You are on page 1of 20

Kasus SGD Polifarmasi Nenek Neli berusia 87 tahun, sering mengeluh sakit di seluruh tubuhnya semakin hari tubuh

nenek Neli terasa semakin lemah. Nenek Neli mengalami multipatologi, dia banyak meminum jenis obat- obatan untuk menyembuhkan penyakitnya, dimulai dari obat piroxicam untuk mengobati rasa pegal- pegal di tubuhnya, Captropil untuk mengatasi penyakit Hipertensinya, Glibenclamide, untuk mengobati penyakit diabetesnya, dan masih banyak jenis obat- obatan lainnya yang di minum oleh nenek Neli untuk mengatasi berbagai macam penyakitnya ini. Akan tetapi pada kenyataannya berbagai macam penyakit yang di derita oleh nenek Neli membutuhkan waktu yang sangat lama untuk sembuh bahkan sering terjadi adanya indikasi kekambuhan. Nenek Neli mempunyai seorang cucu dari salah satu anaknya yang bernama Nola, An.Nola ini berumur 5 tahun, an.Nola sering mengalami demam setiap bulanya, terkadang dia juga mengalami batuk dan flu. Beberapa hari yang lalu an.Nola menderita alergi pada tubuhnya, seluruh badannya terasa gatal, dan perih. Pada area kulitnya terdapat adanya tanda- tanda iritasi. Sejak berumur satu tahun an.Nola sudah terbiasa meminum berbagai macam jenis obat untuk mengobati penyakitnya. Mulai dari obat parasetamol, acetaminophen utuk mengatasi demam, decongestan, ekspektoran dan antitussive untuk mengobati batuknya, dan masih banyak jenis obat- obatan lain seperti salicylamide, acetylsalicylic acid yang dimunium oleh an.Nola untuk menyembuhkan berbagai macam penyakitnya. Belakangan diketahui ternyata dampak dari Polifarmasi yang terjadi pada An. Nola, mengakibatkan an. Nola sering megalami jatuh sakit setiap waktu. Pertanyaan : Apa yang terjadi pada nenek Nola di kasus tersebut? Mengapa an.Nola mudah mengalami jatuh sakit? Kaitkan kejadian pada kasus tersebut dengan tindakan pemberian Polifarmasi pada anak dan lansia.

Piroxicam Rating: -. Direkomendasikan oleh 7 pembaca. Beri rekomendasi:

Indikasi: Terapi simptomatik rematoid artritis, osteoartritis, ankilosing spondilitis, gangguan muskuloskeletal akut dan gout akut. Kontra Indikasi: Penderita yang hipersensitif terhadap piroksikam dan penderita yang mengalami urtikaria, angioderma, bronkospasme, rinitis berat dan syok akibat Antiinflamasi Nonsteroid Agent. Komposisi: Tiap kapsul mengandung 10 mg piroksikam. Tiap kapsul mengandung 20 mg piroksikam. Cara Kerja Obat: Piroksikam adalah obat antiinflamasi non steroid yang mempunyai aktifitas antiinflamasi, analgetik - antipiretik. Aktifitas kerja piroksikam belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan melalui interaksi beberapa tahap respons imun dan inflamasi, antara lain: penghambat enzim siklo-oksigenase pada biosintesa prostaglanin, penghambat pengumpulan netrofil dalam pembuluh darah, serta penghambat migrasi polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke daerah inflamasi.

