You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Analisis Situasi Sapi perah merupakan ternak yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Tujuan utama dari pemeliharaan sapi perah adalah produksi air susu yang melebihi kebutuhan untuk anaknya yang memiliki kandungan gizi yang baik untuk tubuh manusia. Sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia yaitu sapi perah jenis Friesian Holstein (FH), karena memiliki produksi susu paling tinggi diantara bangsa sapi perah lainnya. Produksi susu sapi FH di Indonesia berkisar 4000 litar per ekor laktasi. Produksi susu local masih sangat rendah hanya mampu memasok sekitar 30% dari permintaan, sehingga 70% kebutuhan susu dalam negeri masih bergantung pada susu impor. Besarnya kontribusi susu impor mengakibatkan harga susu dipasaran dalam negeri sangat ditentukan oleh pihak asing dan seringkali tidak sesuai dengan harga yang diinginkan peternakan sehingga menyebabkan kesejahteraan peternak menurun. Pengetahuan teknis beternak sapi perah sangat penting diketahuai oleh peternak, karena tata laksana pemeliharaan merupakan salah satu kunci utama dalam usaha peternakan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pemeliharaan sapi perah adalah perkandangan, pemberian pakan ternak, pengelolaan, produksi susu dan peralatan serta kesehatan hewan. Dengan diterapkan teknis beternak yang baik maka diharapkan dapat meningkatkan produktifitas ternak. Unit Pelaksana Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makan Ternak (UPT PT dan HMT) Batu merupakan salah satu Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur yang didalamnya hanya terdapat sapi perah jenis peranakan Friesian Holstein (PFH) dengan jumlah 130 ekor. Keberhasilan Tata

Laksana Pemeliharaan Sapi Perah Laktasi di UPT PT dan HMT Batu ini, tidak lepas dari beberapa faktor yang terdiri dari aspek perkandangan, pemberian pakan, reproduksi serta kesehatan hewan atau pengendalian

penyakit. Penanganan pemeliharaan sapi perah laktasi merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang keberhasilan usaha peternakan sapi perah di UPT PT dan HMT Batu ini. Berdasarkan analisis situasi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa aspek manajemen pemeliharaan sapi perah laktasi ditinjau dari beberapa aspek tersebut sangat penting, oleh karena itu UPT PT dan HMT Batu dapat dipilih sebagai lokasi Praktek Kerja Lapang (PKL) untuk mempelajari manajemen pemeliharaan sapi perah laktasi yang dinilai dari aspek perkandangan, pemberian pakan, pengendalian penyakit dan produksi susu.

1.2. Rumusan Masalah Bagaimanakah penerapan Tata Laksana Pemeliharaan Sapi Perah Laktasi di UPT PT dan HMT Batu Desa Beji kecamatan Junrejo Kota Batu?

1.3. Tujuan Tujuan dari PKL ini adalah untuk mengevaluasi pelaksanaan Tata Laksana Pemeliharaan Sapi Perah Laktasi di UPT PT dan HMT Batu.

1.4. Kegunaan Kegunaan dari PKL ini adalah dituntut agar memperoleh keterampilan dan pengetahuan dalam Tata Laksana Pemeliharaan Sapi Perah Laktasi serta memberikan bekal pada mahasiswa sehingga memiliki kemampuan manajerial dalam meningkatkan potensi peternakan, selain itu dapat menjadi masukan kepada UPT PT dan HMT Batu untuk meningkatkan kinerjanya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeliharaan Sapi Perah Laktasi Sapi perah adalah sapi yang khusus dipelihara untuk diambil susunya. Adaberagam jenis sapi perah yang dapat diternakkan, antara lain sapi shorhorn, Friesian Holstein, jersey, bown swiss, red Danish dan droughtmaster. Lama bunting sapi perah adalah 9 bulan, salah satu yang mempengaruhi produksi susu yaitu interval beranak. Sapi dengan selang beranak antara 12-15 bulan akan berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan yang selang beranaknya 10-12 bulan tanpa masa kering yang cukup. Bila interval beranaknya diperpendek akan menurunkan produksi susu 3,7-9% pada laktasi yang sedang berjalan atau yang berikutnya, sedangkan bila interval diperpanjang sampai 450 hari, maka laktasi yang sedang berlaku dan laktasi yang akan datang akan meningkatkan produksi susu 3,5%. Menurut pendapat Siregar (1995), sapi perah setelah melahirkan pedet, sebaiknya memberikan air minum yang hangat. Kira-kira setengah jam setelah melahirkan susu akan keluar. Susu yang baru keluar disebut kolustrum, dan selama 4 hari harus pada pedet yang dilahirkan. Hal ini dikarenakan kolustrum mengandung vitamin A, mineral Ca dan P, serta antibody yang sangat berguna untuk pertumbuhan dan kesehatan pedet yang baru lahir. Pendapat tersebut sesuai dengan kenyataan yang terjadi dilapang, yaitu induk yang barusaja melahirkan pedet, setengah jam kemudian akan diberikan air hangat yang diberi sedikit garam untuk mengembalikan kondisi tubuhnya. Putra (2004), menyatakan bangsa sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah sapi perah Fries-Holland (FH) dan sapi perah yang produksi susunya paling tinggi dengan kadar lemak susu yang rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya di daerah subtropics maupun di daerah tropis. Produktivitas susu yang dicapai sapi FH local masih lebih rendah dibandingkan dengan sapi-sapi perah FH di daerah iklim sedang, oleh karena itu diperlukannya produktivitas secara maksimal.

