You are on page 1of 31

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki angka prevalensi kasus TBC yang cukup tinggi, khususnya pada masyarakat dengan golongan ekonomi menengah kebawah. Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikrobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA) (Depkes, 2009). Penderita TBC di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 231.370 orang. Propinsi dengan peringkat 5 tertinggi penderita TBC adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan. Perkiraan Kasus TB Paru BTA positif di Jawa Barat sebanyak 44.407, Jawa Timur sebanyak 39.896, Jawa Tengah sebanyak 35.165, Sumatra Utara sebanyak 21.197, dan Sulawesi Selatan sebanyak 16.608 (Profil Kesehatan Indonesia, 2009). Angka insiden penyakit baru BTA (+) sebesar 107/100.000 penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2008 di Provinsi Jawa Tengah terdapat 34.913 penderita baru BTA (+). Akan tetapi BTA (+) yang ditemukan sebanyak 16.748 penderita (47,97%). Rendahnya angka penemuan ini berarti masih banyak kasus TB paru yang belum terobati sehingga dapat menjadi sumber penularan bagi lingkungan sekitar para penderita tersebut (Profil Jawa Tengah,2008). Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain karakteristik individu, memburuknya kondisi sosial ekonomi, lingkungan fisik yang kurang memadahi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Daya tahan tubuh yang lemah / menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC (Girsang, 2009).

B. Tujuan TujuanUmum 1) Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tuberculosis paru berdasarkan pendekatan HL. Blum. TujuanKhusus 1) Untuk memperoleh informasi mengenai faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya TB. 2) Untuk memperoleh informasi mengenai factor perilaku yang mempengaruhi terjadinya TB. 3) Untuk memperoleh informasi mengenai faktor pelayanan kesehatan yang mempengaruhi terjadinya TB. 4) Untuk 5) memperoleh informasi mengenai factor kependudukan yang mempengaruhi terjadinya TB. Untuk dapat memberikan solusi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya TB.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Etiologi Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis dan dapat menyerang semua golongan umur. Penyebaran TB paru melalui perantara ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP). Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru. 2.2. Epidemologi TB Paru Survei prevalensi TB paru tahun 2004 di Indonesia dengan jumlah sampel 86.000 rumah tangga menemukan bahwa pengetahuan masyarakat yang berada di pedesaan lebih rendah di banding masyarakat perkotaan mengenai gejala-gejala penyakit TB paru, penularan TB paru. Hasil survei juga menemukan bahwa sikap masyarakat pedesaan dalam pencarian pengobatan TB paru lebih rendah dibanding masyarkat di perkotaan (Depkes RI, 2004). Penelitian follow up yang dilakukan Gotama (2002), di Tangerang menyimpulkan bahwa sanitasi perumahan yang jelek, pemakaian sumber air minum, dan air bersih yang tidak terlindungi menyebabkan peningkatan kasus TB paru sebesar 0,5%.
3

Penelitian

yang

dilakukan

Firdous

(2005)

di

poli

paru

Rumah

Sakit

Persahabatan jakarta menemukan bahwa faktor-faktor yang mempunyai hubungan bermakna dengan kesembuhan /ketidaksembuhan orang yang sedang berobat TB paru adalah merokok (OR = 7,78), penghasilan (OR = 7,56), pengetahuan tentang TB paru (OR = 5,51), sikap terhadap proses poengobatan Tb paru (OR = 6,27), perilaku (OR = 6,83), keadaan rumah di pandang dari segi kesehatan (OR = 6,68), program OAT gratis dari pemerintah (OR = 4,15), PMO (OR = 4,52), keadaan gizi (OR = 9,95). Penelitian yang dilakukan Sukana (1998), di Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang, diperoleh angka ketaatan minum obat penderita dengan memberdayakan tenaga anggota keluarga lebih baik/berbeda makna dibandingkan dengan tanpa pemanfaatan anggota keluarga tenaga PMO. Angka konversi BTA (+) setelah terapi intensif (2 bulan) adalah 81,8% dan 62,5% untuk kasus dengan PMO dari anggota keluarga tanpa PMO, sedangkan angka konversi BTA (-) akhir terapi adalah masingmasing 100%. Angka konversi dahak poenderita setelah terapi intensif pada akhir terapi antara dua kelompok tidak berbeda makna (P>0,05). 2.3. Penularan TB paru Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA (+). Penularan terjadi pada waktu penderita TB paru batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam pernapasan. Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002). Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita TB paru tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman) maka penderita tersebut tidak menularkan. Kemungkinan seorang terinfeksi TB paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2002). Perlu diketahui bahwa basil tuberkulosis dalam paru tidak hanya keluar ketika penderita TB paru batuk. Basil tuberkulosis juga dapat keluar bila penderita bernyanyi, bersin atau bersiul. Di Jepang dan Inggris telah ada beberapa kali
4

