You are on page 1of 12

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No.

4, Desember 2011

ANALISIS KADAR TIMBAL DALAM LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KADAR TIMBAL DALAM DARAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA PEKERJA INDUSTRI ELEKTRONIK 2011
Oleh Amar Muntaha Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat STIK Bina Husada, Palembang Email: muntaha_amar@yahoo.com
Abstrak Studi ini bertujuan untuk mengetahui sumber dan derajat pemaparan pekerja terhadap timbal dan pengaruhnya terhadap sistem haemopoitik, terutama kadar hemoglobin darah. Untuk itu telah dilakukan kajian terhadap bahan baku dan proses di departemen Audio, AC, dan Water Pump pada industri elektronik PT. PMI. Telah dilakukan pula pengukuran kadar Pb di Udara Lingkungan Kerja, baik dengan teknik areal sampling maupun personal sampling ( breathing zone). Data pemantauan lingkungan yang selama ini telah dicatat pihak perusahaan juga dipelajari. Sebagai penduga pemaparan terhadap Pb, digunakan biomarker yaitu Pb darah (PbB), Zinc Protoporphyrin (ZnPp) darah; dan kadar Hemoglobin (Hb) serta Hematokrit (Ht) darah. Untuk itu telah dilakukan pemeriksaan terhadap 75 pekerja yang dipilih secara purposif dari mereka yang terpapar yaitu yang bekerja di baigian dimana terdapat proses soldering, spot welding, brazing dan die casting pada ketiga departemen diatas. Telah ditemukan bahwa pemaparan terhadap Pb bersumber dari bahan baku berupa solder bar/wire dan Alumunium Ingot yang dipanaskan sampai menguap dan menghasilkan metal fumes pada proses-proses kerja seperti soldering, spot welding, brazing dan die casting. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh perusahaan memperlihatkan kadar Pb di Udara dapat terdeteksi dan pernah mencapai kadar diatas Nilai Ambang Batas (NAB) yang dianut di Indonesia. Kadar PbB para pekerja berkisar dari 136 g/dl dengan rerata sebesar 11,63 g/dl dan SD sebesar 8,28 g/dl. Kadar ZnPp pada sampel yang diperiksa bervariasi antara 15141 g/dl, dengan rata-rata dan SD sebesar 45,07 dan 22,56. Angka referensi yang dianut adalah 41 g/dl. Dari hasil pemeriksaan kesehatan oleh perusahaan didapatkan frekwensi anemia pada seluruh pekerja PT. PMI adalah 9% pada 2008 dan turun menjadi 7% pada 2009. Pada ketiga departemen yang diteliti, dengan jumlah pekerja 742 orang, kejadian anemia adalah 7,4%. Pada sampel yang diteliti, dari jumlah 68 orang yang diperiksa terdapat 18 orang (26,5%) menderita anemia. Kadar PbB berasosiasi negatif terhadap kadar Hb, Ht dan para pekerja yang mengalami anemia memiliki kadar Pb dan ZnPp yang lebih tinggi. Data dari studi ini memperlihatkan bahwa pengaruh negatif Pb terhadap Hb lebih rendah dari yang dikemukakan dalam berbagai literatur yaitu 30 g/dl atau lebih. Dengan demikian disimpulkan bahwa Pb berpengaruh negatif terhadap Hb dan menyebabkan anemia pada kadar dibawah 30 g/dl, dan memperkuat dugaan bahwa tidak ada kadar aman terhadap pengaruh negatif Pb. ZnPp merupakan biomarker yang sensitif untuk pengaruh Pb terhadap sistem haemopoitik dan karena itu sebaiknya selalu dikombinasikan dengan pemeriksaan PbB. Kata kunci: Pb, PbB, ZnPp, Hb, Ht, Anemia Abstract This study aims at documenting workers exposure level to lead at the workplace and to see, if any, the health effects on the hemopoetic system especially on haemoglobin and anemia. For that purpose 75 workers of PT. PMI electronic industry who are exposed to metal fumes containing Pb from 3 departements of AC, Audio and WP have been studied. Air samples were collected by areal and personal (breathing zone) monitoring and were analyzed for Pb. Secondary data collected previously by the company through its environmental monitoring program were also studied. Venous bloods samples were collected from 68 workers and analyzed for Pb, ZnPp, Hb, and Ht. It was found that Lead exposure is related to the use of solder wire/bar and Al-ingot as raw materials used in the three departements. These materials are heated until they evaporate and produce metal fumes in the work processes of welding, brazing, soldering and die-casting. The result of monitoring carried out by the company shows that the level of Pb in the working room air can be detected and has ever reached the level above the Occupational Exposure Limit (OEL) adopted by Indonesian government. Pb-blood (PbB) varies between 1 to 36 g/dl with the average of 11,63 g/dl and SD was 8,28 g/dl. ZnPp concentration varies from 15 to 141 g/dl, while the reference value for ZnPp is 41 g/dl. It was also found that the frequency of anemia in all population was 9% in 1998 and decreased to 7% in 2009. The frequency of anemia among workers in the three departements was 7,4%. Eighteen out of 68 (26,5%) samples analized were classified as anemia. The blood Pb (PbB) were negatively associated with Hb, Ht and anaemic workers had higher PbB and ZnPp. The data obtained in this study indicate that the negative effects of Pb on haemoglobin formation are much lower than what are mentioned in the leterature (at or above 30 g/dl). Key Words: Pb, PbB, ZnPp, Hb, Ht and Anemia.

1. Pendahuluan 1.2. Latar Belakang Pencemaran udara oleh berbagai partikel (particulates) dan logam berat (heavy metals) dapat disebabkan peristiwa alamiah dan dapat pula oleh aktivitas manusia (anthrophogenic) yakni yang bersumber dari kegiatan industri dan teknologi. Partikel dan logam berat yang mencemari banyak macam dan

jenisnya, tergantung pada macam dan jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada (Dalas, 2000). Salah satu bahaya yang perlu mendapatkan perhatian dalam hubungan dengan pembangunan industri adalah adanya pemaparan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di tempat kerja. Salah satu logam berat yang perlu diwaspadai adalah timbal (Pb) yang mungkin ada dalam solder wire atau pada bahan yang dikerjakan, karena logam tersebut memiliki potensi efek negatif terhadap