Dosis: Dewasa: Rematoid artritis, osteoartritis, ankilosing spondilitis, dosis awal 20 mg dalam dosis tunggal. Gout akut, 40 mg sehari dalam dosis tunggal selama 4 - 6 hari. Gangguan muskuloskeletal akut, 40 mg sehari dalam dosis tunggal selama 2 hari, selanjutnya 20 mg sehari dalam dosis tunggal selama 7 - 14 hari. Dosis untuk anak belum diketahui. Peringatan dan Perhatian: Tidak dianjurkan pemberian pada wanita hamil dan menyusui. Hati-hati pemberian pada gangguan pencernaan, jantung, hipertensi dan keadaan predesposisi retensi air, ginjal dan hati. Kemanan penggunaan untuk anak-anak belum diketahui dengan pasti. Efek Samping: Keluhan gastrointestinal, misalnya anoreksia, nyeri perut, konstipasi, diare, flatulen, mual, muntah, perforasi, tukak lambung dan duodenum. gangguan hematologik seperti trombositopenia, depresi sumsum tulang. Gangguan kulit: eritema, dermatitis eksfoliatif, sindroma Stevens-Johnson. Gangguan Saraf pusat: sakit kepala, pusing, depresi, insomnia, gugup. Efek samping lain seperti hiperkalemia, sindroma nefrotuk, nyeri, demam, penglihatan kabur, hipertensi dan reaksi hipersensitif. Interaksi Obat: Pemberian piroksikam bersama antikoagulan oral, sulfonil urea atau salisilat harus hati-hati dan dipantau. Asetosal dan piroksikam tidak boleh diberikan secara bersama-sama. Piroksikam dilaporkan dapat meningkatkan kadar litium dalam darah. Cara Penyimpanan: Simpan ditempat sejuk dan kering. Jenis: Tablet Produsen: PT Indofarma

Farmakologi: Kaptopril terutama bekerja pada sistem RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron), sehingga efektif pada hipertensi dengan PRA (Plasma Renin Activity) yang tinggi yaitu pada kebanyakan hipertensi maligna, hipertensi renovaskular dan pada kirakira 1/6-1/5 hipertensi essensial. Kaptopril juga efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal, bahkan juga pada hipertensi dengan PRA yang rendah. Obat ini juga merupakan antihipertensi yang efektif untuk pengobatan gagal jantung dengan terapi kombinasi lain. Kombinasi dengan tiazid memberikan efek aditif sedangkan kombinasi dengan blocker memberikan efek yang kurang aditif.

Indikasi:

Untuk pengobatan hipertensi sedang dan berat yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan kombinasi lain.

Kaptopril dapat dipergunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lain terutama tiazid.

Payah jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol dengan diuretik dan digitalis.

Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap kaptopril dan obat-obat ACE inhibitor lainnya.

Dosis:

Dewasa: Hipertensi : Dosis awal adalah 12,5 mg-25 mg, 2-3 kali sehari. Bila setelah 2 minggu belum diperoleh penurunan tekanan darah, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 50 mg, 2-3 kali sehari. Gagal jantung : Dosis awal adalah 25 mg, 3 kali sehari, sebaiknya dimulai dengan 12,5 mg, 3 kali sehari.

Efek samping: Umumnya kaptopril dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat timbul adalah ruam kulit, gangguan pengecapan, neutropenia, proteinuria, sakit kepala, lelah/letih dan hipotensi. Efek samping ini bersifat dose related dengan pemberian dosis kaptopril kurang dari 150 mg per hari, efek samping ini dapat dikurangi tanpa mengurangi khasiatnya. Efek samping lain yang pernah dilaporkan: umumnya asthenia, gynecomastia. Kardiovaskular : cardiac arrest, cerebrovascular accident/insufficiency, rhythm disturbances, orthostatic hipotension, syncope. Dermatologi : bullous pemphigus, erythema multiforme exfoliative dermatitis. Gastrointestinal : pankreatitis, glossitis, dispepsia. Hepatobiliary : jaundice, hepatitis, kadang-kadang nekrosis, cholestasis. Metabolit : symptomatic hyponatremia. Musculoskeletal : myalgia, myasthenia. Nervous/psychiatric : ataxia, confusion, depression, nervousness, somnolence. Respiratory : bronchospasm, eosinophilic pneumonitis, rhinitis, blurred vision, impotence.

Seperti ACE inhibitor lainnya dapat menyebabkan sindroma termasuk:myalgia, arthralgia, interstitial nephritis, vasculitis, peningkatan ESR.

