You are on page 1of 30

REFERAT PREMEDIKASI

DOKTER PEMBIMBING : dr. Sanggam, Sp.An DISUSUN OLEH Yurike Natalie (030.08.266)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSAL DR. MINTOHARDJO PERIODE 12 NOVEMBER 2012 -16 DESEMBER 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Nama NIM Bagian

: Yurike Natalie : 030.08.266 : Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi FK Universitas Trisakti

Judul Referat : Premedikasi Pembimbing : dr. Sanggam, Sp.An

Referat Premedikasi telah disetujui oleh dr. Sanggam, Sp.An pada tanggal 7 Desember 2012 dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Anestesi di RSAL Dr. Mintohardjo, Jakarta. Periode 12 November -16 Desember 2012.

Jakarta, 6 Desember 2012 Pembimbing

dr. Sanggam, Sp.An

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena atas rahmat dan izin-Nya penyusun dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Anestesi di RSAL Dr. Mintohardjo. Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Sanggam, Sp.An ,yang telah membimbing penyusun dalam mengerjakan referat ini, serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan klinik Ilmu Anestesi di RSAL Dr. Mintohardjo. Dan juga ucapan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penyusun. Dengan penuh kesadaran dari penyusun, meskipun telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan referat ini, namun masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata, penyusun mengharapkan semoga referat ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 6 Desember 2012

Yurike Natalie

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ............................................................................................... 2 Kata Pengantar Daftar Isi BAB I BAB II ................... 3 ... 4 PENDAHULUAN................... 5 PEMBAHASAN.......................... 6 Premedikasi..................................................................................... 6 Tujuan Premedikasi......................................................................... 7 Obat premedikasi............................................................................. 9 Sedatif................................................................................... 9 Analgetik Narkotik............................................................... 15 Anti Emetik.......................................................................... 20 Hipnotik................................................................................ 26 DAFTAR PUSTAKA .....................................30

BAB I PENDAHULUAN

Premedikasi sebenarnya bukan istilah yang tepat. Ini bukan tindakan yang dilakuakn sebelum pemberian obat tertentu. Yang dimaksud premedikasi adalah pemberian obat atau obat-obat sebelum anestesia, untuk mendapatkan kondisi yang diharapkan oleh anestesiologis. Jadi, istilah yang tepat sebenarnya adalah medikasi pra-anestesia. Bergantung kepada tujuan dan sifat obatnya, premedikasi dapat diberikan malam sebelum operasi atau beberapa jam sebelum anestesia. Obat-obat yang diberikan oleh dokter lain dan tidak terkait dengan prosedur anestesia bukanlah premedikasi. Contohnya pemebrian antibiotika oleh ahli penyakit dalam sejak tiga hari sebelumnya, antihipertensi oleh kardiologis dan sebagainya. Obat premedikasi diberikan oleh dokter anestesiologis. Cara pemebrian obat premedikasi pun dapat melalui berbagai rute, termasuk inhalasi. Tidak semua pasien memerlukan premedikasi. Pasien yang memerlukannya pun, tidak semuanya dapat diberi premedikasi. Dengan kata lain, prmedikasi bukanlaha keharusan dan sesuatu yang rutin untuk setiap anestesia. Premedikasi juga tidak berarti pemeberian obat jenis tertentu saja sebelum anestesia.

BAB II PEMBAHASAN Premedikasi ialah pemebrian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia Tujuan premedikasi : 1. Meredakan kecemasan dan ketakutan 2. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus 3. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah 4. Mengurangi isi cairan lambung 5. Membuat amnesia 6. Memperlancar induksi anestesi 7. Meminimalkan jumlah obat anestesi 8. Mengurangi reflek yang membahayakan Pencegahan Ansietas Jika dilihat tiap-tiap tujuan di atas, sebenarnya dapat dimengerti bahwa obat-obat di atas diberikan untuk mencegah berbagai kondisi yang tidak diinginkan. Semua kondisi yang tidak diinginkan ini berhubungan dengan prosedur anestesia yang akan dijalani pasien. Sebagai contoh, mengapa pasien harus dihindarkan dari kecemasan ? Kecemasan meningkatkan produksi dan penglepasan katekolamin darah yang memicu peningkatan tonus simpatis. Hasilnya adalah peningkatan tekanan darah dan laju jantung. Tentu kondisi ini tidak baik bagi anestesia. Konsumsi O2 meningkat, pengguanaan obat anestetik meningkat, risiko komplikasi sistem kardiovaskular meningkat, risiko komplikasi pasca anestesia pun meningkat. Obat ansiolitiksering juga menimbulkan amnesia. Amnesia anterograd menguntungkan untuk mencegah trauma psikologis akibat pengalaman tidak menyenangkan yang mungkin dialami selama pembedahan.

Obat ansiolitik yang diberikan dengan maksud mengurang kecemasan seringkali bersifat sedatif juga. Hal ini memberikan keuntungan tambahan bagi anestesia nantinya. Kondisi tersedasi akan menurunkan dosis obat anestetik sehingga dapat m,enurunkan juga kemungkinan efek samping dari obat-obat anestetik. Akan tetapi harus diingat semua obat sedatif berpotensi mendepresi susunan saraf pusat. Jika pasien tertidur terlalu dalam, kemampuannya mempertahankan patensi jalan nafas dapat terganggu. Obstruksi jalan nafas tersering pada pasien yang tidur atau kesadarannya turun adalah yang disebabkan jatuhnya pangkal lidah menutupi jalan nafas. Bahaya lain dari obat-obat sedatif adalah efek vasodilatasi yang ditimbulkannya. Pada pasien dalam kondisi hipovolemia atau pasien dengan resistensi vaskular sistemik yang tidak boleh turun, vasodilatasi menjadi tidak menguntungkan. Oleh karena itu tidak dianjurkan memberikan sedatif pada pasien yang tingkat kesadarannya dibawah normal, pasien dengan ganmgguan jalan nafas atau fungsi pernafasan dan pasien yang keadaan umumnya tidak baik, termasuk pasien hipertensi pulmonal dan penyakit jantung bawaan sianotik. Pencegahan Penyulit Jalan Nafas Hipersekresi jalan nafas juga perlu dikurangi, bila mungkin dicegah. Jalan nafas utama dalam tubuh manusia, trakea, merupakan satu-satunya pintu masuk O2. Jika pasase udara terganggu, tentu akan terganggu pula oksigenasi pasien. Terutama pasien yang terhipnosis, kemampuan mempertahankan patensi jalan nafas akan terganggu. Pasien tidak dapat batuk spontan untuk membersihkan jalan nafasnya. Selain dapat menganggu oksigenasi, hal ini juga berpotensi menyebabkan pneumonia. Sekalipun pasien menjalanio anestesia umum dengan intubasi endotrakeal, hipersekresi jalan nafas tetap merupakan penyulit, terutama jika ini meliputi seluruh jalan nafas. Penyulit lain yang berhubungan dengan jalan nafas adalah asma bronkiale atau hipersentivitas jalan nafas. Kondisi ini sangat rentan dengan segala bentuk iritan dan manipulasi jalan nafas. Tindakan intubasi apalagi jika dilakuakn ketika anestesia belum cukup dalam dapat memicu serangan yang berakibat penyempitan jalan nafas. Laringospasme dan bronkokonstriksi intra-anestesia dapat berbahay bahkan fatal.

