You are on page 1of 12

KEWAJIBAN NEGARA

SUMBER STANLEY A PRASETYO KOMNAS HAM 2010

Pengantar Banyak orang salah mengerti tentang hak asasi manusia (HAM). Pertama, HAM dianggap sebagai senjata dari negara-negara Barat yang dipaksakan secara sepihak kepada negara-negara berkembang. Ke dua, pelaksanaan HAM dianggap bukan hanya tanggungjawab negara tapi juga tanggungjawab individu. Karena ituilah kemudian muncul istilah kewajiban asasi manusia. Kedua hal ini, terutama yang ke dua, belakangan ini kerap diucapkan oleh kalangan aparat dan pejabat di tanah air kita ini. Termasuk oleh sejumlah akademisi dari sejumlah universitas. Pemangku kewajiban HAM sepenuhnya adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah. Kalau saja mau membuka-buka dokumen tentang komentar umum mengenai pasal-pasal dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), maka kita akan menyadari akan kesalahan ini. Semua penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara. Negara harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam bentuk antara lain penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil). Negara tidak bisa tidak memang harus memenuhi hak-hak warganegara. Seperti hak atas rasa aman, hak hidup, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, dan berbagai hak lain. Atas inisiatif itulah kemudian negara, dalam hal ini pemerintah, membentuk berbagai departemen, kementerian, dan BUMN. Juga beberapa badan lain yang mendapat mandat khusus seperti Badan Urusan Logistik yang bertanggungjawab atas persediaan dan bahan-bahan kebutuhan pokok (sembako). Di Indonesia, negara/pemerintah merupakan pihak satu-satunya yang berhak untuk menguasai dan mengelola semua kekayaan alam dan bumi di negeri ini sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.

Negara tidak bisa tidak memang harus memenuhi hak-hak sipil, politik (sipol) dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) warganegara. Seperti hak atas rasa aman, hak hidup, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, dan berbagai hak lain. Atas inisiatif itulah 1 negara, dalam hal ini pemerintah, membentuk berbagai departemen, kementerian, dan BUMN.

Hak-Hak Sipil- Politik Semua aturan dan ketentuan mengenai HAM tak pelak lagi selalu mengacu pada DUHAM. Salah seorang penggagas DUHAM asal Lebanon, Rene Cassin, menyatakan bahwa isi DUHAM sebetulnya bisa dibagi menjadi lima hal, yaitu hak sipil (pasal 1-11), hak sosial (pasal 12-17), hak politik (pasal 18-21), hak ekonomi dan budaya (pasal 22-27), serta tanggungjawab negara 28-30. Rene Cassin juga menyatakan bahwa ada beberapa kata kunci yang memayungi pasal-pasal dalam DUHAM, yaitu biarkan saya menjadi diri saya sendiri untuk pasal hak sipil, jangan campuri urusan kami untuk pasal hak sosial, biarkan kami turut berpartisipasi untuk pasal hak politik, beri kami mata pencaharian untuk pasal hak ekonomi dan budaya. Adapun bangunan umum rujukan HAM bisa digambarkan sebagaimana bagan berikut,

Kewajiban Negara Pasal 28-30 Ratifikasi UU Nasional

Konvensi Int.l

Konvensi Int.l

Konvensi Int.l
Hak Sosial (Pasal 12-17) Hak Politik (Pasal 18-21)

Kovenan Hak Sipol 1976


Hak Sipil (Pasal 1-11)

Kovenan Hak Ekosob 1976


Hak Ekonomi & Bud (Pasal 22-27)

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Sedunia

Bagan 1. Bangunan Instrumen HAM

Indonesia pada 30 September 2005 meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak-hak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ICESCR) dan Kovenan Interna-sional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR). Pada 28 Oktober 2005, pemerintah Indonesia mengesahkan ICESCR menjadi UU No. 11/2005 dan ICCPR menjadi UU No. 12/2005. Dengan demikian, selain menjadi bagian dari sistem hukum nasional maka kedua kovenan ini sekaligus melengkapi empat perjanjian pokok yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu CEDAW (penghapusan diskriminasi perempuan), CRC (anak), CAT (penyiksaan), dan CERD (penghapusan diskriminasi rasial). Ratifikasi ini menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak-hak manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan kewqajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundang-undangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU. Yang lain adalah pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak-hak manusia. Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban pemerintah yangh lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan. 2

Konvensi Int.l

Dalam hak-hak sipil dan politik, ada ba-tas antara hak-hak yang tak dapat ditangguhkan (nonderogable rights) dengan hak-hak yang dapat ditangguhkan. Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak atas kebebasan berpikir dan beragama serta berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroactive). Berikut adalah rincian hak-hak sipol sebagaimana tercantum dalam UU No 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikjasi terhadap kovenan internasional tentang hak sipil-politik.