Peringatan dan perhatian: 1. Neutropenia/agranulositosis: Neutropenia akibat pemberian kaptopril (jumlah neutrofil kurang dari 1000/mm3) 2 kali berturut-turut, bertahan selama obat diteruskan, insidensinya 0,02% (1/4544) pada penderita dengan fungsi ginjal (kreatinin serum > 2 mg/dl), dan menjadi 7,2% (8/111) pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit vaskular kolagen seperti lupus (SLE) atau skleroderma. Neutropenia muncul dalam 12 minggu pertama pengobatan, dan reversibel bila pengobatan dihentikan (90% penderita dalam 3 minggu) atau dosisnya diturunkan. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan juga penderita yang mendapat obat-obat lain yang diketahui dapat menurunkan leukosit (obatobat sitotoksik, imunosupressan, fenilbutazon dan lain-lain), harus dilakukan hitung leukosit sebelum pengobatan setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan dan periodik setelah itu. Mereka juga harus diberi tahu agar segera melapor kepada dokternya bila mengalami tanda-tanda infeksi akut (faringitis, demam), karena mungkin merupakan petunjuk adanya neutropenia. 2. Proteinuria/sindroma nefrotik: Proteinuria yang lebih dari 1 g sehari terjadi pada 1,2% (70/5769) penderita hipertensi yang diobati dengan kaptopril. Diantaranya penderita tanpa penyakit ginjal/proteinuria sebelum pengobatan, insidensinya hanya 0,5% (19/3573) yakni 0,2% pada dosis kaptopril < 150 mg sehari dan 1% pada dosis kaptopril > 150 mg sehari. Pada penderita dengan penyakit ginjal/proteinuria sebelum pengobatan, insidensinya meningkat menjadi 2,1% 946/2196), yakni 1% pada dosis kaptopril > 150

mg sehari. Sindroma nefrotik terjadi kira-kira 1/5 (7/34) penderita dengan proteinuria. Data mengenai insiden proteinuria pada penderita GJK belum ada. Glumerulopati membran ditemukan pada biopsi tetapi belum tentu disebabkan oleh kaptopril karena glumerulonefritis yang subklinik jugma ditemukan pada penderita hipertensi yang tidak mendapat kaptopril. Proteinuria yang terjadi pada penderita tanpa penyakit ginjal sebelumnya pengobatan tidak disertai dengan gangguan fungsi ginjal. Proteinuria biasanya muncul setelah 3-9 bulan pengobatan (range 4 hari hingga 22 bulan). Pada sebagian lagi, proteinuria menetap meskipun obat dihentikan. Oleh karena itu pada penderita dengan risiko tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan protein dalam urin sebelum pengobatan, sebulan sekali selama 9 bulan pertama pengobatan dan periodik setelah itu. 3. Gagal ginjal/akut: Fungsi ginjal dapat memburuk akibat pemberian kaptopril pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal sebelum pengobatan. Gejala ini muncul dalam beberapa hari pengobatan; yang ringan (kebanyakan kasus) reversibel atau stabil meski pengobatan diteruskan, sedangkan pada yang berat dan progresif, obat harus dihentikan. Gejala ini akibat berkurangnya tekanan perfusi ginjal oleh kaptopril, dan karena kaptopril menghambat sintesis A II intrarenal yang diperlukan untuk konstriksi arteriola eferen ginjal guna mempertahankan filtrasi glomerulus pada stenosis arteri ginjal. Gagal ginjal yang akut dan progesif terutama terjadi pada penderita dengan stenosis arteri tinggi tersebut, pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi ginjal tunggal 93/8). Karena itu pada penderita dengan risiko tinggi tersebut, pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi ginjal (kreatinin serum dan BUN), dan dosis kaptopril dimulai serendah mungkin. Bila terjadi azotemia yang progresif, kaptopril harus dihentikan dan gejala ini reversibel dalam 7 hari. 4. Morbiditas dan mortalitas pada fetus dan neonatus: Pemakaian obat penghambat ACE pada kehamilan dapat menyebabkan gangguan/kelainan organ pada fetus atau neonatus. Apabila pada pemakaian obat ini ternyata wanita itu hamil, maka pemberian obat harus dihentikan dengan segera. Pada kehamilan trimester II dan III dapat menimbulkan

gangguan antara lain; hipotensi, hipoplasia-tengkorak neonatus, anuria, gagal ginjal reversibel atau irreversibel dan kematian. Juga dapat terjadi oligohidramnion, deformasi kraniofasial, perkembangan paru hipoplasi, kelahiran prematur, perkembangan, retardasi intrauteri, patenduktus arteriosus. Bayi dengan riwayat dimana selama didalam kandungan ibunya mendapat pengobatan penghambat ACE, harus diobservasi intensif tentang kemungkinan terjadinya hipotensi, oliguria dan hiperkalemia.