2.2 Perkandangan Sapi Laktasi Nababan (2008), menyatakan bahwa pemeliharaan sapi perah laktasi atau indukan sebaiknya menggunakan kandang yang terbuat dari besi karena merupakan tipe kandang modern. Kandang tersebut mempunyai ukuran panjang 68 m, lebar 20 m dan tinggi 6m dengan kemiringan 0,330. Kandang sapi laktasi ini harusnya dilengkapi dengan bedding sebanyak 108 buah yang dipisah bagian kiri sebanyak 54 buah dan bagian sebelah kanan sebanyak 54 buah. Tempat pakan dibuat secara otomatis yaitu menggunakan sekat sehingga sapi yang satu tidak akan mengambil jatah pakan sapi yang lain. Ukuran panjang tempat pakan adalah 41,37 m, lebar 75 cm dan tinggi 50 cm sedangkan tempat minum mempunyai ukuran panjang 2 m, lebar 21 cm dan tinggi 20 cm. Sebaiknya tipe kandang sapi laktasi adalah head to head dengan kapasitas 108 ekor. Hal penting yang tidak dapat diabaikan dalam peternakan sapi perah adalah tersedianya kandang dan air bersih, karena untuk setiap liter susu yang dihasilkan sapi membutuhkan air minum sebanyak 3,5-4 liter. Sapi dapat ditempatkan di kandang individu ataupun kelompok. Kebutuhan luasan kandang untuk setiap ekor adalah : lebar 120 cm, panjang 140 cm, lantai terbuat dari bahan kedap air dengan vertilasi kandang yang cukup. Iklim lingkungan kandang yang optimal adalah suhu udara 18-240 C dan kelembaban udara sekitar 45-65% (Putra, 2004). Pemeliharaan ternak terutama sapi perah sangat perlu untuk

memperhatikan rekonstruksi kandang, kandang yang salah merupakan salah satu penyebab sapi mengalami stress. Selain itu, pekerja kandang juga menjadi susah, malas atau membuang banyak tenaga untuk bekerja di dalam kandang yang tidak nyaman. Beberapa contoh kandang sapi laktasi yang salah adalah tempat pakan terlalu tinggi, cara mengikat sapi yang salah, gangguan sirkulasi udara, kandang selalu becek, dan kesalahan dalam ukuran kandang (Alim, 2002). Widodo dan Abdul Samad Melleng (2008), menyatakan bahwa untuk melindungi pengaruh udara yang panas serta dingin, hujan ataupun kencangnya angin yang menerpa tubuh ternak sapi perah, maka setiap sapi

perah memerlukan suatu kandang yang memiliki persyaratan-persyaratan khusus. Persyaratan khusus yang pertlu dimiliki setiap kandang yang akan didirikan oleh peternak adalah : 1. Bersifat efisien dan ekonomis 2. Tersedia bahan-bahannya disekitar peternakan 3. Tersedia air yang mencukupi untuk keperluan sapi 4. Terlindung dari angin dan sengatan matahari

