You are on page 1of 9

STRATEGI PENGADAAN MODAL FINANSIAL NELAYAN MELALUI

KELEMBAGAAN LOKAL
(Studi Kasus Desa Pa’lalakang Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar)

THE STRATEGI FINANCIAL CAPITAL ORDER OF FISHERMAN AMONG


LOCAL INSTITUTION
(Case Study Pa’lalakang Village, North Galesong Subdistrict In Takalar District)

Andi Adri Arief1


1)
Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Makassar

ABSTRACT

This research was conducted at fishing communities in Pa’lalakang North


Galesong Subdistrict. This research aimed to know characteristic type, function and
activity local institution. Qualitative approach was used to collect and analyze of
data through interview and direct observation. The result of the research showed
that there were two patten of economic and social relationship among capital
owners (pa’palele) and fisherman societies. The patterns are patron-client and
homophily relationship. The local institution “adhesive ability” because they have
economic dimension as well as social dimension. Those economic and social
relationship tend to became a strunggle for both, pa’palele and fisherman societies
(ponggawa) to survive and to develop their business.

Keywords : Strategy, financial capital, Local institution, fisherman community

PENDAHULUAN

Secara sosiologis, komunitas nelayan berbeda dari komunitas petani. Perbedaan ini
disebabkan oleh adanya perbedaan antara karakteristik nelayan dan petani. Petani
menghadapi situasi ekologis yang dapat dikontrol sedangkan nelayan dihadapkan pada
situasi ekologis yang sulit dikontrol produksinya mengingat perikanan tangkap bersifat
open acces sehingga nelayan juga harus berpindah-pindah dan ada elemen risiko yang
harus dihadapi lebih besar daripada yang dihadapi petani. Dengan demikian, nelayan dalam
kondisi realitasnya, teknologi dan ketersediaan modal menjadi syarat utama yang harus
dipenuhi dalam mengakses potensi lahan berupa lautan yang kaya akan sumberdaya.
1)
Contact Person : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si.
Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea, Makassar 90245.
E-mail : adri_arief@yahoo.com

1
Kepemilikan teknologi yang bersifat eksploitatif, yaitu efektif dan efisien adalah
harapan dari setiap orang yang menekuni pekerjaan sebagai nelayan. Akan tetapi hal itu
tidak mudah untuk dilakukan, karena terkait dengan modal yang besar. Oleh karena itu
tidak sedikit nelayan yang mengusahakan kepemilikan alat tangkap dan keberlanjutan
kegiatan produksi dengan meminjam modal dari orang lain, yang pada umumnya
terjembatani melalui kelembagaan lokal.
Salah satu bentuk kelembagaan lokal pada daerah pesisir di Sulawesi Selatan yang
menjembatani kegiatan produksi masyarakatnya adalah lembaga pelepas uang yang
melahirkan hubungan kerjasama tradisional antara pemilik modal (pa’palele) dengan
nelayan penyewa/penyicil (ponggawa) yang berada dalam suatu unit usaha tangkapan.
Menurut Made, et all (2000), bahwa pada dasarnya pa’palele inilah yang berperan
menyediakan kredit dan kebutuhan modal dari para nelayan, dengan imbalan bahwa
pa’palele mempunyai hak untuk melelang hasil tangkapan mereka dengan ketentuan harga
10 –30 % lebih rendah.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi,
mekanisme dan implikasi pengadaan modal nelayan yang terbangun melalui kelembagaan
lokal (local institution) tersebut.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober - Desember 2007, di Desa
Pa’lalakang Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Keseluruhan tahapan penelitan,
mulai persiapan, pengumpulan data maupun pengolahan data dilakukan dengan prinsip
pendekatan kualitatif (Miles, 1992). Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara
dan studi literatur. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data primer dikumpulkan melalui wawancara
mendalam (indept interview).
Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa orang tertentu (key informan)
yang dilakukan secara purposif, yaitu dipilih orang-orang yang dianggap mengetahui
permasalahan yang diteliti. Mereka itu adalah ponggawa, pa’palele, tokoh masyarakat,
sawi. Selain dengan cara purposive pemilihan informan juga dilakukan dengan cara
snowball, yaitu melalui informasi dari informan yang sudah diwawancari sebelumnya.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan di lapangan memberikan gambaran hubungan sosial dan ekonomi
antara ponggawa/pa’palele dengan sawi yang mencirikan sebuah karaterisitik kelembagaan
dalam ruang sosial masyarakat yang tergambarkan melalui perilaku yang terpolakan.
A. Hubungan antara Ponggawa, Sawi dan Pa’palele dalam Kegiatan Produksi
Nelayan.
Dalam satu lembaga ditemukan pemantapan prilaku (ways) diantara anggotanya. Ia
merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu
dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa
berbentuk tradisional dan modern; dan berfungsi untuk mengefisiensikan kehidupan sosial.
Tiap lembaga memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat didalamnya memiliki
pola prilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati yang sifatnya khas.

