Professional Documents
Culture Documents
KELEMBAGAAN LOKAL
(Studi Kasus Desa Pa’lalakang Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar)
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Secara sosiologis, komunitas nelayan berbeda dari komunitas petani. Perbedaan ini
disebabkan oleh adanya perbedaan antara karakteristik nelayan dan petani. Petani
menghadapi situasi ekologis yang dapat dikontrol sedangkan nelayan dihadapkan pada
situasi ekologis yang sulit dikontrol produksinya mengingat perikanan tangkap bersifat
open acces sehingga nelayan juga harus berpindah-pindah dan ada elemen risiko yang
harus dihadapi lebih besar daripada yang dihadapi petani. Dengan demikian, nelayan dalam
kondisi realitasnya, teknologi dan ketersediaan modal menjadi syarat utama yang harus
dipenuhi dalam mengakses potensi lahan berupa lautan yang kaya akan sumberdaya.
1)
Contact Person : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si.
Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea, Makassar 90245.
E-mail : adri_arief@yahoo.com
1
Kepemilikan teknologi yang bersifat eksploitatif, yaitu efektif dan efisien adalah
harapan dari setiap orang yang menekuni pekerjaan sebagai nelayan. Akan tetapi hal itu
tidak mudah untuk dilakukan, karena terkait dengan modal yang besar. Oleh karena itu
tidak sedikit nelayan yang mengusahakan kepemilikan alat tangkap dan keberlanjutan
kegiatan produksi dengan meminjam modal dari orang lain, yang pada umumnya
terjembatani melalui kelembagaan lokal.
Salah satu bentuk kelembagaan lokal pada daerah pesisir di Sulawesi Selatan yang
menjembatani kegiatan produksi masyarakatnya adalah lembaga pelepas uang yang
melahirkan hubungan kerjasama tradisional antara pemilik modal (pa’palele) dengan
nelayan penyewa/penyicil (ponggawa) yang berada dalam suatu unit usaha tangkapan.
Menurut Made, et all (2000), bahwa pada dasarnya pa’palele inilah yang berperan
menyediakan kredit dan kebutuhan modal dari para nelayan, dengan imbalan bahwa
pa’palele mempunyai hak untuk melelang hasil tangkapan mereka dengan ketentuan harga
10 –30 % lebih rendah.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi,
mekanisme dan implikasi pengadaan modal nelayan yang terbangun melalui kelembagaan
lokal (local institution) tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober - Desember 2007, di Desa
Pa’lalakang Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Keseluruhan tahapan penelitan,
mulai persiapan, pengumpulan data maupun pengolahan data dilakukan dengan prinsip
pendekatan kualitatif (Miles, 1992). Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara
dan studi literatur. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data primer dikumpulkan melalui wawancara
mendalam (indept interview).
Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa orang tertentu (key informan)
yang dilakukan secara purposif, yaitu dipilih orang-orang yang dianggap mengetahui
permasalahan yang diteliti. Mereka itu adalah ponggawa, pa’palele, tokoh masyarakat,
sawi. Selain dengan cara purposive pemilihan informan juga dilakukan dengan cara
snowball, yaitu melalui informasi dari informan yang sudah diwawancari sebelumnya.
2
Sebuah lembaga maupun kelembagaan, terkandung dua aspek yakni; “aspek kultural” dan
“aspek struktural”. Aspek kultural terdiri dari hal-hal abstrak yang menentukan “jiwa”
berupa nilai, norma dan aturan, kepercayaan, moral, gagasan, doktrin, keinginan,
kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural lebih statis, yang berisi
struktur, peran, hubungan antar peran, intergrasi antar bagian, struktur umum, perbandingan
struktur tekstual dengan struktur riel, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan
tujuan, aspek solidaritas, keanggotaan, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Kedua aspek
ini secara bersama-sama membentuk dan menentukan perilaku seluruh orang dalam
kelembagaan maupun lembaga tersebut (Uphoff, 1986).
Berikut ini hubungan yang terbentuk akibat peranan yang dimainkan oleh masing-
masing unsur dalam satu sistem kegiatan produksi nelayan di Desa Pa’lalakkang:
1. Hubungan antara ponggawa dan sawi dalam kelompok kerja.
Hubungan antara ponggawa dan sawi sangat dipengaruhi oleh latar belakang
terjadinya. Menurut Bachtiar (1997) faktor pendorong atau motif untuk menjadi sawi
adalah hasrat untuk mempertahankan diri dan mengembangkan hidup. Hal ini menunjukkan
dua dimensi yang terjaid sekaligus, yaitu dimensi sosial dan didalamnya terdapat pula segi-
segi yang bersifat ekonomi yang ingin dicapai. Dinamika kerjasama antara sawi dan
ponggawa telah berlangsung cukup lama sejak kegiatan penangkapan berlangsung. Bahkan
dapat dikatakan seumur dengan masyarakat pesisir (Sallatang, 1976). Karena kedudukan
dan perannya maka, kewajiban ponggawa adalah menyediakan sarana dan fasilitas
penangkapan serta segala bentuk kebutuhan biaya operasional. Sementara, untuk sawi, lebih
hanya terkontekskan kepada peran menjalankan kegiatan produksi dan merawat alat-alat
produksi (tabel 1).
