You are on page 1of 6

0

Critical Review

Feminist Vision of the Network Society

Authored by Anita Gurumurthy Development Suppl. Cosmovision 54.4 Palgrave Macmillan Vol. 54, Issue 4, December 2011, pages 464-469 ISSN 10116370, Source: http://search.proquest.com.

Reviewed by Didi Pramono


Department of Social Science, Postgraduate Program, Semarang State University

The Content of Journal


Feminis, kini menghadapi tantangan baru, yakni masyarakat jaringan. Isu yang berkembang adalah sejauh mana feminis (perempuan) memiliki keterlibatan kritis dalam masyarakat jaringan. Era jaringan harus disadari oleh perempuan sebagai potensi sekaligus bahaya. Era jaringan berpotensi karena era ini menawarkan ruang global bagi perjuangan feminisme, dan berbahaya karena memperluas juga peluang bagi dominasi patriarkhi. Penulis mencoba untuk menyajikan teori baru feminisme dan alternatif masa depan. Feminisme memiliki sejarah panjang dalam perjuangannya melawan subordinasi sistem patriarkhi, isu-isu pembangunan, eksploitasi tubuh perempuan, dan lain sebagainya. Kini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin pesat. Kaum feminis perlu memiliki cara pandang baru untuk menghadapi ini. Dalam segala hal, jaringan sudah menjadi kebutuhan kehidupan kita. Fakta inilah yang turut menciptakan masa depan yang akan kita miliki. Era jaringan/era digital, juga dimanfaatkan sebagai alat politik. Jaringan membentuk struktur sosial baru yang lebih kapitalistik. Jaringan dimaknai sebagai bahasa/media baru bagi kapitalisme. Jaringan juga memungkinkan bertambah luasnya ruang gerak kapitalisme. Oleh karena itu era jaringan dinobatkan sebagai kapitalisme kontemporer. Era jaringan juga telah mengakibatkan perubahan paradigma, bahwa kita merupakan masyarakat yang beresiko, yang telah menjauh dari politik normatif. Ada beberapa realitas baru kaitannya dengan era jaringan, yakni realitas ekonomi, identitas, ekspresi budaya, hubungan sosial, dan negosiasi politik baru. Berdasarkan fakta ini, visi politik feminis perlu untuk segera kembali ke beberapa strategistrategi tepat guna. Pemetaan skenario masyarakat jaringan juga memunculkan masalah. Dari perspektif teori politik, masyarakat jaringan menimbulkan tantangan baru, maka lahirlah sebuah virtual/ruang publik yang sebenarnya semu. Fakta ini menimbulkan arena komunikasi yang tidak berhubungan dengan masyarakat politik atau dengan negara yang berkuasa. Virtual adalah deteritorialisasi ruang yang merupakan perkembangan dari konsep ruang publik Habermas. Sebagai keterbukaan politik, kekuasaan komunikatif dipahami sebagai percobaan oleh warga negara yang berwenang, ini menunjukkan negara yang berdaulat. Ruang publik transnasional menjelma menjadi komunitas baru, sebagai komunitas yang dibayangkan, atau masyarakat komunikasi yang rentan dipengaruhi oleh berbagai perkembangan (termasuk masyarakat beresiko). Penyusunan masyarakat baru tersebut juga membutuhkan strategi baru untuk memahami politik normatif dalam menghormati keanggotaan, inklusi, partisipasi, dan keadilan bagi masyarakat. Ini secara langsung berimplikasi pada cara-cara dimana agenda penegakan hakhak perempuan dan kerangka feminis diintegrasikan ke dalam ruang perdebatan seperti