2
Sebuah lembaga maupun kelembagaan, terkandung dua aspek yakni; “aspek kultural” dan
“aspek struktural”. Aspek kultural terdiri dari hal-hal abstrak yang menentukan “jiwa”
berupa nilai, norma dan aturan, kepercayaan, moral, gagasan, doktrin, keinginan,
kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural lebih statis, yang berisi
struktur, peran, hubungan antar peran, intergrasi antar bagian, struktur umum, perbandingan
struktur tekstual dengan struktur riel, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan
tujuan, aspek solidaritas, keanggotaan, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Kedua aspek
ini secara bersama-sama membentuk dan menentukan perilaku seluruh orang dalam
kelembagaan maupun lembaga tersebut (Uphoff, 1986).
Berikut ini hubungan yang terbentuk akibat peranan yang dimainkan oleh masing-
masing unsur dalam satu sistem kegiatan produksi nelayan di Desa Pa’lalakkang:
1. Hubungan antara ponggawa dan sawi dalam kelompok kerja.
Hubungan antara ponggawa dan sawi sangat dipengaruhi oleh latar belakang
terjadinya. Menurut Bachtiar (1997) faktor pendorong atau motif untuk menjadi sawi
adalah hasrat untuk mempertahankan diri dan mengembangkan hidup. Hal ini menunjukkan
dua dimensi yang terjaid sekaligus, yaitu dimensi sosial dan didalamnya terdapat pula segi-
segi yang bersifat ekonomi yang ingin dicapai. Dinamika kerjasama antara sawi dan
ponggawa telah berlangsung cukup lama sejak kegiatan penangkapan berlangsung. Bahkan
dapat dikatakan seumur dengan masyarakat pesisir (Sallatang, 1976). Karena kedudukan
dan perannya maka, kewajiban ponggawa adalah menyediakan sarana dan fasilitas
penangkapan serta segala bentuk kebutuhan biaya operasional. Sementara, untuk sawi, lebih
hanya terkontekskan kepada peran menjalankan kegiatan produksi dan merawat alat-alat
produksi (tabel 1).
Tabel 1. Pola Hubungan Ponggawa-Sawi yang Mencirikan Peran dalam Kelompok Kerja
Aspek Ponggawa Sawi
Kewajiban Hak Kewajiban Hak
Fasilitas Menyediakan: Menerima Merawat
Produksi • Kapal bagian hasil dari fasilitas
• Mesin masing-masing produksi
• Alat Tangkap komponen
fasilitas produksi
yang disediakan
Biaya Menyediakan : Menerima Menjalankan Menerima bagian hasil
Produksi • Bahan Bakar pengembalian kegiatan dari ponggawa sebagai
(Operasional) • Kebutuhan biaya yang produksi dan bagian dari faktor
makanan dikeluarkan Mengembalikan produksi.
• Kebutuhan sebelumnya biaya produksi
non yang dikenal yangdikeluarkan
konsumsi dengan istilah oleh ponggawa
“ongkos” yang
diambil dari
hasil produksi
Sumber: Data primer sudah diolah, 2007.

Gambaran akan rincian biaya yang disediakan oleh ponggawa secara kuantitatif
dapat dilihat pada tabel 2.