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

123

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011 kesehatan manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pada kadar tertentu, akibat pemaparan kronis, Pb dapat menyebabkan efek negatif terhadap kesehatan manusia terutama terhadap sistim haemopoitik, saraf, ginjal, dan reproduksi. Manusia senantiasa dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya sehari-hari dari berbagai sumber seperti lingkungan umum atau lingkungan kerja. Di lingkungan ambien yang kadar logam berat seperti Pb dapat berkisar cukup tinggi dan kontaminasi dapat terjadi pada makanan, air, udara, tanah dan makanan. Karena itulah Pb disebut Muliti Media Polutan (Grant, 2009; Fischbein and Hu, 2007; Ho-Yu, 2005). Angka referensi yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) untuk kandungan Pb dalam darah adalah 20 g/dl untuk dewasa. Tingkat keracunan Pb dapat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan musim. Pada usia muda seseorang lebih rentan terhadap keracunan Pb, perempuan lebih rentan daripada laki-laki, dan temperatur yang tinggi akan meningkatkan daya racun pada anak-anak (KPBB, 2006). Data tentang pemaparan Pb pada industri elektronik, telah dilakukan Pemeriksaan kesehatan berkala pada industri Panasonic Jakarta tahun 2009, terhadap 1.357 pekerja, setelah dilakukan pemeriksaan darah termasuk Hb dan Ht didapatkan sebanyak 91 orang menunjukkan anemia (Hb dibawah normal) atau sebanyak 6,7% yang terdiri dari 38 orang pekerja lakilaki (< Hb 13%) dan 53 orang adalah wanita (Hb < 12%) (Diana, 2009). Dari kenyataan ini perlu dilakukan evaluasi secara lebih sistimatik risiko kesehatan akibat pemaparan tehadap Pb pada industri seperti ini, adapun strategi yang dapat dipakai pada penilaian risiko kesehatan tersebut adalah untuk melihat hubungan pemaparan terhadap efek kesehatan. Untuk itu dapat digunakan kerangka kerja yang dikemukakan oleh Corvalan dan Kjellstrom (1995). 1.2. Rumusan Masalah Pekerja merupakan salah satu kelompok yang berisiko pada industri elektronik dengan waktu kerja 8 jam/hari dan 40 jam perminggu, mempunyai kecendrungan risiko yang tinggi untuk terpapar Pb secara kronik, dan hal ini berpotensi menimbulkan berbagai pengaruh kesehatan pada berbagai sistim tubuh manusia seperti haemopoitik, syaraf, ginjal dan reproduksi (Skerfving, 2005; ATSDR, 2007; Fischbein and Hu, 2007; Grant, 2009). Adanya sumber dan pemaparan terhadap Pb dalam lingkungan kerja industri yang telah berlangsung puluhan tahun, sedangkan menurut teori pemaparan kronik terhadap Pb dapat menyebabkan absorpsi Pb yang meningkat kedalam tubuh pekerja dan adanya Pb dalam tubuh yang meningkat mungkin menyebabkan gangguan kesehatan, antara lain perubahan pada sistem haemopoitik yang dapat diperlihatkan dengan end points berupa kadar Hb dan Ht darah para pekerja. Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui intensitas kadar Pb dalam udara lingkungan kerja, adanya absorpsi yang meningkat terhadap Pb dikalangan pekerja yakni berupa kadar Pb dalam darah, sebagai faktor risiko terjadinya anemia dikalangan pekerja elektronik. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Pemaparan terhadap Pb yang bersumber dari bahan baku dan proses produksi di PT. PMI dapat terdeteksi dalam darah para pekerja. b. Ada hubungan antara karakteristik pekerja dengan kadar Pb dalam darah pekerja. c. Ada hubungan korelasi yang negatif antara kadar Pb dalam darah dengan kadar hemoglobin dan hematokrit para pekerja. d. Ada hubungan korelasi negatif antara ZnPp dengan kadar hemoglobin dan hematokrit para pekerja. e. Kejadian Anemia pada pekerja berhubungan dengan pemaparan para pekerja terhadap Pb di lingkungan kerja. 1.4. Landasan Teori 1.4.1. Absorpsi Timbal dan Defisiensi Fe Beberapa data penelitian yang ditinjau ulang oleh ATSDR, 2007 memperlihatkan bahwa terdapat asosiasi antara absorpsi Pb dengan status nutrisi yang rendah. Pada anak dan balita 1-6 tahun, misalnya, retensi Pb berbanding terbalik dengan asupan Kalsium. Asupan Ca dan vitamin D lebih rendah pada anak-anak dengan Pb darah yang lebih dari 60 g/dL. Absorpsi Pb dalam saluran cerna ternyata lebih tinggi pada mereka yang memiliki asupan Kalsium dan Fosfor. Kalsium dan Fosfor menurunkan absorpsi Pb dengan angka 1,3 dan 1,2 kali, bila digabungkan akan memberikan faktor pengali sebesar 6. Cu, Fe dan Zn diduga menghambat absorpsi Pb. Kwong (2004), menambahkan bahwa defisiensi Fe pada orang dewasa akan meningkatkan 4-5 kali risiko keracunan Pb.

Sumber: Patrick, 2006.

Gambar 1. Kerangka Teori tentang Toksisitas Pb terhadap Sistim Hemopoitik.

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

124

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011 1.4.2. Kerangka Teori tentang Hubungan Pemaparan dan Efek Kesehatan Corvalan and Kjellstrom (1995) mengemukakan, polutan berasal dari sumber tertentu yang bersifat alami atau antropogenik, akan teremisikan pada media seperti air, udara, tanah dan makanan. Kontak terhadap polutan ini dapat menyebabkan terjadinya absorpsi polutan kedalam tubuh manusia yang dapat tergambar didalam darah, urine atau bagian tubuh lainnya.

Sumber: Corvalan and Kjellstrom, 1995.

Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian Pengaruh Timbal (Pb) terhadap Anemia Pekerja Elektronik PT. PMI.

Gambar 2. Kerangka Teori Umum tentang Hubungan Pemaparan dan Efek Kesehatan.

1.4.3. Kerangka Konsep Penelitian ini dilakukan pada pekerja yang beraktivitas sehari-hari di lingkungan kerja yang terindikasi tercemar Pb. Variabel yang menjadi target penelitian yaitu Konsentrasi Pb dalam ruangan (Pagi dan Siang), faktor-faktor ruangan serta karakteristik pekerja, terhadap kadar Pb dalam darah dan kadar Hb dalam darah (Anemia) pada pekerja.

2. Metodologi Penelitian 2.1. Desain Penelitian Penelitian ini adalah studi analitik dengan jenis studi observasional, menggunakan desain studi potong lintang (cross-sectional). 2.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada Industri yakni di PT. PMI, Cimanggis, Depok, Jabar. bulan Februari sampai bulan Maret 2010. lokasi penelitian pada industri elektronik PT. bagian Audio, AC dan WP.

elektronik Dilakukan Pemilihan PMI pada

2.3. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja industri elektronik PT. PMI, Jakarta. Sampelnya adalah pekerja industri elektronik di Jakarta yang bekerja di bagian produksi. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik Purposif Random Sampling (PRS) pada populasi (Hasan, 2005).

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011


Tabel 1. Lokasi dan Jumlah Sampel Pekerja dan Lokasi Pengukuran Pb di Udara Lingkungan Kerja PT. PMI 2010.

3.1.2. Hasil Analisis Bivariat Regresi Sederhana antar ditampilkan pada tabel 3.

Variabel

Kontinyu

Tabel 3. Hasil Uji Korelasi (Pearson) antar Variabel Kontinyu (n=68) Pada Sampel Pekerja PT. PMI, Tahun 2010.

2.4. Pembatasan Penelitian Penelitian ini hanya mengukur kadar Pb dalam darah untuk mengetahui dampaknya terhadap kesehatan. 2.5. Pengumpulan dan Pengolahan Data Data yang berhasil dikumpulkan akan dilakukan analisis univariat, bivariat dan multivariat. Analisis multivariat disini ditujukan untuk memperlihatkan asosiasi antara variabel dependen berupa Hb dan Ht terhadap variabel independen, terutama kadar timbal darah (PbB), dengan mengendalikan pengaruh variabel independen lainnnya. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil Penelitian 3.1.1. Hasil Analisis Univariat
Tabel 2. Deskripsi Variabel Kontinyu Penelitian (**).

3.1.3. Hasil Analisis Multivariat

Tabel 4. Model Akhir Analisis Linier Ganda dengan Hb sebagai Dependen Variabel (n=68).

Tabel 5. Model Akhir Analisis Regresi Linier Ganda dengan Ht Sebagai Variabel Dependen (n=68).

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

126

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011 3.1.4. Uji Asumsi Regresi Linier Ganda
Tabel 6. Uji Asumsi Multiple Linier Regression dengan Hb sebagai Variabel Dependen (n=68).