Tabel 1: Hak-hak yang Dijamin dan Dilindungi UU No. 12/2005


No
1 2

Pasal
Pasal 6 Pasal 7

Hak-Hak Sipil dan Politik


Hak untuk hidup (tidak dibunuh/dihukum mati setidaknya bagi anak di bawah 18 tahun) Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara keji, tak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (termasuk tidak diculik/dihilangkan secara paksa, diperkosa) Hak untuk tidak diperbudak (larangan segela bentuk perbudakan, perdagangan orang, dan kerja paksa,) Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (tidak ditangkap atau ditahan dengan sewenang-wenang, didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana) Hak sebagai tersangka dan terdakwa (diperlakukan manusiawi, anak dipisahkan dari orang dewasa, sistem penjara bertujuan reformasi dan rehabilitasi) Hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual (utang atau perjanjian lainnya) Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan dan kembali ke negerinya sendiri) Hak sebagai orang asing (dapat diusir hanya sesuai hukum atau alasan yang meyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional) Hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (dibuktikan kesalahannya oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal, dapat ditinjau kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama) Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (jika keluar ketentuan hukum sebelum tindak pidana, si pelaku harus mendapatkan keringanannya) Hak sebagai subyek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarganegaraan) Hak pribadi (tidak dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti kerahasiaan, keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat-menyurat atau komunikasi pribadi) Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan) Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya)

3 4

Pasal 8 Pasal 9

Pasal 10

6 7 8 9

Pasal 11 Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14

10 Pasal 15

11 Pasal 16 12 Pasal 17

13 Pasal 18 14 Pasal 19

15 Pasal 20 16 Pasal 21 17 Pasal 22 18 Pasal 23 19 Pasal 24

Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan) Hak atas kebebasan berkumpul (mengadakan pertemuan, arak-arakan atau keramaian) Hak atas kebebasan berserikat (bergabung dalam perkumpulan, partai politik atau serikat buruh) Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (tidak dipaksa, termasuk tanggung jawab atas anak) Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan (setiap kelahiran anak didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa diskriminasi) Hak untuk berpartisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih) Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilin-dungi hukum tanpa diskriminasi) Hak kelompok minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus)

20 Pasal 25 21 Pasal 26 22 Pasal 27

Mengenai implementasi antara kedua kategori hak, baik yang non-derogable maupun yang derogable. juga memiliki batas-batasnya, yaitu pada batas mana negara tak melakukan intervensi dan pada batas mana pula intervensi harus dilakukan. Negara tak boleh melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak-hak setiap orang, terutama hak-hak yang tak dapat ditangguhkan. Karena campur tangan negara justru mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak-hak individu/kelompok. Sebaliknya, intervensi dapat dilakukan atas dua hal; pertama, dalam situasi atau alasan khusus untuk membatasi atau mengekang hak-hak atau kebebasan berdasarkan UU; ke dua, dalam rangka untuk menegakkan hukum atau keadilan bagi korban tindak pidana. Karena itu, dalam menghormati dan melindungi hak-hak sipil dan politik, ada dua jenis pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara. Pertama, seharusnya menghormati hak-hak manusia, tapi negara justru melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan ICCPR melalui campurtangannya dan disebut pelanggaran melalui tindakan (violation by action). Kedua, seharusnya aktif secara terbatas untuk melindungi hak-hak melalui tindakannya negara justru tak melakukan apa-apa baik karena lalai dan lupa maupun absen, disebut pelanggaran melalui pembiaran (violation by omission). Jenis pelanggaran lainnya adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang bertentangan dengan ICCPR yang disebut pelanggaran melalui hukum (violation by judicial).

Dalam pelaksanaan HAM ada berbagai instrumen baik internasional maupun nasional yang menjadi acuan utama sebagaimana tergambar dalam Bagan 2 dan Bagan 3.

