yang dapat diambil guna mendukung program deteksi dini gangguan jiwa di pusat layanan primer ini adalah dengan melakukan edukasi kepada masyarakat. Penting bagi masyarakat untuk lebih mengenal tanda-tanda awal dari gangguan jiwa dan tingkah laku. Dengan demikian masyarakat, dalam lingkup yang lebih kecil, keluarga atau bahkan pasien sendiri dapat mencari pertolongan kesehatan sedari dini. Edukasi yang dapat diberikan misalnya dengan memperkenalkan tanda dari masalah psikososial seperti rasa cemas, khawatir yang berlebihan, ketakutan, mudah tersinggung, sulit konsentrasi, bersifat ragu-ragu/merasa rendah diri, kecewa, pemarah dan agresif, adanya reaksi fisik: jantung berdebar, otot tegang, sakit kepala, atau adanya masalah gangguan jiwa, misalnya marah tanpa sebab, mengurung diri, tidak mengenali orang, bicara kacau, bicara sendiri, tidak mampu merawat diri, berusaha bunuh diri, dll. Apabila ditemukan tanda-tanda seperti yang telah disebutkan sebelumnya pasien dianjurkan untuk segera dibawa ke Puskesmas.

B. Asuhan Keperawatan Jiwa pada Geropsikiatrik 1. Pengkajian Pasien Lansia Pengkajian pasien lansia menyangkut beberapa aspek yaitu biologis, psikologis, dan sosiokultural yang beruhubungan dengan proses penuaan yang terkadang membuat

kesulitan dalam mengidentifikasi masalah keperawatan. Pengkajian perawatan total dapat mengidentifikasi gangguan primer. Diagnosa keperawatan didasarkan pada hasil observasi pada perilaku pasien dan berhubungan dengan kebutuhan. a. Wawancara Hubungan yang penuh dengan dukungan dan rasa percaya sangat penting untuk wawancara yang positif kepada pasien lansia. Lansia mungkin merasa kesulitan, merasa terancam dan bingung di tempat yang baru atau dengan tekanan. Lingkungan yang nyaman akan membantu pasien tenang dan focus terhadap pembicaraan. b. Keterampilan Komunikasi Terapeutik Perawat membuka wawancara dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dan lama wawancara. Berikan waktu yang cukup kepada pasien untuk menjawab, berkaitan dengan pemunduran kemampuan untuk merespon verbal. Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar belakang sosiokulturalnya. Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas karena pasien lansia kesulitan dalam berfikir abstrak. Perawat dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan memberikan respon nonverbal seperti kontak mata secara langsung, duduk dan menyentuk pasien. Melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan sumber data yang baik untuk mengidentifikasi masalah kesehatan pasien dan sumber dukungan. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda kepribadian pasien dan distress yang ada. Perawat tidak boleh berasumsi bahwa pasien memahami tujuan atau protocol wawancara pengkajian. Hal ini dapat meningkatkan kecemasan dan stres pasien karena kekurangan informasi. Perawat harus memperhatikan respon pasien dengan mendengarkan dengan cermat dan tetap mengobservasi. c. Setting wawancara Tempat yang baru dan asing akan membuat pasien merasa cemas dan takut. Lingkungan harus dibuat nyaman. Kursi harus dibuat senyaman mungkin. Lingkuangan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia yang sensitif terhadap suara berfrekuensi tinggi atau perubahan kemampuan penglihatan. Data yang dihasilkan dari wawancara pengkajian harus dievaluasi dengan cermat. Perawat harus mengkonsultasikan hasil wawancara kepada keluarga pasien atau orang lain yang sangat mengenal pasien. Perawat harus memperhatikan kondisi