Tabel 1. Pola Hubungan Ponggawa-Sawi yang Mencirikan Peran dalam Kelompok Kerja
Aspek Ponggawa Sawi
Kewajiban Hak Kewajiban Hak
Fasilitas Menyediakan: Menerima Merawat
Produksi • Kapal bagian hasil dari fasilitas
• Mesin masing-masing produksi
• Alat Tangkap komponen
fasilitas produksi
yang disediakan
Biaya Menyediakan : Menerima Menjalankan Menerima bagian hasil
Produksi • Bahan Bakar pengembalian kegiatan dari ponggawa sebagai
(Operasional) • Kebutuhan biaya yang produksi dan bagian dari faktor
makanan dikeluarkan Mengembalikan produksi.
• Kebutuhan sebelumnya biaya produksi
non yang dikenal yangdikeluarkan
konsumsi dengan istilah oleh ponggawa
“ongkos” yang
diambil dari
hasil produksi
Sumber: Data primer sudah diolah, 2007.
Gambaran akan rincian biaya yang disediakan oleh ponggawa secara kuantitatif
dapat dilihat pada tabel 2.
3
Tabel 2. Rincian Biaya yang Harus di Sediakan Ponggawa dalam Satu Musim
Penangkapan Ikan/Pengumpulan Telur Ikan Terbang.
No. Jenis biaya yang dikeluarkan Total (Rp)
1. Perbaikan kapal dan biaya operasional 15.000.000
2. Perbaikan mesin & pengecatan kapal 1.500.000
3. Biaya hidup keluarga sawi (panjar) 4 orang (@ Rp.
500.000) 2.000.000
4. Pengeluaran untuk Konsumsi dan Non Komsumsi
selama
- kebutuhan makanan (beras, gula, kopi, teh, dsb) 3.000.000
- kebutuhan non konsumsi (minyak tanah, rokok,
korek, dsb)
Jumlah 21. 500.000
Sumber: Data primer sudah diolah, 2007.
4
namun kesadaran eksploitatif itu telah diselubungi oleh “kepemimpinan moral” yang
dijalankan oleh pa’palele. Karena itu, struktur hubungan tersebut akan sangat susah
dilunturkan. Ponggawa berkepentingan bagi langgengnya hubungan dengan pa’palele agar
kelanjutan kegiatan produksinya terjamin. Demikian halnya pa’palele berkepentingan
dengan kebergantungan ponggawa agar monopoli produksi yang bias padanya tak
dipersoalkan. Secara teoritis konteks ini memperjelas tulisan Scott (1985), bahwa suatu
perlakuan tidak adil tidak akan dianggap eksploitatif bila: (1) kerangka legitimasi atas
perlakuan tersebut memang tidak bisa diterimanya, dan (2) tersedia alternatif status selevel
atau lebih rendah yang bisa menampungnya bila ia terpaksa meninggalkan hubungan tidak
adil tersebut. Beberapa tahun terakhir ini sekitar 50% pa’palele di Desa Pa’lalakkang
sudah menggunakan system baru, dimana pa’palele akan meminta jaminan berupa kapal
nelayan patorani untuk meminimkan terjadinya kerugian bagi pa’palele.
Tabel 3. Perbedaan Karakteristik Antara Lembaga Ekonomi Non Formal dan Lembaga
Ekonomi Formal Dalam Implementasinya di Desa Pa’lalakkang.
Lembaga Keuangan Mikro
Aspek
Non Formal Formal
Bentuk Kelembagaan Tidak resmi karena tidak Resmi karena dilindungi oleh undang-
dilindungi oleh undang- undang ( undang-undang perbankan,
undang undang-undang koperasi)
Orientasi Utama Pemenuhan kebutuhan Keuntungan profit (Profit Oriented)
hidup komunal
Sifat kerja sistem sosialnya Patron-klien Kompetitif
Sandaran kontrol sosial Kultural (Cultural Penuh perhitungan (Renumiration
Compliance) compliance)
Sumber: data primer setelah diolah, 2007.
Ponggawa
Prosedur
Usulan secara lisan
besarnya jumlah pinjaman
Pa’palele Syarat:
Pa’palele mengenal
dengan baik ponggawa
yang mengajukan usulan
ponggawa menjaminkan
Kesepakatan Aturan Pinjaman kapalnya.
5
Pencairan Dana
Gambar 1. Mekanisme Penyaluran Dana oleh Pa’palele Kepada Ponggawa
6
C. Implikasi Hubungan-Hubungan Ekonomi yang Terjadi dalam Kehidupan
Masyarakat Nelayan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar. 1997. Pola Hubungan Punggawa Sawi (Studi Kasus Masyarakat di Pulau
Kodingareng Kec. Ujung tanah, Kotamadya Ujung Pandang). Skripsi, Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin. Ujung
Pandang..
7
Bouman, P.J. 1992. Ilmu Masyarakat Umum Pengantar Sosiologi . PT. Pembangunan
Jakarta.
Hadramiah. 1991. Pola Prilaku Punggawa Sebagai Manager Dalam Bentuk Mengolah
Unit Usahanya. Skripsi Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian.
Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Sallatang, Arifin. 1976. Desa Pantai di Sulawesi Selatan dan Strategi Pengembangannya.
Studi Pedesaan Unhas. Ujung Pandang.
8
9