You are on page 1of 4

SEJARAH FARMAKOGNOSI DAN PENEMUAN OBAT

Elwitha Pasaribu 260110110050

Sejak awal pemisahan ilmu Farmasi dan ilmu kedokteran, semua informasi mengenai obat dan penggunaannya dalam masyarakat barat disebut Materia Medika (bahan obat). Uraian obat yang paling terkenal ditulis oleh Pedanois Dioscorides pada abad 1 M, seorang ahli farmakobotani berkebangsaan Yunani, berjudul Materia Medica Libricinque (membahas bahan obat, dalam 5 volume). Risalah yang memuat 600 tanaman obat ditambah sejumlah produk-produk yang berasal dari hewan dan mineral ini digunakan sebagai acuan di lapangan selama 15 abad. Sejalan dengan main berkembangnya ilmu pengetahuan, maka makin diperlukan pula adanya pengkhususan disiplin ilmu. Pada awal abad ke 19, Materia Medika terbagi menjadi Farmakologi (mengenai aksi obat) dan Farmakognosi (mengenai semua aspek obat, dengan lebih sedikit penekanan mengebai aksi obat). Saat itu semua obat berasal dari bahan alam sehingga tidak diperlukan adanya persyaratan. Istilah farmakognosi berasal dari kata Yunani yaitu: Pharmacon (obat) dan Gnosis (ilmu pengetahuan). Istilah ini diperkenalkan oleh S.A.Seydler, seorang mahasiswa kedokteran di Halle/Saale, Jerman, yang menggunakan judul Analectica Pharmacognoistica dalam disetasinya pada tahun 1815. Namun penelitian sejarah terakhir telah menemukan penggunaan istilah Farmakognosis yang lebih awal J.A. Schmidt menggunakan istilah tersebut dalam Lehrbuch der Materia Medica, dipublikasikan di Vienna tahun 1811 yang menjelaskan tentang studi tumbuhan obat dan sifat-sifatnya. Pada abad ke-19, para ahli kimia mulai mensintesis sejumlah besar senyawa organik dengan sturuktur makin kompleks, beberapa diantaranya bermanfaat sebagai agen terapi. Karena produk-produk sintesis tersebut dianggap berada di luar bidang farmakognosi, maka bidang kimia medisinal yang sejak masa Paracelcus relatif tidak berkembang, segera mengambil alihnya, sehingga terdapat 3 disiplin ilmu dasar obat yaitu:

1. Farmakologi, menguraikan tentang aksi oabt dan efeknya. 2. Farmakognosi, mencakup semua informasi obat-obat dari bahan alam (tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme). 3. Kimia Medisinal, ilmu tentang obat-obat sintesis. Keadaan ini berlaku hingga pertengahan abad 20, dimana farmakognosi dan kimia medisinal mulai disatukan. Perlu diperhatikan, meskipun penggunaan obat-obat dari alam terus berlanjut (seperti antibiotik kontrasepsi oral, serum, vaksin, dan obat-obat tradisional) namun pendidikan dan penelitian lebih dikonsentrasikan pada obat-obat sintetik. Sejumlah peneliti yang bekerja di bidang botani dibekali dengan ilmu kimia dan kimia bahan alam. Pada akhir abad ke-20 terjadi 3 kejadian penting yang telah menghasilkan perubahan mendasar pada sikap/perilaku masyarakat dan ilmuan tentang farmakognosi. Pertama, orang awam menemukan kegunaan seluruh tumbuhan obat atau yang umumnya mereka sebut dengan herbal. Ketidakpuasan terhadap kemanjutan dan biaya obat modern ditambah dengan makin meningkatnya depresiasi terhadap sesuatu yang bersifat alami dan organik telah mengakibatkan berjuta orang di seluruh dunia menambah apresiasi yang mendalam terhadap penggunaan obat tradisional untuk pengobatan bermacam penyakit. Revolusi hijau dalam artian herbal obat saat ini sangat populer di AS, meski belum dimengerti dan didukung oleh FDA yang mengklasifikasikan sebagian besar tanaman obat sebagai suplemen diet atau bahan tambahan makanan dan memberi aturan yang keras dalam pelabelan, namun nampaknya permintaan konsumen akan meningkatkan minat terhadap penggunaan tanaman obat klasik sebagai obat tradisional. Kedua, pabrik-pabrik besar farmasi telah mempertimbangkan bahwa tanaman yang secara turun temurun dikenal sebagai obat kemungkinan merupakan sumber bahan baku terbaik untuk mendapatkan obat-obat baru maupun protoptype bagi mereka. Karena situasi yang ada menyulitkan bagi tanaman obat tradisional untuk memperoleh atau mendapatkan pasar yang eksklusif, maka pencarian tumbuhan obat telah dialihkan ke tanaman-tanaman asing pada area tertentu seperti hutanhutan tropis. Saat ini perusahaan-perusahaan besar farmasi telah mengembangkan kerja sama baik dengan individu-individu maupun oraganisasi-organisasi yang mencari tumbuhan obat di beberapa negara seperti: Brazil, Costarica, China, Mexico, hingga ke pulau Kalimantan dan

