You are on page 1of 85

Jumat, 26 April 2002

Mengembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi


FORUM OTONOMI PENDIDIKAN SEKOLAH tidak dilarang untuk mengembangkan kurikulum sendiri. Sekolah, demikian pernyataan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Indra Djati Sidi (Kompas, 25/3/2002), seharusnya lebih kreatif mengembangkan kurikulum yang bermanfaat bagi peserta didik tanpa menunggu petunjuk dari pemerintah. Pernyataan itu sejalan dengan artikel Baskoro Poedjinoegroho (Kompas, 19/2/2002), yang menyebut bahwa kurikulum berbasis kompetensi yang akan diberlakukan oleh Depdiknas dapat mendorong guru untuk mengaktifkan dan memotivasi peserta didik. Kurikulum pun menyiratkan tuntutan agar guru mengetahui kompetensi peserta didik melalui pembelajaran dan hal mana yang harus dikembangkan secara maksimal serta bagaimana penerapannya. Ada sistem dan atmosfer yang mendukung semangat otonomi dan desentralisasi pendidikan seperti di atas. Dalam pedoman kebijakan umum kurikulum berbasis kompetensi tersurat dengan tegas bahwa kurikulum ini dapat dielaborasi oleh daerah dan/ atau sekolah sesuai dengan kondisi dan kepentingan daerah atau sekolah. Elaborasi itu dapat berupa silabus yang cocok dengan kondisi serta kepentingan daerah. Kurikulum ini juga memungkinkan didiversifikasi. Dalam hal ini, kurikulum dapat disesuaikan, diperluas, dan diperdalam sesuai dengan keberagaman potensi peserta didik. Kurikulum berbasis kompetensi memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para guru untuk melakukan kontekstualisasi, dengan memperhatikan konteks siswa, sekolah, budaya, atau keprihatinan peserta didik yang dihadapinya. Guru pun diingatkan bahwa pendidikan bukanlah proses mengisi botol kosong atau mencetak barang. Dunia siswa, termasuk caracara hidup, trend kebudayaan, tekanan sosial, atau tekanan politik di masyarakat dapat diakomodasikan dalam pemilihan bahan ajar. Artinya, guru perlu memperhatikan keterkaitan materi pelajaran dengan konteks kehidupan peserta didik. Menyikapi ini, kepala sekolah harus mendorong para guru untuk mempertimbangkan penjabaran materi dengan mendahulukan materi yang sangat esensial. Guru mesti memperhatikan kompetensi dasar minimum yang disyaratkan para siswanya. Penyesuaian materi secara kuantitatif memungkinkan untuk memberi perhatian pada dimensi nilai-nilai kehidupan yang ada pada setiap pelajaran. Kurikulum ini secara konkret mengalokasikan waktu 34-36 jam pelajaran per minggu untuk sekolah menengah. Paul Suparno dan kawan-kawan (Kanisius, 2002) memberikan inspirasi untuk menanggapi situasi demikian dengan kecenderungan pendidikan yang dikembangkan di Amerika yang menekankan less is more, yaitu jumlah materi dikurangi supaya siswa dapat meneliti secara mendalam. Pengurangan jumlah materi pelajaran dilakukan agar siswa mempunyai banyak waktu luang untuk lebih mendalami bahan tersebut. Siswa tidak diburu waktu serta mempunyai kesempatan untuk berpikir kritis dan berefleksi. Jika less is more dilakukan untuk mengimplementasikan KBK, maka yang dapat dilakukan oleh guru adalah (1) menghilangkan substansi materi pelajaran yang berulang-ulang; (2) menghilangkan pokok bahasan yang tidak esensial, yaitu pokok bahasan yang sekadar "kosmetik"; (3) menawarkan ketuntasan belajar; (4) menyediakan materi terapan yang dapat digunakan siswa untuk meningkatkan mutu kehidupannya; (5) membiasakan pola berbudi pekerti, disiplin, tertib, menerapkan hak asasi manusia, kewajiban serta kepedulian sosial; dan (6) menyajikan kurikulum pilihan yang sesuai dengan kemampuan sumber daya daerah.

Pembahasan dan pengkajian yang mendalam diharapkan dapat semakin memberdayakan pengetahuan siswa. Dengan pemahaman, siswa berpeluang dan termotivasi untuk mendalami berbagai hal yang relevan baik di kelas maupun di luar kelas, baik secara individu maupun kelompok.

***
UPAYA mengembangkan kurikulum tidak berhenti pada memahami konteks sekolah, daerah, dan siswa saja. Di sana ada tuntutan kepada para guru untuk terus-menerus membarui diri dengan kualifikasi kompetensi pribadi dan pelajaran yang diampunya. Betapa mudah mendapatkan guru yang bisa mengajar, tetapi tidak untuk guru yang mampu mendengarkan dan mendampingi peserta didik dengan segala dinamikanya. Akhirnya, jika pengelolaan pendidikan sudah didesentralisasi, kurikulum dapat didiversifikasi, dan mekanisme yang kondusif sudah diregulasikan, maka apalagi yang masih dibutuhkan untuk memperbaiki pendidikan di negeri ini? Satu lagi, yakni niat baik siapa saja yang berkait dengan kependidikan. Contoh: ebtanas dihapus dan sekolah dipersilakan melaksanakan ujian sendiri, bukankah ini bentuk kontektualisasi juga? Yang terjadi justru ribut-ribut di daerah untuk membuat EBTA daerah sebagai pengganti. Janganjangan ada yang kehilangan uang di balik proyek ebtanas atau sejenisnya! Itulah yang menghalangi niat baik dan menghalangi upaya mengembangkan kurikulum di tempatnya masing-masing. ST KARTONO Wakil Kepala SMU Kolese De Britto, Yogyakarta Selasa, 19 Oktober 2004 00:46

Pendidikan Dan KBK-nya


DI era otonomi pendidikan tidak hanya daerah yang memiliki otonomi untuk menjalankan rodanya. Sebelumnya hanya berpusat pada satu acuan di mana pendidikan disamaratakan. Melihat kondisi yang ada, suatu daerah dengan daerah lainnya mempunyai karakteristik berbeda. Hal ini tidak bisa menyamaratakan pendidikan di pulau Jawa sama mutunya dengan daerah di luar Jawa, yang lebih cepat kemajuannya sekitar 20 atau 25 tahun lebih dulu. Tapi paling tidak daerah luar Jawa, khususnya Kalimantan (Borneo) bisa mengurangi jarak/rentang ketertinggalan dari daerah lain yang lebih dulu maju. Perubahan kurikulum pada 1975, 1984, 1994 dan 2004, dengan harapan 2007 sudah menyeluruh menggunakan kurikulum 2004 yang berbasis Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kompetensi anak tidak sama, berarti setiap pencapaian untuk pengalaman belajar tidak bisa disamakan. Kita sering mendengar atau membaca di koran, mutu pendidikan di Indonesia masih rendah yang jika dirangkin berada di urutan 112. Namun patut dihargai, pemerintah tidak tutup mata terhadap hal itu. Minggu ke dua Oktober 2004, pemerintah Kabupaten Balangan khususnya Dinas Pendidikannya menyelenggarakan sosialisasi KBK. Kepala Diknas Kabupaten Balangan yang responsif terhadap perubahan patut dihargai, karena Balangan satu-satunya kabupaten di Kalsel yang telah menyelenggarakan sosialisasi KBK. Dari sosialisasi diharapkan ada perubahan sikap pada pendidik. Dulu teacher oriented menjadi student oriented. KBK memang barang baru, tetapi jangan alergi terhadap hal baru. Penyelenggaraan KBK memang memerlukan dana yang tidak sedikit, karena setiap siswa harus memiliki laporan sendiri. Bisa dibayangkan, kalau satu kelas siswanya 30 - 40 orang, berapa

dana yang perlukan untuk penyelenggaraan dalam satu tahun? Memang agak kontradiksi, di satu sisi masyarakat mengharapkan pendidikan murah tapi kenyataan sebaliknya. Ada gambaran yang terjadi pada dunia pendidikan saat ini, kalau di perkotaan sekolah dengan bayarnya mahal justru dicari (tentunya oleh orang berduit), logikanya fasilitas lengkap dan mutunya tidak mengecewakan. Karenanya orangtua murid harus cermat menentukan pilihan. Untuk suksesnya sosialisasi KBK perlu tindak lanjut dan kerja sama semua elemen dan unsur masyarakat serta pemerintah. Terlebih anggota dewan yang terpilih, khususnya dari Balangan agar memperhatikan dana anggaran pendidikan. Kalau dalam waktu dekat Pemkab Balangan membuka kesempatan mengangkat guru bantu agar mencukupi kekurangan guru di wilayah Balangan, maka masyarakat di pegunungan Meratus berharap mendapatkan pendidikan dan kesempatan yang sama. Tidak mengesampingkan rekan pendidik yang telah mengabdi sekian tahun sebagai pengajar tentunya yang memenuhi persyaratan. Pemkab Balangan harus selektif menempatkan orang yang bertugas di wilayah pegunungan Meratus, seperti wilayah Ajung, Kambiayin, Urin dan sekitarnya. Sebab banyak anak kami ingin sekolah agar ikut merasakan pendidikan berbasis KBK. Eter Nabiring SPd Sekretaris Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Balangan Jl Hulu Pasar III No 14 RT IV Kel Paringin Timur Kab Balangan

Suara Hati Generasi Muda Tanah Laut


Dr Din Samsudin (pakar sosial budaya) dan Didik J Rachbini (pakar ekonomi), belum lama ini berada di Kabupaten Tanah Laut (Tala). Saat itu keduanya menjadi narasumber dalam rangka menjalin hubungan silaturahmi dan menambah wawasan serta mewujudkan suasana kondusif di kalangan masyarakat Tala dengan tema Reposisi Generasi Muda Sebagai Pewaris Kepemimpinan Bangsa. Tidak semua komponen hadir pada kegiatan itu. Tapi yang hadir bisa mencerminkan keterwakilan segenap elemen masyarakat Tala, kendati waktu pelaksanaan relatif singkat sehingga tidak semua elemen memperoleh kesempatan berdialog dengan narasumber. Namun materi yang disampaikan terdapat banyak hal positif dari pemikiran narasumber untuk diterapkan pengambil kebijakan di Tala. Materi yang disampaikan memberi nuansa cukup dinamis khususnya untuk perkembangan Kabupaten Tala serta Bangsa Indonesia umumnya. Secara umum, Dr Din Samsudin menggambarkan bangsa Indonesia pada dasarnya memiliki karakter sosial budaya. Negara dikaruniai Allah SWT beraneka ragam perbedaan baik suku/ras, akidah/keyakinan yang semuanya terangkum dalam satu bingkai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kendati harus disadari, dengan perbedaan itu sesungguhnya berpotensi terjadinya konflik. Tetapi sebagai negara mayoritas masyarakatnya beragama Islam terbesar di dunia, tidak boleh pesimis dalam membangun bangsa ini dari keterpurukan kepribadian bangsa dan persoalan lain

yang sangat mendasar. Menghadapi permasalahan itu, tidak terlepas dari faktor kepemimpinan. Tinggal bagaimana pemimpin bangsa ini menerapkan pola kepemimpinannya dengan perbedaan dan kemajemukan yang dimiliki. Seperti diungkapkan Didik J Rachbini, terciptanya stabilitas ekonomi di satu wilayah apabila minimal 1-2 persen dari jumlah penduduknya pengusaha/pelaku bisnis. Tanpa terpenuhinya kriteria itu, mustahil tercipta kestabilan perekonomian di suatu daerah. SDM (Sumber Daya Manusia), faktor yang diperlukan demi kemajuan suatu daerah dan merupakan faktor terpenting. Tanpa memiliki SDM yang andal, sulit bagi suatu wilayah maju serta berkembang. Betapa pun besarnya potensi kekayaan yang dimiliki tanpa diimbangi SDM, maka daerah tersebut akan terus ketinggalan dari daerah lin. Sebagian generasi muda Tala, perlu mendukung kegiatan itu karena sangat positif. Namun perlu diingatkan, jangan sampai nilai/kaedah yang cukup bermanfaat menjadi sia-sia karena tidak diterapkan pengambil kebijakan. Padahal untuk kemajuan daerah, ide cemerlang sangat diperlukan. Asal, jangan sampai melanggar rambu yang ditetapkan. Demi membangun daerah, tidak semestinya melihat status sosial/siapa orangnya, namun apa yang keluar dari mulut dan pikirannya. Kalau bermanfaat dan manfaatnya dapat dinikmati masyarakat, sebaiknya tetap dihargai. Untuk itu sebagai bagian dari generasi muda Tala, saya berharap pembuat kebijakan saling bersinergi dengan berbagai komponen untuk bersama-sama membangun daerah. Suka atau tidak suka, tanpa rakyat pengambil kebijakan tak berarti apa-apa. Semoga saja ke depan, kegiatan/seminar menghadirkan tokoh nasional terus dilaksanakan. Tentunya dengan narasumber yang memiliki kapabilitas, kreadibilitas serta integritas moral yang tinggi terhadap sendi kehidupan bangsa. Ihsan Ardi Ketua AMK (Angkatan Muda KaBah) Jl Al Fatah No 21 RT/RW 27/III Kec Pelaihari, Tala
Jum'at, 15 April 2005

PENDIDIKAN
MKKS SMP Lampura Gelar 'Workshop' KBK
KOTABUMI (Lampost): Tahun ajaran 2005--2006 mendatang, 90% SMP negeri dan swasta di Lampung Utara harus menerapkan sistem kurikulum berbasis kompetensi (KBK) di sekolah masingmasing. Untuk mencapai target itu, hari ini (15-4), Musyawarah Kelompok Kepala Sekolah (MKKS) SMP Lampung Utara (Lampura) akan menggelar workshop KBK di aula SMKN 1 Kotabumi. Ketua MKKS SMP Lampura Heryanto M.Z., S.H., yang juga ketua panitia pelaksana workshop KBK, mengatakan kegiatan tersebut bakal diikuti kepala SMP dan wakil kepala sekolah, guru bidang kurikulum SMP, dan guru Bahasa Inggris SMP negeri dan swasta se-Lampura. "Pesertanya 200 orang dan dilaksanakan pukul 7.00 hingga 15.00," kata Heryanto yang ditemui di tengah-tengah persiapan kegiatan itu di aula SMKN 1 Kotabumi, Kamis (14-4). Heryanto menjelaskan kegiatan yang dibuka Kepala Dinas Pendidikan Nasional dan Kebudayaan

Lampura Iskandar Mirza ini menghadirkan dua pembicara, yakni dari Pusat Pengembangan Kurikulum Nasional di Jakarta dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Lampung. "Kegiatan ini berkat kerja sama MKKS SMP Lampung Utara dengan Penerbit Intan Pariwara," katanya. Heryanto mengatakan acara ini bertujuan meningkatkan pemahaman dan menyamakan persepsi seluruh kepala SMP negeri dan swasta di Lampura tentang KBK. Selain itu, memberikan pengalamanpengalaman kepada peserta tentang KBK dimaksud. Kini, ujar Heryanto, SMP negeri dan swasta se-Lampura baru 10%--20% yang menerapkan sistem KBK di sekolah masing-masing. Hal ini disebabkan antara lain sarana dan prasarana di sekolah tersebut yang belum memadi, antara lain tidak adanya laboratorium, kurangnya buku-buku bacaan, dan sebagainya. "Selain itu, belum ditunjang sumber daya manusia yang memadai. Akibatnya di Lampura baru 10%-20% SMP negeri dan swasta yang memakai sistem KBK," kata Heryanto. Selama ini, ujar Heryanto, mereka yang ikut penataran KBK hanya guru-guru yang sesuai dengan surat panggilan pusat dan bidang studinya. Sedangkan kepala sekolah, secara spesifik belum pernah mengikutinya. "Workshop KBK tingkat SMP di Lampung Utara baru kali ini digelar," ujarnya. Dengan workshop KBK tersebut, kata Heryanto, diharapkan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan guru Bahasa Inggris yang mengikuti kegiatan itu bisa memahami sistem KBK. Selain itu, mereka dapat mengimplementasikan di sekolah masing-masing. HIM/S-1

Membangun Sinergi PT dan Dunia Usaha


Oleh Dadang S. Anshori TUGAS perguruan tinggi (PT) dalam konteks saat ini tidak sebatas menyelenggarakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat atau yang dikenal dengan istilah Tri Dharma PT. Tugas ini baru menempatkan perguruan tinggi sebagai lembaga yang terpisah dari realitas masyarakat (menara gading), karena kerapkali Tri Dharma ini baru diwujudkan secara ekslusif. Ilmu pengetahuan pun masih merupakan dimensi yang terpisah dari realitas sosial yang hendak dibangunnya. Paradigma ilmu atau aksiologi ilmu seringkali porak-poranda ketika dihadapkan pada kenyataan-kenyataan sesungguhnya dalam masyarakat. Teori ekonomi misalnya dianggap mati suri ketika Indonesia diterpa krisis moneter berkepanjangan. Demikian pula ilmu politik yang oleh sebagian pihak dianggap tidak diperlukan karena politik Indonesia tidak bisa dipetakan berdasarkan teori-teori politik yang ada. Pun ilmu pendidikan tidak bisa berkutik dihadapan dekadensi moral generasi muda yang kian menggila. Contoh tersebut barangkali hanya menegaskan bahwa pada tingkat aksiologi, ilmu pengetahuan harus dirumuskan agar membumi dan benarbenar menjadi alternatif solusi bagi masyarakat. Dari pemahaman ilmu yang membumi inilah, kaum akademisi melakukan pengabdian pada masyarakat sebagai tolok ukur keberadaan institusi pendidikan di tengah masyarakat.

Namun, kerapkali pengabdian ini pun masih dipahami sebatas pembelajaran pihak perguruan tinggi kepada masyarakat sehingga pengabdian menjadi acara seremonial yang tidak pernah dikecap oleh masyarakat luas. Tugas PT yang tak kalah penting dalam konteks saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan keberadaan PT dengan dunia usaha dan industri (DUDI) sehingga para alumni PT tersebut mendapatkan tempat dalam pormasi lapangan kerja yang ada. Sinergi kedua lembaga ini diharapkan mampu mengurangi beban pemerintah terutama dalam hal penyediaan lapangan kerja. Dengan kata lain dharma perguruan tinggi keempat adalah membantu pemerintah menyediakan lapangan kerja dengan cara bekerja sama dengan dunia usaha dan industri.

Reorientasi Pendidikan
Strategi yang mesti dilakukan PT untuk dapat melaksanakan dharma keempat adalah dengan merumuskan kurikulum yang tidak hanya membuat sejumlah kompetensi kognitif para mahasiswa, melainkan juga harus mampu menyentuh psikomotorik dengan berbasis kompetensi. Kompetensi inilah yang diharapkan dapat membekali alumninya dalam menghadapi persaingan kerja. Pandangan sejenis ini pernah dilontarkan oleh mantan Mendikbud, Wardiman Djojonegoro (2003), dengan menyebut bahwa kecenderungan ke depan pendidikan Indonesia harus didasarkan pada demand mainded. Dalam menghadapi jumlah pengangguran yang nyaris mencapai angka 40 juta, menurut Wardiman, lembaga pendidikan harus melakukan perubahan paradigma (mindset), yakni perubahan dari wawasan memproduksi (suply minded) ke wawasan demand mainded, yang berarti pendidikan didasarkan pada kebutuhan dan permintaan pihak luar; perubahan dari wawasan memberi izajah (certificate minded) ke wawasan yang memiliki kompetensi dan pengetahuan (competence and knowledge mainded); perubahan dari sistem pendidikan yang kaku ke sistem pendidikan yang lentur/luwes, dan perubahan dari sekolah yang berdiri sendiri menjadi sekolah yang berintegrasi dengan dunia luar. Kurikulum pada hakikatnya hanyalah rumusan tertulis dari sebuah rencana kegiatan pendidikan. Paradigma di atas harus diwujudkan dalam berbagai realisasi konkret, misalnya harus semakin dekatnya kemampuan mahasiswa dengan kebutuhan industri, terjadinya kerjasama antara PT dengan industri dalam pola yang mutualis. Bagaimana pun kemampuan PT akan fasilitas praktikum sangat terbatas dan akan terus tertinggal mengingat kemampuan finansial perguruan tinggi. Melalui kerjasama mutualis inilah diharapkan ketertinggalan PT terhadap akses teknologi baru bisa diatasi. Di samping itu, perubahan pola pikir untuk mendapatkan mahasiswa sebanyakbanyaknya harus dihindari, karena program pendidikan ke depan tidak lagi mengutamakan kuantitas melainkan kualitas. Persoalannya, jumlah mahasiswa yang banyak ini sering dijadikan solusi untuk mendapatkan dana masyarakat karena bantuan pendidikan dari pemerintah tidak memadai. Di lain pihak, penyelenggara pendidikan (PT) tidak bisa menyerahkan beban pendidikan kepada orang tua karena keterbatasan kemampuan masyarakat yang semakin hari semakin menurun. Oleh karena

itu, pandangan yang realistik terhadap masa depan para mahasiswa (bekerja) harus menjadi salah satu acuan dalam menyelenggarakan pendidikan, sekalipun bukan berarti pendidikan diabdikan kepada kehidupan kapital semata, karena pendidikan juga mengandung nilai-nilai humanis. Kerjasama PT dengan dunia usaha tidak bisa diselenggarakan secara partial dan instan. Kerjasama harus dilakukan melalui pola yang integratif dan terus-menerus (kontinu). Oleh karena konsep pendidikan berbasis masyarakat (education based society) harus direfleksikan dengan keterlibatan potensi-potensi masyarakat yang berada di lingkungan lembaga pendidikan, untuk bersama-sama mencari solusi dan menjadi bagian dari persoalan pendidikan. Keuntungan yang selalu dipertanyakan dunia usaha dan industri atas masuknya lembaga pendidikan harus dijawab secara konkret oleh lembaga pendidikan, misalnya dengan semakin meningkatkan produktivitas industri tersebut. Demikian pula, pihak industri bisa mendapatkan tenaga kerja murah walaupun dalam hal kemampuan tidak setaraf pekerja tetap industri tersebut. Pola-pola mutual inilah yang harus terus dibangun agar membengkaknya jumlah pengangguran dapat diatasi sedikit-demi sedikit.

Lembaga model
Untuk dapat melakukan kerjasama secara integratif dan kontinu, PT harus memiliki sayap lembaga yang secara khusus mengurusi masalahmasalah alumni ini. Lembaga tersebut bisa berupa UPT (Unit Pelaksana Teknis) atau sejenisnya yang memungkinkan persoalan alumni ini diurus secara lebih serius. Beberapa PT ternama sudah melakukan hal ini sejak lama. ITB, misalnya memiliki CDC (Center Development Carier) sebagai wadah penyaluran dan pengembangan alumninya. Sayangnya tidak semua PT memiliki lembaga sejenis. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan Dikti Depdiknas melalui Direktorat Pembinaan Kelembagaan dan Pemberdayaan Peran Masyarakat (PKPPM) dengan membangun model-model kerjasama PT dengan stakeholder yang tertuang dalam filot project FKK (Forum Komunikasi dan Konsultasi) barangkali mengilhami dan menyadarkan kembali akan dharma keempat di atas. Keempat lembaga yang saat ini menjadi percontohan adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Institut Teknologi Sebelas Nopember (ITS) Surabaya, Universitas Riau (UNRI), dan Universitas Bina Nusantara (UBINUS). FKK, sebagaimana dirumuskan Direktorat PKPPM, Dikti (2003) bertujuan untuk a) meningkatkan komunikasi dan konsultasi antara stakeholder tentang aspek-aspek ketenagakerjaan dan pengembangan Iptek; b) menjadi jembatan antar-stekeholder dalam peningkatan kompetensi sumber daya manusia; c) meningkatkan link and match antara kebutuhan PT, industri, Pemda, dan masyarakat; d) mewadahi industri, Pemda, dan masyarakat guna memenuhi kebutuhannya dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; e) meningkatkan kemampuan dan kualitas pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat di PT dalam memenuhi tuntutan industri dan masyarakat pengguna; f) meningkatkan kontribusi PT dalam efisiensi dan pengembangan industri, Pemda, dan masyarakat melalui kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat;

g) meningkatkan network antar-PT, industri, Pemda dan masyarakaat dalam membantu pengembangan daerah (otonomi daerah); serta h) meningkatkan jiwa entrepreneurship di kalangan tenaga kerja intelektual. Lembaga model ini diperlukan mengingat selama ini PT seperti melepas begitu saja para alumninya untuk bersaing secara mandiri dalam persaingan global, tanpa ada ikatan kembali dengan almamaternya. Kalaupun ikatan tersebut masih bersambung dengan adanya ikatan alumni (IKA) maka ketersambungan itu lebih bersifat seremonial atau personal saja. Lagi pula, IKA bukan merupakan lembaga struktural yang berada dalam birokrasi PT sehingga tidak bisa harapan mengembangkan alumni diserahkan sepenuhnya kepada IKA. Membangun lembaga model yang ideal memerlukan energi yang besar dalam rentang waktu yang mungkin lama. Paling tidak untuk dapat membangun lembaga ini agar bisa menjadikan PT bersinergi dengan dunia usaha dan industi (DUDI) diperlukan beberapa prasyarat mendasar yang harus dilakukan oleh sebuah perguruan tinggi. Pertama, kerapkali kelahiran lembaga atau unit dalam wadah PT hanya bersifat formalitas dan suplemen belaka. Kehadiran lembaga-lembaga sejenis hanya menjadi syarat minimal agar PT tersebut dikategorikan sebagai lembaga kredibel di mata masyarakat, yang pada kenyataannya tanpa kehadiran komitmen untuk benar-benar mengembangkan lembaga tersebut. Oleh karena itu, FKK hanya akan terbentuk dan berjalan secara baik apabila ada komitmen dari pimpinan perguruan tinggi dan civitas akademika untuk bersama-sama memikirkan alumni PT tersebut. Komitmen diperlukan mengingat dalam perjalannya lembaga ini tidak hanya hadir sebagai pelengkap institusi perguruan tinggi, melainkan menjadi motor dan sayap PT untuk mempromosikan dan memberdayaan potensi alumni PT tersebut. Kedua, pada tingkat praksis diperlukan SDM yang bukan hanya mumpuni secara akademik, sebagaimana yang selalu dibanggakan selama ini, namun harus membangun lobi-lobi networking untuk kepentingan lembaga. Dunia usaha dan industri selama ini belum cukup yakin bahwa bergabung dalam wadah-wadah kerjasama seperti ini memberikan keungtungan bagi usahanya. Oleh karena itu, disamping potensi alumninya, lembaga ini harus juga menyediakan jasa-jasa lainnya, seperti research by product, yang berbasis teknologi baru bagi peningkatan produktivitas usaha. Demikian pula jasa pelatihan SDM dan training-training motivasi hingga kini masih sangat diperlukan bagi peningkatan SDM perusahaan. Dengan demikian, perusahaan mendapatkan inovasi baru dan manfaat langsung untuk pengembangan usahanya.*** Penulis adalah dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung
Senin Kliwon, 1 September 2003

