You are on page 1of 15

Tinea Kruris

Yunita 102010152 16 April 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No 6, Jakarta Telp. (021) 5605140 E-mail : chocoffee_holic@yahoo.com Pendahuluan Indonesia adalah negara tropis yang beriklim panas dan lembab. Dalam keadaan demikian ditambah higiene yang kurang, infestasi jamur kulit cukup banyak. Infeksi jamur di kulit dianggap sebagai infeksi superficial dan biasanya digambarkan berdasarkan tempat infeksi. Tinea kruris merupakan infeksi jamur pada lipat paha. Infeksi ini lebih sering dialami laki-laki dan disertai rasa gatal yang hebat dan lesi berbentuk lengkung atau anular dengan eritema perifer dan skuama. Tepi eritematosa yang berskuama pelan-pelan menjalar ke bawah paha bagian dalam dan meluas ke arah belakang ke daerah perineum dan bokong.1 Anamnesis Jenis anamnesis yang dapat dilakukan adalah autoanamnesis dan alloanamnesis. Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih berada dalam keadaan sadar. Sedangkan bila pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan alloanamnesis yang menyertakan kerabat terdekatnya yang mengikuti perjalanan penyakitnya.2 1. Identitas Pasien Menanyakan kepada pasien/ orang tua dari anak : Nama lengkap pasien, umur pasien ,tanggal lahir, jenis kelamin,agama, alamat, umur (orang tua), pendidikan dan pekerjaan (orang tua) ,suku bangsa.2 2. Keluhan Utama : 2 Menanyakan keluhan utama pasien yaitu : keluhan bercak merah pada kedua lipatan paha yang terasa gatal saat cuaca panas atau saat berkeringat banyak.
1

3. Riwayat Penyakit Sekarang2 Menanyakan kepada pasien : Kapan pertama kali pasien memperhatikan adanya bercak merah? Dimana letak penyebarannya? Apakah terasa gatal ? Adakah bercak merah di tempat lain selain di lipatan paha ? Adakah faktor pemicu seperti hygiene yang kurang, obesitas, banyak berkeringat dan lain-lain ? Bagaimana perubahan warna yang terjadi (misalnya pigmentasi meningkat) ? Sudah berapa lama terjadi ? Apakah ada komplikasi dan gejala klinis lain yang dirasakan ? 4. Riwayat Penyakit Dahulu2 Apakah pasien pernah terkena penyakit kulit sebelumnya ? Apakah pasien memiliki masalah dengan gangguan kulit di masa kecil?

5. Riwayat Obat-obatan2 Apakah pasien sudah melakukan tindakan pengobatan seperti berobat ke dokter lain? Pernahkan pasien menggunakan obat untuk penyakit kulit ? Apakah setelah menggunakan obat pasien bertambah baik atau semakin memburuk?

6. Riwayat Alergi2 Apakah pasien memiliki alergi obat ? Jika ya, seperti apa reaksi yang timbul ? Apakah mengetahui kemungkinan allergen yang lain misalnya alergi jamur ? Pernahkah pasien menjalani patch test atau pemeriksaan respons IgE ?

7. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga2 Adakah riwayat penyakit kulit dalam keluarga pasien ? Adakah orang lain di keluarga yang mengalami kelainan serupa ?

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan kulit dilakukan dengan cahaya yang cukup sementara pasien berbaring terlentang. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan dengan bantuan kaca pembesar. Inspeksi

Dilihat apa saja kelainan kulit yang ditemukan dan tentukan distribusinya. Asimetris, simetris, lokal atau meluas. Perhatikan morfologi apakah berupa eritema atau urtikaria, merah dan bersisik (eksematosa, psoriasiform atau likenoid), vaskulitis, vesikobulosa atau eritroderma ? Periksa tempat lain yang mungkin terkena. Lengkapi dengan pemeriksaan pada kulit kepala, mata, tangan dan kuku, mulut, daerah anogenital dan kaki.3 Tentukan perluasan (lokal, regional, generalisata atau universal) dan pola distribusi (simetris atau asimetris, daerah pajanan, tempat tekanan, lipatan kulit atau folikular). Apakah lokasi berhubungan dengan pakaian, pajanan sinar matahari ? Bagaimana warna dan bentuk lesi (misalnya bulat, lonjong, poligonal, anular, serpiginosa, bertangkai) ? Mendokumentasikan kelainan kulit dengan akurat sangat penting dan bisa dibantu oleh foto.2 Palpasi Lakukan palpasi lesi untuk mengetahui suhu, mobilitas, nyeri tekan dan kedalaman. Periksa adanya pembesaran kelenjar getah bening yang merupakan drainase.2 Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi.4 Manifestasi tinea cruris :4 1. Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah. 2. Daerah bersisik. 3. Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif. 4. Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi. 5. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang tersebar dan sedikit skuama. 6. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena.

7. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi muncul karena garukan. 8. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga tampak kulit eritematous, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula folikuler. 9. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis dipastikan dengan biakan dan melihat hifa bersepta pada sediaan KOH pada kerokan sisik bagian tepi yang meluas. Kultur jamur juga dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis. Tinea kruris tidak berfluoresensi di bawah sinar lampu Woods (Woods light).5 Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit daerah yang terserang yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.5 a. Pemeriksaan mikroskopik Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di obyek glass tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium. KOH akan melisiskan sel kulit, kuku dan rambut sehingga elemen jamur akan terlihat jelas. Penambahan zat warna seperti chlorazole black E atau tinta parker biru-hitam pada KOH semakin mempermudah terlihatnya elemen jamur.5 b. Pemeriksaan kultur dengan medium agar dextrosa Sabouraud Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan cycloheximide (mycobyotic-mycosel) untuk menekan pertumbuhan jamur dan bakteri, dibiakan selama 1-3 minggu pada suhu kamar dan bila perlu diperiksa lebih lanjut dalam biakan kaca objek. Identifikasi jamur biasanya antara 3-6 minggu.

Penentuan spesies dibuat berdasarkan morfologi koloni, pemeriksaan mikroskopik dan pada beberapa kasus denga tes biokimiawi. c. Punch biopsi Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc AcidSchiff, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam. d. Penggunaan lampu Wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.5

Working Diagnosis (WD) Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang seperti yang telah disebutkan. Dermatofitosis Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin.6 Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi 3 genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Gambaran klinik jamur dermatofita menyebabkan beberapa bentuk klinik yang khas, satu jenis dermatofita menghasilkan klinis yang berbeda tergantung lokasi anatominya. Bentuk-bentuk klinis dermatofitosis yaitu tinea kapitis, tinea corporis, tinea favosa, tinea imbrikata, tinea kruris, tinea barbae, tinea manus et pedis dan tinea unguium.7 Tinea Kruris Tinea kruris adalah dermatofitosis yang mengenai lipat paha, daerah inguinal, pubis, daerah perineum dan sekitar anus (perianal). Penyakit ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada
5

daerah genito-krural saja atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Gambaran klinik lesi simetris di lipat paha kanan dan kiri mula-mula lesi berupa bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas, kadang-kadang disertai banyak vesikel kecil-kecil. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.7 Tinea kruris terdapat baik di daerah tropik maupun daerah dingin dan banyak ditemukan di Indonesia. Infeksi ini sering kali terjadi bersamaan dengan infeksi tinea pada kaki. Pruritus sering terjadi dan nyeri dapat timbul jika area yang terkena mengalami maserasi atau infeksi sekunder. Infeksi diawali dengan pembentukan sisik dan eritema dari lipatan inguinal dan berkembang mengenai aspek anterior paha. Ruam juga dapat menyebar ke celah anus. Tinea kruris berbatas tegas dan jarang mengenai skrotum, kedua gambaran ini membedakan tinea kruris dengan kandidiasis. Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopis langsung memakai larutan KOH 10-20%.8