Interaksi obat:

Pemberian obat diuretik hemat kalium (spironolakton-triamteren, anulona) dan preparat kalium harus dilakukan dengan hati-hati karena adanya bahaya hiperkalemia. Penghambat enzim siklooksigenase sepeti indometasin, dapat menghambat efek kaptopril. Disfungsi neurologik pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang diberi kaptopril dan simetidin. Kombinasi kaptopril dengan allopurinol tidak dianjurkan, terutama gagal ginjal kronik.

Glibenclamide Rating: . Direkomendasikan oleh 5 pembaca. Beri rekomendasi:

Indikasi: Diabetes militus pada orang dewasa, tanpa komplikasi yang tidak responsif dengan diet saja. Kontra Indikasi: Glibenklamida tidak boleh diberikan pada diabetes militus juvenil, prekoma dan koma diabetes, gangguan fungsi ginjal berat dan wanita hamil. Gangguan fungsi hati, gangguan berat fungsi tiroid atau adrenal. Ibu menyusui: - Diabetes militus dan komplikasi (demam, trauma, gangren). - Pasien yang mengalami operasi. Komposisi: Tiap kaptab mengandung glibenklamida 5 mg. Cara Kerja Obat: Glibenklamida adalah hipoglikemik oral derivat sulfonil urea yang bekerja aktif menurunkan kadar gula darah. Glibenklamida bekerja dengan merangsang sekresi insulin dari pankreas. Oleh karena itu glibenklamida hanya bermanfaat pada penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih mampu memproduksi insulin. Pada penggunaan per oral glibenklamida diabsorpsi sebagian secara cepat dan tersebar ke seluruh cairan ekstrasel, sebagian besar terikat dengan protein plasma.

Pemberian glibenklamida dosis tunggal akan menurunkan kadar gula darah dalam 3 jam dan kadar ini dapat bertahan selama 15 jam. Glibenklamida diekskresikan bersama feses dan sebagai metabolit bersama urin. Dosis: Dosis awal 1 kaptab sehari sesudah makan pagi, setiap 7 hari ditingkatkan dengan 1/2 - 1 kaptab sehari sampai kontrol metabolit optimal tercapai. Dosis awal untuk orang tua 2.5 mg/hari. Dosis tertinggi 3 kaptab sehari dalam dosis terbagi. Peringatan dan Perhatian: - Pada keadaan stress, terapi dilakukan harus dengan insulin. - Hati-hati bila diberikan pada orang yang lanjut usia. Efek Samping: Kadang-kadang terjadi gangguan saluran cerna seperti: mual, muntah dan nyeri epigastrik. Sakit kepala, demam, reaksi alergi pada kulit. Interaksi Obat: - Efek hipoglikemia ditingkatkan oleh alkohol, siklofosfamid, antikoagulan kumarina, inhibitor MAO, fenilbutazon, penghambat beta adrenergik, sulfonamida. - Efek hipoglikemia diturunkan oleh adrenalin, kortikosteroid, tiazida. Cara Penyimpanan: Simpan pada suhu kamar (di bawah 30 derajat Celcius) dan tempat kering.

Paracetamol Rating: . Direkomendasikan oleh 4 pembaca. Beri rekomendasi:

Indikasi: Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang tidak tahan asetosal. Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala, sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot.menurunkan demam pada influenza dan setelah vaksinasi. Kontra Indikasi:

Hipersensitif terhadap parasetamol dan defisiensi glokose-6-fosfat dehidroganase.tidak boleh digunakan pada penderita dengan gangguan fungsi hati. Deskripsi: Paracetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik/analgesik Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat lemah sehingga sehingga tindak digunakan sebagai antirematik. Jenis: Tablet Produsen: PT Indofarma

What is acetaminophen? Related Video

Arthritis What is Arthritis? Learn about how to manage the aches and pains. Acetaminophen is a pain reliever and a fever reducer. Acetaminophen is used to treat many conditions such as headache, muscle aches, arthritis, backache, toothaches, colds, and fevers. Acetaminophen may also be used for purposes not listed in this medication guide.