laporan menunjukkan penularan tuberkulosis pada murid sekolah, terutama yang duduk di barisan depan yang tertular dari guru yang mengajar di depan kelas (Aditama, 1994). Hal penting yang perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang terhirup basil tuberkulosis akan mejadi sakit, walaupun tidak sengaja menghirup basil tuberkulosis. Risiko orang terinfeksi TB paru untuk menderita TB Paru pada ARTI (Annual Risik of Tuberculosis Infenction) sebesar 1%. Hal ini berarti diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita TB paru baru setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif (Depkes RI, 2002). 2.3 Gejala Penyakit TB Paru Gejala penyakit pada penderita TB paru dapat dibagi menjadi gejala lokal di paru dan gejala pada seluruh tubuh secara umum. Gejala di paru tergantung pada banyaknya jaringan paru yang sudah rusak karena gejala penyakit TB paru ini berkaitan bagaimana bentuk kerusakan paru yang ada (Aditama, 1994). Gejala paru seseorang yang dicurigai menderita TB paru dapat berupa: 1. Batuk lebih dari 3 minggu 2. Batuk berdarah 3. Sakit di dada selama lebih dari 3 minggu 4. Demam selama lebih dari 3 minggu Semua gejala tersebut diatas mungkin disebabkan penyakit lain, tetapi bila terdapat tanda-tanda yang manapun diatas, dahak perlu dilakukan pemeriksaan (Crofton, 2002). Gejala tubuh penderita tuberkulosis secara umum dapat berupa; a. Keadaan umum, kadang-kadang keadaan penderita TB paru sangat kurus, berat badan menurun, tampak pucat atau tampak kemerahan b. Demam, penderita TB paru pada malam hari kemungkinan mengalami kenaikan suhu badan secara tidak teratur c. Nadi, pada umumnya penderita TB paru meningkat seiring dengan demam Dada, seringkali menunjukkan tanda-tanda abnormal. Hal paling umum adalah krepitasi halus di bagian atas pada satu atau kedua paru. Adanya suara pernapasan bronkial pada bagian atas kedua paru yang menimbulkan Wheezing terlokalisasi disebabkan oleh tuberkulosis (Crofton, 2002).

2.4 Diagnosis TB Paru Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksan jasmani radiologi dan pemeriksaan laboratorium. Di Indonesia, pada saat ini uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB paru pada orang dewasa, sebab sebagian besar menunjukkan bahwa masyarakat orang Indonesia sudah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis karena tingginya prevalensi TB paru. Uji tuberkulin positif hanya yang bersangkutan pernah terpapar Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2004). 1. Gejala Klinik Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu, gejala respiratorik dan gejala sistemik. a. Gejala respiratorik dapat berupa 1. Batuk lebih atau sama dengan 3 minggu 2. Batuk darah 3. Sesak napas 4. Nyeri dada b. Gejala sistemik 1. Demam 2. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. 2. Pemeriksaan Jasmani Pemeriksaan jasmani akan dijumpai sangat tergantung luas dan kelainan struktural paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya atau sulit sekali menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas lemah, ronkhi basa, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (Aditama, 2002). 3. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan radiologi standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi foto apiko-lordotik, oblik, CT scan. Pada pemeriksaan foto toraks tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiforom). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. b. Kapitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan berawan atau nodular. c. Bayangan bercak milier. d. Efusi pleura unilateral. Gambaran radiologist yang dicurigai lesi TB inaktif: a. Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas b. Kalsifikasi atau fibrotik c. Fibrothorax dan atau penebalan pleura 4. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium dapat berupa pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan darah dan uji tuberkulin. a. Pemeriksaan bakteriologik Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahkan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari sputum, bilasan bronkhitis, jaringan paru, cairan pleura b. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan kedua dibutuhkan. Data ini dapat dipakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologi penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebaga predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan biologik/daya tahan tubuh penderita, yaitu dalam keadaan supresi/tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. c. Uji Tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB paru di darah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
7

kurang berarti apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan sebelumnya atau apabila ada kepositifan uji yang di dapat besar sekali atau timbul bula. 2.4.1. Tipe Penderita TB Paru Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita, yaitu: 1. Kasus baru Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian). 2. Kambuh (Relaps) Penderita TB paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 3. Pindahan (Transfer In) Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten / kota membawa surat rujukan/pindah. 4. Lalai Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 5. Lain-lain a. Gagal Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih). b. Kronis Penderita dengan hasil pemeriksaan basil BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 (depkes RI, 2002). Program penanggulangan Tuberkulosis (DepKes 2002). WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien Tuberkulosis Paru yaitu : 1. Pasien dengan sputum BTA positif : lain kemudian pindah berobat ke kabupaten/kota lain. Penderita pindahan tersebut harus

Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan 1x sediaan sputum positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif 1x sediaan sputum positif disertai biakan yang positif

2. Pasien dengan sputum BTA negatif : Pasien yang pada pemeriksaan sptumnya secar mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif Pasien yang pada pemeriksaaan sputumnya secara mikroskopisnya tidak ditemukan BTA sama sekali tetapi pada biakannya positif Diluar pembagian tersebut diatas pasien digolongkan berdasarkan riwayat penyakitnya yakni : Kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapatkan obat anti TB lebih dari satu bulan Kasus kambuh, yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB, terapi kemudian timbul lagi TB aktifnya Kasus gagal, yakni pasien yang sputum BTAnya tetap positif setelah mendapat obat anti TB lebih dari 5 bulan atau Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapat obat anti TB 1-5 bulan dan sputum BTAnya masih positif Kasus kronik

2.5. Pengobatan : Pengobatan tuberculosis memiliki dua prinsip dasar, yaitu : 1. Terapi yang berhasil, memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut, dan salah satu daripadanya harus bakterisid. Karena suatu resistensi obat dapat timbul spontan pada sejumlah kecil basil, monoterapimemakai obat bakterisid yang terkuatpun dapat menimbulkan kegagalan pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan basil yang persisten. Kemungkinan terjadinya resistensi spontan terhadap 2 macam obat merupakan hasil probabilitas masing-masing obat, sehingga penggunaan dua macam obat yang aktif umumnya dapat mencegah perkembangan resistensi sekunder.

2. Penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang persisten. Dengan adanya cara pengobatan pada masa kini (metode DOTS) yang menggunakan paduan beberapa obat, pada umumnya pasien tuberculosis berhasil disembuhkan secara baik dalam waktu 6 bulan. Berdasarkan prinsip tersebut, program pengobatan tuberculosis dibagi menjadi 2 fase yaitu : fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi ( lanjutan) Dosis Paduan OAT a. Kategori-1 Pasien baru TB paru BTA ( + ) Pasien TB paru BTA ( - ) foto thoraks ( + ) Pasien TB ekstra paru Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :

Tabel Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 : 2 (HRZE) / 4 (HR)3 Berat badan Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE 30 37 kg 38 54 kg 55 70 kg 71 kg (150/75/400/275) 2 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 tablet 2 KDT 3 tablet 2 KDT 4 tablet KDT 5 tablet KDT

Tabel Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 1 : 2HRZE / 4H3R3 Tahap Lama Dosis per hari/kali Jumlah hari/kali menelan obat Tablet 300 mgr Intensif 2 bulan 1 Tablet @ 400 mgr 1 Tablet @ 500 mgr 3 Tablet @ 250 mgr 3 56
10

Pengobatan Pengobatan

Isoniazid@ Rifampicin Pirazinamid Etambutol

Lanjutan

4 bulan

48

Tabel Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Tahap Pengobatan Lama Pengobatan Tablet Isoniasid @300 mgr Tahap Intensif (dosis harian) 2 bula n 1 bula Tahap Lanjutan (dosis 3x semingg u) n 4 bula n 2 1 1 2 6 0 1 1 Tablet Rifampisi n mgr 1 1 @450 Tablet Pirazinami d mgr 3 3 3 3 0,7 5 gr @500 Etambut ol Streptomisi n injeksi Jumlah hari/kali menelan obat 5 6 2 8

b.Kategori -2 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA ( + ) yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel Dosis paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 Berat Badan Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) Selama 56 hari 30 37 kg 2 tab 4KDT + +S Selama 28 hari 2 tab 4KDT Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E (400) Selama 20 minggu 2 tab 2KDT + 2
11

500 mg 38 54 kg Streptomisin inj. 3 tab 4KDT + 750 mg 55 70 kg Streptomisin inj. 4 tab 4KDT + 1000 mg 71 kg Streptomisin inj. 5 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj. Catatan : 5 tab 4KDT 4 tab 4KDT 3 tab 4KDT

tab Etambutol 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

Untuk pasien yang berumur 60 tahun keatas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml. ( 1ml = 250mg) b. OAT Sisipan (HRZE) Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA ( + ) yang pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA ( + ) Tabel Dosis KDT Sisipan : (HRZE) Berat badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 30 37 kg 38 54 kg 55 70 kg 71 kg Tabel Dosis OAT Kombipak Sisipan : HRZE Tahap Pengobatan Lamanya Pengobatan Tatablet Isoniazid Tatablet @300 mgr Rifampisin @450 mgr Tablet Pirazinamid @500 mgr Tablet Jumlah hari/kali obat Etambut mgr 2 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 4 tablet 4 KDT 5 tablet 4KDT

ol @250 menelan

12

Tahap harian)