Gambar 1. Gambaran klinis tinea kruris Etiologi Tinea kruris disebabkan oleh spesies dari Trichophyton (Trichophyton rubrum), Epidermophyton floccusum. Tetapi kadang-kadang oleh spesies zoofilik yaitu Trichophyton
6

mentagrophytes.6 Lelaki lebih sering terkena daripada wanita. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang akan memudahkan infeksi. Beberapa faktor yang mendukung adalah temperatur lingkungan yang tinggi, keringat berlebihan, pakaian ketat dan kegemukan, disertai higienitas yang kurang maka memudahkan timbulnya infeksi jamur.8 Epidemiologi Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Infeksi jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab. Infeksi umumnya terjadi pada laki-laki postpubertal namun demikian perempuan juga dapat terkena. Penularan lebih mudah terjadi dalam lingkungan yang padat atau pada tempat dengan pemakaian fasilitas bersama seperti asrama dan di rumah tahanan. Pemakaian baju ketat, obesitas, keringat dan baju mandi yang lembab dalam waktu yang lama merupakan faktor predisposisi tinea kruris.6 Patogenesis Dermatofita hanya tumbuh dalam jaringan keratin yang mati. Hasil metabolisme jamur berdifusi melalui lapisan Malpighi, menyebabkan eritema, pembentukan vesikel dan pruritus. Waktu hifa menjadi tua dan memisahkan diri menjadi artrospora, sel-sel yang mengandung artrospora mengelupas sehingga pada beberapa kasus terdapat bagian tengah yang bersih pada lesi kurap. Hifa tumbuh dengan aktif ke arah pinggir cincin stratum korneum yang belum terserang. Pertumbuhan terus berlangsung ke dalam stratum korneum yang baru terbentuk pada permukaan kulit yang lebih tebal menyebabkan infeksi ini menetap pada tempat-tempat tersebut.5 Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama:4 1. Perlekatan ke keratinosit Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal lain,

sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik. 2. Penetrasi melalui ataupun di antara sel Setelah terjadi perlekatan spora harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika m=begitu jamur mencapai lapisan terdalam epidermis. 3. Perkembangan respon host Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatifita. Pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya inflamasi menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier epidermal menjadi permaebel terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.4 Gejala Klinis Tinea Kruris Kelainan mengenai kulit di daerah inguinal pada bagian dalam dan perineum. Kelainan yang disebabkan Trichophyton rubrum atau Epidermophyton floccosum bersifat kronik dan relatif tanpa peradangan. Lesi hanya tampak sebagai eritema ringan dengan daerah tepi yang tampak tidak begitu aktif. Kelainan oleh Trichophyton mentagrophytes terlihat akut dengan peradangan, bagian tepi lesi tampak aktif disertai vesikel dan seringkali disertai rasa gatal yang hebat.6 Pada permulaan, lesi klinik berupa bercak eritematosa kecil, meninggi, berskuama pada paha bagian dalam dan menyebar ke perifer, sering menjadi vesikel kecil multiple dengan tepi meluas. 9
8

Pada akhirnya, lesi membentuk bercak berbatas tegas, tidak teratur dan bilateral dengan bagian tengah hiperpigmentasi dan berskuama. Pada beberapa kasus, terutama infeksi dengan T. mentagrophytes, reaksi radang lebih berat dan infeksi dapat meluas ke regio kruris. Penis biasanya tidak terkena infeksi, hal ini yang membedakan lesi ini dengan kandidosis. Gatal dapat berat pada awalnya tetapi menghilang setelah reaksi radang menghilang. Tinea kruris lebih sering pada orang gemuk, orang yang berkeringat banyak dan memakai pakaian ketat.9 Differential Diagnosis (DD) Dermatitis Seboroik (DS) Dermatitis seboroik merupakan dermatitis dengan distribusi terutama di daerah yang kaya kelenjar sebasea. Banyak percobaan telah dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan infeksi oleh bakteri atau Pityrosporum ovale yang merupakan flora normal kulit manusia. Pertumbuhan P. ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke dalam epidermis, maupun karena sel jamur itu sendiri melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. DS berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea. DS pada bayi terjadi pada umur bulan-bulan pertama, kemudian jarang pada usia sebelum akil balik dan insidensnya mencapai puncaknya pada umur 18-40 tahun, kadang-kadang pada umur lebih tua. DS lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.7 Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas. DS yang ringan hanya mengenai kulit kepala berupa skuamaskuama yang halus, mulai sebagai becak kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama-skuama yang halus dan kasar yang disebut pitiriasis sika (ketombe/dandruff). Bentuk yang berminyak disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krustakrusta yang tebal. Rambut pada daerah tersebut cenderung rontok dan penderita akan mengeluh rasa gatal yang hebat. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak yang berskuama dan berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas ke dahi, glabella, telinga postaurikular dan leher. Pada daerah tersebut batasnya sering cembung.7 Pada keadaan yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang kotor dan berbau tidak sedap. Pada bayi, skuama-skuama yang kekuningan dan kumpulan debrisdebris epitel yang lekat pada kulit kepala disebut cradle cap. Pada daerah supra orbital skuamaskuama halus dapat terlihat pada alis mata, kulit dibawahnya eritematosa dan gatal disertai
9