3
Tabel 2. Rincian Biaya yang Harus di Sediakan Ponggawa dalam Satu Musim
Penangkapan Ikan/Pengumpulan Telur Ikan Terbang.
No. Jenis biaya yang dikeluarkan Total (Rp)
1. Perbaikan kapal dan biaya operasional 15.000.000
2. Perbaikan mesin & pengecatan kapal 1.500.000
3. Biaya hidup keluarga sawi (panjar) 4 orang (@ Rp.
500.000) 2.000.000
4. Pengeluaran untuk Konsumsi dan Non Komsumsi
selama
- kebutuhan makanan (beras, gula, kopi, teh, dsb) 3.000.000
- kebutuhan non konsumsi (minyak tanah, rokok,
korek, dsb)
Jumlah 21. 500.000
Sumber: Data primer sudah diolah, 2007.

Konteks diatas memperlihatkan bahwa peran yang melahirkan kewajiban


ponggawa yang harus menyediakan modal yang sangat besar untuk aktif tidaknya
kelompok kerja yang dipimpinnya, mengharuskan ponggawa membangun jaringan untuk
melibatkan orang di luar kelompok (pelepas uang) sebagai penyedia modal dalam kegiatan
produksi.

2. Hubungan Ponggawa dan Pa’palele.


Pa’palele merupakan pemilik modal yang mangkhususkan diri memberikan
pinjaman atau pelepas uang dalam aktivitas penangkapan ikan di desa ini. Karena
ponggawa sebagai pemilik unit penangkapan pada umumnya tidak mempunyai cukup
modal, sehingga peranan pa’palele untuk memberikan biaya operasional menjadi sangat
penting mendukung aktivitas nelayan dalam melakukan operasi penangkapan ikan.
Konsekuansi dari pola hubungan yang terjadi antara ponggawa dan pa’palele ditetapkan
persyaratan yang disepakati bersama sebagai berikut; pertama, ponggawa diharuskan
menjual seluruh telur ikan terbang hasil tangkapan yang diperoleh dengan harga yang
berlaku dipasaran atau terkadang ditentukan sendiri oleh pa’palele.Kedua, Pa’palele akan
menerima satu bagian hasil atau 10-15% dari hasil penjualan telur ikan terbang, 15% untuk
pemilik kapal, dan sisa hasil pembagian tersebut menjadi hak ponggawa dan sawi-nya,
belum termasuk pemotongan biaya selama beroperasi.
Jika pada akhir musim telur ikan terbang ternyata pinjaman ponggawa kepada
pa’palele masih belum terlunasi karena kurangnya telur ikan hasil tangkapan, maka akan
diperhitungkan pada musim penangkapan berikutnya (tahun mendatang). Bagi pa’palele
dengan adanya pinjaman tersebut, merupakan jaminan bahwa ponggawa tersebut tetap akan
menjual telur ikan terbang yang dihasilkan pada musim berikutnya (tahun mendatang).
Ponggawa dapat saja pindah ke pa’palele yang lain dengan ketentuan harus melunasi
semua pinjaman yang tersisa. Namun jika ponggawa tersebut tidak lagi melaut seumur
hidup karena sakit, maka utangnya akan dianggap lunas atau “diputihkan” oleh pa’palele.
Hubungan yang terjadi antara nelayan dengan kelembagaan ekonomi non formal ini
sudah sangat lama berlangsung dan sudah mengakar pada atau menjadi budaya masyarakat
nelayan di desa ini. Dengan demikian, temuan ini memperlihatkan bahwa secara objektif
struktur yang ada memang kelihatan berciri eksploitatif, dipihak yang meminjam (kreditor),

4
namun kesadaran eksploitatif itu telah diselubungi oleh “kepemimpinan moral” yang
dijalankan oleh pa’palele. Karena itu, struktur hubungan tersebut akan sangat susah
dilunturkan. Ponggawa berkepentingan bagi langgengnya hubungan dengan pa’palele agar
kelanjutan kegiatan produksinya terjamin. Demikian halnya pa’palele berkepentingan
dengan kebergantungan ponggawa agar monopoli produksi yang bias padanya tak
dipersoalkan. Secara teoritis konteks ini memperjelas tulisan Scott (1985), bahwa suatu
perlakuan tidak adil tidak akan dianggap eksploitatif bila: (1) kerangka legitimasi atas
perlakuan tersebut memang tidak bisa diterimanya, dan (2) tersedia alternatif status selevel
atau lebih rendah yang bisa menampungnya bila ia terpaksa meninggalkan hubungan tidak
adil tersebut. Beberapa tahun terakhir ini sekitar 50% pa’palele di Desa Pa’lalakkang
sudah menggunakan system baru, dimana pa’palele akan meminta jaminan berupa kapal
nelayan patorani untuk meminimkan terjadinya kerugian bagi pa’palele.