Bagan 2. Instrumen HAM Internasional

Bagan 3. Instrumen HAM Nasional

Kewajiban Negara Yang mengikat Setelah ratifikasi ICCPR, pemerintan Indonesia memiliki kewajiban yang mengikat secara hukum untuk melakukan beberapa hal. Antara lain negara, dalam hal ini pemerintah, harus segera melakukan reformasi hukum dengan menerjemahkan prinsip dan ketentuan yang terkandung dalam ICCPR ke dalam hukum nasional. Pemerintah juga harus segera melakukan harmonisasi hukum nasional dengan menggunakan kerangka ICCPR. Semua peraturan perundang-undangan yang tak sesuai dengan ICCPR harus dicabut dan direvisi. Begitu juga dengan RUU yang telah dibahas dan disiapkan hingga proses ratifikasi. Selain itu pemerintah harus melakukan sosialisasi ICCPR yang telah diratifikasi, sehingga banyak orang akan mengetahui apa saja hak-hak sipil dan politik yang seharusnya dinikmati. UU No 12/2005 berlakukan secara seragam di seluruh negeri dan diharapkan tak ada yang bertentangan dengannya, termasuk yang bertalian dengan kekuatiran mengenai kelemahan otonomi daerah atau oto-nomi khusus. Beberapa provinsi dan ka-bupaten pun telah menerapkan pelaksana-an syariat Islam dalam Peraturan Daerah (Perda), bahkan ada yang mengusulkannya dalam revisi KUHP. Namun demikian, hingga saat ini masih sering dijumpai aparat penegak hukum harus bekerja dengan infrastruktur pendukung hukum yang minim. INi adalah sebuah tantangan. Penjara dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, peraturan perundang-un-dangan tidak tersedia bagi para hakim dan banyak lagi persoalan lainnya. Kebiasaan pemerintah tanpa menyediakan infrastruktur pendukung atas langkah-langkah implementasi hasil ratifikasi berbagai perjanjian hakhak manusia dapat dipandang sebagai sikap tak mau (unwilling) atau abai untuk berbuat sesuatu, termasuk bagaimana seharusnya semua aparatur berperilaku yang dipertalikan dengan ICCPR tanpa kecuali pada lembaga-lembaga peradilan dan pengadilan, sehingga terasa kurang berefek pada pelaksanaannya. Dengan telah diratifikasinya ICCPR, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk membuat laporan mengenai pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang harus disampaikan pada Komite di PBB. Bagaimana Kewajiban Negara Berdasarkan Kovenan Hak Ekosob Prinsip non-diskriminasi merupakan sebuah prinsip yang secara otomatis menjadi kewajiban negara dalam pemenuhannya. Tidak dikenal implementasi prinsip non-diskriminasi secara bertahap. Karenanya, pemenuhannya dilakukan secara seketika. Obligasi negara dalam Pasal 2 ayat (2) Kovenan adalah menjamin hak-hak dalam Kovenan Hak Ekosob dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau status sosial, kekayaan atau lainnya. Obligasi Negara dalam konteks ini adalah pernyataan komitmen dan kemauan baik, yang tidak mengenal setengah komitmen atau komitmen setengah-setengah melainkan komitmen penuh untuk menjamin prinsip non-diskriminasi, termasuk memastikan persamaan laki-laki dan perempuan menikmati semua hak-hak ekosob yang dijamin dalam Pasal 3 Kovenan.

Tabel 2: Hak-hak yang Dijamin dan Dilindungi UU No. 11/2005


No
1 2 3 4 5 6

Pasal
Pasal 6 Pasal 7 Pasal 8 Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11

Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya


Hak hak atas pekerjaan Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan Hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial Hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda Hak atas standar kehidupan yang memadai

7 8 9

Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14

Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai Hak atas pendidikan Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya

Selain obligasi dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut, obligasi dalam Pasal 5 Kovenan juga dapat dipenuhi oleh Negara secara seketika, yakni: menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dan melakukan pembatasan-pembatasan melebihi prinsip yang diperbolehkan Kovenan. Negara dalam hal ini dapat mengimplementasikan obligasinya dengan seketika. Pada dasarnya semua pemenuhan hak ekosob memang membutuhkan biaya. Misalnya, jika pemerintah daerah (Pemda) belum mampu untuk memberikan fasilitas perumahan yang layak dalam bentuk apapun, sebagaimana menjadi obligasi negara berdasarkan Pasal 11 Kovenan maka Pemda jangan melakukan penggusuran. Hal lain adalah semua pemenuhan hak ekosob mesti menunggu sumber daya yang berlimpah. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 10 Kovenan memberikan perlindungan dan fasilitas bantuan pada keluarga.