bercak-bercak skuama kekuningan, dapat terjadi pula blefaritis yaitu pinggir kelopak mata merah disertai skuama-skuama halus. Selain tempat-tempat tersebut, DS juga dapat mengenai liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah sternal, areola mamae, lipatan di bawah mamae pada wanita, interskapular, umbilicus, lipat paha dan daerah anogenital. Pada daerah pipi, hidung dan dahi kelainan dapat berupa papul-papul.7

Psoriasis Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan kasar, disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner.7 Psoriasis ditandai dengan percepatan pertukaran sel-sel epidermis sehingga terjadi proliferasi abnormal epidermis dan dermis. Waktu pertukaran normal sel epidermis adalah sekitar 28-30 hari. Pada psoriasis, epidermis di bagian yang terkena diganti setiap 3-4 hari. Pertukaran sel yang cepat ini menyebabkan peningkatan derajat metabolisme dan peningkatan aliran darah ke sel untuk menunjang metabolisme tersebut sehingga menimbulkan eritema. Trauma ringan pada kulit dapat menimbulkan peradangan berlebihan sehingga epidermis menebal dan terbentuklah plak. Psoriasis terdapat pada semua usia, tetapi umumnya pada orang dewasa.10 Gambaran klinik psoriasis adalah adanya plak eritematosa berbatas tegas yang ditutupi oleh skuama putih keperakan. Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada scalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ektremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral.11 Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan seperti lilin yang tergores, disebabkan oleh berubahnya indeks bias. Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis. Trauma pada kulit penderita psoriasis misalnya garukan, dapat menyebabkan kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis dan disebut fenomena Kobner yang timbul kira-kira setelah 3 minggu. Psoriasis sering mengenai bantalan dan matriks kuku yang menimbulkan lubang-lubang kecil (nail pitting), kuku keruh, tebal, bagian distalnya terangkat karena terdapat lapisan tanduk di bawahnya (hyperkeratosis subungual) dan onikolisis. Penyakit ini dapat pula menimbulkan

10

kelainan pada sendi, terutama pada sendi interfalangs distal, terbanyak pada usia 30-50 tahun. Sendi membesar, kemudian terjadi ankilosis dan lesi kistik subkorteks.7 Pada stadium penyembuhan, telah dijelaskan bahwa eritema dapat terjadi hanya di pinggir hingga menyerupai dermatofitosis. Perbedaannya adalah keluhan pada dermatofitosis gatal sekali dan pada sediaan langsung ditemukan jamur. Dermatitis seboroik berbeda dengan psoriasis karena skuamanya berminyak dan kekuning-kuningan dan bertempat predileksi pada tempat yang banyak kelenjar sebasea.7 Candidosis Intertriginosa Kandidosis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh spesies Candida, biasanya oleh spesies Candida albicans dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan septicemia, endokarditis atau meningitis. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur baik laki-laki maupun perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat sebagai saprofit. Kandidosis banyak dihubungan denga banyak faktor, seperti keadaan kulit yang terus menerus lembab, pemakaian antibiotik, steroid dan sitostatika, perubahan fisiologis tubuh pada kehamilan, penyakit-penyakit kronik dan immunodefisiensi, gangguan endokrin, obesitas, trauma, malnutrisi serta hygiene yang buruk. Kandidosis selaput lendir dibagi menjadi kandidosis oral (thrush), Perleche, vulvovaginitis, balanitis, kandidosis mukokutan kronik dan kandidosis