Bali

Penerapan KBK, Upaya Pacu Kualitas Pendidikan


Denpasar (Bali Post) -

Penerapan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) di Bali, hendaknya disesuaikan dengan karakter daerahnya. Penerapan KBK dalam rangka agar mutu pendidikan di Indonesia tidak tertinggal jauh dari negara lain. Kepala Bidang Pusat Kurikulum Depdiknas Dra. Diah Harianti, M.Ps. menegaskan hal itu saat rapat uji coba model penyajian KBK di Dinas Pendidikan Bali, belum lama ini. Kegiatan tersebut diikuti guru-guru, pengawas, staf Diknas Propinsi, Denpasar dan Badung. Dikatakan, Bali adalah daerah pariwisata, karena itu standar kompetensinya bisa sama. Bali bisa membuat kompetensi yang spesifik, misalnya Bahasa Inggris diajarkan mulai SD. Demikian juga bahasa Inggris bisa digunakan untuk bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar (PBM). Dengan demikian anak-anak memiliki bekal hidup atau life skill setelah menamatkan pendidikan. Terkait dengan itu, kata Diah, guru-guru diberikan training untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya. Training atau bentuk penataran lain juga perlu diberikan kepada para guru untuk lebih meningkatkan kemampuannya. Jadi tiap guru memiliki hak untuk ditatar sekian jam per tahun. Kegiatan itu bisa bekerja sama perguruan tinggi dan lembaga pelatihan yang lain. Dikatakan, dibandingkan dengan kurikulum terdahulu, KBK lebih menuntut pada kemampuan anak. Penilaian prestasi anak diukur dari kompetensi. ''Jadi, kurikulum yang lalu targetnya adalah pencapaian materi, KBK targetnya kompetensi,'' ujarnya. Kata Diah, pusat hanya memberikan standar kompetensi umum, sementara daerah menjabarkan lebih lanjut sesuai potensi daerah. ''Penerapan KBK ini dalam rangka agar mutu pendidikan di Indonesia tidak tertinggal jauh dari negara lain,'' ujarnya. Ditegaskan, tidak ada instruksi Mendiknas semua harus serentak melakukan KBK. ''Yang sudah siap boleh melakukan lebih awal. Tetapi yang belum siap, bisa belakangan,'' katanya. Sementara itu, penerapan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) di Bali ditargetkan serentak berlangsung 2004. Kasi Sarana Subdin DikmenumDikmenjur Diknas Bali I Made Suratnya, Minggu (31/8) kemarin mengatakan, mulai 2002 lalu, KBK sudah diuji coba di sejumlah sekolah menengah atas di Bali seperti SMUN 4 Denpasar, SMUN 1 Denpasar, SMU 1 Tabanan, SMU 1 Klungkung, SMU 1 Singaraja. Tahun ajaran 2003/2004, KBK akan dilakukan pada semua sekolah SMU di Bali. Tahun ajaran 2004, KBK akan dilakukan serentak di seluruh Bali. (08) Kamis Umanis, 12 September 2002

Nusatenggara

Banyak yang Apriori terhadap SKS


Mataram (Bali Post) Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) selayaknya diterjemahkan lewat prakarsa-prakarsa yang dilakukan di sekolah untuk melakukan perubahan ke

arah yang diinginkan. Misalnya dari sistem cawu ke sistem semester. Namun banyak yang apriori terhadap Sistem Kredit Semester (SKS) yang ditawarkan. Hal itu dikemukakan Kepala Dinas Dikpora NTB Drs. H. Zaini Arony, M.Pd. pada sosialisasi dan workshop kurikulum dan sistem pengujian berbasis kompetensi SMU tahun 2002, Rabu (11/9) kemarin. Hadir pada acara itu para kepala sekolah, anggota DPRD kabupaten/kota, Bappeda kabupaten/kota, dan Depag kabupaten/kota. Menurut Zaini, sejak tahun 1968 telah terjadi banyak perubahan kurikulum, yakni kurikulum tahun 1975, 1984 dan 1994. Terakhir, akan diterapkan KBK. Namun, kata dia, tiap perubahan didasari atas evaluasi yang komprehensif, termasuk di antaranya diterapkannya KBK. Komnas Pendidikan yang telah melakukan pengkajian selama 10 bulan telah merumuskan tiga unsur yang aktual, yakni politik dan ekonomi pendidikan, relevansi pendidikan dan desentralisasi pendidikan. Dalam politik ekonomi pendidikan, wajib belajar 9 tahun di Indonesia akan tuntas pada 2008. Oleh karena itu, kabupaten/kota mesti memiliki perencanaan yang mengarah ke sana. Pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan mesti mengetahui kondisi pendidikan di daerahnya, termasuk kepala sekolah harus tahu kondisi siswa pada sekolah yang dipimpinnya. ''Kepala Dinas Pendidian harus tahu berapa siswa DO di sana,'' ujar Zaini. ''Hal ini penting karena jika kenyataan tersebut tidak diketahui akan menjadi batu sandungan dalam perencanaan ke depan,'' tambahnya. Menurut Zaini, kondisi yang sangat memprihatinkan sedang melanda sektor pendidikan di NTB, terkait dengan tingginya angka DO yakni mencapai 21,5 persen. Jika diasumsikan sebagai sebuah pabrik, fakta itu merupakan sebuah malapetaka. Ironisnya, terhadap malapetaka tersebut hampir tidak ada yang kecewa, merasa kehilangan dan takut. ''Padahal secara ekonomi kita rugi. Belum lagi soal mereka yang mengulang di kelas,'' ujarnya. Ia mengatakan pendidikan telah terlambat dalam mengantisipasi kemajuan teknologi. Bahkan perubahan-perubahan yang dilakukan banyak yang meniru pola negara lain yang sebetulnya pun pola itu sudah ditinggalkan. Sebagai contoh, Indonesia pernah meniru matematika yang diterapkan di Afrika. Pola terbaru adalah KBK yang sebetulnya pernah diterapkan di Amerika. Persoalan-persoalan pendidikan mesti ditangani dengan strategi pembelajaran agar tercapai tujuan reformasi pendidikan. Ia mengaku lewat program SKS sebetulnya sangat tepat jika mengacu pada KBK. Dengan demikian, guru tidak tunduk pada jadwal karena kompetisi sangat diandalkan. Siswa yang telah menguasai bahasa Inggris karena biasa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, tidak perlu lagi bertarung bahasa Inggris, sehingga tidak membuang-buang waktu. Kandidat doktor UNJ ini menambahkan, dalam relevansi pendidikan pun layak mengimplementasikan kandungan lokal, sehingga siswa tidak jauh dari kondisi sosial yang ada di sekitarnya. Sebagai contoh, Lombok merupakan penghasil gerabah dan memiliki potensi kelautan yang kaya.

Terkait dengan desentralisasi pendidikan, Zaini mengemukakan beberapa pilar yang sangat penting diperhatikan, yakni pelayanan yang lebih baik dan dilakukannya pemberdayaan institusi pendidikan. "Jangan sampai ada klaim wilayah dalam pendidikan hanya karena diterapkannya otonomi. Masingmasing warga negara berhak mengecap pendidikan di mana saja," ujarnya. (045)
Ujian Nasional: Penilaian atau Evaluasi? (1082 kali dibaca)

Buana; Pengajar Jurusan Sejarah Universitas Negeri Makassar Ketidaksetujuan berbagai kalangan atas keputusan melaksanakan UN ini seakan tidak mempengaruhi pemerintah untuk tetap melaksanakannya. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, kekukuhan pemerintah untuk melaksanakan UN (jika tujuannya dalam rangka mengukur pencapaian Standar Nasional Pendidikan dan menentukan kelulusan peserta didik) menyisakan beberapa kelemahan dan pertentangan antara lain: Tidak terpenuhinya amanat kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, bertentangan dengan program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan dapat menimbulkan kekeliruan terhadap pemahaman dan penggunaan istilah penilaian dan evaluasi di bidang pendidikan. Disebut tidak terpenuhi, karena kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi menekankan pada pencapaian kompetensi yang berbasis kebulatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sementara UN lebih berorientasi pada aspek pengetahuan (karena menjawab soal-soal ujian). Disebut bertentangan dengan program MBS, karena MBS memberikan otonomi yang luas kepada sekolah dalam mengelola pendidikan, termasuk menentukan kelulusan. Sementara UN merampas otonomi sekolah karena bersifat sentralistik (khususnya dalam penentuan kelulusan peserta didik). Disebut dapat menimbulkan kekeliruan terhadap pemahaman dan penggunaan istilah penilaian dan evaluasi, karena dengan model UN nantinya istilah penilaian dan evaluasi dapat dimaknai sama. Padahal dari tinjauan penilaian pendidikan kedua istilah tersebut memiliki pengertian dan penggunaan yang berbeda. *** Penilaian dalam arti luas merupakan komponen yang penting dalam setiap sistem pendidikan. Dalam sistem pendidikan di Indonesia penilaian merupakan sub sistem yang diatur dalam UU No. 20/2003, khususnya pada Bab XVI, pasal 57, 58, 59. Penilaian disebut komponen yang penting dalam sistem pendidikan karena melalui penilaian, perkembangan dan kemajuan pendidikan (terutama mutu pendidikan) dapat diketahui. Melalui penilaian dapat juga diketahui tingkat pencapaian prestasi pendidikan baik lingkup sekolah, daerah, maupun wilayah. Sayangnya istilah penilaian penggunaannya sering mengalami kerancuan dengan istilah lain yang juga merupakan istilah dalam lingkup penilaian pendidikan. Istilahistilah yang dimaksud antara lain: pengukuran, evaluasi, dan pengambilan keputusan. Keempat istilah tersebut (pengukuran, penilaian, evaluasi, dan pengambilan keputusan) sebenarnya memiliki arti yang sangat berbeda karena tingkat

dan konteks penggunaannya. Pengukuran adalah suatu kegiatan untuk mengetahui informasi atau data secara kuantitatif. Pengukuran tidak melibatkan pertimbangan mengenai baik-buruknya, tidak menentukan siapa yang lulus dan tidak lulus. Pengukuran hanya membuahkan data kuantitatif mengenai hal yang diukur atau memberikan jawaban terhadap pertanyaan how much. Penilaian adalah kegiatan untuk mengetahui apakah suatu program yang dilaksanakan telah berhasil dan efisien. Berbeda dengan pengukuran, penilaian adalah kegiatan menentukan nilai suatu objek, seperti baik-buruk, efektif-tidak efektif, berhasil-tidak berhasil, dan semacamnya sesuai dengan kriteria atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Penilaian akan memberikan jawaban terhadap pertanyaan what value. Evaluasi adalah suatu kegiatan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan seperti program pendidikan termasuk perencanaan suatu program, substansi pendidikan seperti kurikulum, pengadaan dan peningkatan kemampuan guru, pengelolaan pendidikan, dan lain-lain. Sedangkan pengambilan keputusan adalah suatu tindakan yang diambil oleh seseorang atau lembaga berdasarkan data atau informasi yang telah diperoleh (biasanya didasarkan pada penilaian). Dari pengertian di atas, jelas terlihat tingkatan yang berbeda dari empat istilah dalam lingkup penilaian pendidikan. Penilaian memerlukan data, yang salah satu sumbernya adalah hasil pengukuran. Meskipun penilaian tetap dapat dilakukan tanpa didahului oleh kegiatan pengukuran. Penilaian juga sering diartikan sama dengan evaluasi. Padahal istilah penilaian bukan alih-bahasa dari istilah evaluation. Penilaian adalah alih-bahasa dari istilah assessment. Meski demikian, kedua istilah ini (penilaian/assessment dan evaluasi/evaluation) sebenarnya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya mempunyai pengertian penilaian atau menentukan nilai sesuatu. Sementara perbedaannya terletak pada konteks penggunaannya. Penilaian digunakan dalam konteks yang lebih sempit dan biasanya dilaksanakan secara internal. Sementara evaluasi digunakan dalam konteks yang lebih luas dan biasanya dilaksanakan secara eksternal. Dalam hal pengambilan keputusan, penilaian, dan evaluasi diperlukan. Tetapi hasil penilaian dan evaluasi tidaklah selalu menjadi (apalagi sebagai satu-satunya) landasan bagi pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan pengambilan keputusan biasanya merupakan fungsi dari perhitungan tentang hasil dan risiko dari tindakan atau keputusan tersebut. Pertanyaan yang perlu dijawab untuk memahami UN dalam kaitannya dengan istilah penilaian dan evaluasi adalah: Apakah UN yang akan diselenggarakan tahun 2005 ini tergolong penilaian atau evaluasi? Jawabannya, jika merujuk pada pengertian penilaian dan evaluasi yang telah dikemukakan sebelumnya, maka UN tidak tergolong penilaian dan juga tidak tergolong evaluasi. Ada tiga alasan untuk menyatakan bahwa UN tidak tergolong penilaian.

Pertama, untuk menyatakan bahwa UN adalah penilaian, maka kegiatan ujian itu dilaksanakan dalam konteks yang lebih sempit dan biasanya dilaksanakan secara internal, yakni oleh orang-orang yang menjadi bagian atau terlibat dalam sistem yang bersangkutan, seperti guru menilai hasil belajar siswanya, atau pengawas menilai guru. Baik guru maupun pengawas adalah orang-orang yang menjadi bagian dari sistem pendidikan. Hal ini tidak terdapat pada penyelenggaraan UN, karena ujian ini dilaksanakan dalam konteks yang lebih luas dan berskala makro (nasional). Kedua, untuk mengatakan bahwa UN adalah penilaian, maka UN itu harus memenuhi empat unsur pokok penilaian, yaitu: 1) objek yang dinilai; 2) kriteria sebagai tolak ukur; 3) data tentang objek yang dinilai; dan 4) pertimbangan keputusan (judgement). Dari keempat unsur pokok ini, nampaknya UN hanya memenuhi tiga unsur, yaitu objek yang dinilai (siswa), kriteria keputusan (standar kelulusan 4,25), dan pertimbangan keputusan (lulus atau tidak). Sementara unsur pokok penilaian yaitu data tentang objek yang dinilai seperti perilaku atau penampilan siswa selama mengikuti pelajaran, hasil ulangan harian atau tugas-tugas (individu dan kelompok), nilai ujian sumatif, nilai ujian semester, dan sebagainya tidak dipenuhi oleh UN, karena hanya berpatokan pada hasil ujian akhir. Ketiga, jika merujuk pada alasan kedua, maka disamping tidak memenuhi unsur pokok penilaian, UN juga bertentangan dengan unsur pokok penilaian itu sendiri. Hal ini nampak ketika pengambilan keputusan (seperti lulus atau tidak) maka perlu ada data yang memadai tentang objek yang dinilai, sementara UN hanya berpatokan pada data hasil ujian akhir saja. Artinya dasar pengambilan keputusan tentang lulus tidaknya seorang siswa tidak memadai dan tidak memperhitungkan berbagai aspek. Sementara jawaban yang menyatakan bahwa UN tidak termasuk evaluasi, juga didasari oleh tiga alasan. Pertama, untuk menyatakan bahwa UN adalah evaluasi, maka evaluasi itu dilaksanakan secara eksternal, artinya evaluasi itu harus dilakukan oleh lembaga yang independen di luar pemerintah. Hal ini tidak dilakukan dalam UN, karena yang bertindak sebagai evaluator adalah pemerintah yang notabene adalah lembaga internal. Kedua, untuk mengatakan bahwa UN adalah evaluasi, maka sebelum melaksanakan evaluasi terlebih dahulu harus ada Standar Nasional Pendidikan. Standar Nasional Pendidikan ini diperlukan sebagai acuan untuk menilai pencapaian standar tersebut. Masalahnya, Standar Nasional Pendidikan yang dimaksud belum ditetapkan oleh pemerintah. Ketiga, untuk mengatakan bahwa UN adalah evaluasi, maka ujian ini tidak menentukan kelulusan siswa tetapi hanya untuk mengukur pencapaian Standar Nasional (meski sampai sekarang belum ada). Lalu bagaimana menyebut UN sebagai evaluasi kalau di dalamnya terdapat hal penentuan kelulusan yang sebenarnya menjadi ranah dari penilaian. Dengan mempertimbangkan berbagai alasan bahwa UN bukan penilaian dan juga bukan evaluasi, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan bahwa UN yang akan dilaksanakan tahun 2005 ini adalah hanya semacam tes hasil belajar yang selama ini sering dilakukan oleh guru terhadap siswanya. Perbedaannya adalah bahwa tes yang dilaksanakan oleh guru dalam lingkup yang terbatas, terus-menerus menyeluruh, dan beberapa kali dalam setahun, sementara UN adalah tes yang dilakukan pemerintah dalam lingkup

yang lebih luas (skala nasional) dan dilaksanakan sekali dalam setahun. Jadi jangan mengharapkan hasil yang lebih banyak dari pelaksanaan UN dengan model seperti ini, kecuali sekadar kesan rutinitas tahunan pemerintah untuk menunjukkan kepeduliannya yang setengah hati bagi dunia pendidikan.

IMPLIKASI PENERAPAN KBK BAGI PENGEMBANGAN SIKAP KEAGAMAAN SISWA Drs. H. Abdul Aziz, MA. Direktur Madrasah dan Pendidikan Agama Islam Ditjen Baga Islam Depag RI
Pendahuluan BAGI institusi pendidikan kita, kurikulum adalah ruh. Disain kurikulum memiliki korelasi positif dengan hidup atau matinya proses pembelajaran di sekolah. Bahkan, kurikulum merupakan takaran kualitatif dari tiga segi: kognitif, afektif dan psikomotorik. Sehingga kuri-kulum tidak lebih sebagai disain-mikro dari peserta didik yang akan kita berdayakan segenap potensinya. Jika target kurikulum tercapai, maka kekecewaan terhadap penyelenggaraan pendidikan kian menipis. Akan tetapi, akhir-akhir ini kita masih sering direpotkan oleh gejala kenakalan siswa dalam berbagai bentuknya. Lalu, publik pun segera melirik dunia pendidikan sebagai sumber awal, setidak-tidaknya dari faktor kegagalan proses pendidikan dalam mentransformasikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai etis pada umumnya kepada peserta didik. Masalah ini seringkali menjadi fokus perbincangan para praktisi pendidikan, pakar pendidikan dan masyarakat pada umumnya, khususnya orang tua siswa. Pertanyaannya, benarkah pendidikan kita gagal dalam menciptakan watak siswa? Selain itu, publik pun mempersoalkan kualitas lulusan sekolah dari segi kemampuan akademis dan penguasaannya terhadap keterampilan (skill), sehingga mereka dinilai tidak cukup kuat untuk beradaptasi dengan tuntutan zaman. Belum lagi, dunia pendidikan dibebani pula oleh harapan agar lulusannya mampu merespon terhadap gencarnya perkem-bangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Singkatnya, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan demikian banyak dan kompleks-nya. Kita semua perlu ikut serta berpikir untuk mencarikan jalan keluarnya. Reformasi Pendidikan

SEIRING dengan derap reformasi politik tahun 1998, pendidikan nasional pun melakukan upaya-upaya peru-bahan yang signifikan. Sebagai hasilnya, diperkirakan hingga bulan Agustus 2002, kita masih menunggu kelarnya proses pengundangan RUU Sisdiknas. Artinya, sebentar lagi kita akan memiliki pedoman penyeleng-garaan pendidikan baru yang diharapkan lebih lengkap dari UU No. 2 Tahun 1989. Reformasi politik memang telah mengubah banyak segi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk berubahnya manajemen pemerin-tahan ke arah yang lebih demokratis, transparan dan tidak sentralistik. Hubungan pemerin-tah pusat dan daerah kini telah direposisi oleh UU No. 22 Tahun 1998 tentang Otonomi Daerah. Tentu saja, hal ini memiliki pengaruh penting pada praktik penyelenggaraan pendidikan nasional kita. Saya melihat, RUU Sisdiknas 2002 berupaya merespon segala perkembangan tersebut, sehingga diharapkan akan membawa angin segar bagi langkah-langkah penyeleng-garaan pendidikan di Indonesia, termasuk bagi madrasah. Jika UU No. 2 Tahun 1989 merupakan era integrasi antara sekolah dan madrasah, dengan mengatakan madrasah sebagai sekolah berciri khas Islam, maka RUU Sisdiknas telah lebih tegas lagi dengan mencoba menempatkan madrasah dan sekolah dalam posisi setara. Nanti, tidak akan ada lagi diskriminasi sekolah dan madrasah. Maka eksistensi madrasah makin tegas di era baru politik kita. Akan tetapi, kurikulum yang kita pakai hingga sekarang belum berubah. Baik sekolah maupun madrasah, keduanya masih menerapkan kurikulum tahun 1994. Agenda perubahan ke penggunaan kurikulum baru tampaknya masih menunggu waktu yang pas, walaupun telaah, penelitian dan uji-coba atas draft kurikulum baru tersebut telah dilakukan sejak setahun yang lalu. Kurikulum yang diniatkan untuk merespons arah reformasi pendidikan itu di tingkat wacana telah dikenal dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Diperkirakan, KBK tersebut mulai berlaku tahun 2004 mendatang. Merespons rencana ini, Departemen Agama RI melalui Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Pendi-dikan Agama dan Keagamaan, Proyek Peningkatan Kualitas Pendidikan Agama telah melakukan studi yang hasilnya berupa draft Kurikulum Nasional Pendidikan Agama Islam (PAI) Madrasah yang berorientasi kompetensi pada tahun 2001 lalu. Kurikulum PAI yang sama untuk SD, SLTP dan SMU telah juga diselesaikan pada tahun yang sama oleh Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas bekerjasama dengan Direktorat Paisun Depar-temen Agama RI. Kurikulum PAI tersebut memiliki kriteria, antara lain: lebih menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi (attainment targets) dari pada penguasaan materi; lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia; dan memberikan kebebasan lebih luas kepada pelaksana pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pembelajaran sesuai kebutuhan. Kurikulum Berbasis Kom-petensi diasumsikan lebih global dibanding kurikulum 1994,

karena dilengkapi dengan pencapaian target yang jelas, materi pokok, standar hasil belajar siswa dan prosedur pelaksanaan pembelajaran. Akan tetapi, keragaman sumber daya pendidi-kan di Indonesia membuka ruang untuk munculnya variasi dalam pencapaian standar nasional kompetensi dasar seperti yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, penerapan KBK perlu ditunjang dengan langkah bench marking dalam mata pelajaran yang diujikan, termasuk pelajaran Pendidikan Agama Islam. Sebagai pemberi nilai spiritualitas, efektifitas Pendidikan Agama Islam sering dipertanyakan. Terjadinya krisis politik, ekonomi, sosial, hukum, retaknya relasi etnis, ras, golongan dan agama dianggap sebagai akibat akhir dari lemahnya kontribusi PAI dalam menanamkan integritas etik pada peserta didik sejak dini. Saya pikir anggapan ini ada benarnya, sebab materi pendidikan agama Islam termasuk didalamnya bahan ajar akhlak seringkali lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif) serta pembi-asaan (psiko-motorik). Ada yang lebih penting lagi. Ternyata, lemahnya partisi-pasi guru mata pelajaran PAI dalam mempraktekkan substansi ajaran agama berpengaruh buruk juga pada peserta didik. Kecuali itu pula, waktu yang dise-diakan khusus di sekolah u-mum pun ha-nya dua jam pe- lajaran; belum lagi kelemahan metodologis, minimnya sarana-sarana pelatihan dan pengembangan; serta rendahnya parti-sipasi orang tua siswa dan masyarakat pada umumnya dalam proses transformasi niali-nilai afektif tersebut. Dalam mengimplemen-tasikan KBK, hendaknya kita tidak terjebak lagi oleh dominasi kognitif seperti pada kurikulum 1975, 1984 dan 1994. Berbeda dengan kurikulum lama tersebut, KBK memiliki wawasan kebutuhan daerah, dan berbasis kompetensi dasar (basic competency) yaitu: kompetensi minimal yang harus dikuasi peserta didik yang mencerminkan kebutuhan siswa yang beragam. Oleh karena itu, KBK akan lebih akseptabel dan toleran terhadap perbedaan spesifik antar peserta didik. Dalam konteks KBK, pembelajaran Pendidikan Agama Islam harus me-nyesuaikan diri dengan per-kembangan psikologi pe-serta didik, kebutuhan masyarakat, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka pendidikan agama Islam harus berfungsi antara lain sebagai berikut: 1. Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia (akhlak al-karimah) peserta didik seoptimal mungkin khu-susnya di sekolah/madra-sah yang didukung oleh upaya serupa, dalam lingkungan keluarga; 2. Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; 3. Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial; 4. Perbaikan kesalahan-kesa lahan, kelemahan-kelema han peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari; 5. Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif budaya asing yang akan dihadapinya sehari-hari;

6. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum; dan 7. Penyiapan siswa untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendi-dikan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, pendi-dikan agama Islam memiliki kompetensi spesifik untuk menanamkan landasan al-Quran dan Sunnah nabi agar siswa beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia/berbudi pekerti luhur yang tercermin dalam perilaku seharihari dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, dan alam sekitar; mampu membaca dan memahami al-Quran; mampu beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu menjaga kerukunan intern dan antar umat bergama. Dalam pengembangan KBK di lingkungan madrasah, agar fungsi PAI sebagaimana tersebut di atas dapat tercapai hendaknya prinsip-prinsip berikut ini bisa dipedomani: 1. Relevansi. Terdapat dua macam relevansi yang harus dimiliki oleh kurikulum, yaitu relevansi ke luar dan relevansi ke dalam kuriku-lum itu sendiri. Relevansi ke luar maksudnya, tujuan, isi dan proses yang tercakup di dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkem-bangan masyarakat. Kuriku-lum juga harus memiliki relevansi ke dalam, yaitu terdapat kesesuaian atau konsistensi antara kompo-nen-komponen kurikulum, yaitu tujuan, isi, proses penyampaian, dan peni-laian. Relevansi internal ini menunjuk kepada suatu integritas dan kohesivitas kurikulum. Jadi, jika diasum-sikan bahwa aspek afektif menjadi tujuan kurikulum maka penilaiannya juga harus mencakup aspek itu; 2. Fleksibilitas. Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu untuk memper-siapkan anak didik yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang me-mungkikannya memiliki kemudahan dalam hidup; 3. Kontinuitas. Artinya bahwa proses belajar peserta didik diformulasikan sedemikian rupa dalam satu sistem yang utuh, saling kait mengait dan berkesinambungan; 4. Praktis. Dalam arti, kurikulum hendaknya mu-dah dilaksanakan, menggu-nakan alat-alat sederhana dan biayanya relatif murah tetapi keberhasilan tetap menjadi skala prioritas (product orientation); 5. Efektif. Meskipun kurikulum itu idealnya harus murah, sederhana, tetapi tetap berorientasi kepada hasil. Keberhasilan pelaksanaan kurikulum, baik kuantitas maupun kualitasnya tidak dapat dilepaskan dari kemampuan menjabarkan dan melaksanakan setiap komponen perencanaan pendidikan; 6. Terukur. Sebagai sebuah sistem perencanaan kegia-tan maka kurikulum harus terukur. Hal tersebut dimak-sudkan untuk keperluan evaluasi dan akuntabilitas kinerja penyelenggaraan pendidikan. Melalui kuri-kulum yang terukur, maka tingkat pencapaian keber-hasilan pendidikan dan pengajaran dapat di lihat. Dengan demikian, keteru-kuran dapat berfungsi evaluatif, prediktif, dan antisipatif.