Obligasi Negara Berdasarkan Ketentuan Kovenan Hak Ekosob Dengan pengikatan Indonesia sebagai negara Pihak Kovenan Hak Ekosob, maka penafsiran pasal-pasal dalam Kovenan, maka penafsiran tentang isi kovenan ini tidak dapat secara sewenangwenang diklaim oleh lembaga-lembaga negara, termasuk DPR dan pemerintah, namun mesti merujuk pada naskah asli dan sumber-sumber yang diakui, seperti penjelasan yang diadopsi Komite Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob)yang dibentuk berdasarkan ketentuan Kovenan. Dalam konteks ini, UU No. 11/2005, Penjelasan Pasal 1 ayat (2) dinyatakan, jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli dalam bahasa Inggris serta pernyataan (declaration) terhadap Pasal 1 Kovenan Hak Ekosob. Hal tersebut penting kembali diingatkan. Sebagai contoh berkaitan dengan hak atas air sebagai hak asasi manusia sebagai elemen hak yang utama dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan, maka DPR dan Pemerintah, mesti merujuk pada pengertian the right to water sebagaimana dijabarkan dalam Komentar Umum (General Comment) Komite Ekosob No. 15 yang menjelaskan Pasal 11 dan 12 Kovenan. DPR dan Pemerintah tidak dapat semena-mena menafsirkan hak atas air sebagai water rights ala Bank Dunia (World Bank) atau penafsiran yang dianut UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, yang mengizinkan hak guna pakai dan hak guna usaha atas air, yang pada prinsipnya memperbolehkan komersialisasi air untuk keuntungan orang seorang dan badan usaha privat. Jika didalami, Kovenan Hak Ekosob disusun, tidak lain dan tidak bukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak, agar setiap orang dan kelompok masyarakat dapat menikmati semua katalog hak ekosob, setinggi-tingginya dan semaksimal mungkin, yang bisa dicapai manusia. Di sinilah kerangka kerja negara mesti disusun agar meningkatkan penikmatan hak-hak ekosob semua orang, bukan sebaliknya malah Negara berkontribusi terhadap penurunan (degradasi) penikmatan hak ekosob warganegaranya. Untuk tujuan tersebut, disiplin hukum internasional hak asasi manusia mengenalkan minimum core obligation atau obligasi pokok yang paling minimum yang harus dipatuhi dan diimplementasikan negara. Karenanya, apakah terjadi pelanggaran obligasi negara atau tidak, akan dieksaminasi dan diperiksa apakah negara yang bersangkutan telah melakukan segala upaya menggunakan segala sumber daya untuk melakukan obligasi pokoknya dalam pemenuhan hak ekosob. 7