Pencegahan Pneumonia Aspirasi Terkadang pasien tertentu memiliki risiko pneumonia aspirasi yang tinggi. Sebagai contoh pasien dengan refluks esofagitis, pasien hamil besar, pasien dengan tumor intra-abdomen. Termasuk di dalam kelompok ini adalah pasien yang menjalani operasi emergensi yang tidaki sempat dipuasakan. Pasien seperti ini ketika dilakukan induksi anestesia dapat terjadi refluks isi lambung ke atas dan karena posisi pasien terlentang maka besar risiko terjadinya aspirasi isi lambung. Pasien dengan risiko pneumonia aspirasi seringkali diberi metoklopramid untuk mempercepat absorbsi isi lambung atau diberikan antagonis H2. Obat-obat ini dapat diberikan malam dan pagi sebelum operasi. Untuk kasus emergensi, diberikan sedini mungkin sebelum anestesia dimulai. Dapat juga diberikan sodium sitrat sesaat sebelum induksi untuk meningkatkan PH lambung. Mengurangi Nyeri Obat analgetika seringkali diperlukan pada pasien yang terus-menerus merasakan nyeri. Dahulu opioid sering diberikan di ruang perawatan untuk tujuan ini. Setelah kenyataan obat jenis ini berpotensi menimbulkan depresi sistem saraf pusat, sekarang opioid sebagai premedikasi di ruangan sudah sangat terbatas. Alternatif analgetika selain golongan opioid adalah obat-obat antiinflamasi nonsteroi (NSAID). Pemilihan obat ini harus cermat dengan mempertimbangkan efek sampingnya pada saluran nafas (asma bronkiale dapat dicetuskan obat NSAID tertentu), pada saluran cerna (beberapa NSAID iritatif pada lambung) dan sistem koagulasi darah. PREMEDIKASI DI KAMAR BEDAH Premedikasi di kamar bedah tidak sama dengan koinduksi. Koinduksi adalah pemeberian beberapa obat dalam waktu yang berdekatan sebelum pasien benar-benar terhipnosis di bawah anestesia umum. Terkadang sulit membedakan antara koinduksi dan premedikasi karena seringkali obat yang digunakan sama. Yang penting adalah indikasi yang tepat untuk obat yang tepat, dosis yang tepat, waktu pemberian yang tepat dan kesiapan praktisi terhadap setiap komplikasi yang mungkin timbul.

OBAT PREMEDIKASI a. Sedatif Benzodiazepin Benzodiazepin adalah sekelompok obat golongan psikotropika yang mempunyai efek antiansietas atau dikenal sebagai minor tranquilizer, dan psikoleptika. Benzodiazepin memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan amnesia retrograde. Golongan Benzodiazepin menggantikan penggunaan golongan Barbiturat yang mulai ditinggalkan, Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitoring anestesi. Penggolongan Benzodiazepin Berdasarkan kecepatan metabolismenya dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu short acting, long acting, ultra short acting. 1) Long acting.

Obat-obat ini dirombak dengan jalan demetilasi dan hidroksilasi menjadi metabolit aktif (sehingga memperpanjang waktu kerja) yang kemudian dirombak kembali menjadi oksazepam yang dikonjugasi menjadi glukoronida tak aktif. 2) Short acting

Obat-obat ini dimetabolisme tanpa menghasilkan zat aktif. Sehingga waktu kerjanya tidak diperpanjang. Obat-obat ini jarang menghasilkan efek sisa karena tidak terakumulasi pada penggunaan berulang. 3) Ultra short acting

Lama kerjanya sangat kurang dari short acting. Hanya kurang dari 5,5 jam. Efek abstinensia lebih besar terjadi pada obat-obatan jenis ini. Selain sisa metabolit aktif

menentukan untuk perpanjangan waktu kerja, afinitas terhadap reseptor juga sangant menentukan lamanya efek yang terjadi saat penggunaan

Mekanisme Kerja Golongan Benzodiazepin Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter mengaktifkan reseptor penghambat di otak. Benzodiazepine kepekaan tidak GABA A melainkan meningkatkan reseptor

GABA A terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. BDZs tidak menggantikan GABA, yang mengikat pada alpha subunit, tetapi meningkatkan frekuensi pembukaan saluran yang penghambatan potensial mengarah aksi. Hal ini ke peningkatan konduktansi ion klorida dan dan relaksasi otot skeletal. Farmakodinamik Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP dengan efek utama : sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas, relaksasi otot, dan anti konvulsi. Hanya dua efek saja yang merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer : vasodilatasi koroner (setelah pemberian dosis terapi golongan benzodiazepine tertentu secara iv), dan blokade neuromuskular (yang hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi). Farmakokinetik Sifat fisikokimia dan farmakokinetik benzodiazepine sangat mempengaruhi

menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi

penggunaannya dalam klinik karena menentukan lama kerjanya. Semua benzodiazepine dalam bentuk nonionic memiliki koefesien distribusi lemak : air yang tinggi; namun sifat lipofiliknya daoat bervariasi lebih dari 50 kali, bergantung kepada polaritas dan elektronegativitas berbagai senyawa benzodiazepine. Semua benzodiazepin pada dasarnya diabsorpsi sempurna, kecuali klorazepat; obat ini cepat mengalami dekarboksilasi dalam cairan lambung menjadi N-desmetil-diazepam (nordazepam), yang kemudian diabsorpsi sempurna. Setelah pemberian per oral, kadar

puncak benzodiazepin plasma dapat dicapai dalam waktu 0,5-8 jam. Kecuali lorazepam, absorbsi benzodiazepin melalui suntikan IM tidak tratur. Secara umum penggunaan terapi benzodiazepine bergantung kepada waktu paruhnya, dan tidak selalu sesuia dengan indikasi yang dipasarkan. Benzodiazepin yang bermanfaat sebagai antikonvulsi harus memiliki waktu paruh yang panjang, dan dibutuhkan cepat masuk ke dalam otak agar dapat mengatasi status epilepsi secara cepat. Benzodiazepin dengan waktu paruh yang pendek diperlukan sebagai hipnotik, walaupun memiliki kelemahan yaitu peningkatan penyalahgunaan dan dan berat gejala putus obat setelah penggunaannya secara kronik. Sebagai ansietas, benzodiazepine harus memiliki waktu paruh yang panjang, meskipun disertai risiko neuropsikologik disebabkan akumulasi obat. Efek Samping Midazolam dapat menyebabkan depresi pernapasan jika dipakai sebagai sedasi. Lorazepan dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan thromboplebhitis Contoh Obat Midazolam 1) Farmakokinetik Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak. Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat. Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih pendek dibanding diazepam.

2) Metabolisme Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan enzim cytochrome P-450 usus halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif. Metabolit utama yaitu 1hidroksimidazolam yang memiliki separuh efek obat induk. Metabolit ini dengan cepat dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi 1-hidroksimidazolam glukoronat yang dieskresikan melalui ginjal. Metabolit lainnya yaitu 4-hidroksimidazolam tidak terdapat dalam plasma pada pemberian IV. Metabolisme midazolam akan diperlambat oleh obat-obatan penghambat enzim sitokrom P-450 seperti simetidin, eritromisin, calsium channel blocker, obat anti jamur.Kecepatan klirens hepatic midazolam lima kali lebih besar daripada lorazepam dan sepuluh kali lebih besar daripada diazepam. 3) Efek pada Sistem Organ Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah ke otak seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan kebutuhan metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam juga memiliki efek yang kuat sebagai antikonvulsan untuk menangani status epilepticus. a) Pernapasan Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan diazepam 0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih besar terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak terjadi sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan menyebabkan apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid. Benzodiazepine juga menekan refleks menelan dan penuruna aktivitas saluran napas bagian atas. b) Sistem kardiovaskuler Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan darah dan meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara dengan thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada tekanan darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepine.

4) Penggunaan Klinik Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai sedasi dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek antikonvulsan sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kejang grand mal. Premedikasi Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup (2 mg/ml) kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi dipercaya akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup. Diazepam 1) Farmakokinetik Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam (15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus. Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak. Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada cirrhosis hepatis, akan meningkatkan efek samping dari diazepam. 2) Metabolisme Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian. Metabolit ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi. Desmethyldiazepam diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan asam glukoronat.

3) Waktu Paruh Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat enzim sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam, diazepam memiliki waktu paruh yang lebih panjang namun durasi kerjanya lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABA A lebih cepat terpisah. Waktu paruh desmethyldiazepam adalah 48-96 jam. Pada penggunaan lama diazepam dapat terjadi akumulasi metabolit di dalam jaringan dan dibutuhkan waktu lebih dari seminggu untuk mengeliminasi metabolit dari plasma. 4) Efek pada Sistem Organ Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas. Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti dengan injeksi fentanyl 50 g/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan penurunan tekanan darah sistemik. Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml. 5) Penggunaan Klinis Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam. Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang mencegah kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat aktivitas di sistem limbik, terutama di hippokampus.

b. Analgesik Narkotik Opioid Opioid sudah diberikan ratusan tahun untuk menghilangkan kecemasan dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan pembedahan. Opioid adalah istilah yang digunakan untuk obat yang berasal dari opium. Ada beberapa klasifikasi yang tersedia untuk opioid. Opioid dapat diklasifikasikan menjadi opioid alamiah, semi sintetis, dan sintetis. Morfin, kodein, dan papaverin adalah opioid alamiah yang signifikan diklinik yang berasal dari getah tanaman papaver somniferum. Opioid alamiah dapat dibagi menjadi dua kelas secara kimia. Yang mempunyai cincin fenantren (morfn, kodein dan tebain), dan senyawa yang mempunyai cincin benzilisoquinolin yang tidak mempunyai aktifitas opioid (papaverin dan noskapin). Dari semua opioid alamiah hanya morfin yang secara klinis penting untuk anestesi. Opioid semisintetis berasal dari morfin yang mana dilakukan satu dari beberapa perubahan. Misalnya esterfikasi dari satu gugus hidroksil (kodein). Esterfikasi dari kedua gugus hidroksil (heroin). Oksidasi gugus hidroksil alkohol menjadi keton atau penurunan dua ikatan cincin benzen (hidromorfon). Senyawa sintetis opioid terbagi menjadi empat grup: turunan morfin (levorphanol), turunan difenil atau metadon (methadone d-propoxyphene), turunan benzomorfan (fenazosin, pentazosin), dan turunan fenilpiperidin (meperidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan ramifentanil). Meskipun banyak dari opioid sintetis sudah digunakan secara IV untuk analgesi dan anestesi secara eksperimen, turunan fenilpiperidin sekarang ini yang paling dominan digunakan dalam anestesia sebagai tambahan pada anestesi umum dan sebagai obat utama pada anestesi jantung dengan dosis yang sangat besar. Klasifikasikan yang paling tepat adalah: sebagai agonis (morfin, meperidin, alfentanil, fentanil, sufentanil, ramifentanil, kodein, hidromorfone, oksimorfone, oksikodone, hidrokodone, propoksifene, metadone, tramadol, heroin), agonis-antagonis (Pentazosine, butorfanol, nalbufin, buprenorfin, nalorfin, bremazosin, dezosin, meptazinol) , dan antagonis (nalokson, naltrekson, nalmefen). Opioid agonis menghasilkan analgesi melalui ikatannya dengan reseptor spesifik yang terdapat diotak dan medulla spinalis. Reseptor opioid mu () , delta () dan kappa (k). Reseptor opioid termasuk kedalam superfamili reseptor G protein- coupled . Diperkirakan