Intensif

(dosis 1 bulan

28

Terapi FDC Jenis-jenis tablet FDC dikelompokkan menjadi 2, yaitu: FDC untuk dewasa dan FDC untuk anak-anak. Tablet FDC untuk dewasa terdiri tablet 4FDC dan 2FDC. Tablet 4FDC mengandung 4 macam obat yaitu: 75 mg Isoniasid (INH), 150 mg Rifampisin, 400 mg Pirazinamid, dan 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Tablet 2 FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 150 mg Isoniasid (INH) dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Baik tablet 4FDC maupun tablet 2FDC pemberiannya disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk melengkapi paduan obat kategori II tersedia obat lain yaitu: tablet etambutol @400 mg dan streptomisin injeksi (vial @750 mg). Tablet FDC untu anak-anak terdiri dari tablet 3FDC dan 2FDC. Kedua jenis tablet diberikan kepada pasien TB anak yang berusia 0 14 tahun. Tablet 3FDC mengandung 3 macam obat antara lain: 30 mg INH, 60 mg Rifampisin, dan 150 mg Pirazinamid. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif. Tablet 2FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 30 mg INH dan 600 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap lanjutan. Sama halnya dengan pemberian pada pasien dewasa, pemberian jumlah FDC pada pasien anak juga disesuaikan dengan berat badan anak. Dosis dan aturan pakai FDC disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk pasien TB dewasa yang masuk dalam kategori I dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali Berat Badan selama 56 hari seminggu selama 16 minggu 30 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC 38 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC 55 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC Sedangkan untuk pasien TB dewasa yang masuk dalam kategori II, dosis dan aturan pakai FDC yang harus diberikan yaitu: Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 Berat kali seminggu badan Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu 2 tab 4FDC + 500 mg Streptomisin 2 tab 2FDC + 2 tab 30 37 kg Inj. 2 tab 4FDC Etambutol 3 tab 4FDC + 750 mg 3 tab 2FDC + 3 tab 38 54 kg Streptomisin Inj. 3 tab 4FDC Etambutol 55 70 kg 4 tab 4FDC + 1000 mg 4 tab 4FDC 4 tab 2FDC + 4 tab
13

71 kg

Streptomisin Inj. 5 tab 4FDC + Streptomisin Inj.

5 tab 4FDC

Etambutol 5 tab 2FDC + 5 tab Etambutol

Catatan: Setiap vial Streptomisin mengandung 750 mg dilarutkan dalam 3 ml aquabidest. Dosis ini dapat dianggap sebagai 3 dosis @ 250 mg yang digunakan untuk kelompok pasien dengan BB 38 54 kg. Untuk kelompok pasien dengan BB lain, dosisnya disesuaikan dengan jumlah tablet yang diminum, misalnya untuk pasien yang memerlukan hanya 2 tablet, juga hanya memerlukan 2 ml suntikan sterptomisisn (1 ml = 250 mg. Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun diberikan suntikan streptomisin maksimum 500 mg/hari. Injeksi streptomisin diberikan setelah pasien selesai menelan obat.

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada pasien TB BTA positif tidak terjadi konversi maka diberikan OAT sisipan berupa tablet 4FDC setiap hari selama 28 hari. Dosis dan aturan pakai FDC untuk anak-anak yaitu: Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan tiap hari Berat Badan selama 2 bulan selama 4 bulan 7 kg 1 tablet 3FDC 1 tablet 2FDC 8 9 kg 1,5 tablet 3FDC 1,5 tablet 2FDC 10 14 kg 2 tablet 3FDC 2 tablet 2FDC 15 19 kg 3 tablet 3FDC 3 tablet 2FDC 20 24 kg 4 tablet 3FDC 4 tablet 2FDC 25 29 kg 5 tablet 3FDC 5 tablet 2FDC OAT-FDC tersedia dalam kemasan blister. Tiap blister terdapat 28 tablet. Tablet 4FDC dan 2FDC dikemas dalam dos yang berisi 24 blister @28 tablet. Untuk tablet etambutol 400 mg dikemas dalam dos yang berisi 24 blister @ 28 tablet. Streptomisisn injeksi dikemas dalam dos berisi 50 vial @ 750 mg. Untuk penggunaan streptomisin injeksi diperlukan aquabidest dan disposable syringe 5 m l dan jarum steril. Aquabidest tersedia dalam kemasan vial @ 5 ml dalam dos yang berisi 100 vial. Efek samping dari OAT-FDC umumnya sama dengan efek samping dari penggunaan OAT yang dalam tablet terpisah. Beberapa efek samping yang muncul berupa hilangnya nafsu makan, mual kadang disertai muntah, sakit perut, nyeri sendi, gatal dan kemerahan pada kulit, kesemutan hingga rasa terbakar di kaki, gangguan keseimbangan. Selain itu efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Efek samping dari OAT tersebut diperkirakan terjadi pada sekitar 3 6 % pasien yang mendapat pengobatan dengan FDC. Bila diketahui dengan pasti bahwa FDC penyebab efek samping seperti yang disebutkan sebelumnya dan obat tersebut tidak dapat diberikan kembali, maka pasien diberikan OAT yang dalam bentuk tablet terpisah (OAT kombipak). Pengobatan TB perlu diperhatikan untuk pasien yang berada dalam kondisi khusus misalnya pasien wanita hamil, pasien dengan penyakit tertentu seperti DM, gagal ginjal, memiliki kelainan hati kronik. Untuk pengobatan TB pada wanita hamil perlu diperhatikan pada penggunaan streptomisin. Streptomisin tidak dapat digunakan pada kehamilan. Hal ini
14