Atas jasa International Law Commission, disiplin hukum hak asasi manusia mengenal 2 bentuk obligasi negara yang pokok berdasarkan Kovenan Hak Ekosob: obligations of conduct dan obligation of result. Obligation of conduct, merupakan obligasi atau kewajiban negara untuk melakukan sesuatu, semua upaya dan segala tindakan untuk menerima (to mempromosikan (to promote), menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) memfasilitasi (to facilitate) dan menyediakan (to provide) penikmatan hak-hak ekosob. Mengakui (to recognize) Klasifikasi obligasi Negara dalam mengakui bahwa hak ekosob merupakan hak asasi manusia. Dengan demikian jika terjadi pelanggaran atau kejahatan hak-hak sipil politik, maka semestinya negara mengakui semua mekanisme dan konsekwensi yang mesti ditanggung para pelaku pelanggaran hak ekosob. Misalnya: jika banyak keluarga miskin yang tidak dapat memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan; tidak dapat memasukan anak-anaknya ke sekolah karena mahalnya biaya pendidikan, maka, pejabat yang berkompeten dalam hal ini, mesti mempertanggunjawabkannya dalam sistem hukum di Indonesia (justiciable). Obligasi negara dalam hal mengakui prinsip-prinsip pemenuhan hak ekosob, juga secara tegas dinyatakan dalam hal upaya-upaya bantuan teknis internasional. Sebagai contoh, negara berkewajiban untuk menerima the essential importance of international cooperation based on free consent. Mempromosikan (to promote) Aparat Negara, termasuk aparat penegak hukum dan birokrasi mesti melakukan promosi hakhak ekosob. Promosi bukan saja dilakukan melalui penyebaran iklan layanan masyarakat tetapi juga melalui pelibatan masyarakat sipil secara aktif. Program-program promosi atau seringkali disebut dengan sosialisasi mutlak wajib dilakukan. Hal ini agar dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan distribusi manfaat atau hasil-hasil yang ingin dicapai oleh program pemenuhan hak ekosob. Partisipasi masyarakat semacam ini (full and meaningful participation), dimungkinkan jika Negara mensosialisasikan rencana, peraturan atau kebijakan pembangunan secara luas agar dapat diketahui dan dipahami oleh publik. Pentingnya negara dalam menjalankan obligasi promosi, telah menjadi perhatian yang pokok oleh Komite Hak Ekosob, termasuk dalam hal pelaporan yang dilakukan negara Pihak. Menghormati (to respect) Obligasi penghormatan yang mesti dilakukan negara, mempunyai makna, negara tidak melakukan tindakan yang justru membatasi sebagian atau seluruhnya hak-hak ekosob masyarakat. Pembatasan hanya dapat dilakukan dengan maksud agar terpenuhinya hak-hak itu sendiri. Dalam klasifikasi ini, antara lain, Negara wajib menghormati persetujuan sukarela calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 10 ayat (1) Kovenan). Contoh lain, negara tidak diperkenankan untuk melakukan intervensi baik melalui peraturan perundangan atau kebijakan, maupun campur tangan langsung hak seseorang atau kelompok untuk membentuk serikat buruh/pekerja atas pilihannya sendiri atau melakukan pemogokan (Pasal 8 Kovenan)

Melindungi (to protect) Salah satu contoh yang paling prudent obligasi negara untuk melindungi hak ekosob, yakni memastikan adanya legal security of tenure,13 keamanan hukum kepemilikan atas tanah. Keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 35/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Untuk Kepentingan Umum, pada dasarnya bertentangan dengan obligasi negara untuk melindungi hak atas tanah: karena tidak diatur dengan jelas mekanisme perlindungan bagi seseorang atau kelompok masyarakat yang tanahnya diambil-alih. Dalam Perpres ini seharusnya dimuat jaminan reparasi (rehabilitasi, restitusi dan kompensasi) bagi si pemilik tanah. Contoh lain adalah memberikan perlindungan dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar setiap orang dapat menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, termasuk memastikan pekerja/buruh memperoleh upah yang adil, yang dapat menghidupi keluarganya secara layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan memperoleh promosi ke jenjang yang lebih tinggi, serta menikmati istirahat, liburan dan pembatasan kerja yang wajar dan hak-hak yang melekat didalamnya (Pasal 7 Kovenan). Selanjutnya, Negara berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Kovenan wajib memberikan perlindungan khusus kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan, karenanya berhak mendapat cuti dengan upah/gaji dan jaminan sosial yang memadai. Sementara Pasal 10 ayat (3) Kovenan, meminta negara untuk melakukan perlindungan bagi anak-anak dan remaja dari semua bentuk eksploitasi ekonomi dan sosial. Perlindungan, sebagai obligasi negara, juga dilakukan seperti memastikan setiap orang bebas dari kelaparan (Pasal 11 ayat (2) Kovenan) dan bebas untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan).

Memenuhi: Memfasilitasi dan Menyediakan (to fulfill: to facilitate and to provide) Obligasi untuk memenuhi hak asasi manusia secara inheren mempunyai makna Negara melakukan upaya untuk memfasilitasi dan menyediakanhak-hak ekosob setiap warga negaranya. Perwujudan obligasi Negara untuk pemenuhan hak ekosob, sebagaimana dimuat dalam Kovenan sebagai berikut: Menyediakan lapangan kerja dan memfasilitasi bimbingan teknis, program-program pelatihan, dan kegiatan ekonomi produktif (Pasal 6 Kovenan Hak Ekosob); Menyediakan dan memfasilitasi jaminan sosial termasuk asuransi sosial bagi setiap warga negara (Pasal 9 Kovenan Hak Ekosob); Menyediakan bantuan kepada keluarga untuk merawat dan mendidik anak-anak yang masih dalam tanggungannya (Pasal 10 Kovenan Hak Ekosob); Dengan kerjasama internasional, Negara menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pangan, sandang dan perumahan, dan perbaikan kondisi hidup semua orang secara terus menerus (Pasal 11 Kovenan Hak Ekosob); Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas standar kesehatan fisik dan mental setinggitingginya yang dapat dicapai (Pasal 12 Kovenan Hak Ekosob); Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pendidikan, termasuk memenuhi hak setiap orang menikmati pendidikan dasar yang wajib dan cuma-cuma (compulsory and free of charge) (Pasal 13 dan 14 Kovenan Hak Ekosob). Tidak seperti sekarang, cuma bayar SPP, cuma bayar buku, dan seterusnya pungutan yang membebani siswa dan orang tua murid; Menyediakan dan memfasilitasi (akses) semua orang untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob); 9