halnya pada penempatan kekuasaan, terutama karena kurangnya pengaturan lembaga pemerintahan global secara signifikan dalam ranah kebijakan internet. Logika utama dari masyarakat informasi hegemonik adalah komodifikasi atas nama partisipasi dan kewarganegaraan. Ruang online membangun sebuah versi publik yang memungkinkan semua orang dapat mengakses kepemilikan dalam ruang kapitalisme digital yang berbahaya, yang menggunakan kelaziman dan hadiah ekonomi untuk pengambilalihan. Google, facebook, dan twitter tampaknya menjadi aksioma tak terelakkan untuk dialog dan pengorganisasian para feminis. Fakta ini sekaligus merupakan realitas serius yang perlu mendapat eksplorasi lebih mendalam seputar perusahaan dan penjaga gerbang kemunculan ekologi informasi dan komunikasi serta men-gender-kan dan merampas kepemilikan umum menuju keadilan global. Teknologi digital memberi andil dalam membentuk cara-cara hubungan sosial, yang mulai dilembagakan yang dilarutkan dalam wacana yang meningkatkan angka keuntungan pribadi, tanggung jawab individu, dan kedaulatan konsumen. Meningkatnya informasi dan pengawasan dari negara telah melanggar kebebasan individu. Retorika akses ICT bagi perempuan di banyak negara bagian selatan menampakkan paternalisme, sikap panik, dan kebungkaman seputar isu kebijakan internet yang berbasis hak. Aktivis feminis yang mencoba mengeksplorasi cara untuk menggunakan TIK untuk menyatakan kewarganegaraannya, ini merupakan cara untuk mendefinisikan dan mengesahkan kewarganegaraannya. Namun justru ini sering menghasilkan dan memperdalam kesalahan-kesalahan baru. Dan, kaum feminis harus membawa pemahaman mereka tentang ekonomi politik ke depan perdebatan. Era jaringan feminisme, inilah teori baru visi feminisme dan alternatif masa depan. Studi kasus atas Tahrir Square, yang dapat mewujudkan pengaturan jaringan masyarakat secara menjanjikan. Pendekatan interdisipliner sangat dibutuhkan disini untuk membangun bentuk hubungan sosial baru dan organisasi-organisasi sosial baru. The Small-World Network merupakan cabang-cabang yang tidak saling berhubungan satu sama lain, namun dapat cabang-cabang tersebut dapat dicapai melalui sedikit loncatan atau tahap tertentu. Jika menilik Tahrir Square, kita akan dapat melihat penataan ulang dari apa yang Game Theory sebut sebagai pengetahuan umum. Dari usaha ini, akan dapat disusun ulang pengetahuan umum yang menjadi kebutuhan rezim di The Small-World Network. Pembentuk era jaringan feminisme haruslah individu yang berpespektif gender. Mereka mereproduksi pola-pola dan norma-norma sosial berbasis gender. Hal ini yang nantinya akan mengarah pada situasi dimana teknologi memfasilitasi penciptaan keadilan gender. Gurumurthy menyimpulkan bahwa perlu adanya bentuk-betuk baru masyarakat jaringan. Kekuatan-kekuatan korporasi besar harus dipertemukan dengan sebagian kecil kaum feminis. Penentangan terhadap rasionalitas neo-liberal, kepentingan individu, kemudian melakukan kerja sama perlu diwujudkan dalam masyarakat jaringan. Upaya ini merupakan suatu etika alternatif untuk menentang paradigma dominan. Simpulan kedua Gurumurthy adalah bahwa masyarakat jaringan muncul menghasilkan dislokasi dalam arsitektur kekuasaan informasi, asosiasi, dan komunikasi yang harus diteorikan dan digunakan feminis untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Feminis memerlukan lembaga politik dan kemasyarakatan baru, yang sadar akan dominasi dari masyarakat jaringan. Visi feminis perlu mengusung kerangka teori sosial-informasi sebagai politisasi teritorial berbasis lingkungan, yang dapat digunakan secara tepat untuk menjawab tantangan global yang semakin kompleks.
2

Problems
Perempuan, dalam berbagai hal (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan, bahkan dalam hal sangat pribadi pun tubuhnya sendiri) telah tersubordinasi. Terlebih kini di era masyarakat jaringan, yang menciptakan arena subordinasi semakin luas dan mengglobal. Secara spesifik, masalah-masalah tersebut dirumuskan dalam pertanyaanpertanyaan berikut ini 1. Apa yang dapat dilakukan oleh feminis (perempuan) di era masyarakat jaringan? 2. Bagaimana konstelasi politik di era global? Bagaimana seharusnya feminis bersikap? 3. Bagaimana masa depan kaum feminisme di bawah bayang-bayang masyarakan jaringan? 4. Adakah solusi alternatif yang dapat ditempuh?

Goals

Dilatarbelakangi oleh fakta bahwa hal-hal apa yang bisa dilakukan oleh perempuan di era masyarakat jaringan, konstelasi politik, dan nasib perempuan di bawah panji-panji masyarakat jaringan. Tesis ini bertujuan untuk membentuk teori baru feminisme, yang sekaligus sebagai jalan alternatif bagi para feminis.