karena streptomisin bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Pasien DM harus selalu dikontrol dalam pengobatannya. Jika pasien juga menderita TBC perlu diperhatikan dalam penggunaan rifampisin, karena rifampisin dapat mengurangi efektivitas antidiabetika oral gol sulfonil urea sehingga perlu peningkatan dosis antidiabetika tersebut. Pasien DM yang memperoleh pengobatan insulin seringkali terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu perlu diperhatikan untuk pemberia etambutol karena dapat memperparah kejadian tersebut. Pasien TB dengan gagal ginjal sebaiknya tidak menggunakan streptomisin dan etambutol dalam pengobatannya. Hal ini karena kedua obat tersebut diekskresi melalui ginjal. Jika tetap diberikan memungkinkan obat tersebut tidak dapat dieksresikan dari dalam tubuh karena ketidakmampuan ginjal. Akibatnya akan menimbulkan efek toksik dalam tubuh. Oleh karena itu dapat diberikan pengobatan dengan INH, rifampisin, dan pirazinamid untuk pasien TB dengan gagal ginjal. Ketiga obat tersebut diekskresi melalui empedu dan dapat diubah menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien TB dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR. Pengobatan TB pada pasien dengan kelainan hati kronik dapat dilakukan jika pasien sudah melakukan pemeriksaan hati. Jika nilai SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali maka OAT tidak diberikan dan bila sudah dalam pengobatan maka harus dihentikan. Jika peningkatannya kurang dari 3 kali maka pengobatan tetap dapat dilakukan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh diberikan pirazinamid. Paduan OAT yang dianjurkan untuk pasien TB dengan kelainan hati yaitu 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. Pencegahan terhadap penyakit TB dapat dilakukan dengan hidup sehat dengan makan makanan bergizi dan teratur, istirahat yang cukup, olah raga teratur, hindari rokok, minuman beralkohol, obat bius, hindari stress. Kemudian untuk mencegah terjadinya penularan TB, maka para pasien TB diharapkan menutup mulut saat batuk dan tidak meludah di sembarang tempat. Usaha pencegahan lainnya yaitu dengan melakukan imunisasi BCG ( Bacillus Calmette-Guerin) yang akan memberikan kekebalan aktif pada penyakit TB. Selain itu menjaga daya tahan tubuh juga penting dalam mengantisipasi penyakit TB. Dengan daya tahan tubuh yang kuat maka tidak mudah untuk terserang infeksi oportunistik (TB). Tidak hanya AIDS yang memiliki hari peringatan tetapi TB pun memiliki hari peringatan yang jatuh pada tanggal 24 Maret. Tahun ini peringatan hari TB sedunia bertemakan Every Breath Counts, Stop TB now!. Tema ini menekankan pada kata breath yang tidak hanya berarti pernafasan tetapi juga merupakan pusat dari segala aktivitas manusia. Jadi, jika breath manusia rusak karena TB maka akan merusak juga seluruh aktivitas manusia. Tema ini mengingatkan akan bahaya TB dan urgensi pemberantasannya.
15

Berbagai macam strategi pemerintah dalam rangka mengurangi jumlah penderita TB paru,diantaranya dengan menerapkan program-program seperti berikut : 1. Paradigma Sehat o Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini mungkin, serta meningkatkan cakupan program. o Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat. o Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi, pada kondisi tertentu. 2. Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO o Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. o Diagnosa TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. o Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). o Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. o Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC. 3. Peningkatan mutu pelayanan. o Pelatihan seluruh tenaga pelaksana. o Ketetapan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik. o Kualitas labolatorim diawasi melalui pemeriksaan uji silang (cross check). o Untuk menjaga kualitas pemeriksaan labolatorium, dibentuklah KPP (Kelompok Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Puskesmas Rujukan Mikroskopik) dan beberapa PS (Puskesmas Satelit). Untuk daerah dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM (Puskesmas Pelaksana mandiri). o Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan. o Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus. o Keteraturan menelan obat sehari hari diawasi oleh pengawas oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung jawab petugas kesehatan. o Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan dengan teratur, lengkap dan benar.