Important information about acetaminophen There are many brands and forms of acetaminophen available and not all brands are listed on this leaflet. Do not take more of this medication than is recommended. An overdose of acetaminophen can damage your liver or cause death. Know the amount of acetaminophen in the specific product you are taking. Do not take this medication without a doctor's advice if you have ever had alcoholic liver disease (cirrhosis) or if you drink more than 3 alcoholic beverages per day. You may not be able to take acetaminophen. Avoid drinking alcohol. It may increase your risk of liver damage while taking acetaminophen. Ask a doctor or pharmacist if it is safe for you to take this medicine if you have liver disease or a history of alcoholism. Ask a doctor or pharmacist before using any other cold, allergy, pain, or sleep medication. Acetaminophen (sometimes abbreviated as APAP) is contained in many combination medicines. Taking certain products together can cause you to get too much acetaminophen which can lead to a fatal overdose. Check the label to see if a medicine contains acetaminophen or APAP.

Before taking acetaminophen You should not use acetaminophen if you are allergic to it.

Ask a doctor or pharmacist if it is safe for you to take acetaminophen if you have:

liver disease; or a history of alcoholism. Do not take this medication without a doctor's advice if you have ever had alcoholic liver disease (cirrhosis) or if you drink more than 3 alcoholic beverages per day. You may not be able to take acetaminophen. It is not known whether acetaminophen will harm an unborn baby. Before using this medicine, tell your doctor if you are pregnant. Acetaminophen can pass into breast milk and may harm a nursing baby. Do not use this medication without telling your doctor if you are breast-feeding a baby.

IWANDARMANSJAH : Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien,lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Istilah ini mengandung konotasi yang berlebihan, tidak diperlukan, dan sebagian besar dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi outcome penderita dalam hasil pengobatannya. mengandung juga pengertian mubazir, sehingga meninggikan biaya pengobatan, tanpa justifikasi profesional. Yang lebih penting lagi ialah bahwa diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Juga terdapat berbagai keadaan yang khas dan sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya. Bila semua obat memang benar dibutuhkan, hal ini tidak digolongkan sebagai polifarmasi, walaupun berbedaan antara memakai banyak obat bersamaan (multiple medications) dan polifarmasi tidak selalu jelas. Agaknya dewasa ini polifarmasi sudah diartikan pemakaian banyak jenis obat secara umum dan arti spesifik seperti dijelaskan diatas sudah agak kabur. Bila dipersoalkan jumlah berapa dapat dianggap sebagi polifarmasi, sulit disebutkan angka, karena itu pengertian umum agak kurang baik karena tidak membedakan penggunaan lebih dari satu obat yang memang ditopang dengan bukti penelitian (hipertensi, diabetes, payah jantung) dan tidak dianggap redundant, walaupun interaksi dan efek samping masih merupakan issue. Sehingga dalam arti asalnya terdapat unsur mubazir (tidak perlu dan merugikan) yang memang merupakan masalah yang ada, karena dalam keadaan multipatologis perlu dipakai lebih banyak obat (diperlukan dan ditopang evidence). Beberapa interaksi obat yang penting ialah: cerivastatin dengan gemfibrozil (rhabdomyolisis, kreatin-kinase meningkat), azathioprin dengan alopurinol (sifat sitotoksik azathioprin meningkat 3-4 kali), grapefruit juice (menghambat absorbsi karbamazepin, felodipin, dan simvastatin), St