Saya berpendapat, jika Kurikulum Berbasis Kompetensi ini pada saatnya diterapkan, lebih-lebih dengan berpijak pada prinsip pengembangannya secara benar, sulit dibayangkan pelak-sanaan pendidikan agama Islam dapat mengalami distorsi, misalnya ditandai oleh mero-sotnya aspek moralitas siswa. Dengan demikian, aplikasi KBK akan berimplikasi positif dalam hal menanamkan nilai-nilai dan ajaran Islam kepada peserta didik. Jadi, melalui KBK kita bisa lebih menekankan pada aspek penga-malan ajaranajaran Islam sebagaimana menjadi dambaan kita selama ini. Kita memang pernah memberikan kritik terhadap substansi ajaran Islam yang disajikan kepada siswa di sekolah dan madra-sah. Disi-nyalir, kuri-kulum yang dipakai ti-dak menge-nalkan Is lam yang aplikatif tetapi teoritik; juga tidak mengenalkan Islam yang demokratis tetapi doktrinal; Namun bela-kangan ini ada keinginan kita untuk mengubah wacana keislaman dalam kurikulum baru dengan paradigma baru yang lebih mencerahkan. Memang kini kita sudah saatnya berpikir, bagai-mana ajaran Islam ini dapat berintegrasi dengan filosofi, latar historis dan kultur yang ber-kembang di sini. Oleh karena itu, usai belajar tentang Islam seharusnya siswa mampu mere-fleksikan sikapsikap yang terbuka, inklusif dan tegar saat menghadapi perbedaan. Berkaitan dengan hal ini, untuk jenjang pendidikan SD, SMP, SMU dan SMK, kita sedang mencoba membuat buku pela jaran agama yang memberikan filosofi uni-versal dengan berorien tasi pada budi pekerti dan unsur-unsur hak asasi manusia. Melalui ekspe-rimen ini, diharap kan kompe tensi dasar PAI dapat terserap dan da pat diprak tekan dalam kehidupan seharihari siswa. Pendidikan Kita Buku Emerging Asia Changes and Challenges yang di- publikasikan oleh ADB tahun 1997, melaporkan bahwa 95 % anak-anak Asia usia sekolah (611 tahun) sudah dalam kategori go to school, termasuk di Indonesia, India dan RRC sebagai negara berpenduduk padat. Sehingga literacy rates di negara-negara tersebut lambat laun akan membaik. Tentu saja, realitas ini sangat positif bagi proses peningkatan kualitas sumber daya manusia di negara masing-masing. Namun demikian, dalam laporan itu juga disebutkan bahwa bahwa 80 % anak-anak Asia masih belum mampu menyelesaikan jenjang pendidi-kan dasar. Mereka drop-out dengan berbagai alasan, seperti konflik politik dan rendahnya kemampuan ekonomi. Kondisi demikian tidak bisa dibiarkan, dan memaksa pemerintah untuk terlibat secara langsung dan intensiv dalam mendisain pendidikan. Tahun 2001 lalu, di Indonesia, kita cukup tersentak oleh laporan yang mencatat sekitar 7,2 juta anak rawan putus sekolah, dengan alasan yang hampir sama seperti di negara-

negara Asia pada umumnya. Ancaman drop-out itu terbanyak dialamai oleh anak-anak dari Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Bahkan, lebih dari 900.000 siswa Sekolah Dasar dari jumlah itu benar-benar tercatat telah putus sekolah. Keprihatinan kita bertambah, jika kita melihat angka melek hurup nasional masih rendah, yaitu menyisakan 16 juta penduduk yang berusia di atas 10 masih buta huruf. Dalam kondisi demikian, kita masih terhibur oleh data yang dihimpun Education Management Information System (EMIS) Depag RI. Lembaga data dan informasi pendidikan ini mencatat perkem-bangan positif bagi siswa madrasah hingga tahun 2002 ini. Tingkat ibtidaiyah diminati oleh 3 juta siswa lebih, tsanawiyah sekitar 2 juta siswa dan aliyah sekitar 700 ribu siswa. Data ini bergerak positif dengan indikator pening-katan jumlah siswa dalam setiap tahunnya, walaupun kita masih belum puas dengan angka aliyah. Ketidakmampuan mengikuti jenjang aliyah, sudah dapat dipastikan salah satunya karena adanya kendala pembiayaan yang dihadapi oleh masyarakat kita. Oleh karena itu, faktor dana pendidikan menjadi signifikan untuk terus-menerus kita perhatikan, misalnya melalui pemberian beasiswa atau terlibatnya masyarakat dalam mengawasi aliran dana kompen-sasi kenaikan BBM untuk sector pendidikan. Di beberapa negara maju, seperti Belanda, Australia dan Amerika Serikat, anggaran pembangunan bidang pendidikan disediakan hingga 25 persen dari APBN-nya. Sementara itu, di negara kita persentasenya masih relatif rendah karena pendidikan masih dikategorikan sebagai pelayanan umum (public service) daripada sebagai investasi produktif. Tahun 2001 anggaran-nya baru sekitar 5 persen saja dari jumlah total dana APBN, dan tahun 2002 ini melonjak mendekati angka 20 persen. Tahun 1966, memang pernah ada canangan melalui Tap MPRS No VI/MPRS/1966 untuk mengaloka-sikan dana sektor pendidikan sebesar 25 persen, tetapi karena berbagai hal, kita belum pernah memenuhinya hingga sekarang. Mudah-mudahan di masa yang akan datang pemerintah dapat meningkatkan anggaran sektor pendidikan pada angka yang ideal. Berbicara soal anggaran pendidikan, setahun yang lalu, tahun 2001, ada dialog masyarakat yang cukup menarik yang digelar di Cilacap, Jawa Tengah persisnya di Balai Desa Kalikudi, kecamatan Adipala. Dialog yang diselenggarakan Muspida Cilacap itu, ternyata sangat efektif untuk menggali informasi dari lapangan tentang kondisi ril pendidikan kita, khususnya yang bergerak di bawah naungan Departemen Agama. Fakta ini sengaja kami ungkapkan sebagai contoh soal penyelenggaraan pendidikan di era otonomi daerah. Di beberapa daerah, institusi pendidikan kita memang masih memprihatinkan. Masyarakat Cilacap, ketika itu, menyam-paikan keluhan-keluhannya, bahkan menggugat peran Departemen Agama dalam bidang pembinaan pendidikan agama. Masyarakat sendiri mengatakan bahwa lembaga pendidikan di bawah Departemen Agama dalam keadaan kembang-kempis. Suatu pernyataan yang cukup terbuka. Lalu, masyarakat pun

meminta kepada pemerintah daerah agar mengalokasikan dana APBD untuk meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Departemen Agama tersebut. Bagaimana jawaban pemda? Dapat diduga, bahwa pemerintahan daerah pasca penerapan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah akan mengatakan bahwa pihak-nya kini memiliki beban yang cukup berat, termasuk belum bisa menganggarkan sebesar-be sarnya bagi sektor pendidikan. Di sinilah, faktor dana seringkali menjadi kendala dalam mewujud-kan kualitas pendidikan agama baik kelembagaannya maupun manajemennya, khususnya di daerah. Kondisi penyelenggaraan pendidikan di daerah sebetulnya cermin dari kondisi pendidikan nasional kita. Jika daerah tidak mempunyai banyak dana untuk memajukan bidang pendidikan, maka demikian juga di pusat. Hanya saja, kadang-kadang masalah ini dapat teratasi oleh kegigihan penyelenggara pendidi-kan dalam memperbaiki aspek manajemennya. Munculnya sekolah-sekolah swasta yang berkualitas merupakan salah satu buktinya. Bahkan, ribuan sekolah swasta yang tersebar di seluruh Indonesia telah berkontribusi dengan swadana dan swakelola melebihi kemampuan pendanaan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah. Tentu saja, kita berterima kasih kepada mereka. Peran lembaga pendidikan swasta seperti yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhamma-diyah tidak dapat dikecilkan partisipasinya dalam mencerdas-kan kehidupan bangsa. Masa Depan Madrasah BAGAIMANAPUN kondi-sinya, sekolah dan madrasah harus terus dipacu kualitasnya, sehingga bisa memenuhi target ideal pendidikan kita. Seorang intelektual muslim, Muhammad Qutb, merumuskan tentang tujuan pendidikan berdasarkan al-Quran. Menurutnya, pendidikan Islam diorientasikan untuk mengaktualisasikan potensi (fitrah) manusia yaitu jasmani, akal dan kalbu agar bisa berperan opti-mal dalam menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah Swt (abid) dan sebagai khalifah Allah Swt. (khalifah). Islam mengajarkan bah-wa proses pendidikan seharusnya tidak hanya diorientasikan pada transformasi ilmu pengetahuan, akan tetapi merupakan proses pembinaan, pengembangan dan pembentukan karakter anak didik. Di sini sesungguhnya madrasah memainkan peran yang sangat vital terhadap penyiapan generasi bangsa yang alim amaly dan a-mil ilmy memiliki integritas il-miyah dan amaliyah sekaligus. Upaya tersebut antara lain dilakukan dengan disain kuri-kulum yang dilandasi oleh nilai-nilai akhlak al-karimah. Jika selama ini peran sekolah dan madrasah dalam pembentuan watak dan karakter anak

didik masih disangsikan, seperti tampak dari out-put yang dihasilkannya yang rendah apresiasinya atas norma susila, lemah tanggungjawabnya, ter-goda oleh narkoba, terjadinya tawuran, hilangnya kepedulian sosial dan sebagainya, sebenar-nya hal itu bersifat kasusitik semata. Kita tidak bisa mengge-neralisasikan, sebab masih ba-nyak siswa yang kreatif, dinamis dan berprestasi. Kadang-kadang keberadaan mereka ditengge-lamkan oleh kekhawatiran kita terhadap siswa yang nakal. Kita memang selalu berhadapan dengan dilemma ini, seperti diingatkan oleh G.A. Davis dan Rimm dalam Education of the Gifted and Talented (1985) dalam teori sikap guru yang selalu diatrik-ulur oleh keinginan memberikan kontrol dan membe-rikan otonomi kepada siswa secara sekaligus. Menurut Rimm, seringkali guru secara tidak sadar menumbuhkan pygmalion effect yaitu menciptakan perilaku anak didik sebagaimana diasumsikan olehnya, termasuk saat guru berasumsni negatif terhadap siswa. Oleh karena itu, faktor pendidik atau guru menjadi sangat penting posisinya dalam menciptakan lulusan sekolah atau madrasah yang integritas moral-nya tinggi serta memiliki watak positif bagai kehidupannya. Jadi, kurikulum yang baik perlu digandengkan dengan guru dan tenaga kependidikan lainnya yang juga berkualitas. Melihat dinamika pendi-dikan yang terjadi akhir-akhir ini, tantangan sekolah dan madrasah justeru makin besar seiring dengan munculnya berbagai problema akibat terbukanya dunia pendidikan dengan dunia lainnya yang difasilitasi oleh canggihnya teknologi informasi. Ibnu Misykawih menyo-dorkan konsep pendidikan yang bernuansa budi pekerti untuk pembentukan dan pencerahan karakter anak didik (tholib mutaaddib), yaitu mursyid/muallim (guru) yang memberikan teladan nyata (uswah hasanah) kepada peserta didik; mutaallim/tholib (peserta didik); waly/walid (orang tua murid); dan bii-ah (lingkungan). Konsep pendidikan Islam yang mirip dengan konsep pendidikan modern yang kini baru dikembangkan di Indonesia melalui Majelis Madrasah, Dewan Sekolah dan Komite Sekolah. Seperti telah dikupas dimuka, tampaknya kita memiliki harapan baru dalam proses konstruksi out-put pendidikan kita di masa depan. Kurikulum baru yang meletakkan kompetensi dasarnya pada akhlak al-karimah, etos kerja dan berpikiran kritis, dapat dijadikan entry-point untuk memperbaharui komitmen dan tekad kita dalam mencerahkan dunia pendidikan yang kita tekuni. Sudah lama kita sadari bahwa masyarakat muslim sendiri memahami Islam konseptual dan Islam aktual berada dalam posisi yang dikotomis. Implikasinya, terjadilah pemisahan antara teori dan praktek, antara penguasaan materi ajar dan pengamalannya. Rupanya KBK akan mengkom-promikan gejala dikotomik ini, sehingga peserta didik menjadi

man of idea yang sekaligus pula sebagai man of action. Dengan sebutan lain, menjadi siswa yang utuh lahir dan batinnya. Di sinilah saya tetap berkeyakinan bahwa madrasah akan tetap memainkan peranan-nya sebagai fondasi etika dan moralitas bangsa, seperti tampak dari peranannya selama ini sebagai lembaga yang meme-lihara nilai-nilai dan tradisi kea-gamaan disamping sebagai lembaga yang hingga kini masih paling efektif dalam proses pembentukan watak, kepribadian dan akhlak yang mulia. Penutup KOMPETISI global makin sengit. Kita tidak bisa membiar-kannya begitu saja. Mau tidak mau, kita harus ikut melibatkan diri di dalamnya. Anak didik kita, ibarat anak panah, haruslah dapat melesat dengan jauh menembus wilayah kempetisi tersebut, dan kita dituntut untuk membekalinya dengan kemam-puan berfikir yang kritis, etos kerja yang tinggi serta akhlak yang baik. Mudah-mudahan dengan cara itu, anak didik kita tidak menjadi penonton dari gemerlapnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang kini didominasi oleh SDM dari negara-negara maju. Salah satu upaya yang paling sistematis adalah melalui disain kurikulum yang berorientasi pada upaya membangkitkan potensi siswa, memberdayakan dan mengaktualisasikannya. Menjelang diterapkannya kuriku-lum berbasis kompetensi, mari jadikan penelaahan ini sebagai stimulasi dan momentum dalam merekayasa wajah SDM kita di masa depan yang berkualitas dan kompetitif, bermanfaat bagi diri dan lingkungannya, juga dapat optimal dalam membantu proses percepatan pemulihan kehipuan bangsa dan negara di berbagai sisinya. Wallahu alam bi al-shawab

OPINI
Tragedi Pendidikan Nasional
Dr Asvi Warman Adam, Alumnus Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris

Rabu, 03 S

SEORANG murid kelas VI SD di Kabupaten Garut, Jawa Barat, menggantung diri karena tidak mampu membayar Rp2.500 untuk kegiatan ekstrakurikuler. Haryanto (12 tahun) merasa malu karena ibunya tidak punya uang membayar kegiatan membuat sulaman burung yang diadakan sekolah (Kompas, 24/8/2003). Ayahnya adalah buruh pikul di pasar Garut yang penghasilannya sehari Rp20.000. Peristiwa tragis ini menggambarkan di satu sisi betapa miskinnya kebanyakan orang Indonesia. Di lain pihak mengungkapkan pula bahwa pendidikan sangat membebani masyarakat lapisan menengah dan bawah. Pendidikan diharapkan dapat mengubah nasib orang miskin, namun mereka tidak sanggup mengikuti atau menyelesaikan pendidikan karena kemiskinan. Lingkaran setan ini sebetulnya dapat diputus sebagian dengan adanya kewajiban belajar 9 tahun yang menjadi program pemerintah sejak lama. Ketika program itu baru dijalankan, memang ada ketentuan SPP gratis bagi siswa SD dan SMP. Kemudian dengan dalih keperluan anggaran tambahan bagi sekolah dan guru, maka kepala sekolah berkolaborasi dengan persatuan orang tua murid menetapkan lagi tambahan SPP yang harus dibayar orang tua. Pembodohan Kalau dianggap bahwa sekolah adalah sarana terpenting untuk mencerdaskan bangsa maka yang terjadi dewasa ini adalah kebalikannya. Sekolah bukan saja membodohi siswa, membingungkan orang tua, dan menguras dompet mereka, tetapi juga merusak moral guru. Sejak tingkat awal, yaitu TK (taman kanak-kanak) sudah berlangsung proses pembodohan itu. Sebetulnya TK tak lain dari periode transisi untuk mempersiapkan anak dari lingkungan rumah untuk memasuki sekolah. Murid belajar bermain berkelompok, bernyanyi, berhitung sederhana, dan mungkin menulis alakadarnya. Tetapi, kini anak-anak itu dijejali dengan berbagai PR yang berlebihan dan hafalan bahasa Inggris. Yang lebih parah lagi, pada TK tertentu juga dilakukan wisuda murid dengan atribut toga dan biaya foto yang ratusan ribu rupiah. Dengan diberi label 'agama' atau 'sekolah internasional' maka pendidikan TK ini bisa lebih mahal dari perguruan tinggi. Setelah masuk SD, anak-anak belajar matematika. Yang diujikan sering kali lebih sulit daripada yang diajarkan. Akibatnya, murid terpaksa ikut kursus aritmatika, sempoa, atau mengambil les privat pada gurunya. Di Jakarta tarif les privat itu minimal Rp50.000 sekali datang. Sewaktu mengambil rapor, orang tua perlu menyediakan uang untuk 'hadiah' bagi guru wali kelas. Sekarang ini untuk memasuki SLTP siswa harus ikut testing. Kalau praktik ini dilanjutkan, saya perkirakan dua tahun lagi akan lebih menjamur lagi bimbel (bimbingan belajar) untuk masuk SLTP. Dulu sistem rayon memang belum sempurna, tetapi sistem yang sekarang ini lebih amburadul. Tidak ada kepastian seorang siswa diterima di sebuah SLTP. Maka, kesempatan untuk melakukan 'politik uang' semakin terbuka. Setelah diterima, maka orang tua pun sudah ditunggu oleh uang masuk yang jumlahnya jutaan rupiah. Konon, untuk pembangunan gedung. Kalau tidak ada lagi gedung yang akan dibangun, maka sekolah pun membuat lapangan basket atau pembangunan lainnya. Sekolah diberi rating oleh Dinas Pendidikan seperti halnya SRI memberi rating telenovela di layar TV. Ada sekolah unggulan dan pendamping unggulan. Dan, uang sekolah serta uang pembangunannya tentu bisa tidak terjangkau rakyat bawah. Itu belum lagi sumbangan tidak resmi yang berdatangan untuk kegiatan OSIS, hampir semua perayaan keagamaan, dan festival sekolah. Buku yang dipakai di sekolah sudah ada pada perpustakaan yaitu buku paket. Jangan ditanya kepada saya tentang kemungkinan korupsi pada pengadaan buku di Departemen Pendidikan Nasional ini. Tetapi, kenapa murid masih diharuskan lagi membeli buku tambahan yakni buku penunjang. Seyogianya Pusat Pengujian Balitbang Depdiknas membuat soal, misalnya ebtanas, dari buku itu tidak dari buku lainnya. Ada kongkalikong antara penerbit dan sekolah? Korupsi yang paling banyak di Indonesia adalah pada bidang pendidikan karena melibatkan seluruh anggota masyarakat. Saya pernah mengatakan ''Kanwil memeras kepala sekolah, kepala sekolah memeras guru, guru memeras murid, dan murid memeras orang tua.'' Proses ini berlangsung secara berantai. Menjelang lulus SMU, masih ada tambahan bimbel lagi untuk masuk SPMB. Karena sudah tahu setiap tahun demikian banyak mahasiswa yang tidak tertampung, kenapa tidak didirikan universitas negeri yang baru.

Pembentukannya sebetulnya tidak mendirikan universitas yang sama sekali baru. Ikuti misalnya model Prancis. Tahun 1968 Sorbonne yang mapan didemonstrasi. Dibentuk dan dipecah-pecah menjadi Universitas Paris yang bernomor 1 yang kini sampai 13. Setiap universitas tidak harus memiliki fakultas yang lengkap. Malah fakultas pun sebetulnya tidak perlu. Setiap universitas hanya mempunyai program pendidikan bidang tertentu. Dengan demikian tidak ada lagi fakultas. Ini mengurangi birokrasi. Kerusakan dunia pendidikan dewasa ini bukan karena siswa yang bodoh. Buktinya siswa Indonesia mampu merebut medali pada Olimpiade Fisika tingkat internasional. Kenyataan, bahwa sistem pendidikan di Tanah Air belum dikelola secara cerdas. Jalan keluar Tidak adakah jalan pintas dalam menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia, agar Menteri yang sekarang tidak mengeluarkan peraturan yang aneh lagi selama satu setengah tahun ke depan? Sementara itu, peraturan tentang testing masuk SLTP dan SMU dicabut, seleksi kembali lagi kepada sistem rayon dan nilai NEM. Sistem itu memang belum sempurna, tetapi lebih lumayan daripada yang ada sekarang ini. Sementara itu, kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang direncanakan diberlakukan mulai 2004 agar ditangguhkan dahulu sebelum jelas alasan pemilihan kurikulum ini serta ketersediaan sarana pendukungnya. Hendaknya murid dari waktu ke waktu jangan dijadikan uji coba berbagai kurikulum yang pernah diterapkan di luar negeri, bila itu tidak klop dengan kondisi di Indonesia. Setelah Pemilu 2004 diharapan presiden terpilih mengangkat seorang profesional sebagai Menteri Pendidikan. Mendiknas bukanlah jatah kelompok tertentu. Departemen ini juga bukan tempat mengejar setoran bagi partai/ormas. Kemudian sang menteri agar memilih kepala balitbang orang yang benar-benar mampu melakukan tugas dalam bidang penelitian dan pengembangan. Benahi saja, misalnya Pusat Kurikulum, Pusat Perbukuan, dan Pusat Pengujian. Kalau dapat dilakukan dalam waktu lima tahun, modal dasar telah dipunyai yaitu teks pengajaran beserta soal testingnya. Masalah guru itu soal lain. Minimal satu hal telah terpecahkan.***

Abstrak Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi No. 14


Tujuan Pendidikan Untuk Pembangunan: Mencari Alternatif Reformasi Pembangunan Pendidikan Oleh: Ade Cahyana Salah satu pola perilaku kelembagaan pemerintah Orde Baru yang dinilai menghambat pembaharuan selama ini adalah dalam menentukan kepentingan program pendidikan, yang kerap kali menggunakan justifikasi kemapanan yang bersifat pasif (misalnya UUD 1945). Sementara di era globalisasi ini tujuantujuan dan program-program pendidikan dituntut untuk secara dinamik menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang sangat cepat bahkan terlalu cepat untuk diikuti. Dalam konteks inilah, reformasi pendidikan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk merubah masukan (input) pendidikan menjadi dampak (outcome) pembangunan. Masukan di sini dapat diartikan "raw input" atau siswa atau calon SDM pembangunan, sedangkan dampak atau "outcome" pembangunan harus diterjemahkan secara substantif ke dalam komponenkomponen prioritas pembangunan nasional (misalnya: iptek untuk

industrialisasi). Dalam kaitan ini, tujuan-tujuan pendidikan nasional perlu dirumuskan dalam jangka menengah. Mengapa jangka menengah? Karena keampuhan kinerja dari suatu sistem pendidikan terbatas dan harus secara cepat mampu merubah orientasinya sesuai dengan tuntutan perubahan yang ada. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 4-20

Langkah-langkah Strategi Ke Arah Pemecahan Masalah Peningkatan Mutu SLTP Oleh: Abdul Manan Akhmad Sekolah yang makin baik mutunya akan makin baik pula mutu "out-put" yang dihasilkan, yang pada gilirannya menjadi potensi sumber daya manusia yang baik pula.Hasil pengkajian menunjukkan bahwa hingga saat menjelang berakhirnya Repelita VI, mutu pendidikan di Indonesia khususnya SLTP dilihat dari rata-rata NEM dan kualifikasi gurunya menunjukkan masih ada permasalahan yang perlu diatasi. Meskipun, statistik menunjukkan ada perubahan kommposisi sebaran SLTP yang ditandai dengan adanya pergeseran maju tingkatan mutunya, namun sebagian besar tingkatan mutu SLTP masih tergolong "kurang", dan "sangat kurang" dan masih banyak pula gurunya yang "kurang/tidak" layak untuk mengajar di SLTP. Penulis mengajukan beberapa langkah strategis untuk intervensi kebijaksanaan yang bersifat makro melalui peningkatan bantuan untuk pemberdayaan SLTP yang tingkatan mutunya rendah; dan yang bersifat mikro melalui peningkatan kemampuan guru untuk melaksanakan pembelajaran tuntas di kelas. Berdasarkan asumsi bahwa pergeseran maju akan terus terjadi, krisis moneter dapat diatasi dan pemerintah tetap konsisten perhatiannya pada peningkatan mutu pendidikan, penulis yakin upaya menggeser secara sistematis dan bertahap tingkatan mutu SLTP maju dari tingkatan mutu "sedang", "kurang" dan "sangat kurang" ke arah tingkatan mutu yang "baik" dan "sangat baik" dapat dicapai dalam Repelita VII.. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 21-34 Manajemen Pendidikan Nasional Menuju Kemandirian Bangsa: Gagasan Awal Oleh: Ace Suryadi

Makalah ini menjelaskan bagaimana konsep otonomi berperan untuk mewujudkan kemandirian dan profesionalisme manajemen pendidikan nasional yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan mutu dan efisiensi pendidikan. Kesenjangan mutu dan efisiensi pendidikan saat ini salah satunya dipengaruhi oleh pengelolaan pendidikan yang terpusat. Span of control yang terlalu jauh dimana pemerintah pusat tidak pernah memahami setiap daerah atau lembaga pendidikan. Dalam kerangka otonomi pendidikan, pemerintah pusat seyogyanya lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar yang bertujuan memberikan kemudahan dan perlindungan. Selebihnya pengelolaan pendidikan yang terkait dengan variasi keadaan daerah dan pelaksanaan teknis pendidikan seyogyanya didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan lembaga pendidikan itu sendiri. Peranan daerah yang perlu diperbesar tiak hanya menyangkut tugastugas dekonsetrasi dan perbantuan tetapi bahkan harus menyangkut wewenang dan kebijaksanaan untuk mengatur dan mengurus sistem pendidikan yang efisien dan bermutu sesuai dengan keadaan dan permasalahan masing-masing. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 35-46 Kendala Reformasi Pendidikan Oleh: Bambang Indriyanto Reformasi yang terjadi dewasa ini cenderung menjadi dasar dalam penyusunan agenda kebijakan publik pada umumnya. Kecenderungan ini juga terjadi pada sektor pendidikan. Pusat perhatian artikel ini adanya beberapa hambatan pelaksanaan reformasi pendidikan. Secara garis besar kendala tersebut berkaitan dengan substansi pendidikan dan pengelolaan pendidikan. Meskipun demikian, penulis tidak berpretensi bahwa kedua hal tersebut merupakan faktor yang menjadi kendala dalam reformasi pendidikan. Masih banyak faktor-faktor lain yang menjadi kendala reformasi pendidikan. Di samping itu, pembahasan pada tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai ungkapan sikap pesimisme terhadap pelaksanaan reformasi pendidikan, melainkan merupakan harapan bahwa dalam pelaksanaan reformasi pendidikan beberapa hal ini yang dikemukakan pada tulisan dapat dijadikan pertimbangan untuk mencapai tujuan pendidikan sejalan dengan jiwa reformasi yang menghendaki adanya perubahan dalam pengelolaan sektor publik untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara luas. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 47-55 Pendidikan Tinggi Dan Profesionalisme