fisik pasien pada waktu wawancara dan faktor lain yang dapat mempengaruhi status, seperti pengobatan media, nutrisi atau tingkat cemas. d. Fungsi Kognitif Status mental menjadi bagian dari pengkajian kesehatan jiwa lansia karena beberapa hal termasuk : 1) Peningkatan prevalensi demensia dengan usia. 2) Adanya gejala klinik confusion dan depresi. 3) Frekuensi adanya masalah kesehatan fisik dengan confusion. 4) Kebutuhan untuk mengidentifikasi area khusus kekuatan dan keterbatasan kognitif . e. Status Afektif Status afektif merupakan pengkajian geropsikiatrik yang penting. Kebutuhan termasuk skala depresi. Seseorang yang sedang sakit, khususnya pada leher, kepala, punggung atau perut dengan sejarah penyebab fisik. Gejala lain pada lansia termasuk kehilangan berat badan, paranoia, kelelahan, distress

gastrointestinal dan menolak untuk makan atau minum dengan konsekuensi perawatan selama kehidupan. Sakit fisik dapat menyebabkan depresi sekunder. Beberapa penyakit yang berhubungan dengan depresi diantaranya gangguan tiroid, kanker, khususnya kanker lambung, pancreas, dan otak, penyakit Parkinson, dan stroke. Beberapa pengobatan dapat meningkatkan angka kejadian depresi, termasuk steroid, Phenothiazines, benzodiazepines, dan antihypertensive. Skala Depresi Lansia merupakan ukuran yang sangat reliable dan valid untuk mengukur depresi. f. Respon Perilaku Pengkajian perilaku merupakan dasar yang paling penting dalam perencanaan keperawatan pada lansia. Perubahan perilaku merupakan gejala pertama dalam beberapa gangguan fisik dan mental. Jika mungkin, pengkajian harus dilengkapi dengan kondisi lingkungan rumah. Hal ini menjadi modal pada faktor lingkungan yang dapat mengurangi kecemasan pada lansia. Pengkajian tingkah laku termasuk kedalam mendefinisikan tingkah laku, frekuensinya, durasi, dan faktor presipitasi atau triggers. Ketika terjadi perubahan perilaku, ini sangat penting untuk dianalisis.

g. Kemampuan fungsional Pengkajian fungsional pada pasien lansia bukan batasan indokator dalam kesehatan jiwa. Dibawah ini merupakan aspek-aspek dalam pengkajian fungsional yang memiliki dampak kuat pada status jiwa dan emosi. h. Mobilisasi Pergerakan dan kebebasan sangat penting untuk persepsi kesehatan pribadi lansia. Hal yang harus dikaji adalah kemampuan lansia untuk berpindah di lingkungan, partisipasi dalam aktifitas penting, dan mamalihara hubungan dengan orang lain. Dalam mengkaji ambulasi , perawat harus mengidentifikasi adanya kehilangan fungsi motorik, adaptasi yang dilakukan, serta jumlah dan tipe pertolongan yang dibutuhkan. i. Activities of Daily Living Pengkajian kebutuhan perawatan diri sehari-hari (ADL) sangat penting dalam menentukan kemampuan pasien untuk bebas. ADL ( mandi, berpakaian, makan, hubungan seksual, dan aktifitas toilet) merupakan tugas dasar. Hal ini sangat penting dalam untuk membantu pasien untuk mandiri sebagaimana penampilan pasien dalam menjalankan ADL. j. The Katz Indeks Angka Katz indeks dependen dibandingkan dengan independen untuk setiap ADL seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah tempat , dan makan. Salah satu keuntungan dari alat ini adalah kemampuan untuk mengukur perubahan fungsi ADL setiap waktu, yang diakhiri evaluasi dan aktivitas rehabilisasi. k. Fungsi Fisiologis Pengkajian kesehatan fisik sangat penting pada pasien lansia karena interaksi dari beberapa kondisi kronis, adanya deficit sensori, dan frekuensi tingkah laku dalam masalah kesehatan jiwa. Prosedur diagnostic yang dilakukan diantaranya EEG, lumbal; funksi, nilai kimia darah, CT Scan dan MRI. Selain itu, nutrisi dan pengobatan medis juga harus dikaji. l. Nutrisi Beberapa pasien lansia membutuhkan bantuan untuk makan atau rencana nutrisi diet. Pasien lansia yang memiliki masalah psikososial memiliki kebutuhan pertolongan dalam makan dan monitor makan. Perawat harus secara rutin mengevaluasi kebutuhan diet pasien. Pengkajian nutrisi harus dikaji lebih dalam