16

STATUS PASIEN
Nama Fasilitas Pelayanan Kesehatan : Puskesmas Malaka Jaya No rekam medis :

17

Pasien ke Data administrasi Tanggal Diisi oleh :

: 1 dalam keluarga

: 7 Mei 2013 : Septina F Nauw Lily Setyawati Aprima Visgint Pasien Ny. Nilawati 40 tahun Jl.cakung, RT013/008, jakarta Timur Perempuan Islam SMP Wirausaha Sudah menikah 2 kali Keterangan

Nama Umur/tanggal lahir Alamat Jenis kelamin Agama Pendidikan Pekerjaaan Status perkawinan Kedatangan yang ke

Membuka laundry Pasien datang diantar oleh suaminya dan atas inisiatif sendiri keadaan umum tenang

Telah diobati sebelumnya Alergi obat System pembayaran

Tidak Tidak Askes

Pasien menggunakan Jaminan kesehatan

Data pelayanan ANAMNESIS (dilakukan secara autoanamnesis ) A. Alasan Kedatangan/Keluhan Utama Keluhan Utama : Batuk tidak sembuh selama 4 bulan yang lalu.

Kekhawatiran (Suami) : Khawatir tertular penyakit yang berbahaya Harapan (Suami) berbahaya
18

: Penyakit istrinya cepat sembuh dan tidak terkena penyakit

B. Keluhan Lain/Tambahan Sesak napas, berat badan menurun, pasien merasa cepat lelah dan merasa dingin pada seluruh tubuh, dan sakit pada punggung kanan dan kiri. C. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang Sebelum datang ke Puskesmas Malaka Jaya, pasien mengeluh batuk yang tidak sembuh-sembuh sejak bulan februari. Awalnya batuk terus-menerus tanpa disertai dahak selama 2 minggu. Pasien mencoba mengobati sendiri keluhan yang dialaminya dengan membeli obat batuk di apotik tapi keluhan tidak sembuh. Pada bulan April pasien mengeluh batuk dengan dahak disertai darah, berat badan menurun, lemas, sering berkeringat setiap malam, sesak nafas dan nyeri pada punggung kanan dan kiri. Pasien khawatir dengan keluhannya yang tidak kunjung sembuh dan akhirnya pasien datang ke Puskesmas untuk berobat dan melakukan pemeriksaan sputum dan hasilnya (+)TB. D. Riwayat Penyakit Keluarga - Riwayat keluarga menderita penyakit serupa - Riwayat sakit TB -Riwayat alergi obat dan makanan E. Riwayat Penyakit Dahulu Pada tahun 2007 pasien pernah mengeluh batuk tanpa disertai dahak tetapi tidak didiagnosis sebagai TB. Penyakit jantung, asma, dan alergi obat atau makanan disangkal. Riwayat trauma, kecelakaan, operasi disangkal. F. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien mengontrak rumah bersama suami dan satu orang anak. Pasien tinggal dirumah dengan pencahayaan sinar matahari cukup dengan luas rumah kira-kira 4 x 4 M. Pasien memiliki usaha laundry bersama dengan empat karyawannya. : disangkal : disangkal : disangkal

DATA ANGGOTA KELUARGA


19

No. 1. 2. 3. 4.

Nama Ny. Nilawati M. Nuryanto Robi Adam Reza permana

Umur 40 tahun 52 tahun 15 tahun 12 tahub

Status Dalam Keluarga Istri Suami Anak Anak

Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki

Pekerjaan Wiraswasta Supir Pelajar Pelajar

PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan umum dan tanda-tanda vital termasuk status gizi Keadaan umum: Tampak sakit sedang Kesadaran TB BB IMT Status gizi : Compos Mentis : 163 cm : 56 kg : 21, 0 (normal) : Baik Normal Obes I Obes II Obes III Tanda tanda vital: Tekanan darah Nadi Nafas Suhu : 110/80 mmHg : 84x/menit : 20x/menit : 36,5C : 18,5 25,5 : > 25 30 : > 30 40 : > 40