Oleh : Satryo Soemantri Brodjonegoro Kecenderungan perubahan dunia pada masa mendatang ditandai dengan perdagangan bebas, perubahan teknologi, perubahan tingkat pendapatan masyarakat, serta masuknya pesaing baru yang telah melaksanakan melaksanakan industrialisasi, akan memberikan pengaruh langsung terhadap industri di Indonesia. Sektor industri Indonesia pada dewasa ini rapuh dan tidak mampu bersaing secara global. Oleh karena itu, pembangunan industri unggulan pada masa yang akan datang sangat diperlukan agar bangsa Indonesia dapat bersaing dengan negara lain pada masa perdagangan bebas. Industri-industri unggulan memerlukan SDM yang berkualitas. Kuantitas dan kualitas tenaga kerja berkualitas diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan kejuruan dan teknologi harus diarahkan untuk memenuhi tenaga kerja yang diperlukan industri-industri unggulan karena SDM ini memiliki kaitan langsung dengan proses industrialisasi terutama bila dikaitkan dengan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil, fleksibel dan melek teknologi. Pendidikan tinggi perlu ditingkatkan mutunya dalam upaya memperkuat kemampuan bangsa Indonesia menguasai iptek dalam rangka menunjang pengembangan industri Indonesia di masa mendatang. Konsolidasi dan perbaikan mutu serta relevansi pendidikan tinggi harus dilaksanakan. Bidang studi-bidang studi diorientasikan ke arah pemenuhan kebutuhan pengembangan Indonesia pada masa mendatang. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 56-74 Perguruan Tinggi Dan Pengangguran Sarjana Oleh : Moedjiarto Indonesia, sebagai negara yang sedang berkembang masih menghadapi masalah pengangguran, termasuk di dalamnya adalah pengangguran lulusan perguruan tinggi. Pada tahun 1995, jumlah pengangguran adalah 6,2 juta orang, meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Kini, akibat krisis moneter yang melanda Indonesia dan merebaknya PHK di mana-mana, jumlah pengangguran meningkat menjadi 4 juta orang. Pada tahun yang sama, pengangguran terbuka lulusan perguruan tinggi 404 ribu orang, sedangkan pengangguran tertutupnya adalah 552 ribu orang. Yang menjadi penyebab membengkaknya angka pengangguran adalah pertumbuhan lapangan kerja tidak secepat pertumbuhan angkatan kerja. Tulisan ini mengetengahkan beberapa kesimpulan, yaitu: 1) Lulusan perguruan tinggi cenderung memburu peluang kerja sektor formal; 2) Belum berimbangnya jumlah lapangan kerja dan angkatan kerja lulusan perguruan tinggi; 3) Keterampilan lulusan perguruan tinggi belum sesuai dengan

kebutuhan pasar; 4) Masih membanjirnya tenaga kerja asing di Indonesia, yang merebut kesempatan kerja lulusan perguruan tinggi; 5) Belum membudayanya lulusan perguruan tinggi untuk berwiraswasta. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 75-84 Beberapa Gagasan Tentang Reformasi Pendidikan Menengah Kejuruan oleh : Agung Purwadi Pendidikan SMK menghadapi 3 masalah pokok yakni (1) pasar kerja yang beragam, (2) tingginya biaya satuan dan (3) kemampuan murid dan orang tua. Menghadapi permasalahan ini perlu dilakukan perubahan orientasi pendidikan SMK dari dimand oriented ke customer oriented. Dimand oriented memperhatikan pasar kerja sedangkan customer oriented memperhatikan pasar kerja dan siswa serta orang tua. Perubahan oriented ini didasarkan pada kenyataan bahwa siswa yang rendah kemampuan ekonominya cenderung tidak dapat menyelesaikan sekolahnya (Drop out dan mengulang) dan siswa yang telah tamat SMK menganggur adalah karena ragamnya pekerjaan. Menghindari putus sekolah perlu dilakukan perubahan program 3 teknis menjadi 3 tingkat. Masing-masing tingkat diakhiri dengan ujian sertifikasi yang menunjukkan tingkat keterampilan yang dimiliki oleh siswa SMK. Pada sistem tingkat ini siswa setelah memperoleh sertifikat dapat berhenti sekolah untuk bekerja. Kalau siswa telah memiliki biaya dapat kembali untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, jadi tak ada istilah drop out. Menghadapi ragamnya pekerjaan perlu dilakukan perubahan minimal dua pola pada SMK. Pola pertama adalah pola SMK yang memikirkan keterampilan luas tapi tidak mendalam, dan pola kedua ialah SMK yang memberikan keterampilan yang mendalam tapi tidak luas. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 85-95 Alternatif Perubahan Pengembangan Guru di Indonesia Oleh: Purnomo Setiady Akbar Era Reformasi sedang kita tempuh. Timbul pertanyaan apa kontribusi pendidikan pada era tersebut? Tulisan mengkaji apa yang harus direformasi dalam dunia pendidikan di negara tercinta ini, karena reformasi dalam pendidikan bukan "barang baru" sejak tiga abad lalu pendidikan terus mereformasi di tanah air kita,

lalu dari mana kita mulai. Apa yang mendasar perlu reformasi dan dari dimensi atau aspek apa yang paling penting dimulai. Berdasarkan dari berbagai hasil penelitian yang saling terkait dan tuntutan masa depan dunia pendidikan. Reformasi dalam dunia pendidikan dimulai dari komponen guru dengan semua aspek pribadi guru, organisasi dan institusinya. Prioritas dimulai dari komitmen jajaran pembinaan Depdikbud dan stafnya untuk selalu memantau dan membina guru-guru kita dengan berbagai aspeknya. Karena dengan guru yang memiliki "kemampuan paripurna" bagaimanapun bentuk kurikulum yang selalu berubah beserta tantangannya, mereka diharapkan akan mampu melaksanakan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 96-105 Reformasi Ilmu Berhitung Pada Pendidikan Dasar Oleh : Parluhutan Tobing Negara kita mengalami krisis dalam moneter, disadari bahwa globalisasi sangat berpengaruh dalam krisis tersebut, keterbukaan, HAM dan demokratisasi sangat menonjol. Persaingan antar negara menjadi lebih terbuka. Keunggulan dalam bersaing diperlukan dalam bidang industri dan teknologi. Untuk penguasaan teknologi dan industri diperlukan penguasaan ilmu eksakta dan untuk menguasai eksakta diperlukan ilmu matematika. Jadi peranan matematika sangat penting dalam peningkatan SDM. Di masyarakat sekarang ini dalam bidang matematika terdapat dua aliran cara berhitung, aliran urutan operasi hitung kalkulator dan urutan operasi hitung komputer. Pada masa depan kedua aliran ini akan berlanjut, karena masing-masing aliran sudah mempunyai pengikut dan bahan ajar. Hali ini tidak boleh dibiarkan berlanjut, diperlukan tindakan yang tepat dan cepat untuk menyelesaikan masalah dualisme ini. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 106-117 Siaran Televisi Pendidikan Sekolah Sebuah Kajian Umpan Balik Pemanfaatan Program oleh : PC.S.Sutisno Siaran Televisi Pendidikan Sekolah sudah lama digagas dan menjadi salah satu alasan peluncuran Satelit Palapa. Namun baru pada tahun 1991 diujicobakan lewat kerjasama dengan stasiun tv swasta TPI. Pe mantauan keterlaksanaannya

dilaksanakan sebagai kegiatan yang melekat.Demikian halnya dengan umpan balik untuk mendeteksi pemanfaatan program.Kajian umpan balik dapat dijadikan sebagai masukan bila STVPS akan dikembangkan lagi di masa mendatang. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 118-128 Kebudayaan Indonesia Masa Depan: Mantap Dan Kukuhnya Integrasi Nasional Oleh : Iskandar Agung Kebudayaan sebagai sistem normatif berisikan nilai dan norma yang merupakan standar perilaku. Kebudayaan ini menjadi kenyataan dan berlaku dalam masyarakat apabila memperoleh pengakuan dari seluruh kolektiva sosial yang ada di Indonesia. Pengakuan terhadap nilai dan norma tadi akan menimbulkan kesadaran bagi masyarakat bahwa setiap individu sama di hadapan hukum tanpa ada perbedaan, dan akan taat pada nilai dan norma yang telah diakui bersama. Nilai dan norma menjadi pedoman bagi warga negara dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadaan masyarakat seperti ini akan melahirkan suatu budaya yang mantap pada masa depan dan kukuhnya integrasi nasional. Di masa depan tidak ada lagi gejala-gejala sosial seperti separatisme kedaerahan yang dapat mengancam stabilitas dan integrasi nasional. Setiap individu memiliki kesadaran yang tinggi dan sikap kebanggaan terhimpun dalam suatu wadah kehidupan berbangsa dan bernegara. Kajian Dikbud, No.014, September 1998 hal. 129-135

Abstrak Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi No. 15


Pembaharuan Pendidikan Nasional Dalam Era Reformasi Oleh : Juwono Sudarsono Reformasi pendidikan harus berorientasi pada peningkatan mutu SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja seiring dengan perkembangan teknologi dan mampu bersaing dan bersanding secara internasional. Untuk mewujudkan tujuan ini pendidikan masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan antara lain: perluasan, relevansi, peningkatan mutu pendidikan,dan pengelolaan pendidikan. Mengatasi permasalahan-permasalahan ini perlu dilakukan

pendekatan yang demokratis partisipasif dan terdesentralisasi agar sumber daya masyarakat semakin besar untuk pendidikan. Otonomi daerah merupakan prasyarat yang tidak boleh dikesampingkan. Dalam rangka otonomi ini kemampuan lembaga pendidikan juga harus digali dan dikembangkan agar pendidikan menjadi peka terhadap permasalahan lingkungan yang dihadapi dalam rangka peningkatan mutu. Mutu pendidikan merupakan prioritas dalam era reformasi pendidikan pada masa depan. Dalam kaitan ini diperlukan kurikulum yang fleksibel dan mampu menjawab tantangan masyarakat, teknologi dan lingkungan yang cepat berubah. Pendidikan tinggi juga harus diarahkan pada otonomi agar pendidikan tinggi dapat menjadi suatu industri yang mampu memberikan pendidikan yang bermutu pada masyarakat. Kajian Dikbud, No.015, Desember 1998 hal. 4-10 Keadaan, Permasalahan Dan Tantangan Masa Depan Pendidikan di Indonesia Oleh: Ace Suryadi Krisis ekonomi menimbulkan dampak yang buruk bagi sektor pendidikan dan sektor industri. Dampak terhadap pendidikan adalah bertambahnya siswa yang dropout, sedangkan terhadap industri adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja sebagai akibat ketidakmampuan industri untuk berkembang. Akibat dari keadaan ini terjadilah peningkatan jumlah pengangguran terdidik. Pendidikan sebagai pusat pengembangan SDM akan dihadapkan pada masalah pengangguran walaupun tidak bisa dikaitkan secara langsung terhadap pendidikan. Akan tetapi, pengangguran ini menjadi tantangan dalam reformasi pendidikan di Indonesia. Dampak pengangguran ini bukan semata-mata terhadap ekonomi, tetapi lebih buruk lagi terhadap pengembangan keterampilan dan profesionalisme tenaga kerja lebih lanjut. Berdasarkan masalah di atas pengembangan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu prioritas penting yang harus dilakukan sungguh-sungguh dan segera. Sistem pendidikan dituntut untuk mampu menciptakan berbagai pilihan program keterampilan yang dibutuhkan tenaga kerja yang mampu menjawab tantangan yang cepat berubah. Kompetensi-kompetensi perlu dikembangkan di sekolah-sekolah, khususnya pendidikan dasar dan menengah, yang terpenting adalah lulusan memiliki kemampuan belajar (learning skills) mandiri, sehingga mereka dapat memperkaya kemampuan dan keterampilan sesuai dengan keinginan mereka, setelah mereka terjun dalam kehidupan di masyarakat. Kajian Dikbud, No.015, Desember 1998 hal. 11-23

Manajemen Reformasi Pendidikan Oleh : Husaini Usman Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat tentang makna reformasi baik bagi orang awam maupun ilmuan. Seperti halnya dengan sesuatu, maka selalu terjadi ada pihak yang pro dan kontra. Demikian pula halnya dengan reformasi. Artikel ini bertujuan untuk memberikan makna reformasi pendidikan dan teknik melaksanakan reformasi pendidikan. Dalam merencanakan reformasi pendidikan secara mendasar dan komprehensif minimal dapat menjawab tentang siabidibam reformasi. Salah satu teknik yang dapat dipakai untuk mengelola reformasi adalah dengan menerapkan konsep Total Productivity Maintenance yang meliputi R-5. Kajian Dikbud, No.015, Desember 1998 hal. 24-35 Suatu Pemikiran Tentang Penyempurnaan Program Pendidikan Keterampila di SLTP Oleh: Subijanto dan Supriyanto Program Pendidikan Keterampilan di SLTP telah dilaksanakan semenjak tahun ajaran 1994/1995. Pada saat ini telah dilaksanakan di 179 SLTP dan telah menghasilkan tamatan perdananya pada akhir tahun anggaran 1996/1997. Sebagian besar sekolah penyelenggara program dimaksud merupakan alih fungsi dari SLTP Kejuruan (ST/SKKP). Dari hasil pemantauan dan supervisi klinis di sekolah tersebut menunjukkan adanya keragaman pelaksanaan dan kendala yang dihadapinya. Sekalipun kurikulum program pendidikan keterampilan telah mengalami penyempurnaan, namun penyelenggaraan program dimaksud senantiasa memerlukan evaluasi dan penyempurnaan/peningkatan lebih lanjut yang meliputi berbagai aspek, antara lain : dokumen penunjang (kurikulum, Lembar Kerja Siswa, sistem penilaian, dll), sarana-prasarana belajar-mengajar, tenaga pengajar, maupun pola penyelenggaraan. Kajian Dikbud, No.015, Desember 1998 hal. 36-48 Tuntutan Kualitas Unggulan Pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Oleh : Mamiek Slamet Peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) diharapkan mampu bersaing pada era globalisasi. Pemerintah telah berusaha agar sekolah menengah kejuruan menjadi sekolah unggulan. Wawasan keunggulan menurut visi dan strategi pembangunan pendidikan untuk tahun 2020 adalah: "Kemampuan seseorang untuk mewujudkan (aktualitas) secara maksimum dan berkelanjutan segenap potensi yang ia miliki untuk meraih prestasi terbaik dalam kinerja kehidupannya. Pendidikan Kejuruan dan Teknologi, baik yang diselenggarakan melalui sekolah maupun melalui pendidikan luar sekolah, merupakan bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan kejuruan tersebut memiliki keterkaitan langsung dengan proses industrialisasi, terutama jika dikaitkan dengan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang terampil, fleksibel dan melek teknologi (technology litterate)." Konsep unggulan bukan berarti unggulan dalam segi fisik sekolah (sarana dan prasarana) sekolah yang kelihatan megah. Namun, sarana dan prasarana adalah salah satu faktor alat bantu untuk menunjang tercapainya kualitas unggul. Pendidikan yang efektif dan efisien adalah sekolah dengan biaya murah tetapi mutu pendidikan unggul. Kualitas unggul diharapkan bukan hanya pada sekolah-sekolah tertentu saja tetapi diharapkan pada tahun 2020 sekolah menengah kejuruan tahap demi tahap seyogyanya sudah memenuhi tuntutan tersebut. Kajian Dikbud, No.015, Desember 1998 hal. 49-55 Alternatif Kurikulum SMK Dalam Mengantisipasi Ragam Industri Yang Ada oleh : Djuharis Rasul Pendidikan menengah (SMU dan SMK) bertujuan (1) mengembangkan kemampuan profesional dan keterampilan untuk bekerja dan (2) mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Kenyataan di lapangan tidak semua lulusan SMU dan SMK berhak melanjutkan pada pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini menjadi tantangan bagi SMK dan SMU. Usaha yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan SMK ini adalah dengan pendekatan kurikulum yang disebut competitif based curiculum yaitu pendekatan pembelajaran berdasarkan kemampuan pada jabatan tertentu. Pengembangan SMK dengan pendekatan ini adalah pendidikan satu pola. Dengan pendekatan satu pola ini bila dibandingkan dengan ragam industri serta tuntutan keahlian (keterampilan) yang beragam siswa tamatan SMK akan menghadapi masalah

serta tidak seluruhnya bisa mengisi lapangan pekerjaan yang beragam, bila tamatan SMK ingin melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi akan kalah bersaing dengan siswa SMU. Mengatasi permasalahan ini diperlukan adanya ragam sistem (model) pendidikan kejuruan untuk menyiapkan tenaga kerja dengan keahlian yang beragam sesuai tuntutan industri dan juga untuk menyiapkan siswa SMK yang ingin melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Dengan ragam pendekatan (model) ini, maka efisiensi dan efektivitas sekolah kejuruan (SMK) akan dapat tercapai. Kajian Dikbud, No.015, Desember 1998 hal. 56-62 Peubah-peubah Yang Berkontribusi Terhadap Prestasi Belajar Siswa SMK Kelompok Bisnis Dan Manajemen Oleh : Purnomo Setiady Akbar Penelitian bertujuan mengetahui peubah-peubah yang memberi kontribusi tercapainya prestasi belajar lulusan SMEA. Kerangka berpikir penelitian ini menggunakan paradigma bahwa guru yang bermutu memberi pengaruh tinggi terhadap produktivitas kerja. Sampel sebanyak 138 orang guru SMEA yang pernah mengajar sejak kelas satu sampai kelas tiga. Jumlah guru ini mewakili sepuluh persen dari jumlah guru SMEA Negeri yang ada di tanah air. Dalam penelitian ini terungkap bahwa secara bersama-sama kemampuan guru, motivasi guru, kesesuaian dengan waktu, dan kesesuaian dengan keahlian mempunyai hubungan yang bermakna terhadap prestasi belajar siswa, dengan angka korelasi sebesar 0,74. Selanjutnya, bila dilihat dari angka koefisien determinasi sebesar 0,55 dapat dikatakan bahwa keempat peubah di atas mempunyai sumbangan yang berarti terhadap prestasi belajar siswa. Berdasarkan kontribusi bersama-sama dari peubah yang diamati hanya sebesar 55 persen, maka perlu dikaji lebih mendalam peubah-peubah yang dapat meningkatkan perolehan prestasi belajar siswa mendekati " angka normatif ideal" dan perlu juga dicari kiat-kiat serta metode pembelajaran yang lebih sesuai sehingga setelah lulus mereka mampu beradaptasi dengan dunia kerja. Dari angka-angka perolehan statistik yang diperlihatkan maka masih perlu reorientasi pola pembinaan guru SMK Bisnis-Manajemen yang dilakukan selama ini, agar para guru mampu meningkatkan proses pembelajaran sehingga siswanya mampu menghadapi proses transformasi bidang Bisnis-Manajemen saat ini dan masa mendatang. Kajian Dikbud, No.015, Desember 1998 hal. 63-80

Pemberdayaan Peran LPTK Dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa oleh : Suwarma Al Muchtar Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan prasyarat dari konsep "Civil Society" (masyarakat madani), yang muncul dan menguat seiring dengan derapnya semangat reformasi total. Orientasi ini sebagai koreksi dan solusi untuk membangun masyarakat baru Indonesia. Krisis ekonomi, sosial budaya dan pendidikan selama ini mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat dan pada sisi lain memungkinkan negara mengambil peran dominan. Oleh karena berjalan dalam kurun waktu lama, memungkinkan krisis ini berkepanjangan dan meluas ke berbagai elemen kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan unsur penting dalam upaya memberdayakan kehidupan masyarakat melalui konsep masyarakat madani yang pada hekikatnya adalah masyarakat terdidik dan masyarakat terpelajar yang mampu "mencerdaskan kehidupan bangsa " Dalam konteks ini peningkatan daya mampu sistem pendidikan merupakan upaya terapetik yang strategis,dalam meningkatkan kualitas tenaga kependidikan dengan memperkuat posisi dan peran Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Pengembangan kurikulum fleksibilitas merupakan salah satu model yang dipandang tepat berkaitan dengan kebijakan "konversi IKIP menjadi Universitas" di tengah krisis pendidikan dan bangsa sedang menghadapi persaingan global memasuki melinium ke-3. Kajian Dikbud, No.015, Desember 1998 hal. 81-89 Mencari Paradikma Yang Diperlukan Untuk Pengembangan Organisasi Oleh : PC. S. Sutisno Dalam era reformasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dihadapkan pada aneka permasalahan. Salahsatu permasalahan yang tak kalah pentingnya yaitu faktor pengembangan organisasi. Kita mengetahui bahwa kinerja organisasi yang luar biasa dan pemenuhan tujuan personal yang mendalam adalah saling melengkapi dan menguatkan. Hasil-hasil tersebut alamiah muncul dari penempatan penekanan utama pada sejumlah variabel penting: misi, visi, alignment, kekuatan personal, hasil-hasil, struktur sistem dan intuisi.Sementara tantangan pada penekanan tradisional pada problem solving dan proses, paradigma baru juga membuka pintunya untuk menyadari apa yang paling

penting bagi wadah praktisi pengembang organisasi. Dalam setiap organisasi terletak potensi bukan hanya untuk berhasil,melainkan juga untuk kebesaran. Sebagai praktisi,komitmen pada yang terbaik untuk diri sendiri dan orang lain adalah membuat perubahan vital yang berorientasi kebesaran menjadi kenyataan.Dengan panduan visi ini, setiap teknik menjadi suatu wahana untuk menyatukan semangat, dan bukan sekedar suatu mekanisme yang berhasil dalam dirinya sendiri. Kajian Dikbud, No.015, Desember 1998 hal. 90-102

Abstrak Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi No. 16


Budi Pekerti Diajarkan kembali? Oleh: Suke Silverius Berbicara mengenai kepribadian bangsa pada akhirnya akan menyangkut perihal budi pekerti, yang tidak lain adalah bagian yang tidak terpishkan dari mentalitas manusia, yakni jiwa peradaban. Atas dasar ini manusia dituntut bertingkah laku sopan, berperangai baik, berakhlak dan berwatak luhur, dalam menapaki jalan hidupnya, baik sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, maupun sebagai anggota suatu bangsa. Dalam era globalisasi ini terdapat potensi bagi setiap individu untuk dipengaruhi oleh pergeseran nilai-nilai dari budaya luar yang tidak mustahil menyimpang atau bahkan bertentangan dengan dasar hidup kepribadian bangsa. Dan ini otomatis akan berdampak pula pada sikap berbangsa dan bernegara. Inilah sebabnya dibutuhkan pengukuhan budi pekerti yang mewarnai jati diri dan sikap mental yang memperlihatkan kepribadian Indonesia. Pengukuhan budi pekerti termaksud merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Dalam kaitan inilah maka dipermasalahkan perlu tidaknya budi pekerti diajarkan kembali di sekolah. Agaknya semua pihak sependapat bahwa pelajaran budi pekerti diberikan di sekolah, entah sebagai pelajaran sendiri dalam wujud muata lokal atau bukan sebagai mata pelajaran sendiri melainkan tercakup dalam mata pelajaran lainnya, khusunya pelajaran agama. Kajian Dikbud, Nomor 016, Maret 1999 hal. 4-12 Pendidikan Nilai Budaya di SLTP (Hasil Penelitian) Oleh :

Harry S.Hartono Tujuan pendidikan selain mencerdaskan manusia Indonesia yang mampu menguasai iptek, melainkan juga untuk menanamkan nilai Pancasila dan nilainilai kepribadian kepada siswa. Kedua kelompok nilai tersebut didukung dan diakui oleh masyarakat Indonesia sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Menanamkan kedua kelompok nilai tersebut kepada siswa dilakukan melalui kegiatan belajar mengajar. Guru dalam mengajarkan kedua kelompok nilai tersebut kepada siswa melalui bidang studi yang terintegrasi dengan nilai tersebut. Alasan guru mengajarkan nilai-nilai tersebut antara lain adalah karena tanggung jawab, dan juga karena ada dalam subpokok bahasan. Kebanyakan dilakukan oleh guru bidang studi PMP, IPS, Bahasa Indonesia dan Agama. Cara atau metode mengajar paling banyak dilakukan oleh guru adalah dengan cara ceramah. Kajian Dikbud, Nomor 016, Maret 1999 hal. 13-18 Pendidikan Berpola Asrama di Propinsi Irian Jaya Oleh : A.M. Ajisuksmo Pendidikan berpola asrama ialah suatu konsep penyelenggaraan yang dikembangkan di kawasan Irian Jaya yang daerahnya terpencar dan terpencil, susah dijangkau dalam waktu yang singkat. Sekolah dan asrama merupakan satu bangunan dan murid tinggal di asrama. Tujuan penyelenggaraan konsep ini adalah untuk pemerataan pendidikan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Yang menjadi permasalahan konsep ini ialah mengenai lokasi, dan sarana-sarana penunjang lainnya. Untuk menentukan lokasi ini perlu pembahasan secara praktis, ekonomis, geografis, maupun sosiologis antropologis untuk mengetahui masalah-masalah, keuntungan, dan sarana prasarana yang diperlukan apabila asrama tersebut dibangun di suatu lokasi. Karena semuanya ini akan berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan kepala asrama tersebut. Pendidikan berpola asrama ini pada akhirnya akan mandiri, jadi perlu dipikirkan apa yang menjadi sumber pendapatan dari asrama tersebut. Kajian Dikbud, Nomor 016, Maret 199 hal. 19-28 Sekolah Sebagai Wawasan Wiyata Mandala Dapat Mencegah Kenakalan dan Perkelahian Pelajar Oleh :

Elin Yulaeliah Sekolah bagi wawasan wiyata mandala merupakan tempat siswa belajar memperoleh ilmu pengetahuan akademis, keterampilan dan budi pekerti yang sesuai dengan moral dan nilai-nilai Pancasila. Di sekolah siswa disibukkan dengan tugas akademis, keterampilan yang dijiwai semangat gotong royong dan rasa kekeluargaan. Kesibukan siswa di sekolah mengakibatkan tidak ada waktu untuk melakukan perbuatan nakal dan berkelahi atau setidak-tidaknya dapat mengurangi kenakalan pelajar/siswa. Wawasan Wiyata Mandala berperan mengamankan sekolah dari segala pengaruh yang bersifat negatif, baik yang datang dari dalam maupun dari luar sekolah, karena di sekolah tercipta suasana kekeluargaan, kasih sayang dan harmonisasi. Untuk memotivasi wawasan Wiyata Mandala ini, diperlukan kepala sekolah yang mampu memimpin, kreatif, inovatif serta mampu menggerakkan segala potensi yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakat. Kajian Dikbud, Nomor 016, Maret 1999 hal. 29-37 Pengaruh Model Pembelajaran Arias Terhadap Motivasi Berprestasi Siswa Oleh : Djamaah Sopiah The objectives of the study were to find out empirical data about the effect of the ARIAS model of instruction on pupils' achievement motivation, and whether different effect obtained for boys and girls on achievement motivation. This experimental study was conducted at the Public Elementary School in Sekayu, using 2 x 2 factorial design. The population of the study was pupils of the Public Elementary School Sekayu, while the sample consisting of 80 pupils of the fifth grade which taken randomly by proportional random sampling technique. The data were analtzed by Analysis of Variance (ANOVA)--2 way at a = 0,05. The results of the analysis reveal that there is significant effect of the ARIAS model of instruction on pupils' achievement motivation. Pupils receiving the ARIAS model of instruction get better achievement motivation than those who do not. However there is no significant effect of gender on pupils' achievement motivation. Gender do not apear differences on pupils' achievement motivation. The result of the analysis also reveal that there is no interaction found between gender and the instructional model used which affect pupils' achievement motivation. Kajian Dikbud, Nomor 016, Maret 1999 hal. 38-45

Penghematan Dalam Pendidikan Perlu Segera Dibenahi Untuk Menghadapi Krisis Moneter Oleh : Mamiek Slamet Dampak krisis moneter yang melanda negeri tercinta ini sudah mulai nampak dengan adanya kenaikan harga, banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), dan turunnya daya beli masyarakat terhadap berbagai sektor. Jika diamati secara mendalam, krisis moneter ini tidak semata-mata hanya menyangkut persoalan ekonomi saja. Namun, sektor pendidikan pun seyogyanya mulai waspada dan mawas diri, sehingga dapat membantu program pemerintah untuk menghadapi krisis moneter saat ini. Untuk menghadapi krisis moneter saat ini perlu ditingkatkan perencanaan dan penyelenggaraan pendidikan yang betulbetul efektif dan efisien. Pendidikan yang efektif dan efisien ini adalah pendidikan yang bermutu tinggi, namun dengan biaya yang semurah mungkin. Dalam tulisan ini akan diuraikan dasar-dasar pemikiran mengenai pembiayaan pendidikan yang sehemat mungkin untuk menghadapi krisis moneter. Kajian Dikbud, Nomor 016, Maret 1999 hal. 46-50 Pendidikan Kejuruan Dan Pelatihan di Thailand, Korea dan Taiwan Oleh : Subijanto Peningkatan sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu program yang mendapat perhatian khusus menjelang era perdagangan bebas baik di tingkat Asia (AFTA) tahun 2003 dan globalisasi perdagangan dunia tahun 2020. Salah satu cara untuk meningkatkan SDM tersebut adalah melalui jalur pendidikan dan pelatihan. Di bidang pendidikan dan pelatihan seperti di Thailand, Korea Selatan dan Taiwan merupakan contoh gambaran negara di Asia yang sedang berupaya meningkatkan kualitas SDM melalui "dual system" dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan pasar. Nampaknya dalam upaya tersebut Korea Selatan dan Taiwan lebih mapan baik dari segi visi maupun konsepsinya bila dibandingkan dengan Thailand. Di samping standar program pendidikan dan pelatihan di kedua negara tersebut telah dikembangkan pula standar kualifikasi keterampilan (kompetensi) dan sertifikasi. Kajian Dikbud, Nomor 016, Maret 1999 hal. 51-57

Uji Coba Soal Kunci Keberhasilan Untuk Menyeleksi Soal-soal Ujian Bersifat Nasional Yang Berkualitas Baik oleh : Hari Setiadi Ujian yang ruang lingkupnya besar atau yang bersifat nasional sudah seharusnya mempunyai soal yang kualitasnya handal dan dapat dipercaya. Tetapi, pada kenyataannya dapat dikatakan hanya sedikit ujian-ujian yang menyangkut nasib orang banyak yang sudah dianalisis secara kuantitatif atau yang sudah melalui tahap uji coba soal. Sedangkan kualitas suatu butir soal apabila tidak melalui tahap uji coba soal atau tidak dilakukan analisis secara kuantitatif maka sulit diketahui keterhandalannya. Seharusnya setelah soal-soal diberikan kepada peserta tes atau diujicobakan, soal-soal tersebut dapat dianalisis baik secara kualitatif, maupun kuantitatif kemudian diseleksi dan disimpan di dalam Bank Soal sehingga sewaktu-waktu siap digunakan bila dibutuhkan. Kajian Dikbud, Nomor 016, Maret 1999 hal. 58-66 Manfaat Kerja Kelompok Bagi Siswa Dalam Mengembangkan Keterampilan Berbicara Dalam Bahasa Inggris Oleh : Ambari Sutardi Artikel ini membahas tentang manfaat kerja kelompok bagi siswa dalam mengembangkan keterampilan berbahasa lisan, terutama dalam bahasa inggris. Ada dua hal yang dibahas, pertama manfaat siswa duduk berbaris menghadap ke depan kelas guna mendengarkan penjelasan dari gur atau yang disebut dengan istilah "lockstep". Kedua, manfaat siswa belajar berkelompok dalam menyelesaikan tugas mereka di dalam kelas. "Lockstep akan bermanfaat bagi siswa dalam mengembangkan keterampilan mendengarkan bila guru sering membri model ucapan dari bahasa yang dipelajari siswa. Sedangkan kerja kelompok diantara siawa akan bermanfaat dalam mengembangkan keterampilan bahasa inggris lisan, apalagi bila selama kerja kelompok mereka dituntut untuk menggunakan bahasa inggris. Ada beberapa manfaat bagi siswa dalam kerja kelompok antara lain: (1) akan memperoleh waktu lebih banyak untuk berbicara, (2) dapat membentuk kebiasaan yang baik, (3) akan merasa lebih rileks bila berbicara dengan teman sendiri daripada dengan atau dalam pengawasan guru, (4) akan mudah menguasai bahasa sasaran secara alami, (5) akan

mengembangkan sosialisasi, (6) akan mengurangi kesenjangan antara tuntutan masyarakat dan perolehan dari sekolah. Kajian Dikbud, Nomor 016, Maret 1999 hal. 67-73 Pengaruh Kenaikan Harga Sembako di Kawasan Pesisir Selatan Kalimantan Tengah Terhadap Kelangsungan Pendidikan Anak Usia Sekolah Oleh : H.M.Norsanie Darlan Penelitian bertujuan : (1) ingin mengetahui pengaruh kenaikan harga Sembako terhadap mata pencaharian penduduk, (2) mengetahui kemampuan baca tulis warga masyarakat Pesisir Kalimantan Tengah, dan (3) strategi apa yang dapat dilakukan agar warga masyarakat segera tuntas tuna- aksara. Metode penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif untuk strategi penuntasan Wajar dikdas 9 tahun. Sampel yang diambil anak usia sekolah wajib belajar dikdas 9 tahun, antara 6 - 15 tahun baik pria maupun wanita, dengan menggunakan pedoman wawancara serta alat test tunaaksara latin dan angka. Penelitian dilaksanakan selama 2 minggu, yaitu minggu ke- 3 dan ke- 4 September 1998,di desa/dukuh: Cemati, wilayah Kecamatan Pulau Hanaut, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Hasil penelitian : (1) Kenaikan harga sembilan bahan pokok untuk warga masyarakat kawasan pantai di desa wilayah penelitian, ternyata tidak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat nelayan. Sebab, naiknya harga sembako diimbangi dengan naiknya harga ikan dan kelapa. Sementara harga udang justru melambung tinggi, karena udang adalah komoditas ekspor. Sedangkan minyak goreng tidak menjadi masalah, karena sejak nenek moyangnya mengolah minyak goreng dari kelapa yang tak terjual ke pasar. (2) Dalam hal baca tulis warga masyarakat desa/dukuh tersebut, masih belum mampu mengenal huruf sehingga didirikan sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI). (3) Strategi yang dapat akurat dilakukan agar warga masyarakat segera tuntas tunaaksara dalam waktu pendek adalah dengan mendatangkan tenaga guru swasta atas swadaya masyarakat. Sedangkan jangka panjang ditugaskan tenaga guru negeri oleh pemerintah yang sebelumnya harus ada gedung sekolah baik milik masyarakat atau dari pemerintah. Kajian Dikbud, Nomor 016, Maret 1999 hal. 74-81