Johns wort merangsang metabolisme warfarin, indinavir, dan cyclosporin; cisapride dengan makrolid, ketokonazol, kinidin, atau grapefruit juice (torsade de pointes dan kematian mendadak), coumarin dengan antiplatelet (perdarahan), dsb. Interaksi Farmakokinetik Fungsi Ginjal Perubahan paling berarti dalam menapak usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, dengan akibat perpanjangan atau intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug. Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark miokard dan pielonefritis akut juga sering mengurangkan fungsi ginjal dan ekskresi obat. Dalam setiap keadaan kita perlu memakai dosis lebih kecil bila dijumpai penurunan fungsi ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia. Daftar interaksi obat sangat panjang, namun tidak semuanya klinis penting. Di lain pihak pengaruh interaksi kinetik sulit diperkirakan karena selalu akan timbul fenomen baru dengan adanya obat baru ataupun lama. Pharmacovigilance merupakan cara paling ampuh hingga kini untuk mempelajari interaksi baru, karena 69% sebenarnya dapat diprediksi dan dihindarkan . Fungsi Hati Penurunan fungsi hati tidak sepenting penurunan fungsi ginjal. Hal ini disebabkan karena hati memiliki kapasitas yang lebih besar, sehingga

penurunan fungsi tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Ini merupakan kehati-hatian dan bukan kontraindikasi absolut. Memakai methylpredisolon misalnya merupakan contoh, karena prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat2 tertentu. Suatu daftar terbatas yang diambil random dari suatu kepustakaan menurut relevansinya ialah: alopurinol. amoksisilin-clavulanic acid (untuk komponen klavulanat), flukloksasilin, klorpromazine, clonazepam, diazepam, dekstrometorfan, eritromisin, flukonazol, metformin, metoklopramid, morfin, ofloksasin, fenitoin, rifampisin, kotrimoksasol, valproic acid, dan warfarin. Dalam hal ini lansia akan dipaparkan kepada risiko yang lebih besar; misalnya suatu studi menganjurkan flukloksasilin diberikan dengan hati-hati pada orang tua diatas 55 tahun karena pemberian jangka panjang (lebih dari 1 minggu) menimbulkan frekuensi hepatitis naik mencolok. Perlu ditambahkan bahwa flukloksasilin adalah obat terpilih untuk infeksi dengan Staph aureus seperti furunkel atau karbunkel. First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui V. porta dan langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberi secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis oral. Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping.

Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Inipun bisa terjadi dengan aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Banyak obat geser-menggeser dalam proses protein-binding bila beberapa obat diberi bersamaan. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita. Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik antara dua obat (atau lebih) lebih mudah diperkirakan dibandingkan interaksi kinetik. Dengan mengenal mekanisme kerja obat pada organ mudah bisa diramalkan apa yang akan terjadi secara dinamik bila obat dikombinasi. Biasanya ini ditimbulkan karena reseptornya dirangsang (atau dihambat) berbarengan oleh dua obat yang mempengaruhi organ secara sama. Misalnya atropin dan CTM akan bersinergi menimbulkan mulut kering lebih hebat karena CTM juga memiliki efek antikolinergik (atropinik) yang kuat. Namun, usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan bahwa kadang2 dosis harus disesuaikan dan sering berarti dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada lansia. Mekanisme kompensatoir seperti terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu 1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya. Polifarmasi Sistem memberi obat di rumah sakit sangat liberal, setiap dokter/konsultan memeriksa pasien dan menuliskan pendapatnya di status serta pengobatannya. Bila 5 konsultan yang memeriksanya, maka boleh dipastikan bahwa pasien harus menelan 5 kali 5-6 obat (belum yang disuntikkan), yaitu 25-30 obat-jadi sekaligus, sering beberapa kali sehari. Tidak ada dokter dalam