2.3 Pemberian Pakan dan Minum Putra (2004), menyatakan bahwa apabila pemberian pakan hijauan dilakaukan sebelum pemerahan, terutama bila hijauan yang diberikan mempunyai bau yang khas seperti silase, maka susu yang dihasilkan akan terkontaminasi oleh bau-bauan dari hijauan yang diberikan. Pakan penguat sebaiknya diberikan sebelum pemerahan dilakukan, agar spai yang akan diperah kelak menjadi tenang selama pemerahan. Namun pada umumnya, peternak memberikan pakan penguat berupa konsentrat, ampas tahu dan campuran pakan lainnya setelah pemerahan dilakukan yaitu beberapa saat sebelum hijauan diberikan. Hal ini menunjukkkan ketidak tahuan dari peternak mengenai tujuan pemberian pakan. Kebutuhan pokok dalam produksi susu sapi perah dapat dipenuhi selain dalam pemberian hijauan sebagai pakan pokoknya, juga dengan

menambahkan konsentrat. Fungsi utama konsentrat ini adalah untuk menyuplai energy tambahan yang diperlukan agar sapi berproduksi optimal. Fungsi kedua adalah untuk menyesuaikan tingkat protein ransum tertentu. Hijauan berperan sebagai sumber serat bagi ternak. Hijauan yang diberikan minimal sebanyak 40% dari total bahan kering ransum atau diperkirakan sebanyak 1,5% dari bobot hidup. Pemberian konsentrat dalam ransum dapat ditekan apabila kualitas hijauan dapat ditingkatkan (Widodo dan Abdul Samad Melleng, 2008). Alim (2002), menyatakan zat-zat makanan pada sapi laktasi digunakan untuk hidup pokok, pertumbuhan janian di dalam kandungan serta produksi

susu. Jika ingin mendapatkan produksi susu yang tinggi, baik jumlah maupun mutunya, maka pakan harus diberikan dalam jumlah yang cukup dan bermutu. Huda (2007), menambahkan bahwa hijauan pada umumnya merupakan sumber energy yang relative murah. Akan tetapi sapi perah yang berproduksi susu tinggi belumtentu mampu mengkonsumsi sejumlah hijauan untuk memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkannya. Oleh karena itu perlu mendapatkan tambahan sejumlah konsentrat. Banyaknya bahan kering (BK) hijauan dalam ransum sebaiknya tidak lebih dari 2% dari bobot badan. Pemberian pakan dengan mengatur komposisi pakan yang tepat sehinggga kualitas gizi yang terkandung didalamnya tinggi dan dapat meningkatkan protein dapat menghasilkan energi yang lebih baik dan akan berperan dalam proses metabolism tubuh untuk proses pertumbuhan, produksi dan menjaga kondisi tubuh agar sesuai dengan panas lingkungan sekitar. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan kegiatan kajian introduksi teknologi peningkatan kualitas pakan untuk mengetahui pengaruh terhadap perubahan termoregulasi sapi perah periode laktasi (Utomo, dkk, 2008). Hijauan yang terdapat di daerah-daerah tropis pada umumnya mempunyai pertumbuhan yang cepat, walaupun kualitasnya termasuk rendah. Hijauan yang demikian tidak sesuai apabila diberikan pada sapi perah laktasi. Dari sapi perah tidak dapat diharapkan produksi tinggi, sebab untuk mencapai itu, sapi perah tersebut harus mengkonsumsi sebagian besar hijauan yang tidak mungkin dapat dihabiskannya. Dengan hanya diberi hijauan saja, sapi perah laktasi hanya akan dapat mencukupi kebutuhan hidup pokoknya dengan produksi susu yang rendah. Oleh karena itu, untuk mencapai produksi susu yang tinggi, sapi perah laktasi perlu diberi sejumlah konsentrat disamping hijauan (Basya, 1983)

2.4 Produksi dan Penanganan Susu Kusnadi dan E. Juarini (2006), menyatakan bahwa peningkatan populasi sapi perah yang lamban berarti juga pengembangan usaha pemeliharaan sapi perah perah yang lamban, berakibat kepada rendahnya peningkatan produksi susu nasional. Selama periode tahun 1997-2003 permintaan konsumen susu

mencapai rata-rata 45%/tahun. Apabila tidak dilakukan peningkatan produksi susu nasional yang cepat dan terprogram, dikhawatirkan kebutuhan susu akan semakin tergantung pada susu impor dan hal ini berarti pengurangan devisa Negara yang sangat besar di tahun-tahun yang akan datang. Kegiatan budidaya sapi perah ditujukan terutam untuk mencapai produksi susu dalam jumlah yang tinggi. Faktor lingkungan diantaranya adalah suhu dan kelembaban ruangan kandang sapi yang dapat mempengaruhi status faali dan berlanjut terhadap performa tubuh (Utomo, dkk, 2009). Upaya meningkatkan produksi susu dalam negeri dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan populasi sapi perah . populasi sapi perah pada tahun 1993 berjumlah 351.000 ekor dengan produksi susu 360.900 ton dan jumlah ini masih jauh dibawah permintaan konsumen susu yang sudah mencapai 797.820 ton. Peningkatan jumlah populasi sapi perah dan khususnya sapi perah betina, dapat dijadikan sebagai acuan perkembangan popuulasi sapi perah yang telah ada dan mengimpor sebagaimana telah berkali-kali dilakukan pada tahuntahun sebalumnya. Kedua upaya yang telah disarankan tersebut bagaimanapun akan berakibat pada penyebaran pemeliharaan sapi perah yang lebih meluas (Siregar, 1996). Mariyono, dkk (1991), menyatakan periode laktasi yang berkaitan dengan umur sapi dapat mempengaruhi tingkat kemampuan memproduksi susu ternak sapi perah. Sapi yang telah beranak pada umur dua tahun akan menghasilkan produksi susu sebesar 75% dibandingkan dengan sapi dewasa. Hal ini disebabkan oleh penggunaan sebagian zat makanan yang diproleh untuk pertumbuhan tulang.