Abstrak Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi No. 17


Desentralisasi Pendidikan

Oleh : Miftah Thoha Desentralisasi pendidikan ialah pendelegasian sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pusat atau pejabat di bawahnya atau dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dari pemerintah kepada masyarakat. Yang menjadi bahan pemikiran dalam hal desentralisasi ini adalah untuk menentukan kewenangan mana yang tidak bisa didesentralisasikan dan kewenangan mana yang dapat didesentralisasikan. Kewenangan yang bersifat nasional seharusnya dipegang oleh pemerintah pusat. Implementasi dan evaluasi kebijakan nasional bisa dilakukan oleh pusat bisa pula diserahkan kepada unit di bawah di daerah atau kepada masyarakat. Kewenangan yang bersifat lokal (daerah) pelaksanaan dan evaluasi tidak perlu diintervensi oleh pemerintah pusat. Desentralisasi pendidikan bertujuan untuk mengurangi campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dillaksanakan oleh unit tataran bawah atau masyarakat. Dengan demikian desentralisasi pendidikan ini juga bertujuan untuk membudayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di bawah. Jurnal Dikbud No.017, Juni 1999 halaman 1-7 Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan Dan Permasalahannya Oleh : H. Nuril Huda Masalah yang dihadapi Indonesia saat ini adalah keterbatasan SDM yang berkualitas, dan ini menjadi suatu fenomena yang sekaligus menjadi masalah utama yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kualitas SDM Indonesia jauh ketinggalan dibandingkan dengan SDM negara-negara Asean lainnya. Ketinggalan ini hanya dapat dijawab dengan peningkatan kualitas pendidikan. Indonesia dengan latar belakang yang beragam memerlukan penataan sistem dan layanan pendidikan yang lebih demokratis sesuai dengan tuntutan masyarakat. Untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dalam masyarakat yang heterogen (majemuk), perlu keterlibatan semua pihak (pemerintah, keluarga, masyarakat) dan ini merupakan prasyarat utama bagi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. Hal ini semua mengisyaratkan perlunya dilaksanakan desentralisasi pendidikan untuk merespon dan memotivasi aspirasi semua pihak. Desentralisasi pendidikan akan berdampak langsung pada desentralisasi manajemen pendidikan sekaligus secara fleksibel dapat mengantisipasi keragaman tuntutan lokal dan daerah, utamanya sekolah.

Untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan, kemampuan daerah ini menjadi ukuran karena banyak masalah dan kendala yang perlu diatasi dalam penyelenggaraan desentralisasi tersebut (kurikulum, SDM, dana, sarana dan prasarana, peraturan perundang-undangan). Jurnal Dikbud No.017, Juni 1999 halaman 8-29 Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan: Hasil Penelitian Oleh : Mahdiansyah, Sri Retnaning, Noor Suparyanti, C.D. Fajarini, dan Dwi Winanto Hadi Desentralisasi pendidikan merupakan isu penting dan cenderung menjadi pilihan di era demokratisasi dan globalisasi, karena sentralisasi pengelolaan pendidikan yang selama ini diterapkan telah menyebabkan kemampuan daerah dalam mengurus pendidikan kurang berkembang sehingga, menjadi kendala bagi mutu pendidikan nasional. Namun, penerapan desentralisasi pendidikan tidak dapat dipisahkan dari arah sistem penyelenggaraan pemerintahan, dan bahkan sistem pendidikan merupakan subsistem dari sistem yang lebih luas tersebut. Oleh karena itu, searah dengan sistem pemerintahan yang akan memberikan otonomi luas pada kabupaten/kotamadya maka sebagian besar wewenang pendidikan seyogyanya diserahkan pada kabupaten/kotamadya dan bahkan sampai pada tingkat sekolah. Hasil penelitian ini menawarkan pokok-pokok pikiran tentang pengembangan model desentralisasi pengelolaan pendidikan dalam setting otonomi daerah. Salah satu gagasan pokok dalam pengembangan model ini adalah restrukturisasi kelembagaan pendidikan di daerah melalui pembentukan "Dinas Dikbud" di tingkat propinsi dan kabupaten/kotamadya, dan pemberian wewenang yang luas pada kabupaten/kotamadya untuk mengelola pendidikan dan kebudayaan. Jurnal Dikbud No.017, Juni 1999 halaman 30-59 Desentralisasi Pendidikan di Tingkat Kelas Oleh : Suke Silverius Terbitnya Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat-Daerah maka isu desentralisasi dalam kaitan langsung dengan otonomi semakin mencuat. Berbagai uraian dan pandangan muncul namun semuanya dalam kaitan dengan ilmu pemerintahan

atau dengan disiplin ilmu lainnya secara makro. Kajian ini mengulas perlunya desentralisasi secara mikro, khususnya di tingkat kelas. Konsep pendidikan yang banyak dianut para guru dan tenaga kependidikan berpusat pada hubungan satu arah antara guru dengan siswa dan guru sebagai sumber segala pengetahuan yang hendak dituangkan ke dalam diri siswa yang dipandang tidak mahatahu atau bahkan yang mahatidaktahu. Konsep ini menjauhkan guru dan siswa dari kehidupan realita dan masuk dalam suatu dunia kayalan. Oleh sebab itu, dipandang perlu adanya reformasi dalam bidang pendidikan. Bentuk reformasi yang ditawarkan adalah desentralisasi di tingkat kelas dan perubahan konsep pendidikan dari guru yang mahatahu menjadi guru sebagai mitra pembelajaran yang mengajar siswa dan sekaligus juga diajar siswa dengan masukan dari para siswanya. Dengan konsep ini para guru dan siswa bersama-sama memasuki dunia realita dan menjelajahinya bersama dan memanfaatkannya untuk pengembangan diri dan kepribadian masing-masing ke arah suatu kehidupan yang kritis dan kreatif. Desentralisasi pendidikan di tingkat kelas ini dipersyaratkan oleh perampingan kurikulum 94 sebagai suatu "conditio sine qua non" demi memberikan banyak waktu dan memperbesar peluang bagi para siswa untuk ikut serta secara aktif dalam proses pembelajaran bersama-sama dengan gurunya. Jurnal Dikbud No.017, Juni 1999 halaman 60-76 Manajemen Berbasiskan Sekolah: Konsep dan Kemungkinan Strategi Pelaksanaannya di Indonesia Oleh : Rumtini dan Jiyono Bentuk otonomi sekolah sebagai realisasi dari program desentralisasi di tingkat sekolah diformulasikan dalam konteks manajemen berbasis-sekolah atau "school-based management". Lingkup manajemen berbasis-sekolah meliputi otonomi yang luas bagi sekolah dalam mengelola sumber daya, partisipasi yang tinggi dari masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan nasional. Dalam menyusun strategi pelaksanaan, terdapat dua faktor yaitu kondisi sekolah dan kompleksitas permasalahan pendidikan di Indonesia. Mengingat keberagaman kondisi sekolah di Indonesia baik dalam kualitas maupun lokasinya, pelaksanaan manajemen berbasis-sekolah perlu mempertimbangkan tingkat kemampuan manajemen masing-masing sekolah. Strategi ini perlu diambil agar manfaat yang ditawarkan oleh sistem baru tersebut dapat diambil semaksimal mungkin dan untuk menghindari perlakuan (treatment) yang sama pada semua sekolah. Pada sisi lain, kompleksitas permasalahan pendidikan di Indonesia juga mengisyaratkan perlunya pentahapan dalam pelaksanaan manajemen berbasissekolah. Dalam pelaksanaan tersebut diyakini bahwa sedikitnya terdapat tiga tahap yang harus dilalui, yaitu jangka pendek, menengah, dan panjang.

Kegiatan-jangka pendek ini berupa sosialisasi terhadap sekolah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya; pelatihan; dan pemberian block grant langsung ke sekolah. Berhasil tidaknya penerapan model sekolah ini sangat ditentukan adanya konsistensi dan komitmen yang tinggi dari seluruh pelaku termasuk pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan nasional. Jurnal Dikbud No.017, Juni 1999 halaman 77-107 Peranan Kemitraan Majelis Pendidikan Kejuruan Propinsi (MPKP) Dan Majelis Sekolah (MS) Dalam Rangka Desentralisasi Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Oleh : Subijanto Peranserta masyarakat dalam pendidikan nasional telah diatur oleh UU Nomor 2 Tahun 1989 dan PP Nomor 39 Tahun 1992. Salah satu wujud nyata peran serta tersebut adalah kerja sama atau kemitraan antara SMK dengan masyarakat dunia usaha/industri dalam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Secara formal bentuk kerja sama itu telah dituangkan dalam keputusan bersama antara Mendikbud dengan Ketua KADIN Nomor 0267a/U/1994 dan Nomor 84/KU/X/1994 tentang peran dan fungsi Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN), Majelis Pendidikan Kejuruan Propinsi (MPKP) dan Majelis Sekolah (MS). Diharapkan pada era desentralisasi pendidikan, optimalisasi pemberdayaan peranserta Majelis tersebut dapat terwujud dalam upaya pengembangan manajemen berbasis sekolah atau lebih dikenal dengan "school based management". Salah satu peluang bentuk kemitraan antara MPKP dan MS dengan SMK adalah upaya menyukseskan program PSG dengan berbagai aspek pendukungnya. Aspekaspek tersebut antara lain dalam hal sosialisasi PSG ke dunia usaha/industri, pengembangan kurikulum, uji kompetensi, sertifikasi, pemasaran tamatan, dan menjalin kerja sama yang saling menguntungkan (mutual benefit). Untuk itu, diperlukan kemampuan manajerial kepala SMK yang utuh, ampuh dan tangguh dalam memberdayakan kemitraan dengan majelis tersebut. Dengan demikian, pada gilirannya "mismatch" kualitas tamatan SMK dengan kebutuhan dunia usaha/industri dapat dieliminir. Jurnal Dikbud No.017, Juni !999 halaman 108-121 Kiat Untuk Menilai Ketercapaian Profil Kemampuan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Oleh : Mamiek Slamet dan Djuharis Rasul Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bertujuan untuk menyiapkan tamatan untuk menjadi tenaga kerja tingkat menengah yang terampil dan profesional dalam bidang kejuruan spesialisasi yang dipilihnya. Untuk mengetahui tingkat kemampuan yang telah dimilikinya perlu dilakukan penilaian. Penilaian dapat dilakukan dengan teknik test dan bukan test. Pemberian penilaian dapat dilakukan dengan dua cara yakni cara kuantitatif dan kualitatif. Materi yang dinilai adalah seluruh komponen kemampuan yang seharusnya dimiliki meliputi aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap. Jurnal Dikbud No.017, Juni 1999 halaman 122-131 Reformasi : Kemana Angin Bertiup? Oleh : Iskandar Agung Reformasi adalah suatu usaha perubahan atau perbaikan terhadap segala aspek kehidupan yang terjadi. Untuk melaksanakan reformasi diperlukan suatu penilaian yang benar terhadap apa yang perlu diperbaiki atau diubah, sehingga reformasi mengarah pada tujuan yang konstruktif. Arah reformasi itu harus diupayakan agar perbaikan yang dilakukan benar-benar memberikan landasan bagi perbaikan kehidupan di masa mendatang dan bukan bersifat destruktif yang membahayakan integritas bangsa. Upaya yang sangat strategis agar reformasi itu benar-benar mengarah pada perbaikan adalah menempatkan hukum pada porsi yang sebenarnya. Hukum harus diterapkan dan ditaati secara konsisten dan konsekuen. Tanpa itu reformasi tidak akan menghasilkan perbaikan. Jurnal Dikbud No.017, Juni 1999 halaman 132-144 Perspektif Pendidikan Budi Pekerti: Kajian Empiris Dan BeberapaImplikasinya Terhadap Kebijakan Oleh : Philip Suprastowo Gejala meningkatnya penyimpangan perilaku siswa pada saat ini dinilai oleh sementara kalangan masyarakat sebagai indikasi belum optimalnya peran sekolah dalam pendidikan budi pekerti. Ada dua opini yang berbeda tentang

pentingnya penerapan kembali "pendidikan budi pekerti di sekolah"; satu pihak menginginkan pola pengajaran budi pekerti yang terintegrasi (terpadu) dengan mata pelajaran dan melalui kegiatan kesiswaan, Pihak yang lain mendesak agar budi pekerti diberlakukan sebagai "mata pelajaran yang berdiri sendiri", seperti pernah berlaku dalam pendidikan budi pekerti di tahun 60 70-an. Pro dan kontra tentang pemikiran pola pendidikan budi pekerti di sekolah tidak akan mendapatkan solusi yang jernih dan komprehensif, apabila persepsi dan pemahaman tentang istilah dan konsep "pendidikan budi pekerti" tidak didasarkan pada pandangan dan pijakan yang sama. Kecuali itu, belum diketahui secara jelas sejauh mana program pendidikan budi pekerti telah diprogramkan dan dilaksanakan di sekolah. Artikel ini berusaha untuk menjawab beberapa persoalan tersebut, berdasarkan studi empirik dari program kurikuler dan pelaksanaannya di SMU dan bermaksud memberikan sumbang saran bagi peningkatan pendidikan budi pekerti di sekolah. Jurnal Dikbud No.017, Juni 1999 halaman 145-172

Abstrak Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi No. 18


Menggusur Kurikulum Padat Oleh : Masdjudi Sejak kurikulum 1994 diberlakukan, kritikan tidak henti-hentinya ditujukan terhadap kurikulum tersebut. Salah satu yang paling dipermasalahkan adalah padatnya isi kurikulum tersebut, sehingga guru tidak sempat berbuat lain kecuali mengejar target kurikulum yang harus dieselesaikan tiap akhir caturwulan. Berkaitan dengan siswa, banyak yang menilai bahwa beban belajar semakin meningkat apalagi jika tiap mata pelajaran ada pekerjaan rumah (PR) atau tugas lain seusai jam sekolah, sehingga hal ini mengakibatkan siswa kehilangan masa kanak-kanak atau masa remajanya. Dari hasil evaluasi kurikulum, tidak semua matapelajaran padat isi, tetapi sangat tergantung pada kelas dan cawu yang masing-masing beda beban belajarnya. Sebenarnya kurikulum yang rampingpun bukan jaminan karena pada pelaksanaannya masih memungkinkan padatnya kegiatan dalam pembelajaran. Banyak faktor yang menyebabkan kurikulum dan pelaksanaannya menjadi padat. Artikel ini mencoba mengulas apa dampak padatnya kurikulum pada pembelajaran, apa yang menyebabkan kurikulum menjadi padat, dan beberapa saran pemecahannya. Jurnal Dikbud No.018, September 1999 halaman 1-9 Penyempurnaan Kurikulum Fisika

Oleh : Muslim Berdasarkan pengamatan di lapangan, kurikulum fisika yang berlaku sekarang masih mengandung banyak kelemahan yang akibatnya akan merugikan para siswa dalam proses belajar. Untuk itu, perlu dilakukan pemantauan dan reformasi berkesinambungan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan yang merupakan komponen hulu untuk mempersiapkan calon ilmuwan dan insinyur masa depan. Penyempurnaan kurikulum dimaksudkan untuk menghasilkan suatu kurikulum fisika yang terkalibrasi secara internasional, optimal dan realistis bagi siswa SLTP dan SM serta mampu mendasari kurikulum fisika di perguruan tinggi. Dengan demikian, dari kurikulum tersebut dihasilkan insinyur dan ilmuwan masa depan yang mampu berkompetisi dalam penerapan dan pengembangan iptek di Indonesia maupundunia internasional. Upaya penyempurnaan dapat dilakukan dengan mengamati dan mengevaluasi kurikulum fisika SLTP dan SM, mengolah data hasil penyaringan lulusan SM yang diterima di PTN, mempelajari kurikulum fisika yang berlaku di SLTP dan SM di luar negeri, mereviu kurikulum fisika di tingkat dasar dan perguruan tinggi di fakultas MIPA, Teknik, Sains Hayati dan Humaniora, Mengeksplorasi perkembangan internasional maupun nasional di bidang fisika, dan merencanakan penyelarasan dan optimasi seperlunya berdasarkan hasil kelima misi di atas. Jurnal Dikbud No.018, September 1999 halaman 10-16 Strategi Penyempurnaan Kurikulum Kimia 1994 di Sekolah Menengah Umum Oleh : Anna Poedjiadi Kurikulum 1994 dalam pelaksanaannya ternyata tidak terlepas dari pengaruh internal maupun eksternal yang menimbulkan permasalahan bagi pencapaian tujuan kurikulum tersebut. Maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap kurikulum 1994 khususnya untuk bidang studi ilmu kimia di Sekolah Menengah Umum (SMU). Dari survei dan wawancara ini diketahui antara lain; adanya guru yang kurang memahami tujuan strategi kurikulum 1994; guru belum dapat memberikan manfaat mata pelajaran kimia dalam kehidupan sehari-hari; adanya kelas unggulan mempunyai dampak negatif terhadap siswa dan guru; penilaian kualitas sekolah dilakukan atas dasar banyak lulusan yang masuk jurusan yang diminati melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN); banyak sekolah yang tidak memperhatikan sikap dan kepedulian terhadap lingkungan; guru menambah materi di luar GBPP; serta beberapa opini dan peristiwa seperti sikap

guru yang tidak terpuji dan adanya kebocoran soal. Faktor-faktor pendukung pelaksanaan kurikulum 1994 adalah musyawarah bidang studi; pembelajaran dengan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) serta penggunaan kumpulan konsep-konsep yang telah disebarluaskan. Beberapa saran dalam melaksanakan penyempurnaan antara lain adalah : materi disajikan lebih sederhana dan menarik dengan menggunakan pendekatan STM; pengadaan laboran; jam praktikum dipertimbangkan menjadi jam tatap muka; musyawarah guru MIPA diperlukan. Jurnal Dikbud No.018, September 1999 halaman 17-23 Tinjauan Umum Untuk Penyempurnaan Kurikulum Biologi Oleh : Ahmad Ridwan Persoalan yang dihadapi dalam kurikulum Biologi pasa saat ini adalah tidak adanya relevansi antara ketersediaan waktu belajar dengan beban materi, sehingga guru menganggap kurikulum 1994 terlalu padat. Permasalahan tersebut pada akhirnya mengimbas kepada persoalan-persoalan lain. Oleh karena itu, langkah yang akan dilakukan dalam penyempurnaan kurikulum Biologi 1994 harus bersifat multiaspek, artinya langkah tersebut harus diikuti pula dengan perbaikan-perbaikan dari komponen-konponen yang terlibat dalam proses belajar mengajar. Langkah strategi yang dapat ditempuh untuk penyempurnaan kurikulum Biologi tersebut antara lain: perlu disusun materimateri esensial dan menambah materi esensial yang belum tercantum. Selain itu, materi kurikulum harus diaktualisasi agar lebih future oriented, dan harus bisa melihat kebutuhan masyarakat dan era keterbukaan di masa depan, di samping perlu juga dipikirkan permasalahan yang berkaitan dengan penyempurnaan proses belajar mengajar. Jurnal Dikbud No.018, September 1999 halaman 24-30 Strategi Penyempurnaan Kurikulum Ekonomi (SD, SLTP, dan SMU)*) Oleh : Abdullah N.S. Sejak diberlakukannya kurikulum pendidikan dasar dan menengah (SD, SLTP, dan SMU) tahun 1994, terdengar suara-suara sumbang terhadap kurikulum tersebut. Selain itu, selama kurun waktu kurang lebih dua tahun belakangan ini,

terjadi perubahan-perubahan cepat terutama dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk meninjau, mengevaluasi, dan menyempurnakan kurikulum tersebut. Berkenaan dengan mata pelajaran ekonomi di SD, SLTP, dan SMU, perlu dirumuskan secara jelas tujuan mata pelajaran tersebut, dengan mengingat kembali tentang pendidikan dan pengajaran ekonomi. Titik berat pendidikan adalah pada pembinaan/pembentukan watak mental, sedangkan titik berat pengajaran adalah pada pembinaan intelektual akademik. Sehubungan dengan itu, dalam penyempurnaan kurikulum ekonomi perlu dilakukan langkahlangkah antara lain: meninjau kembali tujuan-tujuan kelembagaan (SD, SLTP, dan SMU), tujuan-tujuan mata pelajaran (topik IPS-Ekonomi di SD dan SLTP, dan Ekonomi di SMU), menentukan visi dan misi, menentukan aktivitas yang akan dilakukan, dan mengadakan evaluasi proses. Jurnal Dikbud No.018, September 1999 halaman 31-39 Strategi Penyempurnaan Kurikulum Sosiologi (SMU) Oleh : Kamanto Sunarto Pendekatan sosiologi ke dalam kurikulum SMU telah diprakarsai oleh alm. Prof. H. Harsja W. Bachtiar, M.A, Ph.D. pada tahun 80-an dengan visinya agar lulusan SMA mampu memahami dirinya sendiri dan lingkungan di sekitarnya dengan menggunakan sudut pandang ilmu-ulmu sosial (disiplin sosiologi dan antropologi), dengan harapan agar pikiran, perilaku dan sikapnya dilandasi pemahaman tersebut. Untuk mewujudkan visi tersebut sejak tahun 1984 mata pelajaran sosiologi dan antropologi dimasukkan ke dalam kurikulum SMU 1994, mata pelajaran sosiologi dipisahkan dari antropologi. Beberapa permasalahan yang dihadapi saat ini antara lain: masalah evaluasi, masalah GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran), masalah pendidik dan masalah bahan pelajaran. Dalam tulisan ini, ingin dikemukakan beberapa pemikiran yang berkembang pada saat ini, yang perlu menjadi pemikiran kita bersama, yaitu faktor pendidik, GBBP dan bahan pelajaran, serta proses pembelajaran. Jurnal Dikbud No.018, September 1999 halaman 40-48 Kurikulum PPKn Tahun 1994: Isu dan Permasalahan untuk Penyempurnaan Oleh : H.A. Aziz Wahab

Untuk melakukan langkah penyempurnaan kurikulum yang tepat, berbagai isu dan permasalahan yang berkembang di masyarakat dan pendapat para pelaksana kurikulum harus pula diperhatikan. Informasi tentang pelaksanaan mata pelajaran PPKn, diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan beberapa orang guru SD, SLTP dan SMU dari beberapa kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan Garut. Selain itu, telah pula dilakukan observasi langsung di beberapa sekolah pada satuan pendidikan SD, SLTP, SMU, dan SMK di Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Hasil wawancara dan observasi tersebut memberikan gambaran perlunya analisis bagi penyempurnaan kurikulum PPKn 1994, yang berkenaan dengan materi PPKn, alokasi waktu, dan sistem penyampaian dan penilaiannya. Berdasarkan kajian terhadap isu dan permasalahan serta analisis tersebut, beberapa usul penyempurnaan yang dapat dilakukan antara lain perlu dilakukan pembatasan terhadap nilai-nilai yang akan diajarkan, misalnya; untuk SD, materi yang dikaji baru menyangkut aspek pengetahuan dan tindakan saja; untuk jenjang SLTP, materi merupakan lanjutan dari materi SD namun perlu ditambahkan aspek afektif; demikian juga untuk SMU dan SMK, materi lebih ditekankan pada aspek keilmuan dan aspek teoritik, untuk membekali siswa yang akan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Jurnal Dikbud No.018, September 1999 halaman 49-59 Strategi Penyempurnaan Kurikulum Untuk SD, SMP, DAN SMU Oleh : A. Adaby Darban, S.U. Definisi kurikulum beragam bila dipandang dari rumusan dan cakupannya. Setiap definisi memiliki kelebihan dan kekurangan. Memperhatikan berbagai definisi ini, memang sulit membuat suatu kurikulum yang rinci dan operasional, yang dapat melahirkan anatomi kurikulum secara konkrit. Demikian juga halnya dalam penyusunan kurikulum sejarah yang rinci dan operasional. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi strategi penyusunan kurikulum sejarah, yakni: 1) visi, 2) misi, dan 3) pengetahuan dasar dan keterampilan dasar yang diperlukan oleh siswa. Pemuatan visi dan misi yang jelas dalam pendidikan sejarah akan lebih memantapkan pengetahuan sejarah di kalangan peserta didik, karena sejarah benar mengungkapkan kenyataan masa lalu. Visi dan misi kurikulum sejarah ini mencakup segala aspek kehidupan ini memiliki banyak hal yang menarik dan perlu diketahui siswa dalam rangka menumbuhkan jiwa dan semangat patriotik, rasa kebangsaan, kemanusiaan, kritis pada diri peserta didik dll. Di samping visi dan misi, yang tidak kalah penting untuk dipikirkan ialah memilih dan menentukan pengetahuan dasar dan keterampilan dasar yang diperlukan oleh siswa. Hal ini perlu untuk menghindari kurikulum yang tumpang tindih, sentralistik, dan muatan/materi yang terlalu banyak.