Tabel 3. Perbedaan Karakteristik Antara Lembaga Ekonomi Non Formal dan Lembaga
Ekonomi Formal Dalam Implementasinya di Desa Pa’lalakkang.
Lembaga Keuangan Mikro
Aspek
Non Formal Formal
Bentuk Kelembagaan Tidak resmi karena tidak Resmi karena dilindungi oleh undang-
dilindungi oleh undang- undang ( undang-undang perbankan,
undang undang-undang koperasi)
Orientasi Utama Pemenuhan kebutuhan Keuntungan profit (Profit Oriented)
hidup komunal
Sifat kerja sistem sosialnya Patron-klien Kompetitif
Sandaran kontrol sosial Kultural (Cultural Penuh perhitungan (Renumiration
Compliance) compliance)
Sumber: data primer setelah diolah, 2007.

B. Mekanisme Penyaluran dan Pengembalian Kredit dalam Kelembagaan Non


Formal.

Modal yang diperoleh ponggawa dari pa’palele digunakan untuk perlengkapan


penangkapan, operasional dan kebutuhan sehari-harinya. Berikut ini alur skematik yang
menunjukkan proses pencairan dana pinjaman dari pa’palele;

Ponggawa

Prosedur
Usulan secara lisan
besarnya jumlah pinjaman

Pa’palele Syarat:
Pa’palele mengenal
dengan baik ponggawa
yang mengajukan usulan
ponggawa menjaminkan
Kesepakatan Aturan Pinjaman kapalnya.

5
Pencairan Dana
Gambar 1. Mekanisme Penyaluran Dana oleh Pa’palele Kepada Ponggawa

Mekanisme penyaluran dana pa’palele kepada ponggawa adalah sebagai berikut :


1) Ponggawa mengajukan usulan secara lisan tentang jumlah pinjaman yang akan
diambil. Syarat utama pa’palele untuk memberikan pinjaman yaitu harus mengenal
baik nelayan pattorani yang ingin meminjam modal, sehingga konteks trus dalam
komunitas menjadi sangat penting sebagi katalisator interaksi dalam masyarakat..
2) Pa’palele dan ponggawa mengadakan kesepakatan aturan pinjaman mengenai bagi
hasil, jaminan, dan sanksi yang akan dikenakan apabila ponggawa melanggar
kesepakatan yang telah dibuat.
3) Setelah terjadi kesepakatan, ponggawa dapat langsung mengambil pinjaman yang
diberikan oleh pa’palele.

Sementara mekanisme pengembalian dana pinjaman adalah sebagai berikut :


1) Setelah kegiatan penangkapan berakhir, maka ponggawa mengumpulkan hasil
tangkapan lalu menyerahkan kepada pa’palele.
2) Pa’palele menghitung harga jual dari hasil tangkapan sesuai harga yang berlaku saat
itu.
3) Total harga penjualan dari hasil tangkapan keseluruhan akan dipotong oleh pa’palele
berdasarkan dengan nilai pinjaman ponggawa, kemudian ada tambahan
potongan10% dari hasil penjualan oleh pa’palele sebagai jasa penjualan.
.
Tabel 4. Perbedaan Mekanisme Pengambilan Kreditor Lembaga Non Formal dan
Lembaga Formal Dalam Implementasinya di Desa Pa’lalakkang
Lembaga Ekonomi
Aspek
Non Formal Formal
Aplikasi permohonan Secara lisan berdasarkan Secara tertulis yang sifatnya
pinjaman kepercayaan (trust) kontraktual
Penjaminan (Agunan) Tidak ada, atau ada berupa Ada, yang ditandai oleh sertifikat
jaminan kapal yang sifatnya kepemilikan
tidak tertulis
Pertimbangan pemberian Tidak selalu berdasarkan Relasi-relasi yang harus diukur
pinjaman pada relasi-relasi dengan pertimbangan untung-rugi
transaksional dan
mekanistik, melainkan juga
hubungan yang bersifat
kekerabatan
Pengembalian pinjaman Berdasarkan kesepakatan Ditentukan sepihak (lembaga formal)
yang sifatnya temporer yang sifatnya wajib untuk
dilaksanakan
Sumber: Data primer setelah diolah, 2007.