2.5 Pengendalian Penyakit Triakoso (2009), menyatakan bahwa dampak dari segi ekonomis penyakit pada ternak dapat berupa kematian hewan, penurunan produksi, efisiensi reproduksi, meningkatnya biaya pengobatan, pengadaan obat dan sebagainya. Oleh karena itu, penanganan penyakit yang tepat dan cepat melalui peneguhan diagnosis yang tepat akan dapat menyembuhkan penyakit dengan segera dan

dengan biaya yang minimal, serta pengendalian penyakit agar tidak meluas sehingga menekan atau menghemat biaya dalam upaya untuk mengobati dan mengendalikan penyakit. Program kesehatan pada peternakan sapi perah hendaknya dijalankan secara teratur terutama di daerah-daerah yang sering terjadi penyakit menular, misalnya TBC, brucellosis, penyakit mulut dan kuku, radang limpa dan lainlain, dengan cara vaksinasi secara teratur. Pencegahan berbagai penyakit khusus dilakukan dengan jalan pemberian antibody penyakit, yang memilih vaksinnya tergantung pada prevalensi penyakit-penyakit di daerah peterkan yang bersangkutan (Putra, 2004). Sapi perah dan hewan lainnya akan mengembangkan mekanisme kekebalan yang spesifik dan non spesifik untuk mempertahankan kekebalan tubuhnya dari invasi mikroba. Pertahanan pertama yang bersifat non spesifik termasuk didalamnya barier fisik, mulai dari kulit, saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan saluran urogenial yang merupakan alat pertahanan yang membersihkan sendiri permukaannya dari invasi mikroba. Termasuk didalmnya bersin, batuk, pengeluaran mucus dan urine. Muntah dan mencret merupakan cara yang lebih dramtik sehingga mikroba tidak dapat masuk kedalam tubuh (Sudarisman, 2007).

2.5.1. Diare Menurut Iskandar (2007), menyatakan bahwa kemampuan menekan angka mortalitas ternak dapat dilakukan melalui manajemen penanganan penyakit, yaitu suatu tindakan berupa pencegahan, pengendalian dan pemberantasan. Pada umumnya mudah terinfestasi parasit nematode di dalam saluran pencernaan. Efek patologis yang ditimbulkan parasit ini antara lain turunnya berat badan yang diakibatkan diare, selain itu bias menimbulkan efek yang merugikan pada induk semang, karena parasit ikut menyerap bahan makanan dalam saluran pencernaan, menghisap darah dan cairan induk semang serta memakan jaringan induk semang.

2.5.2. Brucellosis Abortus

Menurut Noor (2006), menyatakan bahwa Brucellosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri genus Brucella dan dikategorikan sebagai penyakit zoonosis. Brucellosis pada hewan betina yang terinfeksi biasanya asimptometik, sedangkan pada hewan bunting dapat menyebabkan plasentitis yang berakibat terjadinya abortus, kuman Brucella dapat diekskresikan ke plasenta, cairan fetus dan leleran vagina. Kelenjar susu dan kelenjar getah bening juga dapat terinfeksi dan mikroorganisme ini di ekskresikan ke susu. Pernyataan diatas didukung oleh pendapat Ekowati (2001), yang menyatakan bahwa Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella. Selain Brucellosis abortus, Brucella suis dan Brucella mellitensis dapat pula menyerang sapi, akan tetapi bakteri tersebut biasanya hanya terbatas di dalam sistem retikulo-endotelial tanpa mengakibatkan gambaran penyakit yang jelas. Pemberantasan penyakit ini biasanya tidak terlalu sulit, perhatian harus diberikan pada peternakan-peternakan tersebut dengan jalan vaksinasi, yang seyogyanya dilakukan pada masa pedet, dan disertai dengan tindakan test and slaughter. Untuk mencegah penyebaran penyakit, tindakan karantina perlu dijalankan.