Jurnal Dikbud No.018, September 1999 halaman 60-66 Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Suatu Kajian Yuridis, Teoritis, dan Empiris Oleh : Herry Widyastono Secara yuridis, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar. Kurikulum nasional pendidikan tinggi yang berlaku saat ini salah satunya berisi susunan nama mata kuliah beserta jumlah masing-masing SKS-nya, namun tidak disertai deskripsi keluasan dan kedalaman materi/bahan ajar. Hal itu menyebabkan keluasan dan kedalaman materi/bahan ajar yang harus disampaikan kepada para mahasiswa akan sangat bervariasi tergantung kepada keahlian staf pengajar. Akibatnya, materi yang disampaikan kepada para mahasiswa akan berbeda keluasan dan kedalamannya. Perbedaan ini akan semakin nampak antara Perguruan Tinggi yang favorit dengan Perguruan Tinggi yang kurang favorit. Untuk menanggulangi kesenjangan tersebut, dipandang perlu adanya kurikulum nasional yang berisi 60 % dari keseluruhan mata kuliah dan 60% materi/bahan ajar sehingga 40% dapat digunakan sebagai mata kuliah muatan lokal dan dosen dapat mengembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Dengan demikian, dapat memenuhi kemampuan minimal (standar minimal nasional) dari setiap program studi yang sama di perguruan tinggi. Jurnal Dikbud No.018, September 1999 halaman 67-81 Penyempurnaan Kurikulum 1994 Berbasis Kemampuan Dasar: Laporan Awal Oleh : Boediono, Hamka, Tarmi Pudjiastuti Tulisan ini merupakan laporan awal penyempurnaan Kurikulum 1994. Prosedur kerja Penyempurnaan Kurikulum 1994 diawali dengan pemetaan untuk mendapatkan gambaran Kurikulum 1994 dari perspektif basic competencies. Hasil pengamatan sementara terhadap pemetaan Kurikulum 1994 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa Kurikulum 1994 disusun tidak berdasarkan basic competencies. Jurnal Dikbud No.018, September 1999 halaman 82-97

Abstrak Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi No. 19


Penyempurnaan Kurikulum Berbasis Kemampuan Dasar: Dasar Pemikiran Oleh : Boediono dan Ella Yulaelawati Tulisan ini merupakan dasar pemikiran bagi penyusunan kurikulum berbasis kemampuan dasar. Penyusunan kurikulum berbasis kemampuan dasar menggunakan pemikiran-pemikiran eklektif, sehingga kurikulum yang disusun berisi kemampuan dasar atau target kemampuan ("attainment targets") dilengkapi dengan standar prosedur pelaksanaan, standar hasil belajar, dan materi yang akurat. Dalam tulisan ini dikemukakan rasional, definisi kerja kemampuan dasar, kerangka teori, pendekatan dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum berbasis kemampuan dasar dan berorientasi masa depan. Dasar pemikiran eklektif ini digunakan pada penyusunan kemampuan dasar dengan berbagai penyesuaian terhadap kekhususan dan kekhasan mata pelajaran serta jenjang sekolah. Jurnal Dikbud No.019, Oktober 1999 halaman 1-12 Perspektif Transparansi Global Dalam Kurikulum oleh : M. Djamil Ibrahim Untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam rangka globalisasi perlu dilakukan penyesuaian kurikulum sebab kurikulum adalah salah satu faktor dalam proses pendidikan yang berperan seperti "perangkat lunak" dari proses tersebut. Kurikulum mempunyai peranan sentral karena menjadi arah atau titik pusat dari proses pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan juga perlu dipegang adanya Trias Edutika. Yaitu tugas dan fungsi Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan adalah sebagai legislatif (penentu arah dan isi pendidikan), Dikdasmen sebagai eksekutif (penyelenggara pendidikan), dan Pusat Pengujian sebagai yudikatif (menilai hasil penyelenggaraan pendidikan). Sehingga, bisa diciptakan pendidikan yang bermutu. Arah kurikulum di masa yang akan datang dapat dilihat dalam faktor-faktor: (1) perubahan demografi, (2) inovasi teknologi, (3) inovasi sosial, (4) pergeseran nilai kebudayaan, (5) pergeseran ekologi, (6) pergeseran ide dan informasi. Berdasarkan tuntutan ini, kurikulum di masa yang akan datang

mempunyai konsekuensi terhadap penyajian kurikulumnya, kualifikasi tenaga guru, dan profil lulusan sebagai output (keluaran) sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Jurnal Dikbud No.019, Oktober 1999 halaman 13-36 Model Evaluasi Kurikulum Penerapannya pada Kurikulum Muatan Lokal oleh : Suwandi Pemahaman suatu model yang diperkenalkan oleh para ahli tentang evaluasi kurikulum merupakan suatu keharusan bagi para pengembang kurikulum. Para pengembang kurikulum dapat memilih model yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi, karakter, dan sebagainya dengan kurikulum yang akan dievaluasi. CIPP (Context, input, process, product) dari Stufflebeam merupakan salah satu model evaluasi kurikulum yang sesuai dengan evaluasi kurikulum muatan lokal sebab kurikulum muatan lokal merupakan kurikulum baru yang lengkap. Dalam arti dimulai dari need assessment sesuai kebutuhan masyarakat. Penyusunan perangkat kurikulum, uji coba pelaksanaan dan pelaksanaan itu sendiri, evaluasi kurikulum, dan kembali ke penyempurnaan perangkat kurikulum sesuai masukan hasil evaluasi. Masalah yang akan dicari jawabannya dalam evaluasi kurikulum ini adalah mengapa terjadi ketidaksesuaian antara tujuan mata pelajaran dengan hasil belajar siswa. Dalam ciri pengembang kurikulum dan masalah seperti itulah kiranya model CIPP merupakan model yang sesuai. Ternyata, hasil evaluasi kurikulum model CIPP memberikan masukan yang optimal dalam pengambilan keputusan. Terjadinya kesenjangan antara tujuan dengan hasil belajar siswa, disebabkan guru kurang memahami apa dan bagaimana pembelajaran serta evaluasi untuk mata pelajaran yang berkarakteristik afektif (penanaman nilainilai) seperti halnya kurikulum muatan lokal mata pelajaran PLKJ. Jurnal Dikbud No.019, Oktober 1999 halaman 37-54 Kesenjangan Antara Harapan Dan Kenyataan Dalam Pelaksanaan Kurikulum IPA (Fisika) oleh : Masdjudi

Pembaharuan dalam kurikulum 1994 khususnya Ilmu Pengetahuan Alam, bercirikan kegiatan belajar mengajar aktif dan sangat menekankan perlunya pengembangan kemampuan intelektual peserta didik yang dikenal dengan keterampilan proses. Agar pelaksanaan kurikulum Fisika dapat berjalan sesuai dengan harapan, maka uraian pembelajaran dalam garis-garis besar program pengajaran (GBPP) harus lebih banyak diwarnai dengan pengalaman belajar apa yang harus dimiliki oleh peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan belajar mengajar, tidak banyak berubah. Guru merasa lebih aman dengan metoda ceramah bervariasi yang diselingi tanya-jawab. Pola pengajaran yang "teacher centred" dan komunikasi satu arah masih mendominasi suasana kegiatan belajar mengajar di kelas. Guru lebih banyak mengajukan pertanyaan pada peserta didiknya, dan pertanyaan yang sering diajukan kepada peserta didik lebih dominan pada jenis pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka cenderung kepada pertanyaan yang membutuhkan jawaban singkat dan bersifat hafalan yang dikatakan guru. Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa perubahan kurikulum tidak selalu mengakibatkan perubahan cara mengajar di kelas. Guru mempunyai kesulitan dalam mengintegrasikan cara pandang dan cara mengajar baru dalam pola perilaku yang sudah mapan yaitu ke dalam situasi yang telah ditekuni bertahun-tahun yang dirasakan lebih mudah, nyaman dan aman. Atas dasar hal tersebut, maka perlu "pemrograman kembali" terhadap para guru agar dapat mengubah kebiasaan yang telah ditekuninya. Havelock mengusulkan "Linkage Model" yang menggabungkan 3 model diseminasi pembaharuan. Tiga model itu ialah "Research", "Development and Disemination Model"; "Social Interaction Model"; dan "Problems Solving Model". Jurnal Dikbud No.019, Oktober 1999 halaman 55-71 Kurikulum 1994 IPA Pendidikan Dasar dan Menengah: Peluang dan Kendala Oleh : S. Karim A. Krahami Pengembangan kurikulum IPA, seperti halnya pengembangan kurikulum mata pelajaran lainnya, mengikuti suatu siklus terencana yang meliputi: studi kebutuhan, perancangan dokumen kurikulum tertulis, pemasyarakatan kurikulum, pelaksanaan kurikulum di sekolah dan penilaian kurikulum, dengan melibatkan berbagai unsur seperti ahli bidang studi, ahli pendidikan, guru berpengalaman, pengamat pendidikan IPA dan unit kerja terkait yang relevan. Tahap pra implementasi sebagian besar dilakukan di sekolah. Dari hasil pemantauan diketahui bahwa salah satu kendala pelaksanaan kurikulum IPA adalah kesenjangan antara dokumen tertulis dengan pelaksanaan di sekolah. Kendala lain adalah akibat terjadinya kesenjangan antara pola evaluasi yang disarankan kurikulum. Selain itu juga terjadi kesenjangan antara kurikulum

kelompok IPA jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan kurikulum kelompok IPA pada pendidikan guru. Jurnal Dikbud No.019, Oktober 1999 halaman 72-80 Beberapa Pokok Pikiran Tentang Penyempurnaan Kurikulum Mata Pelajaran Sejarah Oleh : Susanto Zuhdi Masyarakat, menilai bahwa kurikulum tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Ada beberapa alasan untuk melakukan penyempurnaan terhadap kurikulum yakni: 1) sentralistik, 2) beban materi yang berlebihan dan 3) tumpang tindih yang dianggap hanya cocok bagi anak cerdas. Untuk Kurikulum Sejarah terdapat satu alasan lain yakni sejarah menjadi "alat" ancient regime karena sejarah tidak lagi berfungsi sebagai ilmu yang berguna bagi kelompok sosial bangsa untuk memahami hari ini dan esok, melainkan sudah berubah menjadi alat penguasa untuk membenarkan kekuasaannya. Sejarah merupakan soal pilihan tentang mana yang harus ditampilkan dan mana yang ditekankan. Tujuan pemberian pelajaran sejarah ialah agar peserta didik memiliki kesadaran waktu dan ruang/tempat. Keadaan inilah yang menimbulkan kepedulian terhadap lingkungan, mengajak berpikir kritis, objektif dan kreatif, serta mengapresiasikan nilai-nilai religis, kemanusiaan, semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Pengertian dan tujuan pemberian pelajaran sejarah inilah sebagai bahan acuan untuk menyusun suatu kurikulum di setiap jenjang pendidikan. Dengan pemikiran yang mendalam atas sejarah ini dapatlah ditentukan materi mana yang harus diberikan untuk jenjang pendidikan tertentu, sehingga dapat dihindari muatan kurikulum yang terlalu banyak dan tumpang tindih. Jurnal Dikbud No.019, Oktober 1999 halaman 81-92 Perubahan Kurikulum Pengajaran Bahasa Inggris di SLTP dan SLTA Serta Dampaknya Terhadap Pelaksanaannya di Kelas Oleh : Idris HM Noor Setiap ada perubahan atau inovasi khususnya dalam bidang pendidikan akan mempengaruhi bukan hanya pada pelaksana pendidikan saja seperti guru dan kepala sekolah tetapi juga pada siswa. Perubahan kurikulum bahasa Inggris dari kurikulum tahun 1984 menjadi kurikulum tahun 1994 tidak terelakkan membawa

dampak dalam proses belajar mengajar di sekolah. Kurikulum bahasa Inggris khususnya di tingkat SLTP dan SLTA mengalami perubahan yang luas sekali baik dalam bentuk pendekatan pengajaran maupun materinya. Pendekatan grammar pada kurikulum bahasa Inggris tahun 1984 berubah secara fundamental dalam kurikulum bahasa Inggris tahun 1994, yaitu dengan menggunakan pendekatan yang disebut dengan Meaningful Approach (pendekatan kebermaknaan). Akibat perubahan ini, maka di sekolah terutama guru merasa sulit untuk menerapkan kurikulum yang menggunakan pendekatan ini. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterbatasan kemampuan guru-guru dalam menggunakan keempat skills (listening, speaking, reading dan writing) bahasa Inggris. Disamping itu, sistem evaluasipun harus berubah. Namun, kenyataannya di sekolah-sekolah perubahan (inovasi) kurikulum belum sepenuhnya merubah pola dan sistem mengajar guru, termasuk evaluasinya. Jurnal Dikbud No. 019, Oktober 1999 halaman 93-100 Persepsi Berbagai Responden Tentang Kualifikasi Pengembang Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (Suatu Studi) oleh : Hendarman Kemampuan (skills), status, dan pengalaman yang dimiliki akan mempengaruhi keterlibatan aktif seorang pengembang kurikulum sekolah kejuruan. Studi ini mengungkapkan persepsi dari berbagai responden (pengelola pendidikan, pengembang kurikulum, guru, instruktur dan dunia kerja) terhadap berbagai kualifikasi yang dimiliki seorang pengembang kurikulum sekolah kejuruan. Terdapat perbedaan nyata di antara kelima kelompok pembahan tersebut untuk kelima belas kualifikasi yang ada. Jurnal Dikbud No. 019, Oktober 1999 halaman 101-111 Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal Merupakan Suatu Tantangan (Hasil Penelitian) Oleh : Ambari Sutardi

Kurikulum nasional baik untuk pendidikan dasar maupun pendidikan menengah memiliki peranan penting di sektor pendidikan. Karena itu, kurikulum selalu mendapat perhatian pemerintah agar anak didik berkualitas dan dapat mengikuti perkembangan teknologi dan perubahan zaman. Untuk mencapai hal tersebut, perubahan demi perubahan sudah dilakukan, tetapi satu hal yang masih belum terjangkau dari dampak perubahan kurikulum nasional adalah pemanfaatan potensi daerah. Pemerintah menyadari akan hal ini sehingga mulai tahun 1990 ada gagasan untuk menyusun kurikulum yang dapat mengakomodasikan bahan ajar yang sesuai dengan keadaan di daerah setempat. Kurikulum yang mengarah pada pemanfaatan potensi daerah tersebut disebut Kurikulum Muatan Lokal atau disingkat mulok, dan berlaku sejak tahun 1994 di Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Ada keuntungan dan hambatan dengan diberlakukannya mulok di setiap propinsi. Namun, hambatan tersebut tidak perlu dianggap sebagai masalah yang akan menghentikan program desentralisasi, tetapi harus dianggap sebagai tantangan dan perlu dicarikan cara penyelesaiannya agar program tersebut berjalan dengan baik. Jurnal Dikbud No. 019, Oktober 1999 halaman 112-122 Kurikulum Persekolahan di Brunai Darusalam Oleh : Subijanto Model kurikulum persekolahan di Negara Brunei Darussalam merupakan model yang berorientasi pada mata pelajaran (subject content). Jumlah mata pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan mulai dari pra-sekolah sampai dengan sekolah menengah berkisar antara 7 sampai 9 mata pelajaran. Sedangkan mata pelajaran di pre-universiti sebanyak 12 mata pelajaran. Pada akhir-akhir ini, pengembangan kurikulum sekolah kejuruan telah dikembangkan materi pembelajaran yang mengacu pada standar kompetensi (competency based) suatu pekerjaan yang relevan dengan tuntutan dunia usaha/industri. Hasil pengembangan dimaksud saat ini sedang diimplementasikan di sekolah kejuruan yang pemantauannya dilakukan bersama-sama oleh sekolah dengan dunia usaha/industri. Suatu hal yang menarik adalah bahwa bahasa Inggris telah diajarkan semenjak TK sampai dengan Sekolah Rendah Bawah (lower primary) kelas 1 s.d 3. Sedangkan, penggunaan dwi bahasa (bilingual language) dimulai sejak Sekolah Rendah Atas (kelas 4 s.d 6 sampai dengan Sekolah Menengah Atas (upper secondary). Namun demikian, beberapa mata pelajaran harus disampaikan dengan menggunakan Bahasa Melayu seperti Pendidikan Agama Islam, Seni dan Kerajinan serta Malay Islam Berjaya (MIB). Sebaliknya, pengajaran Matematika, Sejarah, Sains, Geografi, disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris.

Jurnal Dikbud No. 019, Oktober 1999 halaman 123-129

Abstrak Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi No. 20


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu Pendidikan: Pendekatan Fungsi Produksi Pendidikan Oleh : Boediono & Abbas Ghozali Berbagai teori yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan telah dikembangkan, salah satunya adalah fungsi produksi pendidikan. Fungsi produksi pendidikan menganalisis hubungan inputs dan proses pendidikan (sebagai variabel yang mempengaruhi) dengan outputs dan outcomes pendidikan (sebagai variabel yang dipengaruhi). Inputs pendidikan adalah sumber yang digunakan dalam aktivitas produksi pendidikan. Inputs mencakup inputs sekolah seperti karakteristik guru, karakteristik administrasi, karakteristik bangunan, karakateristik bahan pembelajaran, dan karakteristik perlengkapandan inputs bukan sekolah seperti karakteristik murid dan karakteristik latar belakang keluarga. Proses pendidikan adalah cara inputs pendidikan ditransformasi menjadi outputs dan outcomes pendidikan. Outputs pendidikan adalah hasil langsung dari proses pendidikan, sedangkan outcomes pendidikan adalah hasil jangka panjang dari proses pendidikan. Outputs pendidikan biasanya diukur dengan prestasi akademis, sikap, perilaku, dll. Outcomes pendidikan diwakili oleh pendidikan dan latihan lebih lanjut, kesempatan kerja, penghasilan, dll. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara maju faktor keluarga lebih berpengaruh terhadap outputs dan outcomes pendidikan; sebaliknya, di negara-negara sedang berkembang faktor sekolah lebih menentukan kualitas terhadap outputs dan outcomes pendidikan. Jurnal Dikbud No. 020, Desember 1999 halaman 1-24 Dampak Proyek Terhadap Peningkatan Mutu SMU Oleh : Zamroni Penelitian bertujuan mengevaluasi sejauh mana dampak proyek dalam meningkatkan mutu SMU setelah proyek berjalan 3 tahun. Data diperoleh pada awal proyek, tahun kedua dan tahun ketiga proyek. Studi evaluasi mencakup 27 propinsi. Setiap propinsi dipilih satu SMU Tinggi (T) dan satu SMU Rendah ( R ). Responden dipilih 10 guru, 12 siswa dan 12 orang tua siswa. Pemilihan

menggunakan teknik random sederhana. Penelitian menggunakan kuesioner untuk kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua siswa. Hasil penelitian antara lain menunjukkan sebagai berikut. 1) Kepemimpinan kepala sekolah masih relatif rendah pada awal proyek; 2) Pelatihan manajemen bagi kepala sekolah memiliki dampak positif bagi SMU (T), sedangkan bagi SMU (R) memiliki dampak negatif; 3) Trend yang sama bagi SMU (R) dan SMU (T) adalah setahun setelah pelatihan manajemen, skor cenderung menurun; 4)Iklim sekolah tahun 1995/1996 berada pada skor 2.47 untuk SMU (T) telah berubah menjadi 3.0 pada tahun 1998/1999. Untuk SMU (R) berubah 2.48 menjadi 3.21; 5) Kehadiran siswa SMU (T) sekitar 97% dan kehadiran siswa SMU (R) lebih rendah bila dibandingkan dengan siswa SMU (T) yaitu 93,7%; 6) NEM mata pelajaran Matematika, Fisika dan Bahasa Indonesia paling tinggi untuk SMU jurusan IPA, dan nilai Bahasa Indonesia untuk kedua SMU (T) dan SMU (R) tertinggi.; 7) Nilai Matematika mengalami kenaikan untuk SMU (T) maupun SMU (R).; 8) Kecenderungan nilai Bahasa Indonesia menurun pula pada SMU jurusan IPS; 9) Nilai Geografi menunjukkan paling tinggi; 10) Pada SMU jurusan Bahasa, nilai Sejarah paling tinggi disusul nilai Bahasa Indonesia dan nilai Bahasa Inggris paling rendah; 11) Ada kecenderungan nilai meningkat selama tiga waktu pengamatan tersebut. Jurnal Dikbud No. 020, Desember 1999 halaman 25-40 Diversifikasi Kurikulum Oleh : Ella Yulaelawati Penduduk Indonesia mempunyai perbedaan-perbedaan tertentu misalnya perbedaan budaya dan sejarah lokal. Perbedaan ini perlu diperhatikan dalam usaha untuk meningkatkan pendidikan. Pemenuhan kebutuhan dan kesesuaian dengan keberagaman peserta didik dan sumber daya di daerah perlu ditekankan dalam pembaharuan kurikulum yang berdiversifikasi seperti yang diamanatkan dalam GBHN 1999. Jurnal Dikbud No. 020, Desember 1999 halaman 41-48 Standardisasi Soal Ebtanas Oleh : Bahrul Hayat

Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dirancang sebagai sistem ujian yang bersifat nasional (eksternal evaluation) dimana kebijakan umum dan teknis penyelenggaraan mengacu kepada suatu prosedur baku. Pencapaian fungsi dan peran Ebtanas sangat ditentukan oleh tingkat kredibilitas Ebtanas. Sebagai suatu sistem ujian, kredibilitas Ebtanas dibangun oleh 4 aspek yaitu mutu bahan ujian; pelaksanaan dan pengawasan ujian; pemeriksaan hasil ujian; daya guna hasil ujian. Makalah ini mengkaji aspek bahan Ebtanas serta strategi untuk meningkatkan mutu bahan Ebtanas. Beberapa permasalahan mutu soal yang masih dirasakan saat ini adalah 1) validitas isi tes, 2) teknis mutu soal, 3) rendahnya jenjang kognitif yang diukur, dan 4) aspek didaktif soal. Upaya peningkatan mutu soal Ebtanas dilakukan melalui standardisasi agar menghasilkan soal-soal yang bermutu. Dengan sistem bank soal, penyimpanan dan pengambilan soal membuat soal-soal menjadi siap pakai. Mutu soal ditentukan oleh profesionalisme ketenagaan dalam penulisan dan penelaahan soal. Pengembangan profesionalisme tenaga harus segera dilakukan. Agar tolok ukur mutu akademik lulusan seperti yang diharapkan, diperlukan kompetensi minimal yang dirumuskan secara baku. Dari upaya-upaya tersebut, hal yang lebih penting lagi yaitu adanya komitmen pengambil kebijakan terhadap usaha penyempurnaan ini. Jurnal Dikbud No. 020, Desember 1999 halaman 49-55 Studi Kebiasan Soal Ebtanas SMU Tahun 1996/1997 Oleh : Rogers Pakpahan Ujian akhir yaitu Ebtanas, dilakukan untuk mengumpulkan informasi tingkat pencapaian siswa selama belajar di SMU. Hasil Ebtanas digunakan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan keberhasilan siswa selama menempuh pendidikan di SMU. Oleh karena itu, tes Ebtanas harus bebas dari kebiasan soal baik dari segi gender maupun antarwilayah. Studi ini dilakukan untuk mendeteksi kualitas soal Ebtanas dari segi data emperis dan fit dengan model, kebiasan soal dan pengaruhnya pada perolehan skor akhir para peserta Ebtanas. Studi kebiasan soal dilakukan pada mata pelajaran Program IPS SMU dengan menggunakan data dari DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan sebanyak 4000 5000 siswa yang berasal dari sekolah baik, sedang dan kurang. Untuk mendeteksi butir soal dilakukan dengan menghitung selisih rata-rata tingkat kesukaran antarkelompok peserta tes dan untuk mengolah data digunakan program Quest. Kriteria penentuan kebiasan dan kualitas soal digunakan apabila perbedaan tingkat kesukaran soal antarkelompok 0,50, dayabeda antara 0,15 0,55, dan infit meansquare antara 0,83 1,20. Dari hasil studi kebiasan soal Ebtanas SMU

dapat disimpulkan bahwa kualitas soal Ebtanas SMU sebagian besar telah memenuhi syarat soal baik. Tingkat kesukaran soal dibandingkan tingkat kemampuan siswa berbeda-beda antar mata pelajaran Ebtanas. Butir-butir soal Ebtanas sebagian besar fit dengan model dan jumlah soal tidak fit antarwilayah relatif kecil. Kebiasan soal bias menurut jenis kelamin dan antarwilayah terdapat secara signifikan pada semua mata pelajaran. Kebiasan soal memberi pengaruh pada perolehan skor siswa, yang dapat dibedakan berdasarkan kelompok jenis kelamin dan antarwilayah. Jurnal Dikbud No. 020, Desember 1999 halaman 56-57 Sebaran Nilai Ebtanas dan UMPTN Oleh : Prof. Dr. Toemin A. Masoem Berdasarkan sebaran NEM,hasil Ebtanas kurang mendukung tujuan diselenggarakannya ujian tersebut. Sedangkan sebaran nilai UMPTN cukup mendukung tujuan penyelenggaraan seleksi UMPTN. Selanjutnya, dari beberapa diagram pancar menunjukkan bahwa apabila peserta UMPTN yang mendapat nilai UMPTN tinggi, maka dapat dipastikan yang bersangkutan memiliki NEM yang tinggi. Sedangkan, bagi tamatan SMU yang memiliki NEM rendah, maka dapat diperkirakan bahwa yang bersangkutan akan memperoleh nilai UMPTN yang rendah. Namun demikian, bagi tamatan SMU yang memiliki NEM tinggi belum tentu dapat mencapai nilai UMPTN yang tinggi. Berkaitan dengan NEM, analisis penulis menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan tingkat kemampuan antara tamatan SMU program IPA, IPS, dan Bahasa. Dalam sistem pendidikan kita, ujian masih mempunyai kedudukan penting. Setiap jenjang pendidikan selalu diakhiri dengan ujian akhir. Nilai ujian akhir dari suatu jenjang pendidikan biasanya dipergunakan sebagai alat seleksi untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masalah mulai timbul pada kenaikan jenjang dari SMU yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) ke Perguruan Tinggi yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Walaupun pihak Dikdasmen sudah menyelenggarakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), tetapi Perguruan tinggi Negeri (PTN) masih tetap mengadakan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) sebagai alat seleksi. Tersirat bahwa pihak PTN tidak percaya pada nilai Ebtanas, yang oleh Dikdasmen dinyatakan sebagai nilai Ebtanas Murni. Lebih lanjut secara nasional, NEM bukan merupakan ukuran yang baku, sehingga alat seleksi (UMPTN) bagi calon mahasiswa baru pada Perguruan Tinggi Negeri tidak dapat digantikan oleh NEM. Jurnal Dikbud No. 020, Desember 1999 halaman 68-82

Proyeksi Pergeseran Mutu Sekolah Menengah Umum Tahun 1999/2000 - 2003/4 Oleh : Abdul Manan Akhmad Tulisan ini menyajikan informasi hasil analisis data tentang komposisi sebaran dan pergeseran kelas mutu SMU tahun 1993/94 - 1995/1996 dan proyeksinya tahun 1996/97 - 2001/2. Analisis komposisi sebaran dan pergeseran kelas mutu tersebut dilaksanakan dengan acuan klasifikasi sekolah berdasarkan rata-rata nasional Nilai Ebtanas Murni (NEM), yaitu: sangat baik (A); baik (B); sedang (C); kurang (D); dan sangat kurang (E). Komposisi sebaran digambarkan secara absolut dan relatif pada masing-masing kelas mutu tersebut. Sedangkan pergeserannya digambarkan melalui perubahan kelas mutu dari waktu ke waktu secara empirik, yaitu: (1) pergeseran maju -PMU, (2) pergeseran mundur -PMR, dan (3) statusquo -SQ. PMU terjadi apabila kecenderungan pergeserannya bergerak dari kelas bawah bergeser maju lintas kelas ke kelas atas, misalnya dari kelas C ke kelas B atau A. PMU terjadi apabila kecenderungan pergeserannya bergerak dari kelas atas bergeser mundur lintas kelas ke kelas bawah, misalnya dari kelas A ke kelas B atau C. Sedang SQ terjadi apabila kecenderungan pergeserannya maju atau mundur masih di dalam batas satu kelas, misalnya tetap di kelas A, B, C, D, atau E. Hasil analisis menunjukkan komposisi sebaran SMU condong lebih berat pada kelas-kelas mutu bawah (D,E) dengan PMU <PMR dan SQ. Jika kecondongan tersebut dibiarkan terjadi secara terus menerus, maka upaya peningkatan mutu SMU tidak efektif. Oleh karena itu, perlu diintervensi kebijaksanaan sistematis untuk merubah komposisi sebaran SMU agar dimasa mendatang secara bertahap tetapi pasti pergeserannya menjadi condong lebih berat pada kelas - kelas mutu atas (A,B) dengan PMU>PMR dan SQ. Untuk itu perlu dibuat proyeksi komposisi sebaran dan pergeseran kelas mutu SMU yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan keputusan berkenaan pilihan intervensi kebijaksanaan yang sistematis dalam upaya peningkatan mutu SMU sekaligus sebagai acuan dalam penilaian efektivitasnya. Jurnal Dikbud No. 020, Desember 1999 halaman 83-109 Pengkajian dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Budi Pekerti oleh : Boediono, Siskandar, Diah Harianti