secara perseorangan termasuk pola makan rutin, waktu dalam sehari untuk makan, ukuran porsi, makanan kesukaan dan yang tidak disukai. m. Pengobatan Medis Empat faktor lansia yang beresiko untuk keracunan obat dan harus dikaji yaitu usia, polifarmasi, komplikasi pengobatan, komorbiditas. n. Penyalahgunaan Bahan-bahan Berbahaya Seorang lansia yang memiliki sejarah penyalahgunaan alcohol dan zat-zat berbahaya beresiko mengalami peningkatan kecemasan dan gangguan kesehatan lainnya apabila mengalami kehilangan dan perubahan peran yang signifikan. Penyalahgunaan alcohol dan zat-zat berbahaya lainnya oleh seseorang akan menyebabkan jarak dari rasa sakit seperti kehilangan dan kesepian. o. Dukungan Sosial Dukungan positif sangat penting untuk memelihara perasaan sejahtera sepanjang kehidupan, khususnya untuk pasien lansia. Latar belakang budaya pasien merupakan faktor yang sangat penting dalam mengidentifikasi support system. Perawat harus mengkaji dukungan sosial pasien yang ada di lingkungan rumah, rumah sakit, atau di tempat pelayanan kesehatan lainnya. Keluarga dan teman dapat membantu dalam mengurangi shock dan stres di rumah sakit. p. Interaksi Pasien- Keluarga Peningkatan harapan hidup, penurunan angka kelahiran, dan tingginya harapan hidup untuk semua wanita yang berakibat pada kemampuan keluarga untuk berpartisipasi dalam pemberian perawatan dan dukungan kepada lansia. Kebanyakan lansia memiliki waktu yang terbatas untuk berhubungan dengn anaknya. Masalah perilaku pada lansia kemungkinan hasil dari ketiakmampuan keluarga untuk menerima kehilangan dan peningkatan kemandirian pada anggota keluarga yang sudah dewasa. 2. Diagnosa a. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan kurangnya pengetahuan dan keterampilan mengenai cara dalam meningkatkan kualitas hubungan dan perubahan proses pikir. b. Resiko jatuh berhubungan dengan faktor-faktor fisiologis (usia, osteoarthitis, gangguan penglihatan, pendengaran dan gerak) serta kondisi lingkungan yang menunjang keamanan kurang memadai. c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan faktor-faktor fisiologis (sering BAK)

d. Resiko bunuh diri b/d harga diri rendah,ditandai dengan isolasi sosial, penurunan kekuatan dan ketahanan.

3. Perencanaan dan intervensi No 1. Diagnosa Keperawatan Kerusakan sosial dengan pengetahuan keterampilan Tujuan Rencana Intervensi Instruksional 1. Fasilitasi peningkatan kemampuan klien untuk berinteraksi dengan yang lainnya (NIC) a. Dorong untuk meningkatkan

interaksi Tujuan berhubungan Umum :

kurangnya Setelah diberikan asuhan dan keperawatan selama 1 mengenai bulan klien dapat perilaku bersama

keterlibatan dalam pola hubungan yang telah ada. b. Dorong keterlibatan dalam aktifitas sosial dalam kelompok. c. Dorong untuk berbagi masalah yang

cara dalam meningkatkan menampilkan kualitas hubungan dan berkumpul perubahan proses pikir

minimal 1 kali dalam 1 bulan. Tujuan Khusus : a. Setelah dilakukan Instruksional

dialami secara umum dengan klien lain d. Gunakan teknik bermain peran untuk mempraktekkan keterampilan dan teknik komunikasi yang diinginkan e. Dorong untuk merencanakan