secara farmakologi fungsi analgesia terdapat pada reseptor (1) dan depresi pernafasan pada reseptor (2), reseptor 3 berhubungan dengan proses immune oleh karena terdistribusi secara signifikan pada astrosit, sel endotelial dan makrofag. FENTANIL Fentanil merupakan opioid sintetik derivat fenilpiperidin, agonis reseptor , 100 kali lebih poten dari morfin sebagai analgetik dan diperkenalkan pertama kali diklinik pada awal tahun 1960 oleh Dr. Paul Jansen. Penggunaan fentanil cukup populer karena waktu untuk mencapai efek analgetik relatif singkat, dengan durasi pendek dan tidak banyak mengganggu kestabilan hemodinamik. Durasi yang singkat pada penggunaan dosis tunggal menggambarkan cepatnya redistribusi ke jaringan inaktif. Kelarutan fentanil yang besar terhadap lemak menyebabkan kekuatan lebih besar dan onset of action yang cepat dibandingkan morfin, yang mana akan memfasilitasi fentanil berjalan melewati blood brain barrier. Fentanil adalah suatu agonis opioid sintetik derivatif-phenylpiperidine yang secara struktural terkait dengan meperidin. Sebagai analgesik, fentanil 75-125 kali lebih kuat dari morfin.Opioid agonis menghasilkan analgesia melalui ikatannya dengan reseptor spesifik yang terdapat di otak dan medula spinalis dan terlibat dalam transmisidan modulasi nyeri. Terdapat beberapa kategori reseptor opioid antara lain reseptor mu (), delta dan kappa. Farmakokinetik Fentanil yang diberikan dosis tunggal intravena memiliki onset yang lebih cepat dan masa kerja obat yang lebih pendek daripada morfin. Meskipun secara klinis fentanil mempunyai onset yang cepat, terdapat perbedaan waktu antara puncak konsentrasi fentanil di plasma dan puncak penurunan gelombang pada EEG. Efek fentanil yang diberikan via darah terhadap otak membutuhkan waktu sekitar 6,4 menit. Potensi yang lebih besar dan onset yang lebih cepat merupakan wujud kelarutan lemak yang lebih besar dari fentanil terhadap morfin, dalam hal fasilitasi hantaran obat melewati barier sawar darah otak. Demikian juga, lama kerja obat yang singkat dari pemberian fenta nil dosis tunggal merefleksikan redistribusi yang cepat pada jaringan tempat obat ini tidak aktif seperti pada jaringan lemak dan otot-otot rangka. Hal ini berhubungan degan penurunan konsentrasi obat di plasma.

Pada paru juga merupakan tempat penyimpanan obat inaktif sekitar 75% dari fentanil yang diberikan sebagai akibat ambilan first pass jaringan paru; Ketika pemberian fentanil intravena secara multiple atau saat pemberian obat melalui infuse kontinyu dapat terjadi penurunan konsentrasi obat inaktif pada jaringan paru. Singkatnya, konsentrasi fentanil di plasma tidak akan menurun dengan cepat dan kerjanya sebagai analgetik sama halnya dengan depresi dari ventilasi yang dapat terjadi lebih lama. Pada operasi bypass jantung dapat menyebabkan efek fentanil yang menurun yang disebabkan oleh hemodilusi, hipotermi dan aliran darah yang tidak fisiologis, serta respon inflamasi sistemik oleh batang otak didaerah nucleus solitaries, nucleus dorsal vagal, nuckleus ambigus, dan nucleus parabrachial, terutama reseptor mu, sehingga bila diberikan agonis akan menyebabkan hipotensi dan bradikardi. Selain itu juga terdapat mekanisme analgesia yang dimiliki oleh daerah ventrolateral periaqueductal gray. Reseptor yang terdapat pada jalur hipotalamus-pituitary-adrenal yang dimodulasi oleh opioid juga berperan pada stess response. Metabolisme Fentanil kebanyakan dimetabolisme oleh N-demethylation yang menghasilkan norfentanil, hidroxyproprionil-fentanil dan hidroxyproprionil-norfentanil. Norfentanil secara struktur sama dengan normoperidin dan prinsip metaboliknya sama pada manusia. Fentanil diekskresikan oleh ginjal dan didapati pada urin dalam waktu 72 jam setelah pemberian fentanil intravena dosis tunggal. Sekitar 10% fentanil yang tidak termetabolisme diekskresikan melalui urin. Fentanil berikatan dengan enzim hati P-450 dan interaksi obat yang terjadi berhubungan dengan aktivitas enzim ini. Waktu Paruh Meskipun masa kerja fentanil singkat, waktu paruhnya lebih lama dari morfin. Waktu paruh yang lebih lama ini menunjukkan volume distribusi fentanil lebih besar. Besarnya volume distribusi ini berhubungan dengan besarnya kelarutannya dalam lemak. Setelah pemberian bolus intravena, fentanil akan terdistribusi dengan cepat dari plasma ke jaringan-jaringan yang kaya akan pembuluh darah, seperti : otak, jantung, dan paru. Lebih dari 80% obat yang masuk ke intravascular akan tinggal di plasma dalam kurang dari 5 menit. Konsentrasi plasma dari fentanil akan dipertahankan oleh ambilan obat dari jaringan inaktif secara perlahan dimana jumlah efek obat yang menetap sesuai dengan perpanjangan waktu paruh. Lamanya waktu paruh pada orangtua berhubungan dengan clearance dari opioid. Hal ini disebabkan oleh volume distribusi obat ini tidak berubah dibandingkan dengan golongan