bronkopulmonar dan paru. Kandidosis kutis dibedakan berdasarkan lokalisata (di daerah intertriginosa dan perianal), generalisata, paronikia dan kandidosis kutis granulomatosa. Kandidosis sistemik dibedakan menjadi endokarditis, meningitis, pielonefritis dan septicemia.7 Kandidosis intertriginosa berupa lesi di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis dan umbilicus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan eritematosa. Regio intertriginosa mengalami gesekan friksi kronik yang dapat merusak epidermis dan memungkinkan terjadinya invasi Candida ke jaringan. Yang khas disini adalah bercak kemerahan yang agak lebar pada lipatan kulit tersebut, dengan dikelilingi oleh lesi-lesi satelit. Di tengah lesi yang lebar sering terjadi erosi sedangkan di tepinya terjadi pengelupasan kulit tanpa peninggian lesi.12 Gejala utamanya ialah rasa gatal dan sakit bila terjadi maserasi atau infeksi sekunder oleh kuman. Diagnosis klinis

11

infeksi Candida dapat dikonfirmasi dengan preparat kalium hidroksida (KOH) dari kerokan kulit yang memperlihatkan budding spora dan pseudohifa, atau hifa sejati.8 Yang menyebabkan pada penderita tidak dapat didiagnosis kandidosis intertriginosa, karena dari status dermatologinya kita tidak mendapatkan adanya lesi satelit, sedangkan untuk dapat mendiagnosis kandidosis intertriginosa paling tidak kita menemukan adanya lesi satelit, karena hal tersebut yang membedakan tinea kruris dengan kandidosis intertriginosa. Dimana lesi satelit tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.7 Eritrasma Eritrasma ialah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum, ditandai dengan adanya lesi berupa eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Seperti yang telah disebutkan di atas etiologi dari penyakit ini adalah Corynebacterium minitussismum. Bakteri ini adalah bakteri gram positif (difteroid). Bakteri ini tidak membentuk spora dan merupakan basil yang bersifat aerob atau anaerob yang fakultatif. Corynebacterium minitussismum merupakan flora normal di kulit yang dapat menyebabkan infeksi epidermal superfisial pada keadaan-keadaan tertentu.7 Lesi kulit dapat berukuran sebesar miliar sampai plakat. Lesi eritoskuamosa, berskuama halus kadang-kadang dapat terlihat merah kecoklat-coklatan. Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita. Tempat predileksi dimulai dari tempat yang paling sering, yakni toe webspaces (di antara jari kaki), lipat paha, aksila. Selain itu, juga bisa ditemukan di daerah intertriginosa lain (terutama pada penderita gemuk), intergluteal, inframamary (submammary). Lesi di daerah lipat paha dapat menunjukkan gejala berupa gatal dan terasa terbakar. Sedangkan lesi pada tempat lain asimtomatik. Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginosa. Lesi tidak menimbulkan dan tidak terlihat vesikulasi. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak. Eritrasma tidak menimbulkan keluhan subyektif, kecuali bila terjadi ekzematisasi oleh karena penderita berkeringat banyak atau terjadi maserasi pada kulit. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi terlihat berfluoresensi merah membara (coral-red). Fluoresensi ini terlihat
12