Tidak terpenuhinya asumsi Homocedasticity diduga kuat akibat dari pengaruh variabel independen berupa Jenis Kelamin, dimana untuk pria dan wanita terdapat perbedaan yang bermakna dalam kadar Hb dan Ht, dimana angka pada pria selalu didapat lebih tinggi. Oleh karena itu diatas dilakukan analisis secara terpisah antara populasi pria dan wanita, khusus tentang kadar Hb dan Ht pada kedua kelompok tersebut. 3.2. Pembahasan 3.2.1. Kadar Pb dalam Darah dan Hubungannya terhadap Hb dan Ht Salah satu temuan penting adalah korelasi negatif antara kadar Hb dan Ht terhadap Pb dalam darah, yang memberikan konfirmasi kepada literatur yang ada. Namun umumnya literatur yang ada menganggap pengaruh buruk tersebut baru terjadi pada kadar PbB 20 g/dl, sedangkan pada studi ini pengaruh tersebut sudah terlihat pada kadar rata-rata PbB sebesar 11,63 g/dl. Analisis hubungan PbB terhadap Hb dan Ht pada populasi laki-laki dan wanita telah dilakukan, dan hasilnya didapatkan pada populasi pria, hubungan PbB terhadap Hb bersifat negatif dan bermakna. Hasil ini merupakan temuan terpenting dalam studi, yakni untuk populasi pria, kadar Pb darah merupakan prediktor yang penting dalam menentukan kadar Hb pekerja pada tingkat kadar PbB 10,32 g/dl (n=42), sedangkan akumulasi literatur menyebutkan pengaruh negatif ini terjadi mulai pada kadar PbB sebesar 20-30 g/dl (EPA, 2006; ATSDR, 2007; ACGIH, 2010; dan Dilorenzo, 2005). Literatur lain menyebutkan angka dimulainya pengaruh anemia akibat Pb ini adalah 50 g/dl. Mengingat kaum lelaki lebih resisten terhadap anemia akibat defisiensi Fe (yang banyak diderita para wanita), pengaruh Pb terhadap sintese Heme mungkin berperan penting. Dalam teori, pengaruh toksik Pb terhadap sistim hemopoeitik yang tercermin dalam perubahan Hb dan Ht terjadi melalui gangguan sintese heme dan menyebabkan umur eritrosit yang lebih pendek (Patrick, 2006; Kosnett, 2007). Pemaparan terhadap Timbal yang menyebabkan anemia yakni pada kadar lebih dari 50 g/dl di industri relatif jarang saat ini. Anemia jenis lainnya yang lebih sering bersifat extra-okupasional adalah karena defisiensi Fe dan penyakit Thalassemia. Untuk kepentingan pengobatan, penyebab anemia ini sebaiknya dapat diidentifikasikan (Dilorenzo, 2005). Pb dapat mengakibatkaan dua jenis anemia disamping adanya gejala basophilic stippling. Peracunan yang akut (kadar tinggi) dapat menyebabkan anemia yang bersifat hemolitik. Pada peracunan kronik dan kadar sedang sampai rendah, anemia terjadi akibat gangguan sintese heme dan berkurangnya masa survival RBC. Berkurangnya masa survival RBC diduga akibar fragilitas membran. Anemia akibat peracunan Pb bersifat hipokromik, normo atau mikrositik disertai peningkatan jumlah reltikulosit (RBC muda), (ATSDR, 2007). MCV adalah indikator dari ukuran RBC dan dengan demikian dapat membedakan apakah kondisi anemia bersifat normocytic atau microcytic. FEP (atau ZnPp) dapat dikombinasikan dgn pemeriksaan Fe dan PbB untuk memisahkan apakah penyebab anemia hanya Pb atau defisiensi Fe. Basophilic Stippling dan Hemolitik

Ket. Eksistensi (nilai mean mendekati nilai nol dan ada standar deviasi). Independensi (terpenuhi bila nilai uji Durbin-Watson -2 sd +2) Linieritas (terpenuhi bila uji ANOVA P Value nya < alpha (0.05) Homoscedascity (terpenuhi bila pembuatan plot residual titik tebaran tidak berpola tertentu dan menyebar merata disekitar garis titik nol). Normalitas (terpenuhi bila pembuatan plot residual titik tebaran menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis tersebut) Diagnostik Multicollinearity (nilai VIF (Variance Inflation Factor ) < 10)

Tabel 7. Uji Asusmsi Multiple Linier Regression dengan Ht sebagai Variabel Dependen (n=68).

Ket. Eksistensi (nilai mean mendekati nilai nol dan ada standar deviasi). Independensi (terpenuhi bila nilai uji Durbin-Watson -2 sd +2) Linieritas (terpenuhi bila uji ANOVA P Value nya < alpha (0.05) Homoscedascity (terpenuhi bila pembuatan plot residual titik tebaran tidak berpola tertentu dan menyebar merata disekitar garis titik nol). Normalitas (terpenuhi bila pembuatan plot residual titik tebaran menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis tersebut) Diagnostik Multicollinearity (nilai VIF (Variance Inflation Factor ) < 10)

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

127

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011 merupakan sifat yang dapat ditemukan pada penderita anemia karena keracunan Pb (Hermiston and Mentzer, 2002 dalam Carley, 2003). Dari dataset yang ada, didapatkan bahwa rata-rata Mean Corpuscular Volume (MCV) adalah 89,6 fL sedangkan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) adalah 31,9% (n=75). Batas normal MCV adalah 80 fL dengan demikian pada semua sampel yang ada bersifat normocytic atau volume RBC normal. Normalitas MCHC adalah 30%, dengan demikian pada semua data yang ada juga bersifat normochromic (Berkow and Fletcher, 1992; Wald, 2002). Jadi berdasarkan dua kriteria diatas kondisi darah pada sampel yang ada saat ini berifat normochrom-normocytic. Namun bila dilihat pada mereka yang anemia untuk laki-laki (n=6) bersifat normochrom-normocytic sedangkan untuk para wanita yang anemia (n=15) bersifat hypochrom-normocytic. Dari data ini menimbulkan dugaan bahwa pengaruh defisiensi Fe lebih terlihat pada para wanita. Dalam teori yang ada, anemia akibat keracunan Pb lebih bersifat normocytic-normochrom. Kadar Hb yang rendah adalah akibat fragilitas membran RBC yang menyebabkan umur RBC menjadi lebih singkat (ATSDR, 2007). ACGIH, 2010 merekomendasikan Indeks Pemaparan Biologik (IPB) untuk Pb dalam darah (PbB) adalah sebesar 30 g/dl. Diatas IPB ini hanya terdapat pada 2 orang dari sampel pekerja, salah satunya menderita anemia. Frekwensi anemia dikalangan sampel pekerja adalah sebesar 26,5%. Frekwensi abnormalitas (diatas batas faali) kadar ZnPp pada sampel adalah 47,3%. Dari data ini dapat difikirkan bahwa abnormalitas kadar ZnPp dan Anemia lebih tinggi dari yang diharapkan terjadi akibat pengaruh Pb apabila mengacu kepada nilai IPB ACGIH, 2010. Menurut EPA (2006), kadar Pb darah dimana sistim hemopoeitik (sintese heme) mulai terpengaruh pada kadar 20 g/dl, maka ada 9 orang yang berada diatas kadar tersebut dan dari 9 orang tersebut, 3 orang mengalami anemia (33,3%). Literatur lainnya menyebutkan bahwa efek terhadap anemia dari Pb mulai tampak pada kadar PbB sebesar 50 g/dl (ATSDR, 2007; Dilorenzo, 2005). Pada dataset yang ada sekarang tidak terdapat pekerja dengan kadar diatas 36 g/dl. Mengingat penyebab terjadinya anemia di negara berkembang meliputi banyak hal seperti defisiensi Fe, Malaria dan infestasi parasit (World Bank Health, 2010), maka dapat diduga bahwa yang terjadi pada para pekerja elektronik yang sedang diteliti mungkin gabungan dari akibat Pb dan non-Pb terutama defisiensi Fe. Peracunan oleh Pb bila digabung dengan penyebab lainnya termasuk defisiensi Fe dapat menyebabkan anemia yang lebih parah (Kwong, 2004). ACGIH, menyatakan nilai referensi untuk tingkat pemaparan Pb dalam darah adalah 30 g/dl sedangkan ATSDR, 2007 dan Dilorenzo, 2005 mengadopsi angka 50 g/dl sebagai kadar yang dianggap dapat memberikan efek negatif terhadap sintese hemoglobin. Menurut EPA (2006), ZnPp mulai meningkat dalam darah akibat gangguan Pb terjadi mulai pada kadar Pb darah sebesar 30 g/dl. Dapat diperlihatkan pada dataset yang didapat dari penelitian ini bahwa kadar Pb darah rata-rata (n=68) adalah 11,63 g/dl. Pada 42 pria yang ada, didapat nilai rata-rata Pb darah sebesar 10,32 g/dl. Dengan demikian, data yang didapat pada penelitian ini mempelihatkan bahwa Batas Ambang dari gangguan Timbal dalam sintese Heme yang kemudian dapat mengakibatkan anemia mungkin tidak dimulai pada kadar Pb darah 30 g/dl apalagi 50 g/dl, melainkan lebih rendah, atau tidak dapat ditetapkan nilai ambangnya. Bila dilihat dari akumulasi literatur pengetahuan saat ini, temuan ini memperlihatkan suatu hal baru yakni kecendrungan bahwa pengaruh negatif timbal terhadap sitese hemoglobin cenderung untuk tidak memiliki ambang batas yang jelas. Penggunaan ZnPp sebagai biomarker terhadap pemaparan Pb terhadap para pekerja telah di tetapkan oleh OSHA 2008, dan relatif cukup lama dikenal di USA dan Eropa. Namun di Indonesia, sejauh yang dapat dipantau, aplikasi ZnPp dalam Biological Monitoring belum dikerjakan. Penggunaan biomarker ZnPp terutama untuk melihat secara lebih jelas pengaruh Pb terhadap penurunan hemoglobin (Carley, 2003). Dapat diperlihatkan pada dataset yang ada pada penelitian ini bahwa, ZnPp dalam % atau logaritmanya berkorelasi secara baik dengan Hb dan Ht seperti halnya kadar PbB. Berdasarkan tinjauan diatas maka disarankan dimasa depan, penggunaan ZnPp sebagai biomarker pemaparan Pb anorganik dapat dipakai di Indonesia.
Tabel 8. Frekwensi Anemia pada Ketiga Departemen AC, Audio dan WP PT. PMI tahun 2008.