20

Status Generalis Kepala deformitas Mata baik, eksoftalmus, tidak konjugae Telinga Hidung : liang telinga lapang, sekret (-) : bentuk hidung simetris, tidak ada derformitas septum, dan : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), visus secara kasar lapang pandang tidak menyempit, tidak terdapat terdapat enoftalmus, tidak terdapat deviasi : Normocephali, wajah simetris kanan dan kiri, tidak ada

tidak ada hiperemis Tenggorokan : mukosa faring merah muda, dinding faring tidak bergranul, uvula ditengah, arkus faring simetris, tonsil T1-T1, tidak hiperemis Kelenjar getah bening : tidak ada pembengkakan KGB Thorax : o Inspeksi : bentuk dada normochest, sela iga mengembang saat inspirasi dan menyempit saat ekspirasi, pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri, tidak terlihat adanya retraksi sela iga, pulsasi iktus kordis tidak terlihat, bendungan vena tidak terlihat. o Palpasi : vokal fremitus simetris kanan-kiri, iktus kordis teraba,

kuat angkat 2 jari, tidak terdapat nyeri tekan dan krepitasi o Perkusi : perkusi perbandingan pekak pada paru kanan, batas jantung kanan disela iga 5 garis sternalis dextra, batas jantung kiri disela iga 5 garis midclavicula sinistra
21

o Auskultasi : Bunyi nafas dasar vesikuler kanan dan kiri, tidak terdapat ronkhi, tidak terdapat wheezing, bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar gallop, tidak terdengar murmur. Abdomen: o Inspeksi : perut tampak datar, tidak ada perubahan warna kulit,

tidak tampak peristaltik, tidak ada pelebaran vena, tidak ada sikatrik dak tidak ada striae o Palpasi : Tidak teraba massa, nyeri tekan (-), defense muscular

(-), hepar tidak teraba membesar, ginjal tidak teraba. o Perkusi (-) o Auskultasi Ekstremitas : o Atas : akral hangat, cap refill < 2 detik, tidak terdapat udem : bising usus 4x/menit : Timpani diseluruh lapangan perut, pekak hepar disela

iga 5 garis midclavicula dextra, region suprapubik timpani, nyeri ketok

o Bawah : akral hangat, cap refill < 2 detik, tidak terdapat udem

Status Lokalis Pulmonal Perkusi : pekak pada paru kanan

Auskultasi : terdengar rhonki pada lapang paru kanan

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan BTA sputum : BTA S.P.S: +/+/+

22

PERUMUSAN MASALAH KESEHATAN PASIEN

DIAGNOSTIK HOLISTIK Aspek personal : Keluhan utama : batuk terus menerus disertai dahak yang bercampur darah yang tidak kunjung sembuh Harapan : Harapan pasien agar batuk bisa sembuh dan pasien kembali secara normal dengan keluarga dan lingkungan Kekhawatiran : pasien merasa khawatir timbul komplikasi lain dari batuk dan khawatir anggota keluarga lain akan tertular

Aspek klinis: TB paru Aspek risiko internal: kurangnya pengetahuan mengenai TB Paru, riwayat imunisasi yang belum lengkap

Aspek Psikologi Keluarga : Kebiasaan suami yang sering merokok, keadaan pemukiman rumah yang padat

Derajat fungsional: 1 (Pasien masih bisa melakukan aktivitasnya sendiri)

RENCANA PENATALAKSANAAN PASIEN No Kegiatan Rencana intervensi Sasaran Waktu Hasil yang diharapkan

23

1.

Aspek personal

Edukasi mengenai TB

Pasien

1 minggu

Pasien mengerti keadaannya sekarang

2.

Aspek klinis

Evaluasi : Pemeriksaan ulang sputum setelah 2 bulan mengkonsumsi obat

Pasien Untuk memeriksa adanya konversi, dan mengurangi resiko penularan TB

Edukasi : Minum obat teratur Meminimalisir kontak dengan orang lain selama pengobatan untuk mencegah penularan

3.

Aspek risiko Internal

Edukasi : Tidak tidur dengan anak dan suami sampai pasien dinyatakan sembuh Pasien dan keluarga

24

4.

Aspek psikososia l

Edukasi : Memberitahukan kepada suami pasien agar memperhatikan pasien dalam minum obat yang teratur Menganjurkan untuk melakukan pencegahan penularan penyakit TB antara lain jangan tidur dengan anak dan suami selama belum dinyatakan sembuh Memberi penjelasan mengenai bahaya asap rokok bagi perokok ataupun orang disekelilingnya dan menyarankan untuk berhenti merokok Komsumsi makanan yang bergizi

