You are on page 1of 9

A.

DEFINISI Hidradenitis suppurativa atau Verneuils disease atau acne inversa adalah penyakit kulit yang bersifat kronik dan berulang yang ditandai dengan lesi peradangan serta nyeri pada daerah tubuh yang memiliki kelenjar apokrin, meskipun kelenjar apokrin sendiri tidak secara langsung berhubungan dengan proses terjadinya penyakit ini. Pada umumnya terjadi di area axilla, inguinal ataupun area anogenital. Hidradenitis suppurativa menyebabkan morbiditas fisik dan psikologis pada penderitanya. Hidradenitis suppurativa (HS) merupakan kondisi kronis yang dapat melemahkan penderitanya. Penyakit ini ditandai dengan beberapa periode inflamasi yang bersifat sementara namun berulang dan sangat menyakitkan. Periode remisinya dapat berlangsung hingga beberapa tahun. Pada tahap awal penyakit, lesi yang terbentuk berbentuk pustul namun kemudian akan membentuk lesi yang supuratif dan membentuk pengeringan luka kronis dan saluran sinus. Pada kenyataannya, seringkali terjadi kesalahan diagnosis untuk HS dan menyebabkan pengobatan yang tidak maksimal serta menurunkan kualitas hidup penderita. Studi terakhir menunjukkan bahwa HS ditemukan pada 1% dari populasi penduduk di dunia dimana HS terjadi lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki dengan perbandingan 4:1. Biasanya penyakit ini terjadi pada usia pubertas hingga setelah usia 40 tahun, sehingga diduga terdapat keterlibatan hormonal pada mekanisme terjadinya penyakit ini.

B. ETIOLOGI Belum banyak yang diketahui mengenai mekanisme dasar terjadinya hidradenitis suppurativa. Namun, telah banyak beberapa studi yang mencoba memberikan klarifikasi mengenai etiologi penyakit ini. Hidradenitis supurativa (HS) telah dianggap sebagai gangguan pada kelenjar apokrin, yang dihubungkan dengan beberapa faktor predisposisi dibawah ini:

a. Obesitas Pada penelitian dari 164 pasien dengan HS menunjukkan bahwa 20% pasien memiliki berat badan yang overweight dan 20% adalah obese. BMI rata-rata pasien adalah 23.6 kg/m yang menunjukkan bahwa obesitas mungkin bukan merupakan faktor etiologi yang mutlak, namun berperan dalam progresi dari penyakit. b. Kebiasaan Merokok Rokok bukan merupakan penyebab primer dari HS, namun memiliki asosiasi yang kuat serta peran patogenik dalam terjadinya penyakit. Penderita HS dengan kebiasaan merokok memiliki gejala klinis yang lebih buruk. c. Genetik Hidradenitis supurativa juga di wariskan secara genetik. Penelitian lain telah menduga adanya keteribatan autosomal dominan dengan transmisi gen tunggal. Namun perkembangan mengenai keterlibatan gen dalam

patogenesis HS belum diidentifikasi secara mendalam. d. Hormonal Faktor hormonal dapat berpengaruh dalam mengontrol pengeluaran keringat. Kecendrungan terjadinya penyakit HS pada masa pubertas atau post pubertas memungkinkan adanya keterlibatan dari hormon androgen. Kelenjar keringat apokrin dirangsang oleh androgen dan ditekan oleh estrogen. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa derajat keparahan HS pada penderita meningkat sebelum periode menstruasi dan berkurang saat kehamilan. Sebagian penderita juga merespon cukup baik dengan terapi hormonal. e. Infeksi Sekunder dari Bakteri Walaupun etiologi dari HS belum diketahui, berbagai jenis

mikroorganisme dapat diisolasi dari lesi HS, umumnya golongan Staphylococcus. Sebagian peneliti berasumsi bahwa bakteri ini dapat merupakan flora normal kulit atau merupakan infeksi sekunder.

C. PATOGENESIS Patogenesis dari Hidradenitis Suppurativa masih belum jelas. Studi histologis menunjukkan bahwa penyakit ini bersifat multifokal dimana terjadi atrofi kelenjar sebaseal yang diikuti oleh inflamasi dan hiperkeratosis dari unit pilosebaseal, dan selanjutnya terjadi destruksi folikel rambut serta pembentukan ganuloma. Terdapat spekulasi bahwa proses penyembuhan dari HS membentuk jaringan parut dan pembentukan saluran sinus. Investigasi terbaru menunjukkan adanya keterlibatan dari interleukin-12, interleukin-13 dan Tumor Necroting Factor (TNF-) sehingga menguatkan pendapat bahwa HS merupakan penyakit imunologi. Urutan berikut ini dapat mengambarkan dugaan mekanisme pengembangan lesi: 1. Keratin menyumbat folikel rambut dimana kemudian terjadi dilatasi folikel rambut yang melibatkan kelenjar apokrin sehingga terjadi inflamasi. 2. Terjadi pertumbuhan bakteri dalam saluran folikel. 3. folikel yang mengandung bakteri ini dapat pecah sehingga terjadi peradangan/infeksi. 4. Terbentuk nanah / kerusakan jaringan. 5. Pembentukan ulkus dan fibrosis saluran sinus.