dewasa muda. Perubahan ini juga menunjukkan factor umur dapat menurunkan aliran darah hepatik, aktivitas enzim mikrosomal ataupun produksi albumin, sementara fentanil berikatan kuat pada protein sekitar 79-87%. Penggunaan Klinis Fentanil secara klinis dapat digunakan dengan rentang dosis yang besar, sebagai contoh pemberian fentanil dosis rendah 1-2 g/kgBB intravena memberi efek analgetik. Fentanil dosis 2-20 g/kgBB intravena dapat menumpulkan respon simpatetik, contohnya pada tindakan laringoskopi untuk intubasi trakea ataupun pada stimulasi akibat pembedahan. Waktu yang dibutuhkan oleh penyuntikan fentanil intravena dan pencegahan berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan saat tercapainya obat ke target organ hingga memberi efek. Penyuntikan fentanil 1,5-3 g/kgBB intravena 5 menit sebelum induksi anestesi akan menurunkan kebutuhan gas inhalasi anestesi serta respon simpatetik akibat stimulasi pembedahan. Pemberian dosis besar fentanil 50-150 g/kgBB intravena dapat digunakan secara tunggal untuk anestesia pembedahan. Keuntungan pemberian dosis besar fentanil bagi anestesi, antara lain : efek depresi miokard, yang langsung lebih sedikit, pengeluaran histamine tidak dijumpai dan stress respon pembedahan dapat ditekan. Kerugian penggunaan fentanil sebagai anestesi tunggal, antara lain : kegagalan pencegahan respons simpatetik terhadap stimulasi pembedahan, khususnya pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang baik kemungkinan pasien bangun dan penurunan fungsi ventilasi paska operatif. Efek Samping Efek samping fentanil menyerupai opioid morfin. Depresi ventilasi yang menetap atau berulang merupakan masalah pascaoperatif yang potensial. Kosentrasi puncak sekunder fentanil di plasma dapat berhubungan dengan sisa fentanil yang ada pada cairan asam lambung (ion trapping). Sisa fentanil akan diabsorbsi sehingga konsentrasi opioid di plasma akan meningkat. Sisa fentanil akan diabsorbsi sehingga konsentrasi opioid di plasma akan meningkat. Perbandingan morfin dengan fentanil pada dosis besar adalah tidak terjadinya pengeluaran histamin. Hipotensi yang diakibatkan oleh dilatasi dari venous capacitanta akibat pemberian morfin tidak terjadi pada pemberian fentanil. Fentanil yang diberikan 10 g/kgBB intravena pada neonates akan menyebabkan terangsangnya refleks baroreseptor di sinus carotid yang dapat secara nyata menurunkan laju jantung. Bradikardi adalah efek fentanil

yang dapat menimbulkan penurunan tekanan darah dan cardiac output. Reaksi alergi sangat jarang terjadi pada pemberian fentanil. Pemberian fentanil pada pasien trauma kepala akan meningkatkan tekanan intracranial 6-9 mmHg dan tidak terdapat perubahan PaCO2. Peningkatan tekanan intracranial biasanya berhubungan dengan penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) serta tekanan perfusi otak (CVP). Peningkatan tekanan intracranial yang dipicu oleh pemakaian opioid dapat mengganggu autoregulasi serebral biasanya akibat terjadinya vasodilatasi. PETIDIN Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.3 Farmakodinamik Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. Farmakokinetik Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.

Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran. Indikasi Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin. Dosis dan sediaan Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB. Efek samping Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. c. Anti Emetik Droperidol Mekanisme kerja Droperidol mengantagonisir aktivasi reseptor dopamin. Sebagai contoh, di sistem saraf pusat, nukleus kaudatus dan zona pemicu kemoreseptor medular terpengaruh droperidol. Droperidol juga mengganggu transmisi yang dimediasi oleh serotonin, norepinefrin, dan GABA. Kerja sentral ini menyebabkan adanya sifat penenang dan antiemetik dari droperidol. Kerja perifer antara lain adalah blokade -adrenergik.3

Farmakokinetik Absorpsi Droperidol merupakan premedikasi yang biasa diberikan secara intravena, walaupunterkadang diberikan secara intramuskular sebagai bagian regimen.3 Distribusi Droperidol memiliki fase distribusi yang cepat (t1/2 = 10 menit), tapi efek sedatif ditunda oleh berat molekul yang relatif tinggi dan ikatan yang ekstensif dengan protein, yang menghambat penetrasi sawar darah-otak. Perpanjangan durasi kerja (3-24 jam) dapat dijelaskan oleh adanya ikatan reseptor yang kuat.3 Biotransformasi Droperidol secara ekstensif dimetabolisir di hati.3 Ekskresi Produk akhir biotransformasi terutama diekskresikan dalam urin.3 Efek pada sistem organ Kardiovaskular Efek penyekatan -adrenergik ringan droperidol mengurangi tekanan darah arteri melalui vasodilatasi perifer. Pasien hipovolemik dapat mengalami penurunan tekanan darah yang berlebihan. Selain itu mempunyai efek antiaritmik. Dalam faktanya, droperidol telah dihubungkan dengan perpanjangan interval QT dan torsades de pointes. Sebelum pemberian droperidol, suatu elektrokardiogram 12-ujung harus direkam. Jika QT terukur lebih dari 440 ms untuk pria atau lebih dari 450 ms untuk wanita, droperidol tidak seharusnya diberikan. Jika interval QT normal dan droperidol diberikan, elektrokardiogram harus dimonitor selama 2-3 jam.Pasien dengan feokromositoma tidak boleh menerima droperidol karena dapat menginduksi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, yang berujung pada hipertensi berat.3 Sistem pernapasan Droperidol, diberikan secara tunggal dan dalam dosis biasa, tidak secara signifikan menurunkan pernapasan dan menstimulir dorongan ventilasi hipoksik.3