2.5.3. Mastitis Menurut Luthan (2011), menyatakan bahwa manajemen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi kesehatan sapi perah. Gangguan kesehatan pada sapi perah terutama berupa gangguan klinis dan reproduksi. Gangguan reproduksi dapat berupa hipofungsi, retensi plasenta, kawin berulang, endomestitis dan mastitis. Sedangkan gangguan klinis yang terjadi adalah gangguan metabolism (ketosis, bloot, milk fever dan hipocalcemia), panaritium, enteritis, dysplasia abomasums dan pneumonia. Tetapi penyakit yang sering ditemukan dan paling mudah di deteksi adalah mastitis. Mastitis adalah penyakit infeksi pada ambing oleh bakteri. Menjaga kebersihan kandang atau sanitasi merupakan cara terbaik untuk mencegah mastitis, termasuk melakukan teat dip setiap kali pemerahan. Teat dip (larutan celup putting susu). Tanda-tanda mastitis yaitu: a. Ambing terasa panas, sakit dan membengkak;

b. Bila diraba terasa ada yang mengeras pada ambing; c. Warna dan kualitas susu abnormal, seperti ada warna kemerahan (darah), pucat seperti air, kental kekuningan atau kehijauan. Mastitis dapat diobati dengan antibiotik seperti metrivet, mastivet, depolac dll. Pengobatan dilakukan dengan cara memasukkan antibiotic melalui putting susu, setelah ambing dikosongkan (diperah) terlebih dahulu. Pengobatan dilakukan selama 2-3 kali/hari, sampai ternak benar-benar sembuh.

BAB III METODE KEGIATAN

3.1. Lokasi Dan Waktu Kegiatan Kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makan Ternak (UPT PT dan HMT) Batu Jalan Raya Tlekung, Desa Beji, Kota Batu. Waktu pelaksanaan PKL adalah mulai tanggal 22 Oktober sampai 03 Desember 2012.

3.2. Khalayak Sasaran Sasaran dari kegiatan PKL ini adalah pimpinan (Kepala Bagian), karyawan (Kasi Pelayanan, Kasi Produksi dan Kepala Sub Tata Usaha) dan anak kandang yang ada di UPT PT HMT Batu. 3.3. Metode Kegiatan Metode adalah cara yang sudah dipikirkan matang-matang dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai (Agus M, 2010). Metode yang digunakan dalam praktek kerja lapang ini adalah berpartisipasi aktif, wawancara langsung dan diskusi dengan staf dan karyawan, kunjungan dan observasi langsung dilengkapi foto, dengan pengertian sebagai berikut : 1. Observasi Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu objek dalam suatu periode tertentu

dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati (Beriana, 2011). Metode observasi ini digunakan untuk mengumpulkan data. Data yang diperoleh dari observasi yang dilakukan adalah berupa data premier dan data sekunder. Data premier adalah hasil analisis yang diamati yaitu pemberian pakan, system perkandangan, cara pemerahan, produksi susu, dan pengendalian penyakit sapi perah laktasi yang ada di UPT PT dan HMT Batu. Data sekunder adalah keadaan umum lokasi PKL, luas area lokasi, sehingga diperoleh data yang sesuai dengan kondisi yang ada di lapang. 2. Partisipasi Partisipasi adalah keikutsertaan, peranserta atau keterlibatan yang berkaitan dengan keadaan lahiriahnya. Suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat (Mardikanto, 2003). Partisipasi merupakan metode pengembangan data dengan ikut aktif dalam semua kegiatan yang berhubungan, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung, dengan semua aspek yang berkaitan dengan Tata Laksana Pemeliharaan Sapi Perah Laktasi. Partisipasi aktif yang dilakukan pada waktu PKL ini meliputi membantu tata laksana pemberian pakan, system perkandangan, pemerahan, produksi susu dan program pengendalian penyakit.

3.4. Analisis Hasil Kegiatan Data yang diperoleh dari kegiatan praktek kerja lapang ini nantinya akan dianaliis secara deskriptif, yaitu membandingkan antara teori dengan data dan fakta yang ada di lapang, sehingga dapat memberikan gambaran nyata mengenai Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) Laktasi di UPT PT dan HMT Batu. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder.

3.5. Jadwal Kegiatan Bulan ke 1 No 1 2 3 4 Kegiatan 1 Survei di UPT PT dan HMT Batu Konsultasi dan Pembimbingan Praktek Kerja Lapang Praktek Kerja Lapang Penulisan Laporan dan Evaluasi Kegiatan 2 3 4

You might also like