Sumber: Data Pemeriksaan Kesehatan PT. PMI, 2008 dan 2009. Catatan: Secara Keseluruhan, angka kejadian Anemia pada pekerja PT. PMI tahun 2008 adalah 9% dan pada tahun 2009 sebesar 7%. Sedangkan pada sampel penelitian (n=68) frekwensi anemia adalah 26,5%.

3.2.2. Hubungan ZnPp terhadap Hb, Ht dan PbB


Tabel 9. Kadar Pb darah dan ZnPp pada Kejadian Anemia dan Non Anemia PT. PMI 2010 (n= 68).

(*) Batas Ambang Abnormalitas ZnPp adalah 41% (Quality Lab, USA).

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

128

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011 Secara umum data yang ada pada penelitian ini menunjukkan bahwa, ZnPp merupakan prediktor yang lebih baik terhadap Hb dan Ht dibanding PbB, keduanya langsung berasosiasi secara negatif terhadap Hb dan Ht serta memperlihatkan konsistensi dataset yang ada. Dari beberapa kali test yang dilakukan ternyata Log ZnPp merupakan prediktor yang lebih baik bila dilihat dari hasil R square yang didapat. Distribusi univariat dalam bentuk bar diagram data ZnPp memang mengarah ke pola Log-normal. Karena itu para peneliti banyak yang menggunakan Log ZnPp sebagai variabel prediktor dan mendapatkan hubungan linier yang lebih baik terhadap PbB (EPA, 2006). Fakta bahwa ZnPP merupakan prediktor yang lebih baik inilah yang menyebabkan negara maju seperti USA memasukkan dalam peraturan perundangan (compulsory) pemantauan Pb darah harus disertai ZnPp (US-OSHA, 2008). Penggunaan biomarker kedua, berupa ZnPp selain PbB sebagai prediktor perubahan Hb (kejadian anemia), dimaksudkan untuk lebih meyakinkan bahwa penurunan Hb yang terjadi adalah akibat pengaruh Pb karena mekanisme peracunan Pb terhadap sistim hemopoitik melalui gangguan sintese heme yakni pada enzim Ferochelatase dan memberikan gambaran klinis berupa kenaikan kadar Zinc Protoporphyrin (Patrick, 2006). Tabel diatas memperlihatkan dengan baik bahwa ZnPp memang meninggi pada mereka yang anemia. Bukti ini dianggap cukup untuk memperlihatkan hubungan antara penurunan kadar Hb dengan pengaruh dari PbB yang juga tampak lebih tinggi bagi mereka yang anemia. 3.2.3. Kadar Pb Darah, Pengendalian Pemaparan dan Tindakan Medik Kosnett, 2007, menganjurkan pemantauan biologik biomarker Pb yakni PbB bagi para pekerja. OSHA 2008, mewajibkan pemilik industri dimana terdapat proses kerja yang memakai Pb dan memaparkan pada pekerja, melakukan pamantauan dengan menggunakan dua biomarker yakni PbB dan ZnPp. Rekomendasi surveilans kesehatan pekerja terpapar Pb dilihat pada tabel 10. BLL, kadar Timbal dalam darah. Manajemen awal dari keracunan Timbal adalah mengidentifikasi dari sumber dan pergerakan dari paparan. Pengukuran BLL satu kali tidak mencerminkan beban tubuh secara kumulatif atau memprediksikan efek jangka panjang. Mengacu pada OSHA, industri secara umum dan konstruksi dari standar Timbal untuk paparan pada lingkungan kerja, lihat pada tabel 11.
Tabel 10. Rekomendasi Surveilans Kesehatan Pekerja Terpapar Pb. Kategori dari Pemaparan
Semua pekerja yang terpapar Timbal BLL (g/dl) < 10

Rekomendasi

Pemeriksaan atau catatan rekam medis dan pengujian fisik, pemeriksaan BLL, kreatinin pada serum BLL setiap bulan untuk 3 bulan pertama dari penempatan, atau ketika beban dalam tugas pada pemaparan yang tinggi, kemudian BLL setiap 6 bulan. Jika BLL meningkat 5 g/dl, pemaparan harus di evaluasi dan di proteksi dengan pengukuran. Lihat tabel 1 berhubungan dengan kehamilan. 10-19 Ketika diatas untuk BLL < 10 g/dl, & lebih. BLL setiap 6 bulan. Pemaparan di evaluasi, kontrol rancang bangun, dan pelatihan pekerjaan Pertimbangkan pemindahan (lihat tabel 1) Lihat kembali untuk BLL setiap 6 bulan setelah 3 BLL < 10 g/dl. Pindah dari lokasi pemaparan jika pengukuran 20 ulang BLL dalam waktu 4 minggu 20 g/dl, atau jika pengukuran pertama BLL 30 g/dl (lihat tabel 1). Pengujian BLL tiap bulan. Pertimbangkan kembali untuk bekerja pada penggunaan timbal setelah 2x pengukuran BLL < 15 g/dl setiap bulan, kemudian lakukan pengawasan ketika kadarnya meningkat. Sumber: Kosnett, 2007. *BLL: Kadar Timbal dalam darah. *Terpapar Timbal artinya baik pada penanganan atau alat-alat yang digunakan secara signifikan mengandung Timbal dalam cara yang beralasan diharapkan dapat menyebabkan pemaparan yang berpotensi berbahaya melalui pernapasan dan pencernaan.

Tabel 11. Rekomendasi Petunjuk Pengendalian Pemaparan Pekerja Terpapar Pb.