Otak Droperidol mengurangi aliran darah otak dan tekanan intrakranial melalui induksi vasokonstriksi serebral. Namuntidak mengurangi konsumsi oksigen otak tidak seperti barbiturat, benzodiazepin, dan etomidate. EEG tidak berubah nyata. Droperidol adalah antiemetik yang poten, namunwaktu bangun yang lambat membatasi penggunaan intraoperatifnya dalam dosis rendah (0.05 mg/kg, hingga maksimum 2.5 mg).Droperidol harus dihindari pada pasien dengan penyakit parkinson, restless leg syndrome, atau mungkin pasien apapun dengan kelainan gerakan neurologis.3 Droperidol kurang disukai sebagai premedikasi, walaupun pasien tampak tenang dan tersedasi seringkali masih cemas dan takut. Penambahan opioid mengurangi insidensi disforia. Droperidol merupakan obat penenang, dan tidak menghasilkan analgesia, amnesia, atau ketidaksadaran pada dosis biasa. Kombinasi fentanil dan droperidol (Innovar) menghasilkan suatu keadaan yang dicirikan oleh analgesia, imobilitas, dan amnesia yang beragam (secara klasik disebut sebagai neuroleptanalgesia). Penambahan NO atau agen hipnotik mengarahkan pada ketidaksadaran dan anestesia umum (neuroleptanalgesia) yang serupa dengan keadaan disosiatif yang disebabkan ketamin.3 Interaksi obat Secara teoretis, droperidol dapat mengantagonisir kerja -adrenergik klonidin dan mempresipitasi rebound hypertension.Droperidol mengurangi efek kardiovaskular ketamin Ondansentrone FARMAKOLOGI :

Ondansetron adalah antagonis reseptor 5HT yang poten dan selektif. Pemberian obat-obat kemoterapi dan radioterapi dapat menyebabkan pelepasan 5HT ke dalam usus halus yang akan merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut afferen vagal lewat reseptor 5HT3. Ondansetron menghambat dimulainya refleks ini. Aktivasi serabut afferen vagaljuga dapat menyebabkan pelepasan 5HT3 dalam area postrema, yang berlokasi di dasar ventrikel keempat, dan ini juga dapat merangsang emesis melalui mekanisme sentral. Karenanya efek Ondansetron dalam penanganan mual dan muntah yang diinduksi oleh kemoterapi dan radioterapi sitotoksik ini disebabkan oleh antagonisme reseptor 5HT3, pada neuron yang

berlokasi di sistem saraf pusat maupun di sistem saraf tepi. Pada percobaan psikomotor, Ondansetron tidak mengganggu kinerja. Ondansetron tidak mengganggu konsentrasi prolaktin dalam plasma.

FARMAKOKINETIK: Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai setelah 1,5 jam pemberian Ondansetron per oral. Bioavailabilitas absolut Ondansetron per oral mencapai 60%. Disposisi Ondansetron setelah pemberian per oral ataupun secara intravena sama dengan waktu paruh eliminasi terminal yang mencapai 3 jam, meskipun dapat diperpanjang sampai 5 jam pada penderita usia lanjut. Obat ini secara ekstensif dimetabolisme dan metabolitnya diekskresikan ke dalam feses dan urin. Ikatan protein plasma mencapai 70-76%. INDIKASI: Untuk penanganan mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi sitotoksik dan radioterapi serta mual dan muntah setelah operasi. KONTRAINDIKASI: Hipersensitivitas terhadap Ondansetron dan komponen lainnya. EFEKSAMPING: Ondansetron dapat meningkatkan waktu transit usus besar dan dapat menyebabkan konstipasi pada beberapa penderita. Efek samping yang biasanya terjadi adalah sakit kepala, sedasi, diare, sensasi kemerahan atau hangat pada kepala dan epigastrum, dan yang jarang terjadi yaitu peningkatan aminotransferase yang asimptomatik. Jarang dilaporkan adanya reaksi hipersensitif yang cepat. Antikolinergik Antikolinergik adalah obat yang memblokade neurotransmitter asetikolin dengan cara inhibisi kompetitif. Obat-obat ini menginhibisi tonus parasimpatis, dengan konsekuensi menurunkan tonus otot polos di saluran cerna, saluran kemih dan sebagainya. Contoh obatobat golongan ini adalah atropin, glikopirolat, difenhidramin, dimenhidrinat, ipratorium bromida. Atropin adalah yang paling banyak digunakan. Selain relaksasi sfingter, atropin menyebabkan dilatasi pupil. Oleh karena itu penggunaan atropin perlu perhatian khusus pada glaukoma sudut sempit, hipertofi prostat dan obstruksi kandung kemih.

Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak. Atropin , memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik disentral maupun disaraf tepi. Kerja obat ini secara umum berlangsung secara 4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata, maka kerjanya bahkan sampai berhari hari. Mekanisme Kerja a) Mata : Atropin menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga menimbulkan midriasis ( dilatasi pupil ), mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya dan siklopegia ( ketidakmampuan memfokus untuk penglihatan dekat ). Pada pasien dengan glaukoma, tekanan intraokular akan meninggi secara mebahayakan. b) Gastrointestinal (GI) : atropin digunakan sebagai obat antispasmodik untuk mengurangi aktifitas saluran cerna. Antropin dan skopolamin mungkin merupakan obat terkuat sebagai penghambat saluran cerna. Walaupun motilitas ( gerakan usus ) dikurangi, tetapi produksi asam hidroklorat tidak jelas dipengaruhi. Oleh karena itu, obat ini tidak efektif untuk mempercepat penyembuhan ulkus peptikum. c) Sistem kemih : atropin digunakan pula untuk mengurangi keadaan hipermotilitas kandung kemih. Obat ini kadang kadang masih dipakai untuk kasus enuresis ( buang air seni tanpa disadari / ngompol ) di antara anak anak, tetapi obat antikolinergik alfa mung kin jauh lebih efektif dengan efek samping yang sedikit. d) Kardiovaskuler : atropin menimbulkan efek divergen pada sistem

kardiovaskuler, tergantung pada dosisnya. Pada dosis rendah, efek yang menonjol adalah peneurunan denyut jantung ( bradikardia ). Pangkalnya mungkin disebabkan oleh aktivasi sentral dari keluaran eferen vagal, tidak banyak data menunjukkan bahwa efek akibat dari penyekatan reseptor M 1 pada