asuhan keperawatan selama 7 hari klien dapat menampilkan interaksi

perilaku terhadap penghuni

aktifitas yang bermakna klien untuk merasakan,

seluruh 2. Fasilitasi wisma

mengapresiasikan dan mengekspresikan hal-hal yang menyenangkan dalam

minimal 1 kali dalam 1 hari. b. Setelah diberikan

berhubungan dengan orang lain. (NIC) a. Tentukan tipe humor yang

asuhan keperawatan selama 7 hari klien dapat menyediakan

diapresiasi oleh klien b. Tentukan humor c. Tampilkan yang pilihan-pilihan digunakan humor dalam respon klien terhadap

waktu minimal 10 menit untuk

dapat

berkumpul bersama

interaksi

dalam

macam

d. Berikan

respon

positif

terhadap

kegiatan minimal 2 kali dalam 1 minggu. c. Setelah diberikan

humor yang ditampilkan oleh klien 3. Bantu klien mengambangkan interaksi

keterampilan-keterampilan sosial (NIC)

pendidikan kesehatan selama klien bahwa 40 menit

a. Berikan pendidikan kepada klien tentang tujuan dan proses pelatihan keterampilan-keterampilan sosial.

mengatakan interaksi

sosial yang terjadi bermanfaat dirinya No 2. Diagnosa Keperawatan Resiko berhubungan faktor-faktor (usia, gangguan Tujuan Rencana Intervensi Instruksional 1. Identifikasi faktor resiko yang dihadapi oleh klien (NIC) a. Kaji faktor-faktor resiko secara rutin b. Review riwayat yang perawatan lalu dan yang bagi

jatuh Tujuan dengan Umum :

fisiologis Setelah diberikan asuhan osteoarthitis, keperawatan selama 1 penglihatan, bulan diharapkan klien menyebutkan

pengobatan

pendengaran dan gerak) dapat

membuktikan adanya resiko c. Identifikasi klien dengan kondisi sosial yang unik, yang dapat

serta kondisi lingkungan faktor resiko jatuh dan yang keamanan memadai menunjang melakukan kurang pencegahan. Tujuan Khusus : a. Setelah diberikan Instruksional tindakan

mempersulit antisifasi faktor resiko secara efisien 2. Manajemen lingkungan kelompok (NIC) a. Lakukan pendidikan kesehatan

asuhan keperawatan selama 7 hari klien dapat menyebutkan

tentang penanganan faktor resiko yang direncanakan.

minimal 50 % dari faktor resiko jatuh b. Setelah diberikan

pendidikan kesehatan tentang sosial interaksi selama 40

menit

klien

lansia

mengungkapkan bersedia untuk saling mengingatkan dan

saling menjaga satu sama lain. c. Setelah diberikan

asuhan keperawatan selama 7 hari klien lansia menampilkan perilaku perlindungan terhadap kelayan lain yang memiliki resiko jatuh.

No 3.

Diagnosa Keperawatan Gangguan berhubungan faktor-faktor (sering BAK) pola

Tujuan

Rencana Intervensi Instruksional 1. Fasilitasi siklus tidur/bangun yang

tidur Tujuan dengan Umum :

teratur (NIC) a. Ajarkn untuk melupakan situasi yang tidak menyenangkan saat menjelang tidur

fisiologis Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 14 hari klien menampilkan

perilaku adaptif terhadap 2. Pertahankan pola eliminasi yang optimal perubahan pola tidur. Tujuan Khusus : a. Setelah diberikan Instruksional (NIC) a. Instruksikan mengosongkan sebelum tidur. b. Batasi asupan cairan menjelang tidur bila diperlukan klien kandung untuk kemih

asuhan keperawatan selama 7 hari klien mampu menyebutkan bahwa pola perubahan tidur adalah

situasi

yang

fisiologis pada lanjut usia. b. Setelah diberikan

asuhan keperawatan selama 7 hari klien dapat menampilkan

perilaku manipulasi untuk kebutuhan secara adekuat c. Setelah diberikan memenuhi tidur

asuhan keperawatan selama minimal menampilkan perilaku membatasi 7 hari klien

minum minimal 1 gelas ketika akan

tidur malam No 4. Diagnosa Keperawatan Tujuan Instruksional Rencana Intervensi 1. Motivasi klien untuk