Obligasi Negara Menurut Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob menyatakan: Setiap Negara Peserta Kovenan iniberupaya untuk mengambil langkahlangkah,secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknis, sejauh dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia, yangmengarah pada pencapaian secara bertahap demi realisasi sepenuhnyadari hak-hak yang diakui dalamKovenan ini dengan semua cara yangtepat, termasuk pada khususnya dengan mengadopsi langkah-langkahlegislatif. Menurut Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob), Pasal 2 tersebut mengandung kepentingan khusus untuk mencapai pemahaman seutuhnya atas Kovenan dan harus dilihat dalam hubungannya yang dinamis dengan semua ketentuan Kovenan lainnya. Pasal 2 ini menjelaskan sifat dari kewajiban yang umum ditempuh oleh Negara Peserta Kovenan. Selain itu, penting untuk memahami arti dari istilah-istilah yang digunakan dalam Pasal 2 Kovenan untuk memahami bagaimana implementasi kewajiban Negara seharusnya dijalankan. Istilah-istilah seperti: berupaya mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps), sejauh dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia (to the maximum available resources), pencapaian secara bertahap demi realisasi sepenuhnya (achieving progressively the full realization), dan dengan semua cara yang tepat, termasuk pada khususnya dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif (by all appropriate means including particularly adoption of legislative measures) adalah bersifat unik dan tidak terdapat, atau tidak digunakan dalam obligasi yang dimuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol). Penggunaan istilah Setiap Negara Peserta... berupaya mengambil langkah-langkah sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 (1) Kovenan Hak Ekosob, memang biasanya ditafsirkan dengan kandungan arti implementasi Kovenan secara bertahap. Namun demikian, Komite Hak Ekosob melalui Komentar No. 3 telah menjelaskan bahwa, walaupun realisasi sepenuhnya atas hak-hak yang relevan bisa dicapai secara bertahap, namun langkahlangkah ke arah itu harus diambil dalam waktu yang tidak lama setelah Kovenan berlaku bagi Negara Peserta bersangkutan. Langkah-langkah tersebut haruslah dilakukan secara terencana, konkrit dan diarahkan kepada sasaran-sasaran yang dirumuskan sejelas mungkin dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban Kovenan. Komite Hak Ekosob mengakui bahwa negaralah yang harus memutuskan langkah-langkah yang tepat dan hal tersebut bergantung pada hak yang hendak diimplementasikan. Selanjutnya Komite menegaskan bahwa, laporan Negara Peserta harus menyebutkan tidak hanya langkah-langkah yang telah ditempuh namun juga alasan mengapa langkah-langkah tersebut dianggap sebagai paling tepat berikut situasisituasinya. Interpretasi Komite terhadap istilah all appropriate measures jelas berkaitan baik dengan kewajiban melakukan (obligations of conduct) maupun kewajiban hasil (obligation of result). Sementara itu berkait istilah mengadopsi langkah-langkah legislatif(adoption of legislative measures) Komite memberi peringatan bahwa keberadaan hukum jelas penting tetapi hal tersebut belumlah cukup membuktikan Negara Peserta telah menjalankan kewajibannya sesuai Kovenan. Berdasarkan pengalaman Komite ketika membahas laporan Kanada menyatakan, jika laporan difokuskan secara sempit pada aspek-aspek legal semata, maka kecurigaan biasanya akan muncul berkenaan dengan adanya kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan praktik. Dalam kenyataan, pembelajaran dan ekspresi dari banyak Negara Peserta dalam mengimplementasikan kewajibannya telah mendorong pentingnya aplikasi pendekatan berbasis hak dalam pembangunan. Suatu kebijakan ekonomi atau pembangunan memang untuk mencapai kesejahteraan warganegaranya, tetapi mereka tidak dapat dibuat menunggu pemenuhan hak-hak asasinya sampai klaim pertumbuhan ekonomi memungkinkan hal itu. 10