Kadar Timbal Dalam Darah (g/dl) <5 5-9 10-19 Rekomendasi Manajemen dan Perbaikan untuk Orang Dewasa

20-29 30-79

80

Sumber:

Tidak membutuhkan tindakan. Resiko kesehatan perlu di diskusikan. Pengurangan pemaparan saat hamil. Resiko kesehatan perlu di diskusikan. Pemaparan dikurangi. Pengawasan BLL. Pindah dari lokasi pemaparan saat hamil, kondisi medis tertentu, resiko jangka panjang. Pindah dari lokasi pemaparan jika pada pengulangan BLL dalam 4 minggu 20 g/dl Pindah dari lokasi pemaparan. Perlunya konsultasi dan evaluasi medis sebagai nasehat untuk BLL > 40 g/dl Peraturan OSHA perlu diterapkan. Terapi chelation tidak dianjurkan kecuali jika BLL > 50 g/dl dengan menunjukkan gejala penting. Dianjurkan untuk konsultasi dan evaluasi medis yang mendesak. Peraturan OSHA perlu diterapkan. Dianjurkan untuk terapi chelation jika gejala dan/atau BLL 100 g/dl. Menurut Kosnett, 2007.

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

129

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011


Tabel 12. Kandungan Timbal Darah (PbB) Pekerja PT. PMI berdasarkan Kelompok Risiko dan Managemen Kesehatan (*)

Rekomendasi Kosnett, 2007 di aplikasikan pada dataset penelitian yang ada. Ada 9 orang pekerja yang harus diulangi lagi pemeriksaan PbB dalam waktu 1 bulan dan bila persisten harus keluar dari tempat kerja. Sedangkan untuk para wanita pada golongan 2, 3 dan 4 harus meninggalkan tempat kerja bila mereka hamil. Tercatat disini ada 18 wanita (usia subur) yang memiliki PbB lebih dari 10 g/dl, yang memiliki potensi melahirkan anak dengan gangguan IQ (ACGIH, 2010). Untuk para wanita ini, sebagian besar bekerja di Audio Department, harus dilakukan pemantauan dan pengendalian pemaparan serta surveilans medik yang kontinyu. 3.2.4. Tinjauan tentang Hipotesa Penelitian Hipotesis pertama: Pemaparan terhadap Pb yang bersumber dari bahan baku dan proses produksi di PT. PMI dapat terdeteksi dalam darah para pekerja. Dari uraian pada Bab V ini didapatkan bahwa PbB terdeteksi pada kisaran 136 g/dl dengan rerata sebesar 11,63 g/dl. Dari pemantauan terdahulu didapatkan bahwa Pb di Udara Lingkungan Kerja pernah didapat pada kadar yang tinggi sampai melebihi NAB yang dianut saat itu. Hasil pengukuran pada 2010 dan 2011 oleh peneliti dan oleh PT. PMI sendiri memperlihatkan kadar yang tidak terdeteksi. Diduga hal ini ada hubungannya dengan kepatuhan PT. PMI terhadap program RoHS yang diterapkan oleh para pembeli antara lain Masyarakat Ekonomi Eropa yang sejak tahun 2009 mensosialisasikan RoHS secara ketat. Sesuai dengan teori yang ada saat ini, Pb dalam darah dapat bersumber dari pemaparan yang baru atau mobilisasi dari deposit pada tulang akibat pemaparan yang lama (Skerfving, 2005; EPA, 2006; ATSDR, 2007). Karena itu, Hipotesis pertama dianggap terbukti. Hipotesis kedua: Ada hubungan antara karakteristik pekerja, dengan kadar Pb dalam darah pekerja. Pada tingkat analisis bivariat, tidak tampak variable demografik kontinyu (usia dan masa kerja) yang berasosiasi secara bermakna terhadap kadar PbB. Pada tingkat analisis multivariat juga tidak tampak kedua variabel ini menjadi prediktor yang bermakna terhadap kadar PbB. Pada Bab IV juga diperlihatkan pada analisis bivariat bahwa semua variabel kategorik yaitu Jenis

kelamin, Tempat kerja, Kebiasaan merokok, Jenis angkutan kerja, Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), dan Pemeriksaan kesehatan dalam 6 bulan, tidak memperlihatkan asosiasi yang signifikan. Pada analisis multivariat juga tampak bahwa semua variabel demografik baik kontinyu atau kategorik, tidak berasosiasi secara bermakna terhadap variabel PbB. Dengan demikian Hipotesis kedua tentang hubungan kadar PbB terhadap varibel demografik dianggap tidak terbukti. Hipotesis ketiga: Ada hubungan korelasi yang negatif antara kadar Pb dalam darah dengan kadar hemoglobin dan hematokrit para pekerja. Dataset yang ada setelah diuji secara statistik memperlihatkan korelasi negatif antara PbB terhadap kadar Hb (r = - 0,212) dan Ht (r = - 0,181). Pada analisis multivariat, setelah dilakukan segregasi pada laki-laki dan perempuan, ternyata PbB berkorelasi negatif yang bermakna terhadap kadar Hb para pekerja laki-laki (p = 0,032; R square = 12,8%). Pada analisis lebih lanjut, tampak bahwa kadar PbB pada mereka yang mengalami kejadian anemia lebih tinggi dari mereka yang non anemia. Keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa Hipotesis ketiga terbukti. Hipotesis keempat: Ada hubungan korelasi negatif antara ZnPp dengan kadar hemoglobin dan hematokrit para pekerja. Analisis regresi sederhana (Pearsons correlation) pada dataset peneltian menghasilkan hubungan yang bermakna antara ZnPP (log) terhadap Hb dan Ht dengan koefisien korelasi r sebesar 0,497 untuk Hb (p=0,000); dan koefisien korelasi r sebesar 0,462 untuk Ht (p=0,000). Tabel 53 memperlihatkan bahwa kadar ZnPp pada mereka yang anemia lebih tinggi dari mereka yang tidak anemia. Pada 18 subjek yang anemia didapat rerata ZnPp sebesar 56,22 g/dl; sedangkan pada 50 subjek yang non-anemia didapat rerata sebesar 39,04 g/dl. Nilai normal untuk ZnPp dalam darah adalah 41 g/dl (Quality Lab USA, 2010). Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa Hipotesis keempat terbukti. Hipotesis kelima: Kejadian Anemia pada pekerja berhubungan dengan pemaparan para pekerja terhadap Pb di lingkungan kerja. Kondisi anemia dan non-anemia adalah pembagian klinis berdasarkan kriteria tertentu, dalam hal ini dipakai kriteria bahwa anemia bagi laki-laki apabila kadar Hb kurang dari 14 gr% dan untuk wanita kurang dari 12 gr% (Berkow and Fletcher, 1992; Braunwald et al., 2002). Seperti diulas diatas, anemia dapat terjadi karena berbagai sebab, terutama untuk negara berkembang adalah infestasi parasit dan defisiensi Fe (World Bank Health, 2011). Untuk lebih menguatkan dugaan bahwa anemia yang terjadi adalah disebabkan sebagian atau seluruhnya oleh pemaparan terhadap Pb, maka sampel darah dari semua subjek telah dilakukan pemeriksaan ZnPp di Quality Lab USA. Anemia yang diakibatkan oleh Pb akan memberikan gambaran ZnPp meninggi karena gangguan sintese heme pada enzim Ferochelatase mengakibatkan blokade insersi Fe terhadap heme sehingga Protoporphyrin IX meningkat dalam darah (EPA, 2005; Patrick 2006; ATSDR, 2007; USOSHA, 2008). Bila dilihat pada keterangan, maka tampak asosiasi negatif Hb dengan ZnPp bersifat signifikan. Untuk lebih meyakinkan lagi maka dapat dilihat pada tabel 52 dimana