6
C. Implikasi Hubungan-Hubungan Ekonomi yang Terjadi dalam Kehidupan
Masyarakat Nelayan.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat implikasi-implikasi dari hubungan-


hubungan ekonomi yang terjadi antara pa’palele dan nelayan pattorani yaitu :
• Pa’palele akan memonopoli pemasaran hasil tangkapan nelayan pattorani sesuai dengan
kesepakatan awal bahwa nelayan pattorani yang mengambil modal harus menjual hasil
tangkapannya kepada pa’palele dan nelayan pattorani tidak dapat menjual hasil
tangkapannya kepada pihak lain walaupun harga yang ditawarkan dari pihak lain lebih
tinggi. Realita ini telah menyebabkan bentuk pasar input bersifat monopoli dimana
faktor-faktor produksi hanya dikuasai dan disalurkan oleh sekelompok orang saja.
Sementara bentuk pasar outputnya bersifat monopsoni dimana banyak penjual hasil
produksi tetapi pasar hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja.
• Pa’palele jadi penentu harga (price maker) dari telur ikan terbang, sedangkan nelayan
pattorani sebagai penerima harga ( price taker ) dari telur ikan terbang karena hanya
pa’palele yang membeli seluruh hasil tangkapan sesuai dengan perjanjian awal pada
saat nelayan pattorani mengambil modal. Implikasi yang ditimbulkan adalah hasil
produksi nelayan pattorani tidak signifikan dengan peningkatan pendapatannya karena
pasar yang terjadi tidak kompetitif (bersaing sempurna), sehingga keuntungan lebih
banyak terserap atau dinikmati oleh pemilik modal.
• Adanya bantuan dana dari lembaga ekonomi non formal seperti pa’palele sangat
membantu pemenuhan modal usaha dan biaya hidup keluarga nelayan, walaupun hal ini
menimbulkan ketergantungan ekonomi yang sangat kuat . Hal ini dipengaruhi oleh
tingginya biaya hidup yang tidak berimbang dengan pendapatan dari hasil penangkapan.
Rendahnya kemampuan ekonomi keluarga nelayan yang dipengaruhi oleh
ketidakpastian harga dan hasil tangkapan makin menekan kondisi kehidupan nelayan
dan rumah tangganya.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :


1. Pemberian modal pinjaman yang diperankan oleh pa’palele berperan sebagai
kelembagaan lokal yang menjembatani kegiatan produksi dan biaya rumah tangga
nelayan.
2. Mekanisme peminjaman dilandasi atas kepercayaan komunalitas diantara kedua belah-
pihak. pa’papalele sebagai debitor dan ponggawa sebagai kreditor.
3. Implikasi yang timbul dari hubungan ekonomi antara nelayan patorani dengan
pa’palele, mencirikan struktur yang eksploitatif..

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar. 1997. Pola Hubungan Punggawa Sawi (Studi Kasus Masyarakat di Pulau
Kodingareng Kec. Ujung tanah, Kotamadya Ujung Pandang). Skripsi, Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin. Ujung
Pandang..

7
Bouman, P.J. 1992. Ilmu Masyarakat Umum Pengantar Sosiologi . PT. Pembangunan
Jakarta.

Hadramiah. 1991. Pola Prilaku Punggawa Sebagai Manager Dalam Bentuk Mengolah
Unit Usahanya. Skripsi Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian.
Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.

Made S. , Mardiana E. F. , Chasyim H. , Hamzah. 2000. Pengembangan Model


Kelembagaan Ekonomi Yang Dibutuhkan Masyarakat Nelayan di Propinsi
Sulawesi-Selatan. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar.

Miles, B. Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.


Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Mubyarto, 2000. Membangun Sistem Ekonomi. BFFE, Yogyakarta.

Sallatang, Arifin. 1976. Desa Pantai di Sulawesi Selatan dan Strategi Pengembangannya.
Studi Pedesaan Unhas. Ujung Pandang.

Scott. 1985. Moral Ekonomi Petani ( terjemahan). LP3ES. Jakarta.

Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development : An Analytical Sourcebook With


Cases. Kumarian Press. Cornell.

8
9

You might also like