Utilities
Tesis ini sangat bermanfaat bagi kaum feminis, tesis ini juga sebagai wujud perjuangan dan upaya adaptif feminis dalam menyikapi isu-isu global. Hasilnya adalah teori baru, yang sekaligus sebagai jalan alternatif bagi hidup dan kehidupan kaum feminis.

The Phenomenon in this Journal


Fenomena menarik yang dapat diangkat dari jurnal ini adalah kasus di Tahrir Square, disinilah muncul suatu pemikiran baru mengenai bagaimana feminis harus bersikap dan menempatkan diri di era masyarakat jaringan. Lahirlah konsep The Small-World Network. Di mana masyarakat jaringan di-menej sedemikian rupa sehingga nilai-nilai dan norma-norma sosial baru dibangun dengan berbasis pada kesetaraan gender.

Critical Analysis
1. The Position of Author Gurumurthy menempatkan dirinya sebagai observer, pendukung feminisme, dan pemberi solusi. Gurumurthy dikatakan sebagai observer karena dia dengan sangat baik dapat membaca realitas kekinian seputar dunia global yang semakin terhubung dalam konsep masyarakan jaringan. Gurumurthy disebut sebagai pendukung feminisme karena dia, dengan memperhatikan kondisi perempuan yang semakin tersubordinasi di era masyarakat jaringan, berusaha memberikan solusi bagi kesetaraan gender. Melalui pandangan feminisme-nya, Gurumurthy dengan jeli melihat ketimpangan-ketimpangan gender yang terjadi sebagai imbas dari masyarakat jaringan, yang semakin mensubordinasi dan mengeksploitas perempuan atas nama bisnis. The Small-World Network merupakan ide brilian Gurumurthy, inilah solusi yang dia tawarkan sebagai alternatif bagi hidup dan kehidupan perempuan di era masyarakat jaringan. Melalui konsep ini dia ingin menciptakan Era Jaringan Feminisme, suatu era

dimana teknologi turut menciptakan kesetaraan gender, melalui dekonstruksi nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berperspektif gender. 2. Contribution for Science Kontribusi jurnal ini bagi dunia ilmu pengetahuan adalah sumbangan teori baru yang dibidani Gurumurthy tentang The Small-World Network, yang melalui teori ini dia ingin menciptakan Era Jaringan Feminisme. 3. Strength Kekuatan dari jurnal ini adalah Gurumurthy dengan sangat kritis dapat melihat realitas kekinian sebagai kenyataan yang tidak adil bagi perempuan. Dan, dengan inovatif dan kreatif mencetuskan tatanan kehidupan baru bagi feminisme dalam bingkai The SmallWorld Network untuk menuju pada Era Jaringan Feminisme. 4. Weakness Kelemahan jurnal ini adalah bahwa ruang jaringan sangatlah luas, setiap individu punya hak milik atas pengembangan jaringan. Tesis Gurumurthy nampaknya akan mengalami hambatan dalam penerapannya, mengingat luasnya cakupan yang harus dikendalikan di bawah ide besar feminisme. Masyarakat jaringan erat kaitannya dengan aspek ekonomi kapitalistik. Profit adalah orientasi utama dalam pengembangan masyarakat jaringan. Selagi dengan mensubordinasi dan mengeksploitasi perempuan mendatangkan profit dalam jumlah besar, selama itu pula tesis Gurumurthy akan susah diwujudkan.