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

130

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011 terdapat perbedaan yang mencolok pada rerata kadar Pb darah mereka yang mengalami kejadian anemia yakni 14,06 g/dl; sedangkan mereka yang non-anemia memiliki rerata kadar Pb darah sebesar 10,76 g/dl. Selain itu bukti penyokong lainnya adalah tipe anemia yang terjadi pada 18 subjek yang ada bersifat normochrom dan normocytic yang cocok dengan tipe anemia karena gangguan Pb (ATSDR, 2007). Dengan keterangan dan berbagai bukti penyokong yang dikemukakan diatas maka dapat dismpulkan bahwa hipotesis kelima tentang hubungan kadar Pb terhadap kejadian anemia dapat dibuktikan. 3.2.5. Tinjauan tentang Kebaruan dan Studi Lanjutan Schwartz (1990), menyimpulkan bahwa ada suatu nilai ambang (threshold) yang bisa dipakai sebagai acuan untuk melihat pengaruh peracunan Pb pada manusia dewasa, khususnya terhadap sistim hemopoitik, yaitu sekitar 39 g/dl . Data literatur yang dianggap current saat ini adalah adalah 30 g/dl (ACGIH, 2010); 50 g/dl (ATSDR, 2007); dan 30 g/dl EPA (2006). Ketiga lembaga ini dianggap otoritatif untuk informasi toksikologi bagi publik umum (ATSDR dan EPA) dan untuk tenaga kerja (ACGIH). Bila dilihat lebih lanjut data yang merupakan dasar penetapan ini adalah bersumber dari Graziano (1990) dan Makino (1997) yang umumnya menyatakan bahwa batas ambang terjadinya gangguan pada sistim hemopoitik adalah sekitar 30 g/dl Data yang didapat pada penelitian ini adalah rerata PbB pada mereka yang anemia adalah 14,06 g/dl . Pada mereka yang anemia ini ternyata rerata ZnPp adalah 56,22, relatif jauh dari batas normal 41 g/dl. Secara keseluruhan, rerata PbB pada dataset yang ada (n=68) adalah 11,63 g/dl. Disini tampak bahwa mulai terlihatnya pengaruh negatif Pb terhadap Hb para pekerja adalah sekitar 10 g/dl. Jadi tampaknya batas ini menjadi lebih rendah dan memberikan dugaan bahwa tidak ada batas aman untuk pengaruh negatif Pb terhadap bio-sintese heme. Kenyataan diatas dapat disimpulkan bahwa dampak negatif Pb terhadap sistim hemopoitik lebih rendah dari 30 g/dl seperti yang diramalkan teori selama ini dan memperkuat dugaan bahwa tidak ada ambang yang jelas tentang berapa kadar Pb darah yang dianggap aman bagi manusia khususnya para pekerja. Pemakaian PbB sebagai biomarker untuk menduga tingkat pemaparan terhadap Pb di lingkungan telah sering digunakan di Indonesia, sehingga pengalaman penggunaan PbB sebagai biomarker sudah cukup banyak dikerjakan baik oleh kalangan akedemisi maupun praktisi. US-OSHA sudah cukup lama mewajibkan pemakaian Biomarker kedua yakni ZnPp untuk diperiksa pada para pekerja yang terpapar Pb. Landasan teori untuk ini adalah bahwa Pb mengganggu enzim Ferochelatase dan menyebabkan blokade pada sintese Heme sehingga Protoporphyrin IX akan meningkat dalam RBC, yang dapat diperiksa sebagai ZnPp atau Free Erythrocyt Protoporphyrin (FEP). Namun para praktisi dan akademisi di Indonesia belum memakai ZnPp sebagai biomarker. Penyedia jasa untuk ini tidak ada di Indonesia dan Singapura. Dalam literatur, baru satu kali digunakan untuk penelitian di Indonesia yakni pada anak sekolah yang terpapar Pb (Heinze, 1998). Sejauh yang dapat ditelusuri dari publikasi yang ada, untuk peneltian terhadap para pekerja (Bidang Occupational Health) pemakaian biomarker ZnPp ini baru yang pertama di Indonesia. Dari pengalaman dan data pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ZnPp merupakan bio-marker yang cukup baik untuk melihat dampak Pb pada sistim hemopoitik dan bila digabung dengan biomarker PbB yang selama ini telah dipakai akan memberikan bukti yang lebih nyata tentang pengaruh Pb pada sistim hemopoitik yang sesuai dengan teori yang dianut di dunia ilmiah saat ini. Dengan demikian penulis menganjurkan untuk pemakaian Biomarker kedua (ZnPp) ini untuk para peneliti dan praktisi di Indonesia. Ulasan diatas menyangkut penggunaan dua biomarker untuk Pb yakni Pb dalam darah (PbB) dan Zinc Protoporphyrin (ZnPp) atau FEP. Kekurangan pokok dari kedua biomarker ini adalah tidak dapat membedakan apakah Pb yang ada dalam darah berasal dari mobilisasi yang ada pada tulang atau paparan baru. Dalam tubuh, Pb disimpan dalam deposit tulang (trabecular dan cortical), dan dapat dimobilisasi keluar dalam darah bila pemaparan berhenti dan proses ini dapat berlangsung selama 20 tahun (Skerfving, 2005). Untuk menilai beban tubuh (body burden) terhadap Pb akhir-akhir ini telah digunakan dua indikator lagi yakni Cumulative Body Lead Index (CBLI) dan pemeriksaan langsung pada tulang dengan teknik K-shell X-ray Flouresence (KXRF). CBLI adalah melakukan perhitungan indeks berdasarkan pemeriksaan PbB yang berulang-ulang; sedangkan K-XRF memeriksa langsung Pb dalam tulang baik cortical maupun trabecular (Hu, 2007). Pengunaan biomarker ketiga yakni teknik K-XRF dan penghitungan CBLI merupakan cara dimasa depan untuk menilai beban tubuh terhadap Pb secara lebih akurat. Pengaruh anemia akibat defisiensi Fe merupakan hal yang sulit dipisahkan dari pengaruh Pb. Literatur menyebutkan bahwa kedua hal ini saling memperberat, terutama bila dilihat dari tinjauan toksikologi dimana bila tubuh kekurangan Fe maka intake Pb akan lebih banyak dan cepat. Karena itu juga rekomendasi pengobatan untuk keracunan Pb kronik ini adalah pemberian Kalsium, Zat besi dan Vitamin C (Ducatman, 2003; Kwong, 2004; Ward, 2007). Atas dasar hal tersebut maka dimasa depan disarankan penelitian pengaruh Pb terhadap sistim hemopoitik juga memakai biomarker berupa kandungan Feritin dalam darah sebagai petunjuk tentang kecukupan Fe bagi seseorang. Pada penelitian ini hal tersebut terkendala karena jumlah sampel darah yang harus diambil untuk Hb dan lain-lain, Pb, ZnPp akan berjumlah minimal 15 cc dan para pekerja merasa keberatan. Mereka bersedia untuk memberikan sejumlah 10 cc yang dilaksanakan pada saat yang sama dengan pemeriksaan kesehatan. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan a. Sumber Emisi Timbal di Tempat Kerja Mengikuti paradigma dari Corvalan dan Kjellstrom, maka yang pertama dikaji adalah sumber emisi dari Pb dalam lingkungan kerja. Untuk PT. PMI, sumber emisi Pb di tempat kerja adalah Bahan baku berupa Aluminium ingot, Solder bars dan Solder wires.