Materi pendidikan budi pekerti dapat dikelompokkan dalam empat lingkup kajian yaitu: diri, keluarga, sekolah, masyarakat dan alam. Masing-masing lingkup memiliki nilai-nilai yang harus dikembangkan menjadi kopetensi yang harus dimiliki oleh siswa, dan untuk melakukan penilaian perlu ditetapkan indikator dari masing-masing kompetensi tersebut. Dalam tulisan ini diuraikan rumusan dari kurikulum tersebut yang masih perlu dijabarkan lebih lanjut. Ada dua alternatif yang dapat diusulkan dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti, antara lain: (1) sebagai mata pelajaran tersendiri, sehingga memerlukan jam pelajaran khusus; (2) bagian dari mata pelajaran lain yang memuat pendidikan akhlak/moral. Alternatif tersebut tentunya memiliki kelebihan dan kelemahan yang perlu dipertimbangkan. Selain itu terdapat pula pendekatan yang khas seperti: (1) cultural transmission approach; (2) consideration approach; (3) values clarification approach; dan (4) cognitive development approach. Penilaian pendidikan budi pekerti dapat dilakukan melalui pengamatan guru terhadap tingkath laku murid sehari-hari, secara cukup objektif dengan menggunakan indikator yang jelas. Jurnal Dikbud No. 020, Desember 1999 halaman 110-119 Pendidikan Seni di SD, SLTP, dan SMU Tinjauan Khusus Bahan Pengajaran Seni Tari Oleh : Iyus Rusliana Untuk menanggulangi hambatan-hambatan dan kesulitan di dalam memilih intisari bahan pengajaran seni tari di sekolah-sekolah umum seperti di tingkat SD, SLTP, dan SMU sesuai dengan isi GBPP yang disempurnakan pada tahun 1999 ini, yaitu dengan memilih dan menyajikan intisari bahan pengajaran yang berorientasi pada kekayaan drama tari. Sebab drama tari memiliki kekayaan bentuk dan isi tarian yang beranekaragam, serta terdapat unsur-unsur seni lainnya yang membentuk keutuhan drama tari tersebut. Begitu pun model pembelajaran dalam setiap kegiatan proses belajar mengajarnya, antara lain tak lepas dari kegiatan yang bersifat imitatif, apresiatif, dan kegiatan kreatif. Sebab, meskipun drama tari ini memiliki aturan-aturan yang khas dan membaku, tetapi dari kekhasannya itu menunjukkan pula keterbukaan atau memberi kesempatan berkembangnya menjadi stage manager, dan belajar menjadi pelaku pergelaran drama tari lainnya. Jurnal Dikbud No. 020, Desember 1999 halaman 120-132 Kinerja Guru Sekolah Dasar : Studi Korelasional antara Bakat Skolastik, Kreativitas,

dan Motivasi Berprestasi dengan Kinerja Guru Sekolah Dasar dalam Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam Oleh : Herry Widyastono Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara: (1) bakat skolastik, (2) kreativitas, (3) motivasi berprestasi, serta (4) bakat skolastik, kreativitas, dan motivasi berprestasi secara bersama-sama, dengan kinerja guru sekolah dasar dalam mengajar Iilmu Pengetahuan Alam. Penelitian dilakukan di sekolah dasar kecamatan Senen wilayah Jakarta Pusat, pada catur wulan ke III tahun ajaran 1996/1997. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Jumlah sampel seluruhnya 60 guru yang diambil dengan teknik multistage random sampling. Bakat skolastik diukur dengan menggunakan Differential Aptitude Test sub-tes verbal reasoning, numerical ability, dan abstract reasoning; kreativitas diukur dengan menggunakan tes kreativitas verbal; dan pengukuran motivasi berprestasi dilakukan dengan menggunakan angket. Selanjutnya, pengukuran kinerja guru dalam mengajar Ilmu Pengetahuan Alam dilakukan dengan menggunakan pedoman observasi. Teknik analisis statistik yang digunakan adalah regresi serta korelasi sederhana dan jamak pada taraf signifikansi a = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara: (1) bakat skolastik dengan kinerja guru sekolah dasar dalam mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (r = 0,71: p < 0,01); (2) kreativitas dengan kinerja guru sekolah dasar dalam mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (r = 0,70: p < 0,01); motivasi berprestasi dengan kinerja guru sekolah dasar dalam mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (r = 0,63: p < 0,01); serta (4) bakat skolastik, kreativitas, dan motivasi berprestasi secara bersamasama dengan kinerja guru sekolah dasar dalam mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (R = 0,84; R2 = 0,71; p < 0,01). Variabel bakat skolastik, kreativitas, dan motivasi berprestasi secara bersama-sama memberikan sumbangan sebesar 70,71% terhadap variabilitas kinerja guru sekolah dasar dalam mengajar Ilmu Pengetahuan Alam; sedangkan masing-masing variabel memberikan sumbangan efektif terhadap varians kinerja guru sebesar 25,78%, 29,21%, dan 15,72%. Penelitian menyimpulkan bahwa kinerja guru sekolah dasar dalam mengajar Ilmu Pengetahuan Alam dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan/mengembangkan bakat skolastik, kreativitas, dan motivasi berprestasi. Jurnal Dikbud No. 020, Desember 1999 halaman 133-160

Abstrak Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi No. 21


Aspirasi Peningkatan Kemampuan Profesional Dan Kesejahteraan Guru

Oleh : H. Mohamad Surya Guru memiliki posisi yang paling strategis dalam kegiatan pendidikan di jalur sekolah. Oleh karena itu, hak-hak asasi guru perlu mendapatkan prioritas utama dalam reformasi pendidikan nasional. Upaya pengembangan pendidikan sama sekali tidak bermakna jika gurunya "tidak profesional" dan "tidak sejahtera". Dengan demikian, upaya reformasi pendidikan seharusnya dimulai dari penataan guru dilihat dari aspek "mutu" dan "kesejahteraan". Upaya tersebut akan benar-benar terwujud jika para guru mendapat peluang yang seluasluasnya untuk memberdayakan diri. Selanjutnya, beberapa karakteristik guru yang ideal antara lain: memiliki semangat juang yang tinggi serta kualitas iman dan takwa yang mantap; mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek; mampu belajar dan bekerja sama dengan profesi lain; memiliki etos kerja yang kuat; memiliki kejelasan dan memiliki pengembangan jenjang karir; memiliki profesionalisme yang tinggi; guru yang memiliki kesejahteraan lahir dan batin, material dan nonmaterial; memiliki wawasan masa depan; dan mampu melaksanakan fungsi dan peranannya. Tetapi, dalam kenyataannya, keberadaan guru masih tetap terabaikan. Hal yang paling menyulitkan guru adalah menjaga keseimbangan antara tuntutan untuk berbuat normatif ideal dengan suasana kehidupan yang materialistis, individualistis, kompetitif, dan konsumtif. Faktor mendasar yang terkait dengan kinerja profesional guru adalah "kepuasan kerja" yang berkaitan dengan "kesejahteraan guru" yang meliputi : imbal jasa, rasa aman, hubungan antarpribadi, kondisi lingkungan kerja, dan kesempatan untuk pengembangan serta peningkatan diri. Beberapa dimensi permasalahan guru yang masih harus diatasi adalah dimensi: kuantitas, kualitas, sebaran, sistem pengganjaran, pengelolaan dan jenjang karir guru, dan manajemen guru. Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 1-12 Masalah Keterkaitan Kemampuan Profesional, Kesejahteraan Guru, dan Mutu Pendidikan Oleh: Winarno Surakhmad Selama 50 tahun lebih, masalah meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta kesejahteraan tenaga kependidikan belum mendapat penanganan yang sepatutnya, bahkan sekarang dampak negatifnya telah mencapai tingkat yang sangat kritis. Permasalahan ini nampak pada profesionalisme guru; kesejahteraan guru; kualitas guru, baik jika dilihat dari segi pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan maupun dari segi guru di

lapangan, namun demikian permasalahan guru merupakan kunci permasalahan yang harus segera diselesaikan. Langkah-langkah strategis harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang fundamental maupun praktis untuk mencapai keberhasilan pendidikan nasional baik sekarang maupun masa depan. Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 13-23 Aspirasi Peningkatan Kemampuan Profesional dan Kesejahteraan Guru Oleh: A. Amiruddin Kondisi guru saat ini masih belum memadai karena banyak kendala yang menyebab-kan tidak tumbuhnya profesionalisme. Perubahan paradigma pendidikan saat ini sangat diperlukan. Hal ini tentunya menuntut tenaga pendidikan yang profesional. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) membentuk kelompok untuk meningkatkan profesionalisme guru Indonesia. BPPN menyarankan beberapa hal yaitu (1) pembenahan LPTK dan memproduk guru yang profesional; (2) dibentuknya sistem tunggal dalam pengelolaan guru; (3) dibentuknya sistem pengembangan guru yang efektif; (4) dibentuknya Badan Kesejahteraan Guru Nasional. Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 24-29 Peningkatan Mutu Guru Sekolah Dasar Oleh : Sayidiman Suryohadiprojo Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, beberapa usulan dalam upaya meningkatkan mutu guru sekolah dasar diperlukan perhatian dan komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk: (a) memperbaiki pendidikan guru SD dengan cara merumuskan kembali lembaga pendidikan guru menjadi Akademi Pendidikan Guru (teachers college) selama 2 tahun setelah tamat SMU; (b) melengkapi pola pendidikan APG dengan asrama (boarding school) dengan menambahkan materi manajemen dan kepemimpinan; (c) mengatur kembali manajemen persekolahan, di mana kepala sekolah harus memiliki "managerial skill" yang mumpuni dalam meningkatkan kemajuan dan prestasi sekolahnya, (d) pengembangan karier guru yang profesional ; (e) membentuk Pengurus Pendidikan (PP) untuk menjamin tetap stabilnya kendali mutu (quality control); (f)

tetap mempertahankan guru kelas, khususnya untuk kelas 1,2 dan 3, serta menyediakan guru mata pelajaran untuk kelas 4,5, dan 6 serta (e) mengembangkan pola sekolah berasrama pada daerah yang terpencil. Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 30-39 Pengalaman Mengelola Tenaga Kependidikan di Tingkat Sekolah Oleh Soetrisno Kondisi SD Muhammadiyah Sapen dalam perkembangannya selama hampir 22 tahun, sekolah tersebut telah mencapai prestasi baik akademik maupun bukanakademik. Berdasarkan prestasi tersebut, masyarakat menaruh kepercayaan terhadap sekolah itu. Prestasi yang diperoleh ini akibat adanya upaya peningkatan kualitas sekolah melalui TRIGU yaitu guru sebagai guru dimaksudkan bahwa seorang guru harus dapat mengajar, dapat mendidik, dan dapat memimpin. Guru sebagai kepala sekolah artinya sekolah berkualitas ditentukan oleh kemampuan profesional kepala sekolah sebagai pengelola. Guru sebagai pengawas berfungsi mengontrol dan membina keberhasilan pendidikan termasuk tercapainya target kurikulum. Selain itu, dalam meningkatkan kualitas sekolah, perlu dilengkapi melalui proses pembelajaran yang mampu membentuk siswa unggul, kelas unggul, dan sekolah unggul. Sekolah unggul dilaksanakan dengan menyiapkan tenaga kependidikan TRIGU dan menerima siswa baru tanpa membedakan kemampuan intelegensia dan ekonomi. Kelas unggul dilaksanakan dalam beberapa kelompok sesuai dengan nilai prestasi siswa, misalnya nilai rata-rata 7,5 7,8 dalam satu kelompok, bila nilai rata-rata siswa meningkat, mereka masuk pada kelompok yang lebih tinggi, demikian pula sebaliknya. Di samping itu, bagi kelas yang nilainya tinggi perhatian guru lebih sedikit dibandingkan dengan kelas yang nilainya lebih rendah dan bila target kurikulum belum tercapai dilaksanakan pelajaran tambahan baik secara kelompok maupun individual. Untuk menghasilkan siswa unggul dilaksanakan program siswa Patas yaitu memotivasi siswa yang memiliki nilai prestasi ratarata 9 untuk 5 bidang studi yang diebtanaskan dan pendidikan Agama serta bahasa Inggris. Untuk meningkatkan kualitas sekolah perlu diadakan persaingan yang sehat antar sekolah, sedangkan bagi sekolah yang masih rendah kualitasnya perlu dibina oleh sekolah yang sudah berkualitas. Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 40-53 Action Research dalam Upaya Pengembangan Profesional Guru*)

Oleh: Harris Iskandar Dalam rangka meningkatkan profesional guru SLTP, Subdit Pembinaan SLTP Dikmenum, Ditjen Dikdasmen telah melakukan rintisan awal penelitian kaji tindak (action reseacrh) yang dilakukan oleh guru dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran di berbagai mata pelajaran. Apa, mengapa, dan bagaimana penelitian kaji tindak telah dilaksanakan di beberapa SLTP yang tersebar di 11 provinsi. Hasil penelitian kaji tindak yang sangat menonjol adalah upaya guru yang keras dalam memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas, sehingga terjadi perubahan tingkah laku siswa dalam peningkatan hasil belajarnya. Guru telah terbiasa melakukan refleksi terhadap kelemahannya dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Di samping itu, mereka telah pula mencoba prinsipprinsip psikologi dalam proses pembelajaran untuk menganalisis berbagai permasalahan mengajar. Sementara itu, dalam melaksanakan penelitian ini para guru masih lemah dalam metodologi, sehingga hasilnya kurang meyakinkan. Di samping itu, masih ada sesuatu yang "hilang" dalam proses penelitian, berbagai kendala teknis selama proses penelitian, dan beberapa kesimpulan masih terlalu akademis, serta membenarkan hipotesis seperti halnya pada penelitian kuantitatif. Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 54-63 Permasalahan Mutu Profesional Dan Kehidupan Guru ( Pendekatan Sosiologis dan Studi Kasus) Oleh: Toenggoel P. Siagian Kondisi guru saat ini sulit dipahami karena idealisme guru tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Profil guru membingungkan karena posisi pendidik sudah bergeser dalam perluasan stratifikasi di Indonesia. Masyarakat menghendaki profesi guru menuju pembangunan sistem gaji untuk profesionalisme guru. Dibandingkan antara profesional pada bidang lain dengan profesional guru, profesional guru tidak dikelola dengan baik, sebaliknya profesional bidang lain diperlihara secara otomatis. Guru di Indonesia menghadapi tuntutan kemampuan yang lebih tinggi tetapi tidak disiapkan dengan baik. Guru tidak diharapkan mendapatkan tambahan gaji karena mereka mendapatkan pelatihan. Analisis tentang rendahnya kualitas guru harus didasarkan tidak hanya pada persiapan pendidikan yang ada dan gajinya sendiri melainkan juga variabel sosiologis pada umumnya. Studi kasus selalu menarik tetapi hanya terbatas pada studi kasus saja bila tidak dilakukan analisis, dan hal itu sulit untuk ditarik kesimpulan umum. Studi kasus di sini menggunakan Perkumpulan Sekolah

Kristen Djakarta (PSKD), Organisasi sekolah yang didirikan terutama oleh kelas menengah. Motivasi dan loyalitas yang tinggi di samping gaji yang murah diilhami oleh budaya pada keputusan yang rasional. Bahkan, Organisasi ini tidak kebal untuk kondisi yang berlaku seperti yang dapat dilihat oleh kelompok guru. Walaupun, terdapat batasan metodologi dari studi kasus, paling sedikit, kita dapat mengindikasikan bahwa kepuasan bekerja yang disebabkan oleh otonomi yang tinggi merupakan hal yang penting untuk ukuran memberi gaji. Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 64-78 Pendidikan Budi Pekerti: Bagian dari Upaya Pembentukan Watak Manusia Indonesia oleh : Hendarman Pendidikan Budi Pekerti sudah ada dalam kurikulum sekolah sejak dulu baik dalam bentuk mata pelajaran sendiri ataupun diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran. Namun, kecenderungan yang terjadi dalam berbagai kehidupan masyarakat adalah munculnya tindakan-tindakan yang sering menyimpang terhadap nilai-nilai yang dimiliki manusia Indonesia yang dicirikan oleh adanya suatu tatanan kehidupan yang selaras, serasi, dan seimbang sebagai suatu bangsa yang santun, ramah tamah, dan bertoleransi. Terbentuknya watak manusia yang baik mensyaratkan perlunya pendidikan budi pekerti yang melibatkan tidak hanya semata-mata pihak sekolah, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Di samping itu, perlu ditetapkan berbagai kebijakan terkait di antaranya menjadikan penilaian budi pekerti sebagai salah satu indikator penentuan keberhasilan belajar peserta didik baik dalam kenaikan kelas atau kelulusan. Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 79-88. Pendidikan Budi Pekerti Oleh : Teuku Ramli Zakaria Pendidikan Budi Pekerti sesungguhnya memiliki pengertian yang sama dengan Pendidikan Moral dan Pendidikan Akhlak. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan program pendidikan ini dapat digunakan pula pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang berkembang. Sesuai dengan nilai-nilai budaya dan falsafah hidup bangsa, pendekatan yang paling sesuai digunakan di Indonesia

adalah Pendekatan Penanaman Nilai. Namun demikian, metode dan teknik pengajaran dari berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pembelajarannya. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti ini adalah mewujudkan manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik, yakni: yang sadar dengan hakikat, martabat, dan kodratnya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa; sadar dengan sifat dasar, potensi dasar, serta hak dan kewajiban asasi yang dimilikinya, dan mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata. Untuk mewujudkan keberhasilan Pendidikan Budi Pekerti perlu disertai dengan upaya keteladanan, pembiasaan, pengamalan, pengkondisian, serta upaya yang bersinergi dari berbagai pihak untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang kondusif, yang meliputi: keluarga, masyarakat, dan sekolah. Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 89-102 Tinjauan Literatur: Effective School Research Oleh : Abbas Ghozali Effective school research muncul sebagai pendekatan alternatif dalam menganalisis faktor-faktor yang menentukan keberhasilan sekolah dari studi fungsi produksi pendidikan yang pada umumnya hanya menemukan faktor-faktor di luar sekolah yang menentukan keberhasilan lulusan sekolah, padahal faktorfaktor di luar sekolah tersebut sulit dikontrol dan diintervensi oleh pembuat kebijakan dan pelaku pendidikan. Fokus dari pendekatan ini adalah membandingkan operasinya sekolah-sekolah yang efektif dan sekolah-sekolah yang tidak efektif untuk memahami perbedaannya dan menggunakan pengetahuan itu untuk meningkatkan efektivitas sekolah. Ada beberapa definisi tentang effective school research, salah satunya adalah efektivitas pembelajaran (instructional effectiveness). Pengujian efektivitas pembelajaran didasarkan pada praktek pengajaran, kepemimpinan dan iklim pembelajaran, dan keseluruhan koordinasi program pembelajaran. Hasil dari efektivitas pembelajaran diukur oleh nilai ujian yang distandardisasikan. Metodologi penelitian yang biasanya digunakan adalah hampir semuanya quasiexperimental, outlier, studi kasus, dan survei. Hasil-hasil penelitian effective school di negara maju sangat beragam. Salah satu reviu menyebutkan 13 faktor kunci yang menentukan keberhasilan sekolah, yaitu manajemen berbasis sekolah dan pengambilan keputusan yang demokratis, kepemimpinan yang kuat, stabilitas staf, artikulasi dan organisasi kurikulum, pengembangan staf sekolah yang luas di tingkat sekolah, keterlibatan dan dukungan orang tua, pengakuan keberhasilan akademis yang yang luas di tingkat sekolah, waktu belajar yang maksimum, dukungan kantor departemen pendidikan, perencanaan yang

bersifat kerjasama dan hubungan yang berteman, rasa komunitas, tujuan yang jelas dan harapan yang tinggi yang ditentukan bersama, serta keteraturan dan kedisiplinan. Sedangkan reviu penelitian effective school di negara berkembang menyebutkan delapan faktor penting yang berkorelasi dengan keberhasilan sekolah, yaitu filsafat sentral yang terpadu dan menyeluruh; strategi yang menyeluruh dalam merancang sekolah dan programnya; keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan; pemberdayaan guru, siswa, orang tua, dan masyarakat; cara belajar yang aktif; program yang jelas dan terfokus; harapan guru yang tinggi terhadap prestasi siswa; pendanaan dan sumber-sumbernya. Bagaimanapun, penelitian tentang effective schools mempunyai kelemahan teori, model, dan metodologi serta masalah ketidakkonsistenan hasil. Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 103-119 Tinjauan tentang Peningkatan Kualitas Manusia Indonesia Oleh : Azril Azahari Dalam pembangunan yang akan datang, akan terjadi perubahan mendasar yang bersifat struktural serta tingkat kompetitif yang menyeleksi keunggulan komparatif semakin cepat. Disisi lain, sebagian anggota masyarakat masih berada pada suasana kurang mendukung guna tercapainya performansi yang tinggi, sehingga kesenjangan kualitas pada masing-masing individu menjadi semakin besar. Di samping itu, akan muncul kecenderungan dan tantangan masa depan lainnya yang perlu mendapat perhatian. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, maka manusia Indonesia harus dipersiapkan secara lebih dini sehingga menjadi manusia yang " tangguh " dan " mandiri." Jurnal Dikbud No. 021, Januari 2000 halaman 120-130

Kenakalan Pikir Mas Wigrantoro Roes Setiyadi


Sebagai insan yang diberkahi oleh Allah SWT ilmu pengetahuan, sebagai salah satu wujud terima kasih kepada Sang Khalik adalah dengan membagi pengetahuan yang telah dipelajarinya, dengan harapan bermanfaat bagi sesama dan memperoleh ridho dari Allah SWT.

Wednesday, December 29, 2004


Mungkinkah Bercocok Tanam Sawah Menggunakan Air Laut

minggu pagi dua puluh enam desember dua ribu empat aku duduk berdua istri di pasir pantai tepian laut pelabuhan ratu tepatnya di halaman belakang hotel samudra beach memunggungi kolam renang menghadap teluk pelabuhan ratu nampak dua anak muda riang belajar selancar jatuh bangun tetap tertawa sementara anak - anak berlarian saling kejar melempar tangkap bola, dan ada pula yang asyik menyusun istana pasir, di sisi lain, sepasang muda asyik menikmati baso dan kelapa muda ada wanita menjelang tua ribut menyuapi - barangkali - cucunya yang sedang asyik bermain air di kolam renang nyiyir sekali nenek satu ini, mulutnya tak henti bergerak mengunyah entah apa, lepas dari cucunya, nenek menjelang tua ini terlihat menawar sepikul pisang kami lihat tawar menawar cukup lama hingga akhirnya si nenek memanggil pembantunya untuk memandu si penjual pisang menaruh di mobil. matahari terus beranjak menggeser bayangan payung makin pendek hingga kami menderita panas pagi di tengah kemalasan, lepas perhatikan nenek dan penjual pisang, tba - tiba muncul penjaja pijat refleksi, menyapa saya dengan panggilan Boss, membuat aku mulas dan langsung kutolak tawaran pijatnya, aku bergumam kepada istriku, coba tidak menyapaku dengan "boss" kemungkinan besar aku terima tawarannya, panggilan boss membuatku risih dan bukan untukku. pergi sang penjaja pijat, entah mengapa pikirku mulai terbayang berita di televisi, soal gempa bumi di aceh, pagi itu belum ada berita susulan mengenai gelombang tsunami menelan ribuan jiwa, hanya ada berita gempa. perjalanan pemikiran di kepalaku tidak mengarah ke spekulasi berapa banyak korban, namun justru ke pemanfaatan air laut untuk kehidupan petani sawah, ya petani sawah yang menanam padi. imaginasiku begini, seringkali aku melihat langsung atau membaca, atau melihat di televisi, banyak tanah tandus yang kering kerontang tak ada air, rumputpun enggan tumbuh, apalagi padi yang boros air, tengoklah misalnya gunung kidul, atau nusa tenggara timur, tak jauh dari tanah yang kerontang terbentang laut dengan maha volume airnya, tak terhitung banyaknya, bukankah air di daratan dan air di lautan unsur utamanya sama? bukankah yang membedakan hanyalah yang satu sedikit mengandung garam (NaCl),

sedang yang lainnya kadarnya tinggi? apakah tidak mungkin padi diairi dengan air laut? soal teknis bagaimana mengalirkan air litu ke daratan itu masalah gampang, orang madura pintar membuat garam dari air laut, ketika bekerja untuk sebuah perusahaan minyak di lepas pantai, salah satu tugaskku merawat mesin penyuling air laut menjadi air tawar, apakah tidak mungkin menemukan varietas padi yang dapat tumbuh di sawah berair payau? bukankah tumbuhan bakau dapat hidup di air laut? bukankah ikan bandeng hidup di air payau? aku ingin mencoba memelihara ikan laut di aquarium yang kuisi air tawar, atau sebaliknya, ikan mas kutaruh di akuarium berair asin kuingin lihat reaksinya, untuk ikan aku mungkin mampu melakukannya, ada yang kucoba langsung, ada yang akan kucoba sedikit demi sedikit kunaikkan kadar garam untuk ikan mas, atau kuturunkan kadar garam untuk ikan kakap, misalnya. yang pasti aku tidak tahu bagaimana caranya untuk padi, aku bukan ahli pertanian aku bayangkan jika kelak ada tumbuhan, atau varietas padi yang dapat hidup subur di air payau, atau lebih ekstrim lagi dapat tumbuh dengan air laut, niscaya umat manusia tidak perlu lagi takut akan kekeringan, tidak ada musim kemarau, setiap saat air laut dapat dinaikkan ke darat untuk mengairi sawah. apakah ini hanya impian sadar di siang hari? aku tidak tahu pasti, yang jelas aku hanya dapat membayangkannya saja. mas wigrantoro roes setiyadi rempoa, 29 desember 2004

posted by maswig @ 11:45 PM 0 comments

Tuhan, Politisi, dan Demokrasi


Pagi tadi, Rabu dua puluh sembilan desember dua ribu empat, aku tersengat membaca opini Emha Ainun Nadjib, yang di-klaim media sebagai budayawan. Artikel di Harian Kompas tersebut berjudul "Gunung Jangan Pula Meletus" menceritakan dialog antara Emha dengan Kiai Sudrun, tokoh rekaan Emha yang digambarkan sebagai manusia setengah urakan, waskita, dan menguasai persoalan ke-Tuhanan. Sepenggal kalimat Emha yang segera menyadarkan diriku mengenai sifat ke-Tuhan-an muncul dari ucapak Sudrun "Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu - satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator da otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek - robek dan mencampakkannya ke tempat

sampah. Tuhan tidak berkewajiban apa - apa karena karena Ia tidak berutang keoada siapa - siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapapun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya." Selepas merenung kalimat Emha di atas, saya lalu membuka buku karya Hannah Arendt " The Origins of Totalitarianism". Buku yang belakangan diramaikan oleh karya thesisnya Rieke Diah Oneng Pitaloka dengan topik "Banalitas Kekerasan Negara" Buku Arendt ini sudah menjadi koleksi perpustakaan pribadiku sejak 15 Juli 2001, baru dibaca sebagian saja (yang ketika itu menarik minatku). Dalam uraian Arendt, diktator yang mewujud ke tindakan totaliter muncul karena penguasa mengatas-namakan dirinya sebagai pengganti dan pemegang kuasa Tuhan di bumi. Lihatlah betapa Lenin, Stalin, Hitler, Mao, dan kemudian Idi Amin, serta barangkali Soeharto menggunakan dalih kepemimpinan yang "direstui" Tuhan untuk selanjutnya mereka bertindak seolah - olah mereka itu Tuhan itu sendiri. Apa yang dinginkannya dari sembarang warga, itulah yang harus dilakukan, tak peduli rakyat harus menderita bahkan sampai mati. Mengacu per definisi, versi Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1996, diktator dijabarkan sebagai "kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan yang mutlak, terutama diperoleh melalui kekerasan atau dengan cara yang tidak demokratis". kata kunci dalam pengertian diktator paling tidak: kepala pemerintahan, kekuasaan mutlak, kekerasan, dan tidak demokratis. Diktator selalu dikaitkan dengan pemimpin suatu negara atau pemerintahan. Dalam skala kecil diktator dapat pula melekat pada suami sebagai kepala rumah tangga, atau pemimpin perusahaan, atau organisasi. Yang menunjukkan seorang pemimpin diktator atau tidak antara lain pada apakah dalam mendapatkan posisinya diperoleh dengan cara yang demokratis atau dengan cara paksaan, serta bagaimana pemimpin tersebut menjalankan perannya sebagai pemimpin, apakah dapat memimpin dengan tegas tanpa kekerasan, atau harus selalu disertai dengan tindakan kekerasan kepada mereka yang tidak bersetuju dengan kebijakan yang dibuatnya. Demikian pula, apakah pemimpin tersebut memerintah sendirian, sehingga seluruh kekuasaan negara ada di genggaman tangannya, atau membagi kekuasaan kepada orang lain. Dalam Origin of Totalitarianism tidak disebutkan bagaimana seseorang pemimpin menjadi berperilaku keras, mutlak, dan tidak demokratis. Apakah muncul dari faktor internal, atau tumbuh mengikuti perkembangan dan keadaan, atau muncul sebagai pengaruh dari para pembantunya yang menjadikan sang pemimpin sebagai totaliter. Dalam hal apapun, yanghampir pasti antara sang pemimpiin dan pengikutnya menikmati hubungan timbal balik yang saling menikmatkan karena kekuasaan yang mutlak dapat digunakan untuk berbagai kepentingan pribadi dengan mengatas - namakan "untuk negara". Berbicara pemerintahan, tentu saja tak lepas dari elite pelaku kekuasaan yang disebut politisi. Mereka inilah yang memiliki peluang untuk bertindak sebagai demokrat, otoritarian ataupun totalitarian. Menjadi pertanyaan, dapatkah negara demokratis berubah menjadi totaliter? atau sebaliknya totaliter menjadi demokratis? Sejarah