Reviewer Opinion
Tesis Gurumurthy merupakan upaya adaptif kaum feminis dalam menghadapi modernitas/ globalisasi. Upaya ini perlu mendapat apresiasi tinggi, terlebih oleh Castells. Tesis ini melengkapi tesis yang dikemukakan Castells tentang Informasionalisme dan Masyarakat Jaringan. Rupanya Castells lupa, atau bahkan dengan dengan sengaja tidak mengikutsertakan feminisme dalam tesisnya. Modernitas (yang salah satunya ditandai oleh munculnya masyarakat jaringan) merupakan isu besar, bahkan Giddens mengilustrasikannya dengan Juggernaut, lalu bagaimana bisa isu sebesar ini bisa melupakan feminis dalam kajiaanya. Nampaknya, dalam modernitas pun perempuan masih menjadi the other sex. Saya sepakat dengan Gurumurthy, terutama idenya untuk menata ulang nilai-nilai dan normanorma sosial menuju nilai dan norma yang berperspektif gender. Opini saya didasari pemikiran Susan Wendell, bahwa ia berkomitmen kepada pengaturan ulang ekonomi secara besar-besaran, dan redistribusi kemakmuran secara lebih signifikan, karena salah satu dari tujuan politik modern yang paling dekat dengan feminis liberal adalah kesetaraan kesempatan (Tong, 2008: 17). Namun, tesis Gurumurthy tentang The Small-World Network untuk menuju pada Era Jaringan Feminisme masih perlu diperkuat, terutama mengenai strategi yang kuat dalam memasukkan nilai-nilai dan norma-norma berperspektif gender dalam masyarakat jaringan. Mengingat pendapat Castells (dalam Ritzer, 2007: 583-587), bahwa masyarakat jaringan memunculkan kapitalisme informasional, kemudian sampai pada perusahaan jaringan. Ketika sudah masuk pada ranah perusahaan, berarti orientasi utamanya adalah profit. Tanpa profit, perusahaan tersebut collapse. Jadi, akan sangat susah ketika upaya penyetaraan gender dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan gender tersebut. Mengingat perempuan turut menjadi agen yang cukup signifikan dalam mendatangkan profit. Kasus-kasus yang sudah ada, menempatkan perempuan sebagai salah satu komoditas menggiurkan yang turut menjadi objek transaksi. Mulai dari yang sifatnya sederhana sampai
4

pada tingkat yang kompleks. Sederhana ketika perusahaan jaringan hanya melibatkan perempuan sebagai konsumen. Konsumen produk-produk kosmetik kecantikan sampai pernak-pernik, serta sandang, pangan, dan papan kehidupan. Tak jarang kita jumpai perempuan dijadikan sebagai pemanis (umpan) dalam iklan-iklan handphone, mesin cuci, rice cooker, motor, mobil, perumahan, undian perbankan dan komoditas lainnya. Sampai pada transaksi yang kompleks, human traficking via online, karena dalam Konvensi ILO Nomor 182 (dalam Suyanto, 2012: 1) disebutkan bahwa pelibatan (anak) perempuan dalam bisnis prostitusi (human traficking) termasuk tindak kejahatan kemanusiaan yang sama sekali bertentangan dengan upaya perlindungan (anak) perempuan. Sungguh ironis ketika perempuan hanya menjadi pemanis dalam ekonomi masyarakat jaringan. Perempuan (feminis) harus memperjuangkan nasibnya untuk lepas dari dominasi, menjadi manusia bebas yang berperan lebih dalam politik kehidupan masyarakat jaringan. Asumsi dasarnya adalah bahwa patriarkhi atau supremasi laki-laki muncul dari pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, yang ada di wilayah domestik maupun publik (Agger, 2006: 200-201). Berangkat dari fakta ini, upaya dekonstruksi Gurumurthy juga termasuk restrukturisasi pembagian kerja. Perempuan tidak lagi dijadikan pemanis, perempuan harus lebih dari itu, perempuan harus menjadi decision maker, menempati top position dalam suatu perusahaan jaringan atau pemerintahan. Ketika pembagian kerja ini sudah mencapai proporsi yang setara, maka keadilan gender akan terwujud. Perempuan, di era masyarakat jaringan seperti saat ini, sudah saatnya menyadari akan posisinya dan bergerak seperti apa yang Gurumurthy paparkan. Konsep yang dikemukakan Gurumurthy sudah baik, langkah selanjutnya adalah realisasi teori. Yang perlu dicatat adalah, jangan terlalu menggantungkan diri pada negara. Menurut Castells, negara semakin tidak berdaya di era globalisasi ekonomi dan semakin tergantung pada pasar kapital global. Komunikasi global telah mengalir bebas keluar-masuk ke setiap negara. Kemudian muncul globalisasi kejahatan dan penciptaan jaringan global yang berada di luar kontrol negara (Ritzer, 2007: 586). Sejalan dengan Gurumurhty, ciptakan era sendiri, yakni Era Jaringan Feminis.

References
Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Gurumurthy, Anita. 2011. Feminist Vision of the Network Society. Journal (online). Development Suppl. Cosmovisi. Palgrave Macmillan Volume 54 Issue 4. Pages 464-469. Sumber: http:// search.proquest.com. diunduh pada hari Sabtu, 16 Maret 2013. Ritzer, Goerge dan Goodman, Douglas J. 2007.Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Suyanto, Bagong. 2012. Anak Perempuan yang Dilacurkan: Korban Eksploitasi di Industri Seksual Komersial. Yogyakarta: Graha Ilmu. Tong, Rosemarie Putnam. 2008. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.

You might also like