team yang diberi hak dan kuasa untuk mempertanyakan dan menyederhanakan skema pengobatan ini dalam suatu sistem. Studi di rumah sakit di New Castle, NSW, Australia menunjukkan bahwa 30% dari lansia menerima 6-10 jenis obat, dan 13% menerima lebih dari 10 jenis setiap harinya. Perawatan gawat darurat untuk lansia dilaporkan hingga 22% disebabkan karena masalah kesalahan obat. Keadaan di Australia ini diperkirakan lebih baik dari yang kita saksikan di Jakarta, walaupun tidak ditopang perbandingan angka statistik. Kapan timbul polifarmasi dalam arti mubazir? Pertama, dimulainya goyah evaluasi klinis terhadap pengobatan seorang penderita berawal dari masalah diagnosis sehingga memakai semua obat untuk segala kemungkinan diagnosa dan gejala yang ditemukan (defensive therapy). Kesalahan diagnosis selalu akan terjadi dan disebut fallible necessity oleh Atul Gawande, seorang dokter ahli bedah, dalam bukunya berjudul Complications yang menyebutkan, misalnya, bahwa dari kasus otopsi (bedah mayat) di AS dilaporkan dokter gagal mendiagnosa 25% dari infeksi fatal, sekitar 33% dari serangan jantung, dan hampir dua-per-tiga dari kasus emboli paru2 luput terdiagnosa. Dari kasus otopsi juga terdapat beberapa studi (1998 dan 1999) yang menemukan bahwa 40% yang dicantumkan sebagai sebab kematian ialah tidak benar dan sekitar 1/3 dari ini diperkirakan akan bisa ditolong dengan pengobatan yang adekuat. Yang mencengangkan ialah bahwa seorang patolog, George Lundberg di Journal of the American Medical Association, melaporkan bahwa keadaan ini tidak berubah sejak tahun 1938, hingga tahun 1960-70-80an, walaupun sudah terdapat diagnostic imaging yang canggih. Ini jangan dirasakan sebagi kritik pedas, tapi kenyataan pahit dan merupakan kesulitan dasar nyata dalam berpraktek kedokteran, yang kita semua harus selalu berusaha memperbaikinya. Bayangkan saja bila diagnosis pasti penyebab demam (lihat slide dibawah) tidak diketahui, berapa kemungkinan bisa ditafsirkan sebagai penyebabnya? Bayangkan berapa banyak antibiotik dan obat lain atau tindakan (diantaranya operasi) bisa diberikan bila ada 2-3 kemungkinan sebagai working diagnosis? Contoh ini membawa kita ke problematik: apakah semua gejala dan kemungkinan diagnosis perlu diobati? Strategi pengobatan hendaknya diarahkan pada kemungkinan diagnosis terbesar, kecuali hal ini tidak dapat dilakukan karena kondisi pelik yang dihadapi, seperti tidak dapat menentukan dengan educated guess kuman apa yang biasanya menghinggapi infeksi tertentu. Dengan demikian mengobati influenza tidak perlu diberi antibiotika dan hanya obat-obat simtomatik

karena kemungkinan terbesar 90 % tidak terkena infeksi bakterial sekunder. Selain itu masih cukup waktu bila tidak ada tanda-tanda yang lebih gawat yang membutuhkan antibiotik dan demam flu akan sembuh dalam waktu 1-5 hari dengan tindakan sederhana saja. Banyak obat yang tidak efektif-pun dipasarkan di Indonesia, dan keberadaan ini jarang dipahami dokter. Memakai obat2 yang efektivitasnya meragukan atau jelas tidak-ada seperti vitamin-mineral berlebihan, carbazochrome, ATP, hepato-protector (istilah ini does not exist yet as a drug class, only in experimental rats), ketosteril, ensim, isoprinosine, berbagai suplemen untuk kebugaran dan brain enhancers, dan banyak lagi melengkapkan problematik polifarmasi, karena mubazir dua kali. Banyak telah ditulis mengenai evidence-based-medicine pada usia lanjut seperti dalam bidang kardiovaskuler, hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia, dsb. Pemakaian obat dan efek samping selalu dibahas, namun kapan kita perlu menghentikan pengobatan kurang disoroti. Misalnya kapan pengobatan hipertensi bisa dihentikan, apakah pada lansia berumur 80 tahun juga harus diteruskan? Kapan kita bisa menghentikan obat antikolesterol? Banyak guidelines menganjurkan seumur hidup; apakah ini juga ditopang dengan evidence? Polifarmasi merupakan suatu medical error yang menyangkut pengobatan, karena tidak semua gejala penyakit perlu diberi obat dan menggunakan obat sesedikit mungkin adalah kebijakan yang paling baik dan aman. Sumber :www.iwandarmansjah.web.id

You might also like