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

131

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011 Menurut Material Safety Data Sheet (MSDS) yang diperoleh, bahan ini mengandung senyawa logam berat antara lain Timbal (Pb). Pengertian Lead Free yang selama ini dianut di PT. PMI, menyatakan bahwa kandungan Pb dalam bahan baku telah memenuhi spesifikasi tertentu untuk tujuan produksi, bukan menyatakan tidak adanya Pb dalam bahan tersebut. Hal ini memiliki implikasi kesehatan mengingat Pb bersifat akumulatif dan pemaparan yang kontinyu dapat meningkatkan deposit Pb dalam tubuh, terutama dalam tulang, yang dapat dimobilisasi kedalam darah dan menimbulkan efek kesehatan pada para pekerja. b. Sumber Pemaparan Timbal di Tempat Kerja Pemaparan para pekerja di PT. PMI terhadap Pb diudara, pada ketiga Departemen yang diteliti yaitu Water Pump, Air Conditioner dan Audio, terjadi pada kegiatan Die casting dan Soldering (WP); Brazing dan Spot welding (AC) dan Soldering (Audio). Dalam masing-masing lingkungan kerja tersebut terdapat proses dimana bahan logam (Aluminium ingot maupun kawat/batangan soder) dipanaskan sampai mencair dan menguap membentuk Metal Fumes. Para pekerja dengan demikian terpapar Metal Fumes yang mengandung Pb melalui saluran pernafasan. c. Kadar Timbal di Udara Oleh peneliti (2010) telah dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kadar Pb di Udara Lingkungan Kerja yang meliputi 75 sampel personal (breathing zone sampels) dan 34 sampel yang mewakili areal (stationary sampling). Pada bulan Januari 2011, pemeriksaan Pb di Udara, baik areal maupun personal telah diulangi oleh PT. PMI sendiri. Semua sampel yang diambil baik 2010 maupun 2011 tidak memberikan hasil tentang kadar Pb yang terdeteksi. Hasil pemantauan terdahulu dengan sampling yang dilakukan secara internal oleh PT. PMI dan analisis oleh laboratorium yang terakreditasi, memperlihatkan hasil bahwa Pb di Udara Lingkungan Kerja dapat terdeteksi dan bahkan mencapai angka datas Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan oleh Depnaker RI 1997 dan ACGIH 2010 sebesar 0,05 mg/m3 udara. Penelusuran lebih lanjut mendapatkan fakta bahwa sejak beberapa tahun terahir (2009) PT. PMI telah mematuhi ketentuan yang ketat dari Masyarakat Ekonomi Eropa berupa program RoHS (Restriction of Hazardous Substances) yang memperbolehkan kandungan Pb dalam bahan baku maksimal 0,1% (1000 ppm). Selain karena program RoHS, rekayasa engineering dalam bidang K3, misalnya LEV (Local Exhaust Ventilation) pada sumber-sumber emisi serta pemakaian respirator (dengan cartridge khusus untuk metal fumes) oleh para pekerja juga telah dilakukan PT. PMI. Dengan demikian diduga perbaikan dalam kondisi lingkungan dalam hubungnnya dengan logam berat, antara lain Pb, disebabkan dua hal yakni compliance terhadap regulasi MEE dan perbaikan dalam program K3 perusahaan. d. Kadar Timbal dalam Darah Pekerja Kadar Pb dalam darah yang dapat diukur adalah sebanyak 68 pekerja yang tersebar pada departemen WP, AC dan Audio. Kadar yang didapatkan berkisar dari 136 g/dl dengan rerata sebesar 11,63 g/dl dan SD sebesar 7,93 g/dl. Adapun angka referensi ACGIH, 2010 yang dianggap aman untuk Pb inorganik dalam darah pekerja adalah 30 g/dl. Namun ACGIH memperingatkan bahwa wanita usia subur dengan kadar Pb darah diatas 10 g/dl dapat melahirkan anak dengan defisit IQ. Dari data yang ada terdapat 18 wanita usia subur dengan kadar Pb darah sama dengan atau lebih tinggi dari 10 g/dl. Hasil analisis dataset yang ada memperlihatkan kadar Pb darah tidak berhubungan dengan kebiasaan merokok, jenis kelamin dan usia. Dengan demikian variasi kadar Pb darah yang ada kemungkinan besar berasal dari abosorpsi Pb dari lingkungan kerja. e. Kadar Hemoglobin dan Hematokrit Pekerja Dari hasil pemeriksaan kesehatan oleh perusahaan didapatkan frekwensi anemia (berdasarkan kadar Hb atau Ht) pada seluruh pekerja PT. PMI adalah 9% pada 2008 dan turun menjadi 7% pada 2009. Pada sampel yang diteliti terdapat 21 orang (26,5%) menderita anemia. Wanita lebih banyak menderita anemia dibandingkan pria. Kadar hemoglobin pekerja berkorelasi negatif dengan kadar Pb darah (PbB) dan ZnPp dimana meningkatnya PbB dan ZnPp disertai dengan penurunan kadar Hb. Analisis statistik meperlihatkan bahwa PbB merupakan prediktor yang baik dari kadar Hb dengan koefisien yang negatif. Kadar hemoglobin dan hematokrit yang berbeda secara bermakna antara wanita dan pria, dimana pria lebih tinggi dari wanita, menunjukkan validitas data penelitian yang ada. f. Hubungan Anemia dan Pemaparan Timbal Telah dikemukakan adanya hubungan yang bermakna antara kadar Timbal darah (PbB) terhadap kadar Hb pada kelompok pekerja laki-laki. Hubungan PbB terhadap Hb bersifat negatif dan bermakna dengan partial coefficient sebesar -0,435 dan p = 0,036 (signifikan). Melihat adanya kandungan Pb dalam darah (PbB) dan kadar ZnPp yang lebih tinggi pada para pekerja yang anemia dibandingkan dengan yang non-anemia; frekewensi anemia yang jauh lebih tinggi secara mencolok pada mereka yang terpapar Pb dibandingkan pekerja secara keseluruhan; adanya korelasi negatif yang bermakna antara PbB dan ZnPp terhadap kadar Hb; tipe anemia yang bersifat normochrom-normocytic yang sesuai dengan tipe anemia akibat peracunan Pb yaitu anemia terjadi karena memendeknya usia RBC dan lebih fragil; maka penulis menyimpulkan bahwa kejadian anemia pada para pekerja PT. PMI adalah akibat, atau paling tidak diperburuk oleh pengaruh Pb. g. Hubungan ZnPp, Hb dan Ht Pemakaian biomarker kedua berupa ZnPp dimaksudkan agar pengaruh Pb terhadap perubahan kadar Hb bisa diperlihatkan, yaitu dengan meningkatnya ZnPp, karena Pb bersifat mengganggu