karena adanya porfirin. Pencucian atau pembersihan daerah lesi sebelum diperiksa akan mengakibatkan hilangnya fluoresensi. Kelainan kulit kronik, non-inflamasi pada daerah intertriginosa, yang berwarna merah kecoklatan, dilapisi skuama halus merupakan tanda eritrasma. Pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung KOH dapat menentukan diagnosis.7 Penatalaksanaan Medika Mentosa Infeksi dermatofit dapat dibatasi dengan dua cara yaitu mengubah lingkungannya sehingga tidak menguntungkan bagi jamur tersebut untuk melakukan propagasi dan penggunaan obat anti jamur topikal. Untuk mengurangi kelembaban dari lingkungan sekitar, maka pasien disarankan untuk menggunakan pakaian yang menyerap keringat atau longgar. Pengobatan sistemik menggunakan griseofulvin oral 500 mg sehari selama 3-4 minggu. Obat yang lain adalah ketokonazol. Pengobatan topical memakai salep Whitfield, tolnaftat, tolsiklat, haloprogin, derivate azol dan naftifin HCl. Pengobatan topikal dengan imidazol disarankan lesi berat, terutama karena agen ini efektif pada infeksi campuran candida-dermatofita. Infeksi dermatofita murni juga dapat diterapi dengan tolnaftat. Antijamur topikal meliputi obat golongan azol seperti klotrimazol, ketokonazol atau mikonazol.12 Alilamin adalah golongan antijamur utama lain yang meliputi terbinafin dan naftifin. Obat tersebut memerlukan pemakaian setiap hari dan tetap aktif di kulit selama 1 minggu setelah pemakaian. Obat yang lebih baru seperti ciclopirox, butenafin dan haloprogin telah dicoba dengan hasil beragam. Pengobatan topikal tersebut harus mencakup 2 cm melewati tepi lesi yang terkena. Untuk pasien dengan penekanan sistem imun, pasien dengan penyakit luas, dan pasien yang gagal diobati dengan pengobatan topikal maka flukonazol, itrakonazol atau terbinafin dapat diberikan per oral. Pengobatan tinea pedis pada orang yang terkena tinea kruris diperlukan untuk mencegah rekurensi.8 Non Medika Mentosa Edukasi kepada pasien dan faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah terjadi tinea kruris antara lain :10
13

Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi. Jaga kebersihan kulit dan kaki, bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti pakaian yang lembab. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak ketat dan ganti setiap hari. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas. Mengeringkan tubuh sampai benar-benar kering sesudah mandi. Jangan berlama-lama memakai pakaian mandi yang lembab atau pakaian yang ketat. Menghilangkan fokal infeksi ditempat lain misalnya di kuku atau di kaki. Meningkatkan hygiene lingkungan & perorangan.

Komplikasi Komplikasi klinis jarang terjadi, tetapi superinfeksi area oleh bakteri penyebab selulitis dapat terjadi. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada orang dengan gangguan imun. Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.8

Prognosis Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga tetapi rekuren dapat terjadi jika pasien tidak menjaga kebersihan dan hygiene tempat yang terkena infeksi jamur itu dengan baik. Antaranya dengan memastikan kulit senantiasa kering, tidak memakai pakaian ketat, memakai bedak anti jamur sesudah mandi.6 Kesimpulan Dengan memperhatikan gejala-gejala yang dialami pasien berusia 30 tahun ini, dapat disimpulkan bahwa ia menderita tinea kruris karena ia mempunyai beberapa gejala klinis yang tampak seperti bercak eritematosa yang gatal dan meluas ke tepi pada lipatan paha setelah diberi
14

salep hidrokortison (central healing). Pada tinea kruris, lesi membentuk bercak berbatas tegas, tidak teratur dan bilateral dengan bagian tengah hiperpigmentasi dan berskuama. Tinea kruris adalah dermatofitosis yang mengenai lipat paha, daerah inguinal, pubis, daerah perineum dan sekitar anus (perianal).

Daftar Pustaka 1. Price SA. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;2006.h.1448-1452. 2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;2007.h.42-3. 3. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga;2006.h.118-9. 4. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes: kedokteran klinis. Edisi ke-6. Jakarta: Erlangga;2007.h.1815-6. 5. Jawetz E, Melnick J, Adelberg E. Mikrobiologi kedokteran. Edisi ke-20. Jakarta: EGC;1996.h.613-5. 6. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;2008.h.319-325, 356-9. 7. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;2007.h.92-9, 106-9, 200-1, 334-5. 8. Greenberg MI. Teks-atlas kedokteran kedaruratan. Jilid ke-2. Jakarta:

Erlangga;2008.h.420, 425. 9. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi ke-15. Jakarta: EGC;2000.h.2308-9. 10. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC;2001.h.599-610. 11. Ganong WF. McPhee SJ. Patofisologi penyakit : pengantar menuju kedokteran klinis. Edisi ke-5. Jakarta: EGC;2011.h.209-213. 12. Harahap M. Ilmu penyakit kulit. Jakarta: Hipokrates;2000.h.75-82.

15

You might also like