Kini ratifikasi Kovenan Hak Ekosob memberi pemahaman mendasar bahwa peningkatan ekonomi haruslah secara nyata didasarkan pada penghormatan dan realisasi hak asasi manusia. Pada titik ini, Komite sekali lagi memberi peringatan bahwa klausul realisasi secara progresif sepatutnya juga dicerminkan pada pelaksanaan kewajiban yang menjamin agar tidak terjadi perkembangan regresif atau kemunduran. Jika hal itu pun terpaksa dilakukan dan terjadi, maka harus dijalankan dengan pertimbangan yang sangat hati-hati, dibutuhkan justifikasi penuh dengan mengacu pada inti hak yang ditentukan dalam Kovenan dan dalam konteks pemanfaatan sejauh mungkin atas sumberdaya yang ada. Komite mengakui pentingnya sumberdaya bagi pemenuhan hak-hak ini, tetapi tidak menganggap bahwa ketersediaan sumberdaya sebagai alasan untuk lepaskan kewajibannya. Dalam kasus semacam ini, Komite menyatakan bahwa, dalam kasus dimana sejumlah cukup signifikan rakyat hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, maka Negara harus membuktikan bahwa kegagalannya memenuhi hak-hak orangorang ini memang diluar kendali. Disinilah konteks gagasan kewajiban minimum (minimum core obligation) yang dikembangkan oleh Komite. Komite melihat bahwa setiap Negara Peserta mempunyai kewajiban minimum untuk memenuhi tingkat pemenuhan yang minimum dari setiap hak yang terdapat dalam Kovenan. Komentar Umum No. 3 memberi ilustrasi yang sangat jelas untuk hal ini. Sebagai contoh, jika terdapat penduduk secara massal, menderita kelaparan, tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, tak mempunyai tempat bernaung dan perumahan, atau tidak menikmati pendidikan dasar, maka dapat dinyatakan Negara gagal menjalankan obligasinya berdasarkan Kovenan. Lebih jauh Komite menjelaskan bahwa sekalipun didapati kenyataan tidak cukupnya sumberdaya yang ada, kewajiban Negara tetap dijalankan untuk menjamin pemenuhan hak yang seluasluasnya dalam kondisi yang sangat terbatas itu. Bahkan, pada saat terjadi keterbatasan sumberdaya yang akut, anggota masyarakat yang rentan dapat dan memang harus mendapatkan perlindungan dengan diadopsinya programprogram yang dirancang relatif murah. Pasal 2 ayat (1) Kovenan, juga menegaskan tentang perlunya kerjasama dan bantuan internasional berkait dengan upaya realisasi hak. Pada kenyataannya memang Negara Peserta mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak secara penuh. Dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga, yang biasanya menunjuk pada keterlibatan lembaga atau badan pembangunan multilateral dan keuangan internasional, untuk mendukung bantuan teknis dan pinjaman dana. Problemnya, pada banyak negara, bahwa pada akhirnya mereka menjadi sangat tergantung pada aliran dana luar negeri, terjebak pada hutang luar negeri yang sangat besar, dan sementara itu sebagian besar penduduknya tetap dan jatuh miskin. Kesulitan utama dari persoalan ini adalah operasional dari lembaga atau badan pembangunan multilateral dan keuangan internasional itu lepas dari kerangka kerja hak asasi manusia, dan negara pengutang tidak berdaya karena situasi ketergantungan dan keterjebakan hutang yang dialaminya. Pada suatu titik momentum ketika kelaparan dan kemiskinan menjadi musuh nomor satu dari semua negara di dunia ini, kerjasama pembangunan internasional ditandai oleh berbagai perubahan cara pandang dan kebijakan yang merujuk pada pemahaman bahwa realisasi hak asasi manusia merupakan kunci untuk lepas dari situasi ini. Tetapi terpisahnya logika globalisasi ekonomi dengan kerangka kerja hak asasi manusia menjadikan harapan akan membaiknya situasi derita dunia menjadi pupus kembali. Komite menegaskan bahwa Negara Peserta yang penduduknya dalam jumlah yang signifikan mengalami kekurangan bahan pangan, kekurangan pelayanan kesehatan dasar, tiada akses terhadap pemukiman dan perumahan yang layak, atau tiada akses terhadap pendidikan dasar merupakan petunjuk awal bagi kegagalan Negara untuk memenuhi kewajiban sebagaimana diatur Kovenan. 11