neuron

hambatan

sebelum

sambungan,

yang

berarti

memungkinkan

peningkatan pelepasan asetilkolin. Pada dosis tinggi, reseptor jantung pada nodus SA disekat, dan denyut jantung sedikit bertambah ( takikardia ). Dosis sampai timul efek ini sedikitnya 1mg atropin, yang berarti sudah termasuk dosis tinggi dari pemberian biasanya. Tekanan darah arterial tidak dipengaruhi tetapi pada tingkat toksik, atropin akan mendilatasi pembuluh darah dikulit. e) Sekresi : atropin menyekat kelenjar saliva sehingga timbul efek pengeringan pada lapisan mukosa mulut ( serostomia ). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atropin. Kelenjar keringat dan kelenjar air mata juga terganggu. Hambatan sekresi pada kelenjar keringat menyebabkan suhu tubuh meninggi. Indikasi dan kontraindikasi a) Oftalmik : pada mata, salep mata atropin menyebabkan efek midriatik dan sikloplegik dan memungkinkan untuk pengukuran kelainan refraksi tanpa gangguan oleh kapasitas akomodatif mata. Atau obat adrenergik alfa yang sejenis, lebih baik untuk mendilatasi pupil bila efek siklopegik tidak diperlukan. Demikian pula pada individu berusia 40 tahun atau lebih tua dengan kemampuan untuk mengakomodasi sudah menurun, maka obat obatan tidak begitu penting untuk refraksi yang akurat. Atropin mungkin menimbulkan suatu serangan pada individu yang menderita glaukoma sudut sempit. b) Obat antispasmodik : atropin digunakan sebagai obat antispasmodik untuk melemaskan saluran cerna dan kandung kemih. Dengan dosis umum sekitar 0.25- 1mg sudah memperlihatkan efek obat. c) Antidotum untuk kolinergik : atropin digunakan untuk mengobati kelebihan dosis organofosfat ( yang mengandung insektisida tertentu ) dan beberapa keracunan jenis jamur ( jamur tertentu yang mengandung substansi kolinergik ). Kemampuan obat ini termasuk dalam SSP sangat penting sekali. Atropin menyekat efek asetilkolin yang berlebihan akibat dari hambatan terhadap asetilesterase oleh obat obatan seperti fisostigmin. d) Obat antisekretori : atropin digunakan sebagai obat antispasmodik untuk melemaskan saluran cerna dan kandung kemih.

e) Saluran nafas: pada saluran nafas, obat ini dapat menurunkan sekresi lendir hidung, dan saluran napas. Berfungsi sebaagi bronkodilator. Menjadi pilihan utama untuk kasus anak-anak dan orang lanjut usia.

Farmakokinetik : atropin mudah diserap, sebagian dimetabolisme didalam hepar, dan dibuang dari tubuh terutama melalui air seni. Masa paruhnya sekitar 4 jam. Efek samping : tergantung sekali pada dosis, atropin dapat menyebabkan mulut kering, penglihatan mengabur, mata rasa berpasir ( sandy eyes ) , takikardia, dan konstipasi. Efeknya terhadap SSP termasuk rasa capek, bingung, halusinasi, delirium, yang mungkin berlanjut menjadi depresi, kolaps sirkulasi dan sistem pernafasan dan kematian. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropin dapat menimbulkan midriasis dan sikloplegi dan keadaan ini cukup gawat karena dapat menyebabkan serangan glaukoma berulang setelah menjalani kondisi tenang. Atropine tersedia dalam bentuk atropine sulfat dalam lampul 0.25 mg dan 0.50 mg. dapat diberikan dngan cara subkutan, intramuscular, dan intravena dengan dosis 0,5- 1 mg untuk dewasa atau 0,015 mg/kbbb untuk anak-anak d. Hipnotik Ketamin Ketamin, 2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamino)-cyclohexanonehydro-chloride, suatu

arylcycloalkylamine yang secara struktural berhubungan dengan phencyclidine (PCP) dan cyclohexamine. Ketamin adalah obat yang menghasilkan anestesi disosiasi, yang kemudian ditandai dengan disosiasi diantara talamikortikal dan sistem limbik. Anestesi disosiasi meyerupai kondisi kataleptik dimana mata masih tetap terbuka dan adanya nistagmus yang lambat. Pasien tidak dapat berkomunikasi, meskipun dia tampak sadar. Refleks-refleks masih dipertahankan seperti refleks kornea, refleks batuk dan refleks menelan, namun semua refleks ini tidak boleh dianggap sebagai suatu proteksi terhadap

jalan nafas. Variasi tingkat hipertonus dan gerakan otot rangka tertentu seringkali terjadi dan tidak tergantung dari stimulasi bedah. Ketamin mempunyai efek sedatif dan analgetik yang kuat. Pada dosis subanestesi ketamin menghasilkan efek analgetik yang memuaskan. Mekanisme Aksi Ketamin berikatan secara non kompetitif terhadap tempat terikatnya phencyclidine pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), suatu subtype dari reseptor glutamate, yang berlokasi di saluran ion.Ketamin menghambat aliran ion transmembran. Reseptor NMDA adalah suatu resptor saluran kalsium. Agonis endogen dari reseptor ini adalah neurotransmiter eksitatori seperti asam glutamate, asam aspartat, dan glisin. Pengaktifan dari reseptor mengakibatkan terbukanya saluran ion dan depolarisasi neuron. Reseptor NMDA ini terlibat dalam input sensoris pada level spinal, talamik, limbik, dan kortikal. Ketamin menghambat atau menginterferensi input sensoris ke sentral yang lebih tinggi dari sistem saraf pusat, dimana terdapat respon emosional terhadap stimulus dan pada tempat untuk proses belajar dan memori. Ketamin menghambat pengaktifan dari reseptor NMDA oleh glutamate, mengurangi pelepasan glutamate di presinaps dan meningkatkan efek dari neurotransmiter inhibisi GABA. Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor mu, delta, dan kappa opioid. Efek analgesi ketamin mungkin disebabkan oleh pengaktifan reseptor ini di sentral dan spinal.Beberapa efek ketamin dapat disebabkan karena kerjanya pada sistem katekolamin, dengan meningkatkan aktivitas dopamin. Efek dopaminergik ini mungkin berhubungan dengan efek euphoria, adiksi dan psikomimetik dari ketamin. Kerja dari ketamin ini juga disebabkan oleh efek agonis pada reseptor adrenergik a dan , efek antagonis pada reseptor muskarinik di sistem saraf pusat, efek agonis pada reseptor Farmakokinetik Absorpsi Ketamin dapat diberikan melalui oral, rectal, intranasal, intramuscular, ataupun intravena. Untuk operasi dan dan manajemen nyeri paska bedah ketamin dapat diberikan secara intratekal dan epidural. Konsentrasi puncak biasanya dicapai dalam waktu 1 menit setelah penyuntikan intravena dan dalam lima menit setelah penyuntikan intramuscular. Distribusi