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

132

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011 sintese heme sehingga kadar protoporphyrin meningkat. Analisis memperlihatkan Zinc Protoporohyrin (ZnPp) merupakan prediktor yang lebih baik terhadap Hb dan Ht dibanding Timbal darah (PbB). Pada penelitian ini dapat diperlihatkan bahwa kadar PbB dan ZnPp yang lebih tinggi pada mereka yang mengalami kejadian anemia (Hb rendah). Karena itu pemakaian ZnPp sebagai biomarker yang penting dalam melihat toksisitas kronik Pb, dan sebagai indikator pemaparan serta efek pemaparan masih bisa dipakai dimasa depan dan sebaiknya dibuat menjadi acuan di Indonesia. Dengan demikian dalam khasanah Iptek Kesehatan Kerja saat ini ada empat biomarker yang dapat dipergunakan untuk menduga body burden dan derajat pemaparan terhadap Pb yaitu Pb darah (PbB), ZnPp, CBLI dan Pb tulang dengan teknik pemeriksaan K-XRF. 4.2. Saran Data penelitian ini memperlihatkan adanya 21 pekerja yang menderita anemia (26,5%) dari 68 sampel. Data anemia pada ketiga departemen yang diteliti sebanyak 7,4% pekerja, dan data keseluruhan pegawai PT. PMI yang mengikuti pemeriksaan kesehatan tahun 2009 adalah 7%. Penulis menyarankan agar semua mereka yang anemia, baik yang diduga karena efek toksik dari Pb atau penyebab lainnya dilakukan tindakan terapeutik. Berdasarkan literatur yang dirujuk pada penelitian ini maka pengobatan yang dianjurkan adalah pemberian Kalsium, Zat Besi (Fe) dan Vitamin C. Pengobatan dengan teknik kelasi (Chelat) tidak dianjurkan kecuali ada gejala keracunan Pb yang jelas. Program RoHS yang diikuti oleh PT. PMI telah berhasil menurunkan kadar Pb di Udara Lingkungan Kerja. Program ini menyangkut restriksi kandungan beberapa bahan beracun dan berbahaya (yaitu Pb, Hg, CrVI, Cd, PBB, dan PBDE) dalam bahan baku industri elektronik. Setelah beberapa kali pemantauan pada tahun 2010 dan 2011 didapatkan kadar Pb di Udara Lingkungan Kerja tidak terdeteksi. Namun ini tidak berarti bahwa kadar Pb darah para pekerja telah turun atau tidak terdeteksi. Data memperlihatkan bahwa kadar Pb darah yang ada bervariasi dari 136 g/dl. Sesuai dengan Tabel 54 maka dianjurkan untuk melakukan follow-up medik sebagai berikut: - Mereka yang memiliki kadar Pb darah 1019 g/dl, sebanyak 31 orang, diberikan pengarahan tentang efek keracunan Pb dan bagi para wanita bila hamil haruis berhenti bekerja atau dipindahkan dimana tidak ada pemaparan terhadap soldering atau brazing fumes. - Mereka yang memiliki kadar Pb darah 2029 g/dl, bila pada pemeriksaan ulangan setelah 1 bulan tetap persisten diatas 20, maka harus berhenti bekerja atau dipindahkan dilokasi yang tidak ada pemaparan terhadap soldering atau brazing fumes. - Mereka yang memiliki kadar diatas 30 g/dl, yaitu 2 orang, harus berhenti bekerja atau dipindahkan kelokasi dimana tidak ada pemaparan terhadap soldering atau welding fumes, dan diberi pengobatan untuk keracunan Pb seperti rekomendasi diatas. Kepada Pemerintah: a. Melakukan review terhadap peraturan perundangan terkait dengan pencegahan keracunan logam berat dalam lingkungan kerja industri, khususnya yang terkait dengan Surveillans Kesehatan Pekerja industri. b. Meningkatkan kualitas SDM yang terkait dengan pengelolaan kesehatan dalam lingkungan kerja industri khususnya peningkatan kemampuan dalam bidang pengendalian risiko kesehatan dalam lingkungan kerja industri. c. Meningkatkan supervisi implementasi program kesehatan kerja di perusahaan, termasuk peningkatan kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang berlaku serta meningkatkan kemitraan dengan pihak manajemen/pemilik industri. Studi lanjutan yang dianjurkan setelah penelitian ini adalah yang menyangkut penilaian pengaruh Pb pada pekerja Indonesia, khususnya para wanita dengan menggunakan 3 biomarker yakni PbB, ZnPp dan Feritin darah terutama untuk menilai berapa besar pengaruh Pb dengan atau tanpa anemia akibat defisiensi Fe. Studi lain yang dianjurkan untuk dilakukan di Indonesia adalah penggunaan indeks pemaparan Pb berupa Cumulative Blood Lead Index (CBLI) dan penggunaan biomarker keempat dengan pemeriksaan kandungan Pb dalam tulang memakai alat K-shell X-ray flourescence (K-XRF), untuk melihat body burden terhadap Pb. Studi aspek genetik toksisitas Pb pada sistim hemopoitik manusia telah banyak dilakukan di mancanegara, antara lain untuk melihat perbedaan dalam reaksi terhadap pemaparan Pb pada polymorphism atau perbedaan genotip untuk enzim delta-Amino-laevulinic acid dehydratase (d-ALAD) namun belum ada data dari Indonesia tentang hal ini. Daftar Pustaka Achmadi UF, 1991, Transformasi Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FKM-UI, Depok, Jawa Barat. Berkow R, & Fletcher AJ, 1992, Chapter 9: Hematology and Oncology. In The Merck Manual 16th Edition. Merck Research Laboratory. Rahway, NJ, New York, USA. Carley A, 2003, Anemia: When Is it Not Iron Deficiency?: Differential Diagnosis of Anemia by RBC Indices and Biochemical Markers. Pediatr Nurs 29 (3). Corvalan C, & Kjellstrom T, 1995, Health and Environmental Analysis for Decision Making. Basic Environmental Health, Oxford University Press, World Health Stat Q 49(2): 71 77 in Annale Yassi et al., 2001, New York. Dalaas E, 2000, Pulmonotoxicity: Toxic Effect in The Lung. In Principles of Toxicology Applications. Williams, et al., 2nd Edition, pp 169-186. Wiley Interscience, New York. Diana D, 2009, Laporan Pemeriksaan Kesehatan PT. PMI 2009. PT. PMI Cimanggis, Depok.

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

133

Jurnal Kesehatan Bina Husada Vol. 7 No. 4, Desember 2011 EPA, 2006, Air Quality Criteria for Lead. Document no EPA/600/R-05/144aF. Environmental Protection Agency Fischbein H, & Hu H, 2007, Occupational and Environmental Exposure to Lead. In. Occupational and Environmental Medicine, William, N. Rom. 4th ed. Lippincott, William and Wilkins, New York. Grant LD, 2009, Lead and Its Compounds. Dalam Morton Lipmann, Environmental Toxicants, Human Exposure and Their Health Effects. 3rd ed. John Wiley and Sons, Hoboken, NJ. Graziano JH, Popovac D, & Factor-Litvac P, 1990, Determinanats of Elevated Blood. Lead During Pregnancy In a Population Surrounding Lead Smelter Plant in Kosovo, Yugoslavia. In EPA 2006, Air Quality Criteria for Lead. Hasan MI, 2005, Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif), Edisi Kedua, Bumi Aksara, Jakarta. Ho-Yu M, 2005, Environmental Toxicology, Biological and Health Effects of Pollutants, CRC Press, Boca Ratton Fl. Hu H, Shih R, Rothenberg S, & Schwartz BS, 2007, The Epidemiology of Lead Toxicity in Adults: Measuring Dose and Consideration of Other Methodologic Issues. Environ Health Perspect 115: 455-462. Kementrian Lingkungan Hidup, 2006, Clean Fuel: A Requiretment for Air Quality Improvement, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB)/Indonesian Fuel Quality Report, Jakarta. Kosnett MJ, Wedeen RP, & Rothernberg SJ, 2007, Recommnedation for Medical Management Of Adult Lead Exposure. Environ Health Perspect 115:463471. Kwong WT, Friello P, & Semba RD, 2004, Interaction Between Iron Deficiency and Lead Poisoning, Science of Total Environment, 330:1-3 pp 21-37. Lemeshow S, Hosmer Jr. DW, Klar J, & Lwanga SK, 1997, Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Malaka T, 2009, Industrial Hygiene, Kuliah Pasca Sarjana Program Magister Kesehatan Masyarakat, STIK Bina Husada, Palembang. Skerfving S, 2005, Criteria Document for Swedish Occupational Standards: Inorganic Lead, National Institute for Working Life, Stockholm, Sweden. ACGIH, 2007, The American Conference of Governmental Industrial Hygienists, www.acgih.org/, diakses 12 Maret 2009. ACGIH, 2010, TLVs and BEIs 2010. The American Conference of Governmental Industrial Hygienist, Cincinnati. ATSDR, 2007, ToxGuide for Lead, The Agency for Toxic Substances and Disease Registry. www.atsdr.cdc.gov/, diakses 19 September 2010. ATSDR, 2007, Toxicological Profile For Lead, The Agency for Toxic Substances and Disease Registry, www.atsdr.cdc.gov, CAS 7439-92-1, diakses 20 Oktober 2010. US-OSHA, 2008, Regulations (Standards - 29 CFR) Lead. - 1910.1025. The United States Occupational Safety and Health Administration. http://www.osha.gov/pls/oshaweb/owadisp.show_docume nt?p_table=STANDARDS&p_id=10030, diakses 4 Januari 2010. WHO, 1995, Inorganic Lead. Environmental Health Criteria 165, World Health Organization Genewa. www.who.int/, diakses 14 Februari 2009. WHO, 1977, Lead. Environmental Health Criteria 3, World Health Organization, Genewa. www.who.int/, diakses 14 Februari 2009. World Bank Health, 2011, World Bank Health-NutritionPopulation, web site: www.worldbank.org/hnp, Anemia at a Glance, diakses 20 Jannuari 2011.

Analisis Kadar Timbal dalam Lingkungan Kerja, Amar Muntaha

134

You might also like