menjawab pertanyaan ini. Hitler terpilih sebagai Kanselir Jerman secara demokratis, demikian pula Musolini dari Itali. Marcos dan Soeharto harus mengakhiri pemerintahan otoriter-nya (menjurus ke totaliter) setelah rakyat muak dengan penindasan yang dilakukan selama lebih dari tiga puluh tahun. Dua negara yang masih mempertahankan totaliter dan otoriter, Myanmar dan Singapura. Kembali ke artikel Emha, menyimak pendapatnya, diktator yang sejati hanyalah milik Tuhan. Tuhan-lah kepala pemerintahan jagad raya ini. Tuhan-lah penguasa tunggal dan mutlak alam dunia dan akhirat. Namun Tuhan tidak memperoleh kekuasaan dengan jalan kekerasan, karena kekerasan dan kelembutan berasal dariNya. Dengan sifat dan kewenangan yang dimilikiNya, Tuhan tidak perlu ber-demokrasi, menanyakan pendapat manusia untuk segala kebijakan yang hendak dibuatNya. Karena, adalah Tuhan yang menciptakan manusia, bukan sebaliknya. Ingat, Tuhan berhak melakukan apa saja terhadap manusia ciptaannya. Mengenai siapa menciptakan siapa ada dua pendapat yang berseberangan. mereka (dan termasuk saya) yang ber-Iman kepada ke-Tuhan-an yakin bahwa manusia diciptakan Tuhan. Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan. Kita semua penduduk dunia adalah keturunan Adam. Di pihak lain, mereka yang tidak percaya tentang keberadaan Tuhan, mempercayai bahwa manusia dalam bentuknya sekarang merupakan evolusi dari makhluk yang sudah ada sebelumnya, dan makhluk yang sudah ada sebelumnya merupakan hasil reaksi zat - zat alam. Sedangkan Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri sebagai simbol dan penguatan dari segala kelemahan manusia. Pendapat ke dua ini belum mampu menjawab siapa yang mengatur reaksi zat alam, siapa yang mengatur perputaran dan pergerakan benda - benda di alam raya. Lalu, ketika manusia bertindak seolah - olah dirinya sebagai Tuhan, menginjak - injak nilai kemanusiaan itu sendiri, layakkah manusia tersebut hidup sebagai manusia? Aku tudak tahu jawabnya. Yang kutahu, makin banyak politisi yang memperoleh kedudukannya dengan jalan dipilih oleh rakyat, namun ketika sudah menjadi pemimpin berubah menjadi makhluk dengan naluri diktator, totaliter. Hal ini, barangkali sedikit menjawab pertanyaan dari mana manusia memperoleh perilaku diktator totaliter. Manusia sebagai ciptaan Tuhan, setidaknya mengandung - entah seberapa besar senyawa yang memiliki sifat diktatornya Tuhan. Namun berbeda dengan Tuhan yang kediktatoranNya bersifat netral dan ajeg, senyawa diktator yang melekat pada jiwa dan fisik manusia bersifat tidak tetap, dan tidak netral. Dikatakan tidak tetap, karena dapat tumbuh, berkembang membesar ketiak situasi dan kondisi memungkinkan baginya untuk mengembangkan sifat - sifat diktator. Sedangkan tidak netral, karena perilaku diktator diterapkan hanya kepada mereka yang tidak mau tunduk, atau yang berada di bawah kekuasaaannya saja. Kediktatoran Tuhan, tidak pilih pilih, siapa saja yang dikasihin, sebagaimana siapa saja memperoleh cobaan dan siksaan Tuhan baik ketika masih di alam fana maupun alam akhirat. Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Rempoa, 29 Desember 2004

posted by maswig @ 1:46 PM 0 comments

Tuesday, December 28, 2004


Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Penerapan Good Governance
Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Penerapan Good Governance di Indonesia*) Ditulis dan disajikan oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi Pengantar Banyak pihak berpendapat bahwa penggunaan Teknologi Informasi (TI) mendukung penerapan Good Governance. Pendapat ini tidak salah namun juga belum sepenuhnya benar. Hubungan antara TI dan good governance serta implikasi yang dihasilkan dari hubungan tersebut relatif belum banyak terdefinisikan. Paper ini mencoba memberi gambaran mengenai hubungan dan implikasi antar keduanya serta mengajukan usulan bagaimana masyarakat memanfaatkan hubungan ini dalam upaya mewujudkan masyarakat yang taat dan tertib. Pendahuluan Jika menggunakan pemahaman awam, TI tak lebih dari sekedar alat yang dibuat untuk memudahkan manusia dalam berkarya. Dalam konteks ini, TI tak berbeda halnya dengan pisau, cangkul, atau mobil. Sebagai alat TI bersifat netral, ia dapat dipakai untuk tujuan kebaikan, demikian pula dapat digunakan sebagai alat bantu kejahatan atau aktivitas lain yang negatif. Berbeda dengan alat lain yang hanya berfungsi pada ruang lingkup kegunaan tertentu, TI memiliki kegunaan yang luas dan hampir tidak terbatas. Dikatakan demikian karena hampir semua aspek kehidupan manusia dapat difasilitasi dengan TI. TI dipakai secara luas di lingkungan organisasi bisnis, institusi pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemerintahan. Di lingkungan akademis, Teknologi Informasi didefinisikan sebagai sisi teknologi dari suatu sistem informasi, yang terdiri dari perangkat keras (hardware), basis data (database), perangkat lunak (software), jaringan komputer, dan peralatan lain terkait.[1] Penggunaan TI sebagai bagian dari Sistem Informasi di organisasi swasta telah berhasil mendorong adanya: peningkatan produktivitas (pengurangan biaya, peningkatan efektivitas), perbaikan kualitas layanan kepada stakeholder, peningkatan daya saing, perbaikan proses pengambilan keputusan, peningkatan kreativitas dan inovasi, serta perbaikan struktur dan fungsi organisasi[2]. Jika manfaat penggunaan TI di organisasi swasta telah dapat dirasakan secara luas, sementara kita sepakat bahwa TI dapat digunakan untuk memfasilitasi hampir semua kegiatan manusia, pertanyaannya adalah bagaimana atau sejauh mana TI dapat dimanfaatkan institusi pemerintahan untuk meningkatkan kinerja mereka. Mengapa hal ini ditanyakan? Jawabnya, kinerja pemerintahan yang baik menunjukkan, dan berkorelasi dengan, adanya tata pemerintahan yang baik (good governance).

* [ [

Good governance dilihat dari sisi luar organisasi seolah merupakan refleksi perilaku institusi. Namun demikian, jika kita kaji lebih mendalam, good governance dari sebuah organisasi merupakan agregat perilaku individu yang taat dan tunduk pada ketentuan (regulatory) yang telah ditetapkan. Ketentuan ini biasanya menyangkut tentang batasan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan atau petunjuk/prosedur pelaksanaan suatu aktivitas dalam rantai nilai pelayanan kepada stakeholder. Dengan demikian, good governance mencerminkan bagaimana manusia berkarya secara benar, benar dalam pengertian sesuai dengan ketentuan regulasi yang telah ditetapkan. Manusia memiliki kecenderungan melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan keinginannya, baik yang menguntungkan diri sendiri namun tidak merugikan orang lain maupun yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan pihak lain. Masing masing individu berupaya agar apa yang diinginkan dapat tercapai. Perjuangan individu memperoleh apa yang diinginkan seringkali menimbulkan benturan kepentingan. Mencegah hal tersebut menjadi potensi negatif, oleh karena itu diperlukan aturan. Dalam konteks inilah kemudian muncul governance yakni apa dan bagaimana sebuah peraturan dibuat serta dijalankan. Peraturan ini di kalangan pemerintahan dapat berupa UU, atau peraturan pelaksanaan di bawahnya. Di kalangan organisasi privat dapat berupa kebijakan perusahaan. Dari penjelasan di atas bila hendak dibuat relasi antara governance dan TI adalah bagaimana TI digunakan secara benar dalam setiap proses kebijakan yang meliputi perancangan, pembuatan, pelasakanaan, dan evaluasi suatu peraturan. Sebagaimana layaknya suatu hubungan, interaksi antara TI dan governance menghasilkan berbagai implikasi yang dipengaruhi oleh sifat dasar dari keduanya, maupun aktor yang terlibat dalam proses kebijakan. Istilah Government, Governance, dan Good Governance Secara umum istilah government lebih mudah dipahami sebagai pemerintah yaitu lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung-jawab untuk mengurusi negara dan menjalankan kehendak rakyat. Pemerintah dalam arti yang paling dasar diterjemahkan sebagai sekumpulan orang yang memiliki mandat yang absah dari rakyat untuk menjalankan wewenang wewenangnya dalam urusan urusan pemerintahan. Dalam hal ini ada hubungan kontrak sosial antara rakyat sebagai pemberi mandat dan pemerintah sebagai pelaksana mandat[3]. Jika diadakan pendekatan dari segi bahasa terhadap kata pemerintah atau pemerintahan, kedua kata tersebut berasal dari suku kata perintah yang berarti sesuatu yang harus dilaksanakan. Beberapa hal yang terkandung dalam makna pemerintah adalah sebagai berikut:[4] 1. adanya keharusan menunjukkan kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan; 2. adanya dua pihak, yaitu yang memberi dan yang menerima perintah; 3. adanya hubungan fungsional antara yang memberi dan yang menerima perintah; 4. adanya wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah. Proses pemahaman umum mengenai governance atau good governance mulai

[ [

mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an dan mulai semakin bergulir pada tahun 1996, seiring dengan interaksi pemerintah Indonesia dengan negara luar beserta lembaga lembaga bantuannya yang menyoroti kondisi objektif perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. Lembaga pemberi donor baik yang bersifat multilateral maupun bilateral memperkenalkan good governance yang dikaitkan dengan kebijaksanaan pemberian bantuan, dalam arti good governance dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah (grant). Governance merupakan tata pemerintahan. Good governance adalah tata pemerintahan yang baik. Ada tiga komponen yang terlibat dalam governance, yaitu pemerintah, dunia usaha (swasta, commercial society) dan masyarakat pada umumnya (termasuk partai politik). Hubungan ketiganya harus dalam posisi sejajar dan saling kontrol (checks and balances), untuk menghindari penguasaan atau eksploitasi oleh satu komponen terhadap komponen lainnya. Bila salah satu komponen lebih tinggi dari yang lain, maka akan terjadi dominasi kekuasaan atas dua komponen lainnya. Karakteristik Good Governance Meski secara sederhana pemahaman mengenai good governance dapat dinyatakan sebagai tata pemerintahan yang baik, dalam implementasinya tidak mudah untuk mendefinisikan secara seragam. Hal ini dikarenakan good governance memiliki banyak sumbangan makna yang bervariasi selain dari luasnya bahasan. Namun demikian, pada hakekatnya keberagaman makna tersebut memiliki kesamaam prinsip dan tujuan yakni terselanggaranya pemerintahan yang seimbang di antara semua komponen pelaku. Semua pelaku harus saling tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya, ada ruang dialog agar para pelaku salin

Mempertegas Kembali RUU Sisdiknas: Sebuah Tanggapan TIM PENYUSUN BAHAN MASUKAN RUU SISDIKNAS TAHUN 2002 PP LP MAARIF NU

Adalah langkah positif ketika DPR RI mmembuat Rancangan Undang-Undang (RUU) baru (tahun 2002) tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai bagian dari reformasi pendidikan RUU ini untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sebagian isinya sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kependidikan khususnya di tanah air. Undang-Undang baru ini diharapkan mampu menguak persoalan tidak hanya menyangkut kependidikan dalam negeri tapi juga kualitas pendidikan secara umum. Atas dasar ini langkah ini harus didukung. Harus diakui, dilihat dari perkembangannya, kependidikan dalam negeri tampak seperti berjalan di tempat untuk tidak mengatakan mundur. Beberapa sekolah belum melahirkan output memuaskan terutama dalam standar dunia internasional. Situasi ini memang memprihatinkan tetapi lebih memprihatinkan lagi laporan UNDP tentang

Human Development Index yang memperlihatkan kondisi pendidikan kita pada umumnya. Dari 174 negara-negara berkembang termasuk Vietnam pendidikan Indonesia menempati posisi ke-109. Sementara peni-laian Institute Management for Development (IMD) meletakkan Indonesia pada posisi paling bawah, yakni ke-49 dari 49 negara yang disurvey bandingkan Singapura yang menempati posisi ke-2, Korea ke-28, Malaysia ke-29, Thailand ke-38 dan Philipina ke-40. Aki-batnya, daya saing bangsa Indonesia juga rendah. Ada beberapa faktor yang membuat situasi kependi-dikan demikian adanya. Pertama, minimnya anggaran. Masalah ini terasa paling menentukan terhadap pendi-dikan dalam negeri. Sejak masa Orde Baru kita melihat dunia pendidikan tidak mendapat tempat layak di mata pemerintah. Pemerintah menyediakan dana sangat jauh di bawah anggaran sektor lainnya seperti pertahanan, kesehatan dan lainnya dari Anggaran Penda patan Belanja Negara (APBN). Ini ironis jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia yang lebih memperhatikan sektor pendi-dikan dibandingkan sektor lainnya. Kedua, perlakuan peme-rintah yang membeda-bedakan bentuk kependidikan. Pemerintah bukannya menganggap sama terhadap semua jenis kepen didikan, misalnya antara sekolah umum dan madrasah, antara sekolah umum dan pesantren, dan antara sekolah negeri dan swasta. Perbedaan ini menye-babkan perbedaan dalam pemberian unit cost. ADB (1998) menyebutkan, sekolah umum negeri mendapatkan 100%, madrasah negeri mendapatkan 74%-81%, sekolah umum swasta mendapatkan sekitar 23%-66%, sedangkan madrasah swasta mendapatkan sekitar 1%-35%. Ketiga, berkaitan dengan visi kita tentang pendidikan. Pendidikan umumnya dibedakan dengan pengajaran. Dan, apa yang kita lakukan selama ini lebih pada pengajaran bukan pada pendidikannya sehingga masalah yang berkaitan dengan character building bangsa terabaikan. Karenanya, masalah yang kita hadapi tidak saja berkaitan dengan rendahnya mutu kualitas lulusan tetapi juga berkaitan dengan masalah keadaban (civility) masyarakat pada umumnya. Tidak mengherankan jika pendidikan kita tidak berhasil membangun manusia yang beradab karena kecerdasan yang diperoleh para lulusan sekolah tidak disertai dengan terwujudnya sikap-sikap luhur (civilized). Kita berharap dengan Undang-Undang Sisdiknas baru mampu meningkatkan mutu pendidikan dan mencapai apa yang kita harapkan dalam mengelola masalah-masalah kependidikan di negeri ini. Meningkatkan pendidikan dalam negeri langkah mendesak dilakukan adalah memperbaharui niat kita untuk benar-benar memajukan sektor pendidikan. Pendidikan harus dijauhkan dari kepentingan-kepentingan politik tertentu baik individual maupun golongan dan lembaga-lembaga pendidikan harus dibiarkan berkembang sedemikian rupa, biarkanlah masyarakat merea-lisasikan semua angan-angan dan inisiatifnya berkaitan dengan kemajuan suatu kependidikan. Tugas pemerintah memfasilitasi, memberikan arahan dan menyediakan pendanaan yang patut terhadap semua kependidikan, di samping membuat rambu-rambu agar seluruh upaya tadi tidak menyalahi aturan

dan tidak menyimpang dari arah pendidikan yang kita canangkan. Beberapa hal penting perlu dilakukan pemerintah untuk mewujudkan kualitas pendidikan. Pertama, merumuskan kembali visi Pendidikan Nasional. Krisis multi dimensi yang menimpa bangsa disadari karena tidak adanya sumber daya manusia (SDM) mumpuni untuk mengatur negeri lebih baik dan mampu mencari jalan keluar dari masalah perekonomian yang sangat memberatkan masyarakat. Masalah ini berkaitan dengan pola pendidikan maupun ideal-ideal kita pada umumnya dalam membangun bangsa. Karenanya, perumusan kembali visi pendidikan dengan mempertimbangkan landasan filosofinya menjadi hal penting harus dilakukan. Kedua, menetapkan standar kompetensi lulusan secara nasional. Standar mutu ini perlu dibakukan. Sebab, perkembangan dunia yang cepat harus disertai dengan sumber daya manusia siap pakai, di samping manusia-manusia mempunyai wawasan ke depan untuk bisa ikut memikirkan bangsa. Standar mutu diperlukan dalam rangka menyiap kan generasi mendatang mengha dapi percaturan global bersama bangsa-bangsa lain. Ketiga, memberikan per-hatian secara wajar pada pendidikan luar sekolah. Hal ini penting dalam memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat tidak mampu untuk meningkatkan kemampuan diri dan memperbaiki kehidupannya sebagaimana masyarakat berada. Hal penting lainnya, tempat-tempat pembinaan praktis agar bisa diakses secara bebas oleh kelompok terpinggirkan, sehingga mereka mempunyai bekal keterampilan yang bisa diper-tahankan untuk memperbaiki perekonomiannya. Keempat, otonomi pen-didikan. Otonomi ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dari lembaga pendi-dikan. Ini tidak berarti pemerintah menghentikan pemberian angga-ran pendidikan. Anggaran terse but bukannya dihentikan tapi justru ditambah menjadi 25% dari APBN ditambah APBD mengingat pengelolaan pendidikan di masa mendatang diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan lembaga pendidikan sendiri. Bahkan, jika memungkinkan kependidikan berkembang secara normal, pencarian sumber anggaran lain seperti PDB dan lainnya penting dilakukan. Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas baru melegakan kita semua. Ini terutama jika mampu menghasil-kan Undang-Undang yang benar-benar reformatif. Akan tetapi jika tidak demikian, maka akan menjadi sejarah buruk bagi perjalanan bangsa di masa mendatang. Usaha ke arah itu harus dilakukan dan membutuh-kan perhatian kita semua. Oleh sebab itu, beberapa pokok pikiran di bawah ini penting dipertim-bangkan dalam penetapan RUU Sisdiknas tersebut.

A. Dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 dan RUU Sisdiknas yang dibahas DPR RI terdapat kontradiksi yang cukup berarti. UU No. 2 bersifat sen-tralistik di mana pemerintah mengatur seluruh perencanaan, mulai dari pengganggaran, sistem pengajaran sampai pelaksanaan teknis kependidikan. Sedangkan dalam RUU Sisdiknas tampak memberikan ruang bagi berhem-busnya angin baru, di mana pengelolaan pendidikan diarah kan pada otonomisasi sekolah. Dalam hal ini, pengelolaan otonomi pendidikan secara teknis diserahkan kepada sekolah dengan memperlakukan guru dan murid sebagai subjek (Draft RUU DPR RI, 5 Desember 2001 Pasal 10 dan Pasal 38). Pasal 10 menyebutkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur, mengawasi, dan menilai pelaksanaan pendi dikan dengan tetap mengindah kan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kami mengusulkan, Pemerintah berhak mengatur kurikulum nasional, sistem evaluasi, dan standarisasi ketenagaan pendidikan, sedang-kan Pemerintah Daerah berhak mengatur kurikulum lokal, sistem pengawasan dan evaluasi lokal, serta pelaksanaan pendidikan. Pasal 38 menyebutkan, (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan kependidikan yang diselenggara kan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (2) Masaryakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat; dan (3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewa-jiban membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependi dikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Kami mengusulkan, (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan kependidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (2) Masyarakat berkewajiban memfa-silitasi pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat; dan (3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban membantu dan memfasilitasi upaya pengem-bangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. B. Perubahan lain yang cukup menarik adalah adanya pengakuan dari pemerintah terhadap pendidikan pesantren, yang pada dasarnya merupakan cikal bakal pendidikan di Indonesia. Pengakuan ini cukup menggembirakan kalangan Islam, sebab dengan begitu pemerintah tidak saja harus memperlihatkan kepeduliannya tapi juga siap menaggung dan mempunyai kewajiban bagi pengembangan nya. Pendidikan keagamaan juga seharusnya diakui setara dengan pendidikan umum lainnya, sehingga dengan demikian akan memberi kesempatan kepada mereka yang mempunyai keahlian di bidang agama untuk melanjut-kan ke jenjang pendidikan tinggi yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, harus dicatat bahwa pemberian wewenang untuk mengembang kan diri ini harus juga dibarengi oleh kesiapan pemerintah dalam memberikan ruang untuk bergerak dan berkembang sesuai dengan kecenderungan dan tujuan yang dicanangkan. Dalam hal ini pemerintah harus bertindak sebagai fasilitator, termasuk dalam membantu pendanaan bagi pengembangannya dan mencukupi kesejahteraan para guru dan pengelolanya sebagai mana kewajiban pemerintah terhadap pendidikan umum. Pemerintah harus membatasi kewenangannya hanya dalam mengarahkan ke mana pendi dikan berjalan. Pesantren dan sekolah lainnya harus memiliki kebebasan untuk

berkembang sesuai dengan sifat dan karakternya. Dan, karena pesantren mampu berkembang secara mandiri, maka pengakuan pemerintah terhadap keberada-annya harus didasarkan pada upaya membantu atau menjadi mitra bagi kemajuannya. C. Perlu ada ketegasan pengkategorian pendidikan agama. Penjenjangan pendidikan dalam RUU ini dibedakan ke dalam dua jenis, pendidikan umum dan agama yang dijenjangkan sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tingkat atas. Di tingkat dasar, misalnya, Madrasah Ibtidaiyah (MI) sederajat dengan Sekolah Dasar (SD), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Madrasah Aliyah (MA) dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Konsep yang tertuang dalam RUU ini seyogyanya secara tegas merujuk pada apa yang dimaksudkannya, sehingga tidak memunculkan penafsiran lain. Meskipun sekolah keagamaan yang tertuang dalam RUU ini secara tegas merujuk dan berarti sekolah-sekolah yang berbasis agama Islam karena semua orang tahu sekolah tersebut adalah milik Islam. Tetapi karena tidak ada ketegasan tertulis maka tidak tertutup kemungkinan muncul Madrasah Ibtidaiyah Santo Tomas atau Santo lainnya di masa depan. Kemungkinan ini bisa dilihat, misalnya Madrasah Al-Kitab di Malang, Jawa Timur. Sekolah ini memakai label madrasah meski tidak seperti madrasah-madrasah lain di negeri ini karena dikelola oleh non-Muslim (Draft RUU DPR RI, 5 Desember 2001 Pasal 117 ayat 2; 20 ayat 3 dan 5). Pasal 17 ayat 2 menye-butkan, Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri dari enam tingkat. Kami mengusulkan, Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah (Islam) atau yang sederajat yang terdiri dari enam tingkat. Pasal 19 ayat 2 menye-butkan, Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang sederajat. Kami mengusulkan, Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Tsanawiyah (Islam) atau yang sederajat. Pasal 20 ayat 3 dan 5 menyebutkan: (3) Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA); dan (5) Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Menengah Kejuruan terdiri atas tiga tingkat. Kami mengusulkan: (3) Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Madrasah Aliyah (Islam); dan (5) Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah (Islam) dan Sekolah Menengah Kejuruan terdiri atas tiga tingkat. D. Dalam draft RUU tanggal 5 Desember 2002 tampaknya masih bercampur baur antara masalah-masalah teknis dan masalah yang mengandung unsur-unsur policional. Bahkan di sana terdapat hal-hal yang ideasional mestinya harus dibedakan dan ditempatkan ke dalam sistem perundangan berbeda. Dengan kata lain, ada materi-materi mesti masuk ke dalam Undang-Undang Dasar dan mesti masuk ke dalam Peraturan Pemerintah. Masih banyak hal-hal yang diatur terlalu rinci dan bersifat teknis. Undang-Undang seharusnya menegaskan masalah-masalah pengaturan negara terhadap persoalan yang berkapasitas besar. Oleh karenanya, Undang-Undang harus lebih bersifat umum dan tidak menukik ke dalam masalah secara detil. Contoh Draft RUU DPR RI, 5 Desember 2001 BAB XI Pasal

35, 36, dan 37. E. Dalam upaya mela kukan dan mencapai kualitas pendidikan yang memadai disadari, perlu melakukan banyak langkah. RUU baru menegaskan akan dilakukannya akreditasi terhadap lembaga pendidikan di Indonesia dengan cara me-nentukan standar kependidikan termasuk bagaimana satuan pendidikan mempunyai fasilitas memadai dan lainnya. Dalam pandangan kami, bukan standar pendidikan seperti itu tapi standar mutu bagi lulusan pendidikan itu. Itu yang lebih penting sebenarnya. Artinya, yang harus ditekankan, bagaimana pemerintah mempu-nyai standar umum yang bisa diberlakukan untuk semua satuan pendidikan untuk menilai seberapa jauh lulusan suatu pendidikan mencapai nilai-nilai tertentu. Dengan ini kami tidak bermaksud menyepelekan pentingnya standar-standar yang dimaksud kan dalam RUU, karena benar bahwa tanpa fasilitas yang memadai agak sulit mencetak lulusan yang qualified. Yang kami maksudkan bahwa itu diarahkan untuk pemberdayaan sekolah (Draft RUU DPR RI, 5 Desember 2001 Pasal 52-56). Usulan perubahan-perubahan lainnya pasal 7 menyebutkan bahwa, Setiap warga negara wajib mendukung keberlangsungan penyelengaraan pendidikan sepanjang hayat. Kami mengusulkan: (1) Setiap warga negara wajib mendukung keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan sepanjang hayat. (2) Setiap anggota masyarakat dan orang tua wajib mendukung program pengajaran di sekolah. (3) Setiap anggota masyarakat dan pelaku bisnis berkewajiban memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma pendidikan. Pasal 9 menyebutkan, Masyarakat wajib memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Kami mengusulkan, Masyarakat Wajib memberikan dukungan sumber daya dalam penyeleng-garaan pendidikan di luar program wajib belajar. Pasal 12 ayat 2.2 menyebutkan, (2) Ikut menang-gung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kami mengusulkan, Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidi kan di luar program wajib belajar, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pasal 16 ayat 3 menye butkan, Pendidikan prasekolah berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) atau yang sederajat. Kami mengu-sulkan, Pendidikan prasekolah berbentuk Taman Kanak-Kanak (TKA), Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Pasal 24 ayat 2 menyebutkan, Pendidikan luar sekolah meli-puti pendidikan anak usia dini, pendidikan kesetaraaan, pendidikan buta aksara, pendidikan perempuan, pendidikan kepemudaan, pen-didikan orang dewasa, pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan pendidikan lain yang ditujukan untuk mengem-bangkan kemampuan akademik, keterampilan dan keprofesian peserta didik sesuai dengan kebutuhan. Kami mengusulkan, Pendidikan luar sekolah meliputi pendidikan anak usia dini (TK/TPA), pendidikan kesetaraan, pendidikan buta aksara, pendi-dikan perempuan, pendidikan kepemudaan, pendidikan orang dewasa, pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemam puan akademik, keterampilan dan keprofesian peserta didik sesuai dengan kebutuhan. Pasal 57 ayat 2 menye-butkan bahwa, 2 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara transparan dengan prinsip akuntabilitas publik. Kami mengusulkan

bahwa, 2 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara trans-paran dengan prinsip akun-tabilitas publik, sebagai upaya peningkatan mutu penyeleng-garan pendidikan. Tim Penyusun: Ketua : Dr. Endang Turmudzi,MA Sekretaris : Drs. Haryanto Aghie Anggota : Dr. HM. Thoyyib, IM, Drs. Azhari HM, MA, Drs. Muchsin Ibnu Djuhan, Drs. H. Aceng Abdul Aziz

You might also like