Pasien dan keluarga

25

TINDAK LANJUT DAN HASIL INTERVENSI Tanggal 09 April 2013 Intervensi yang dilakukan, diagnosis holistik, dan rencana selanjutnya Saat kunjungan dilakukan beberapa hal yaitu : 1. Memperkenalkan diri dan menjalin hubungan yang baik dengan pasien 2. Melakukan anamnesis mengenai keluhan serta kehidupan sehari-hari pasien 3. Memberi inform consent pada pasien agar pasien dapat mengerti keadaan pasien sekarang 4. Melakukan pemeriksaan fisik lengkap 5. Membuat diagnostik holistik lengkap Intervensi yang akan diberikan : 1. Edukasi mengenai TB Paru dan kaki diabetikum. Edukasi ini diberikan pada pasien dan keluarganya 2. Edukasi agar pasien tetap menjaga pola hidup dan pola makan dirinya dan keluarganya 3. Memotivasi pasien untuk rajin kontrol dan minum obat hingga 6 bulan dan dinyatakan sembuh 4. Menyarankan untuk berobat ke puskesmas bila ada keluarga yang sakit supaya mendapatkan pengobatan yang tepat 5. Memotivasi keluarga untuk menjaga kebersihan rumah, membuka jendela setiap hari 6. Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan alat pelindung diri saat bekerja Rencana Selanjutnya : - kunjungan rumah ke dua, 1 minggu kemudian (16 Mei 2013)
26

untuk melakukan evaluasi dan intervensi selanjutnya 16 Mei 2013 - Evaluasi: Berdasarkan pengawasan minum obat (PMO), pasien meminum obat secara teratur Kebersihan rumah cukup, lantai disapu dan dipel 1 kali sehari, jendela dibuka dari pagi hingga sore Pasien dan keluarga sudah membiasakan menggunakan masker sebagai alat pelindung diri dalam setiap pekerjaan dan aktivitas Intervensi yang diberikan : - Mengulang kembali penjelasan mengenai TB paru

KESIMPULAN PENATALAKSANAAN PASIEN DALAM BINAAN KELUARGA PERTAMA Diagnostik Holistik pada saat berakhirnya pembinaan pertama - Aspek Personal : Pasien datang dengan keluhan batuk terus menerus disertai dahak yang bercampur darah yang tidak kunjung sembuh. Pasien merasa khawatir timbul komplikasi lain dari batuk dan khawatir anggota keluarga lain akan tertular, harapan pasien agar bisa sembuh dari penyakitnya ini, sembuh dalam artian pasien adalah sembuh dan kembali normal. - Aspek klinis : TB Paru - Aspek Risiko Internal : kurangnya pengetahuan mengenai TB Paru, riwayat imunisasi yang belum lengkap - Aspek Psikologi Keluarga : Kebiasaan suami yang sering merokok, keadaan pemukiman rumah yan padat - Derajat Fungsional : Derajat 1 (Pasien tetap bisa beraktivitas seperti biasa)

Faktor pendukung terselasaikannya masalah kesehatan pasien :

27

- keluarga menerima penjelasan serta anjuran yang diberikan dengan baik - Keluarga berusaha menjalankan anjuran yang diberikan sesuai dengan kemampuan, misalnya minum obatsesuai petunjuk dan dosis, mengubah komposisi makanan, menciptakan lingkungan yang bersih. Faktor penghambat terselesainya masalah pasien - terdapat masalah ekonomi untuk pemenuhan nutrisi dan kesehatan - lingkungan rumah merupakan pemukiman yang padat dan kurang bersih. - jarak fasilitas pelayanan cukup jauh dari rumah, terkadang pasien malas untuk pergi ke puskesmas jika tidak ada suaminyayang mengantarkannya.

Persetujuan (dokter PJ Klinik) Nama Lengkap : Tanda Tangan :

Tanggal

LAMPIRAN FOTO HOME VISIT

28

29

DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 2002,Pedoman Penanganan Tuberculosis, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Depkes RI, Jakarta. Depkes RI, 2010, Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas), Jakarta. Depkes RI, 2011, Buku Saku Petugas Kesehatan: Tuberculosis, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2008, Profil Kesehatan Jawa Tengah, Semarang.

30

Notoatmodjo, S., 2003, Konsep Perilaku dan Perilaku Kesehatan, Dalam: Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta. Rahajoe N. Beberapa Masalah Penanggulangan Tuberkulosis Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Jakarta.Fak.Kedokteran Universitas Indonesia.1987 Notoatmodjo, S., 2007, Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni, Jakarta: PT. Rineka Puskesmas Pandanaran, 2012, Kinerja Tahun 2011 & Rencana Tingkat Puskesmas (RTP) Tahun 2012, Semarang. Eddy Widodo : Tuberkulosis Pada Anak : Diagnosis dan Tata Laksana Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IDAI Jaya.2003 Pelatihan Manajemen Tuberkulosis Anak.UKK Respirologi PP.IDAI.IDAI.Jateng. 2007

31

You might also like