D. DIAGNOSIS Diagnosis hidradenitis suppurativa umumnya ditegakkan secara klinis. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang secara pasti dapat menegakkan diagnosa dan biopsi biasanya jarang dilakukan. Gejala awal dapat berupa rasa tidak nyaman, gatal, kemerahan, rasa terbakar dan hiperhidrosis. Keluhan ini biasanya berlangsung kronis dan progresif. Faktor resiko dan predisposisi seperti jenis kelamin perempuan, usia, obesitas, kebiasaan merokok ataupun riwayat HS pada keluarga juga mendukung penegakan diagnosis.

Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan ruam ataupun nodul dengan tanda inflamasi akut (rubor, dolor, kalor, tumor, fungsio laesa). Nodul dapat berbau, juga dapat ditemukan traktus sinus yang mengeras ataupun abses dengan cairan yang purulen dan membentuk fistel. Lesi biasanya terdapat pada daerah axilla (paling sering), inguinal dan anorektal. Pada sebagian kasus juga dapat terlihat daerah indurasi dan jaringan parut. Untuk menentukan derajat klinis dari HS, maka dipergunakan klasifikasi Hurley Clinical Staging yang hingga saat ini masih dipergunakan di seluruh dunia. Pada klasifikasi ini, terdapat tiga stadium dalam perkembangan penyakit ini. Stadium primer berupa abses yang berbatas tegas, tanpa bekas luka dan tanpa adanya saluran sinus. Stadium sekunder berupa terbentuknya saluran sinus dengan bekas luka akibat bekas garukan serta abses yang berulang. Stadium tersier menunjukkan lesi yang menyatu, terbentuknya bekas luka, serta adanya inflamasi dan discharge saluran sinus.

Kriteria diagnostik hidradenitis supurativa menurut the 2nd International Conference on Hidradenitis supurativa, March 5, 2009, San Francisco, CA US adalah: a) Lesi yang khas: nodul yang letaknya dalam, abses, sinus, skar dan tombstone serta komedo terbuka pada lesi sekunder.

b)

Topografi yang khas: pada regio axilla, pangkal paha, perineum dan regio perianal, bokong, ataupun area lipatan inframammae dan intermammae.

c)

Kronik dan berulang

Semua kriteria harus terpenuhi untuk diagnosis yang tepat. Pada beberapa kasus, pemeriksaan penunjang dapat membantu. Biopsi ataupun kultur bakteri dapat menjadi indikasi untuk kasus-kasus yang tidak khas. Pemeriksaan laboratorium yang rutin pada lesi HS biasanya negatif, walaupun terkadang ditemukan infeksi sekunder dari bakteri seperti Staphylococcus aureus. Jika ada indikasi operasi, USG dapat membantu dalam persiapan preoperasi untuk menilai perluasan dari lesi. USG dapat dilakukan pada dermis dan folikel untuk melihat formasi abses dan kelainan bagian profunda dari folikel. Pada pemeriksaan histopatologi, lesi awal dapat ditandai dengan sumbatan keratinosa dalam duktus apokrin atau orifisium folikel rambut dan distensi kistik folikel.Proses ini umumnya meluas ke kelenjar apokrin. Dapat pula ditemukan hiperkeratosis, folikulitis aktif atau abses, pembentukan traktus sinus, fibrosis dan granuloma. Pemeriksaan histologis struktur adneksa dengan tanda-tanda peradangan kelenjar apokrin hanya ditemukan pada 1/3 kasus. Pada lapisan subkutis dapat ditemukan fibsosis, nekrosis lemak dan inflamasi. Walaupun lesi dari HS tampak cukup khas, biasanya HS hanya didiagnosa setelah adanya penundaan diagnosa yang cukup lama. Jarak waktu rata-rata penundaan dalam mendiagnosis HS adalah 12 tahun. Banyak kasus mengalami misdiagnosis dan diobat dengan antibiotik yang pada awal pemberiannya dapat terlihat efektif namun tidak memberikan kesembuhan bagi penderita. Penilaian derajat keparahan penyakit dengan Hurley Staging System dianggap cukup bermanfaat dalam menentukan terapi. Pada mayoritas kasus, pasien dengan derajat II pada saat didiagnosa mencerminkan adanya penundaan diagnosa. Sedangkan hanya sekitar 1% pasien derajat III yang mengalami progresivitas pasca terapi.