Kepulauan Samoa. Usaha intensif ini tetntunya untuk mendapatkan hasil yang positif berupa tumbuh-tumbuhan obat baru yang memungkinkan dalam waktu ini. Dan akhirnya, revolusi terbesar dari semuanya, yang masih dalam tahap pertumbuhan, telah dimulai di lapangan yang secara bervariasi disebut sebagai teknologi DNA rekombinan, teknik genetik, atau lebih spesifik lagi sebagai farmakobioteknologi. Ini meliputi transfer material genetik dari satu oraganisme ke organisme lainnya sehingga memungkinkan oraganisme tersebut menghasilkan sejumlah komponen dari organisme awal yang berguna sebagai obat. Penerapan teknik dalam farmakognosi pertama kali dilakukan secara komersiil oleh Eli Lilly Company sehingga memungkinkan produksi insulin manusia oleh suatu strain khusus bakteri E. Coli non patogen yang sebelumnya telah diubah secara genetik melalui adisi dengan suatu gen untuk produksi insulin manusia. Produksi komersil lainnya yang dihasilkan dari metode ini adalah aktivator plasminogen jaringan, alteplase atau t-PA, suatu agen trombolitik. Agen ini disintesis menggunakan DNA komplementer (cDNA), untuk tipe jaringan alami manusia aktivator plasminogen diperoleh dari suatu deretan dari sel-sel telur hamster Cina yang selanjutnya akan mensekresi enzim alteplase ke dalam kultur. Selanjutnya, enzim ini dikumpulkan, dimurnikan, dan dipasarkan. Contoh-contoh ini memperlihatkan kemungkinan penerapan teknologi DNA rekombinan dalam produksi obat-obat secara komersil. Dalam menjanjikan sejarah singkat tentang perkembangan awal dan jatuh bangkitnya disiplin ilmu farmakognosi, pembahasan sengaja dibatasi hanya pada perkembangannya dalam kultur barat. Ini bukan berarti bahwa obat-obat yang berasal dari tumbuhan dan hewan kurang berperan dalam kultur (budaya) Asia yang diwakili oleh negara seperti China dan India. Di China, ensiklopedia obat Pen-ts` ao kang mu, disusun oleh Li-Shih Chen dan dipublikasikan tahun 1596 yang berisi lebih dari 2000 jenis obatobatan alami. Saat ini telah sekitar 5000 tumbuhan asli digunakan sebagai herba obat di China. Vedas dari India, suatu koleksi himne (puji-pujian) yang ada sebelum 1000 SM, memuat lebih dari 1000 herba obat yang sebagian besar masih terus digunakan dalam pengobatan Ayurvedic.

Kebudayaan-kebudayaan tersebut hanya memberikan sedikit kontribusi obat-obatan barat. Tumbuhan obat yang berguna seperti Ma huang (Ephedra) dari China dan Ranwolfia dari India merupakan pengecualian. Namun demikian persepsi-persepsi filosofis yang mendasari pengobatan China dan Ayurdevic secara keseluruhan berbeda dengan persepsi yang mendasari pengobatan di barat. Pengobatan China maupun Ayurvedic percaya bahwa penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan elemenelemen tertentu di dalam tubuh, mengingatkan kita pada doktrin 4 elemen yang dikemukakan oleh Hypocrates. Penelitian obat-obat yang didasarkian pada prinsip-prinsip filosofi seperti itu telah terbukti tidak produktif. Hanya jika herbal obat tersebut dievaluasi dengan metode-metode yang digunakan di barat barulah dapat dihasilkan obat-obat yang berguna seperti pada kasus Ephedra dan Rauwolfia. Hal tersebut masih menjadi tugas yang belum terselesaikan bagi penelitian tumbuh-tumbuhan yang berpotensi untuk dijadikan obat.

Sumber : http://www.scribd.com/doc/89737722/pendahuluan-farmakognosi-sejarah

You might also like