Ketamin tidak secara signifikan berikatan dengan plasma protein dan meninggalkan plasma darah secara cepat dan terdistribusi ke jaringan. Awalnya, ketamin didistribusikan kepada daerah yang high perfusion seperti otak, dimana konsentrasi puncak mencapai 4-5 kali daripada di plasma. Kelarutan ketamin yang tinggi dalam lemak menjadikannya cepat berpindah melewati sawar darah otak. Lebih lanjut lagi ketamin menginduce peningkatan aliran darah otak dan kardiak output, dan juga cepat masa kerjanya sehubungan dengan redistribusi obat dari daerah yang high perfusion ke kompartemen lain yang low perfusion. Metabolisme Ketamin dimetabolisme di hepar menjadi beberapa metabolit, beberapa diantaranya norketamin yang dapat memperpanjang masa kerja ketamin (sebagai analgesik), terutama pada pemberian secara kontinyu intravena ataupun dosis berulang. Ketamin dimetabolisme oleh enzim sitokrom P-450 yang menghasilkan norketamin. Norketamin akhirnya dihidroksilasi dan berkonjugasi untuk membentuk ikatan yang lebih larut air dan menghasilkan metabolit glukoronida yang inaktif dan dikresikan melalui ginjal. Ambilan ketamin yang besar di hepar dan dimetabolisme di sana menjelaskan waktu paruh yang singkat pada ketamin (sekitar 2 jam). Ekskresi Setelah pemberian intravena, kurang dari 4% dosis ketamin yang diberikan dapat dikeluarkan dari urine dalam bentuk utuh. Ekskresi melalui feses sekitar 5% dari dosis yang diberikan. Farmakodinamik Susunan Saraf Pusat Ketamin menghasilkan stadium anetesi yang disebut anestesi disosiasi. Karakteristik pada EEG ditandai dengann disosiasi antara thalamokortikal dan sitem limbik. Disosiatif anestesi menghasilkan status kataleptikus dimana mata tetap terbuka dengan lambat dan nistagmus. Ketamin menyebabkan reaksi psikis yaitu emergence reaction. Manifestasi dari reaksi ini bervariasi tingkat keparahannya, berupa mimpi buruk, perasaan melayang, ilusi yang bisa tampak dalam bentuk hysteria, bingung, euphoria, dan rasa takut. Mimpi dan halusinasi ini dapat terjadi sampai 24 jam setelah pemberian. Mekanisme delirium

emergence kemungkinan terjadi sebagai sekunder dari ketamin meng-induce depresi terhadap kolikulus inferior dan nucleus medial genikulat yang menyebabkan misinterpretasi dari rangsang suara dan visual. Insidennya adalah 5-30% pada orang dewasa pada pemberian ketamin sebagai obat tunggal anestesi. Faktor yang mempengaruhi adalah umur, dosis, jenis kelamin, dan status psikis. Wanita dan pemimpi lebih mudah mengalaminya. Golongan benzodiazepin terbukti paling efektif dalam mencegah emergence reaction ini, dengan midazolam lebih efektif dari diazepam. Sistem Kardiovaskular Berbeda dengan agen anestetik lainnya, ketamin meningkatkan tekanan darah, laju jantung, dan kardiak output. Hal ini tidak terjadi secara langsung pada kardiovaskular melainkan karena stimulasi sentral terhadap sistem saraf simpatis dan inhibisi reuptake terhadap norepinefrin. Bersamaan dengan perubahan ini adalah peningkatan tekanan arteri pulmonal dan kerja miokard. Untuk itulah ketamin harus dihindari pada pasien dengan penyakit jantung koroner, hipertensi tak terkontrol, penyakit jantung kongestif, dan aneurisma arteri. Efek dosis besar ketamin berakibat depresi langsung terhadap miokard mungkin disebabkan karena inhibisi sementara kalsium tidak tertutupi, mungkin karena simpatis blockade atau exhaustion dari pelepasan katekolamin. Disisi lain, efek stimulasi tidak langsung ketamin sering menguntungkan pada pasien dengan akut syok hipovolemik. Respirasi Mekanisme ventilasi biasanya minimal dipengaruhi oleh dosis induksi ketamin, meskipun begitu penyuntikan bolus intravena yang cepat ataupun pretereatment dengan opioid sebelumnya walaupun jarang dapat menyebabkan apnu. Ketamin adalah bronkodilator poten, menjadikannya agen anestetik pada pasien asma. Meskipun refleks jalan nafas atas sebagaian besar tetap ada, pasien dengan peningkatan resiko aspirasi pneumonia tetap harus diintubasi. Peningkatan produksi air ludah sehubungan dengan ketamin dapat dihindari dengan pemberian premedikasi dengan antikolinergik. Interaksi Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dipotensiasi oleh ketamin. Durasi henti nafas setelah pemberian suksinil kolin dapat memanjang, kemungkinan karena inhibisi aktivitas plasma

kolinesterase oleh ketamin. Kejang dilaporkan terjadi pasien asma setelah pemberian aminofilin diikuti pemberian ketamin. Kontraindikasi Ketamin dikontraindikasikan pada keadaan-keadaan seperti pasien dengan peningkatan tekanan intracranial, operasi mata, ataupun pasien yang diduga cenderung mengalami delirium paska operasi atau riwayat ganguan psikiatri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Prakis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002. 2. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, editors. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 1989. 3. Mangku G, Gde agung S Tjokorda. Ilmi anestesi dan Renimasi. Jakarta:PT Macan Jaya Cemerlang. 2010. Halaman 24-36 4. Goodman & Gillman (2007). Dasar Farmakologi dan Terapi ed. 10. Jakarta: EGC.
5. Ganiswara, Sulistia G. (et.al). 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Bagian

Farmakologi

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Indonesia.

You might also like