Resiko bunuh diri b/d Tujuan harga diri rendah,ditandai Umum : dengan isolasi

mempertahankan kemampuannya. 2. Jauhkan dari barang yang

sosial, Setelah diberikan asuhan selama klien perilaku resiko dapat

penurunan kekuatan dan keperawatan ketahanan. 1x24 jam

membahayakan. 3. Lakukan pendekatan pada pasien. 4. Beri support pada pasien untuk pendekatan religius.

menampilkan baik,sehingga bunuh dihindari. Tujuan Khusus : a. Setelah diri

Instruksional

dilakukan

asuhan keperawatan selama 1x24 jam

klien menyampaikan penerimaan terhadap keadaan,tidak menarik diri. b. Harga diri rendah

dapat teratasi.

4. Theurapheutic Milleu a. Stimulasi kognitif Aktivitas yang dilakukan harus direncanakan untuk menjaga atau meningkatkan kemampuan kognitif pasien. Diskusi kelompok dapat membantu pasien fokus pada topik.Meningkatkan rasa aman dan nyaman. Lansia sering melakukan yang terbaik pada situasi yang direncanakan untuk perawatan mereka. Setting jiwa lansia harus dirancang dengan warna yang lembut. Jika ada musik harus yang menenangkan dan disukai oleh lansia. Cahaya yang menyilaukan harus dihindari. Bagi lansia yang tidak tinggal dirumah mereka barang-barang seperti foto-foto keluarga, objek religius, afghan, atau benda-benda yang menenangkan. Kemananan harus dipertimbangkan karena lansia sering terjatuh, lantai tidak boleh licin dan tidak ada rintangan. b. Consisten physical layout Perubahan ruangan harus dihindari, barang-barang yang ada harus tetap, hal ini membantu lansia yang disorientasi dan menjaga keselamatan lansia. c. Structured routine Jadwal sehari-hari harus direncanakan dengan pasti. Waktu tidur, waktu bangun, tidur siang dan waktu makan tidak boleh berubah-ubah.

d. Fokus pada kelebihan dan kemampuan Sebagain besar lansia memiliki prestasi pada masa lalunya. Jika lansia tidak mampu berkomunikasi, anggota keluarga dapat memberikan informasi mengenai kehidupan mereka dan memberi kegiatan yang dsukai lansia. e. Minimize disruptive behavior

Memahami perilaku pasien dapat mengurangi agitasi dan krisis perilaku. f. Minimal demand for compliant behavior Lansia yang mengalami kerusakan kognitif sering menentang permintaan dari orang lain. Mereka tidak mengerti apa yang ditanyakan pada mereka atau mereka menjadi takut pada perubahan aktivitas yang tidak dapat diprediksi. 5. Terapi somatic a. Terapi elektro konfulsif Terapi ini efektif untuk intevensi pada lansia yang mengalami depresi. Kontra indikasi pada lansia yang memiliki lesi intracranial dengan peningkatan tekanan intracranial, aritmia, dan infark miokard lebih dari 3 bulan. b. Pengobatan psikotropika Obat pada lansia harus hati-hati, karena obat dapat berpengaruh pada perilaku lansia dan system saraf pusat. 6. Evaluasi Stuart dan Sundeen (1995) menyebutkan beberapa kondisi dan perilaku perawat yang diperlukan pada saat melakukan evaluasi dalam proses keperawatan, yaitu: a. Kondisi perawat : Supervisi, analisis diri, peer review, partisipasi pasien dan keluarga b. Perilaku perawat : Membandingkan respon pasien dan hasil yang diharapkan, mereview proses keperawatan, memodifikasi proses keperawatan sesuai yang dibutuhkan, berpartisipasi dalam peningkatan kualitas dari aktifitas yang dilakukan.

You might also like