Pemahaman ini didasarkan pada keberadaan gagasan kewajiban minimum (minimum core obligation) yang dikembangkan oleh Komite. Konsep kewajiban minimum diajukan oleh Komite untuk menyangkal alasan tidak adanya sumberdaya sebagai faktor yang mencegah pemenuhan kewajiban. Komite menegaskan bahwa Negara mempunyai kewajiban minimum guna memenuhi realisasi setiap hak yang terdapat dalam Kovenan pada tingkat yang minimum. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban minimum dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap hak yang termuat dalam Kovenan Hak Ekosob. Dalam perkembangannya, penguatan konsep pelanggaran Hak Ekosob terus dilakukan oleh banyak ahli hukum hak asasi manusia internasional yang kemudian dituangkan dan dikenal sebagai Prinsip-Prinsip Limburg (the Limburg Principles). Prinsipprinsip ini memberikan kerangka dasar bagi pengembangan lebih lanjut atas berbagai asumsi dan konsep pelanggaran Hak Ekosob. Tapi yang penting dipahami di sini adalah bahwa kegagalan Negara Peserta untuk memenuhi kewajiban yang terkandung dalam Kovenan jelas merupakan pelanggaran terhadap Kovenan. Pelanggaran terhadap Kovenan tersebut, dapat dimaknai, dalam situasi dan kondisi di mana negara Peserta: (i) gagal mengambil langkah-langkah seperti yang disyaratkan dalam Kovenan; (ii) gagal menyingkirkan segera atas berbagai hambatan yang menghalangi realisasi hak secara penuh; (iii) gagal untuk mengimplementasikan hak yang perlu segera direalisasikan; (iv) menerapkan pembatasan atas hak yang diakui dalam Kovenan dengan alasan-alasan yang tidak 1. sesuai seperti yang disyaratkan Kovenan; (v) sengaja menghambat atau menghalangi realisasi bertahap atas hak-hak yang diakui dalam Kovenan; (vi) gagal menyampaikan laporan sebagai ditentukan dalam Kovenan. Sementara itu, di sisi lain, karena pengembangan konsep pelanggaran hak banyak difokuskan pada pemenuhan kewajiban, maka pemahaman akan penegakan realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan wilayah eksekutif dengan berbagai kebijakan dan programnya. Komite jelas menolak pemahaman ini. Komite menyatakan bahwa hak ekosob juga menjadi urusan pengadilan. Dengan begitu, menurut Komite, penegakan hak-hak yang terkandung dalam Kovenan Hak Ekosob ini bisa ditangani oleh pihak yudikatif. Untuk mengukur apakah negara berhasil atau sebaliknya gagal dalam menjalankan obligasinya, seperti termuat dalam Kovenan Hak Ekosob, dapat menggunakan kebijakan dan standard yang sudah ada. Jika belum maka, perlu dibuat blue-print untuk masing-masing pemenuhan hak ekosob, yang dimuat dalam katalog hak Kovenan. Sebagai contoh, dalam rangka pemenuhan hak setiap orang untuk menikmati standard hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk ketercukupan pangan, pakaian dan perumahan yang layak, serta peningkatan kondisi kehidupan secara terusmenerus, pemerintah misalnya telah merumuskan kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPNK). Menariknya, dokmen ini disusun dengan perspektif, yang memandang problem kemiskinan berkait langsung dengan tidak terpenuhinya hak-hak dasar, utamanya hak-hak ekosob. Dalam dokumen ini juga ditegaskan, peristiwa kemiskinan adalah masalah hak asasi manusia. Selain itu, SPNK juga memuat rekomendasi caracara penghapusan kemiskinan dan pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dengan mekanisme implementasi yang diadopsi oleh Kovenan Hak Ekosob. Memeriksa, dokumen SNPK ini, dapat dikatakan, kebijakan ini merupakan bentuk pengakuan, di satu sisi, kualitas kehidupan seseorang sangat bergantung pada realisasi hak-hak asasinya, dan di sisi lain adalah menjadi kewajiban Negara untuk melaksanakan realisasi hak-hak asasi itu sepenuhnya. 12

You might also like