E. DIAGNOSIS BANDING a. Furunkel dan Karbunkel Nodul dan abses yang nyeri pada hidradenitis supurativa sering membuat salah diagnosis dengan furunkel atau karbunkel. Pada furunkel atau karbunkel, infeksi dan distribusi lesi biasanya asimetris dan menyerang secara acak pada beberapa lokasi di tubuh, sedangkan daerah predileksi HS yaitu pada aksila, lipat paha, pantat atau dibawah payudara. Selain itu, HS ditandai dengan abses steril dan sering berulang. Pada pemeriksaan mikrobiologi, patogen akan ditemukan pada furunkel atau karbunkel. Selain itu, terapi antibiotik secara topikal atau sistemik akan memberikan perubahan yang signifikan.

Furunkel

Karbunkel

b. Limfogranuloma venereum (LGV). Hidradenitis supurativa yang terdapat di lipatan paha terkadang mirip dengan limfadenitis pada LGV. Perbedaan yang penting adalah pada LGV terdapat riwayat kontak seksual. Pada stadium lanjut LGV terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes Frei positif.

LymphogranolomaVenereum (LGV)

c. Kista Epidermoid/Dermoid Kista epidermoid dapat ditemukan pada penderita HS, namun biasanya kista ini muncul secara independen meskipun terletak ditempat yang sama dengan nodul HS. Kista biasanya tunggal dan asimetri. Kista epidermoid memiliki permukaan yang elastis, domeshaped, superficial dan mobile.

F. TERAPI Terapi pada hidradenitis supurativa berbeda pada tiap stadium penyakit tersebut. Kriteria Hurley dapat digunakan untuk menentukan stadium dari penyakit ini. Stadium I Terapi pada stadium I bersifat kuratif dan profilaksis, yaitu bertujuan untuk menyembuhkan dan mencegah berkembangnya penyakit ke stadium II, serta mempersingkat durasi dari lesi. Pengobatan yang diberikan berupa antibiotik topikal, antibiotik sistemik jangka pendek 7-10 hari, dan adjuvan untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Terapi yang diberikan yaitu: Topikal: Klindamisin 1-2%

Resorcinol

Antibiotik sistemik: Tetrasiklin Eritromisin atau antibiotik golongan makrolid lainnya Amoksisilin Klindamisin

Terapi Adjuvan: Zinc Glukonat Asam azelaic

Stadium II Terapi pada stadium II bertujuan untuk mengobati atau setidaknya menurunkan progresifitas penyakit hingga ke stadium I. Terbentuknya sinus dan jaringan parut memerlukan kombinasi antara terapi medikamentosa dan operatif. Terapi medikamentosa bertujuan untuk mengontrol inflamasi akut dan persiapan operasi. Pada pasien dengan inflamasi berat dan jaringan parut yang minimal, diberikan antibiotik sistemik jangka panjang secara intensif selama 3 bulan. Jika nyeri, suppurasi dan frekuensi timbulnya lesi berkurang, terapi maintenance diberikan, berupa tetrasiklin atau zinc dosis tinggi atau dapson. Terapi operatif diberikan jika terbentuk banyak jaringan parut dan sinus, berupa eksteriorisasi, eksisi, maupun laser. Berikut ini jenis-jenis terapi yang diberikan pada hidradenitis stadium II: Antibiotik sistemik: Klindamisin + Rifampisin Dapson

Terapi maintenance atau adjuvan: Tetrasiklin Zinc Glukonat

Terapi operatif:

Eksteriorisasi Eksisi lokal Laser evaporasi

Stadium III Terapi medikamentosa pada stadium III tidak bersifat kuratif, hanya bersifat paliatif sebab penyakit akan terus kambuh. Kombinasi antibiotik klindamisin dan rifampisin biasanya digunakan. Terapi immunosupresif berupa kortikosteroid dan siklosporin dapat pula diberikan. Terapi kuratif yang dapat dilakukan pada stadium ini yaitu operasi ekstensif, berupa tindakan eksisi area lesi. Berikut ini jenis-jenis terapi yang diberikan pada stadium III: Terapi medikamentosa (paliatif): Kortikosteroid Siklosporin

Terapi operatif: Eksisi luas

You might also like