You are on page 1of 12

UJI DIAGNOSTIK PENGUKURAN GLUKOSA VENA DAN KAPILER DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UNTUK PENGKAJIAN MASALAH GIZI

KARBOHIDRAT DALAM PROSES ASUHAN GIZI KLINIK


DIAGNOSTIC TEST OF VENA AND CAPILLARY GLUCOSE MEASUREMENT AND FAKTOR AFFECTING THE CARBOHIDRATE METABOLISM DISORDER
Nusrah Ningsih1 Satriono2, Suryani A. Armin, 3, 1 RSUP.dr. Wahidin SudiroHusodo Makassar, 2, 3 Fakultas Kedokteran UNHAS Makassar ABSTRACT The aim of the study was to discover the comparison between vena blood glucose and capillary blood glucose and factors affecting the carbohydrate metabolism disorder. The number of samples was 134 people who came as outpatients at the hospital selected by nonrandom sampling. The analysis used in the study was sensitivity and specificity with vena blood ad golden standard. The results of the study indicate that the subject who have normal vena and capillary blood glucose are 50%and 20,1% respectively. The correlation value of vena and capillary blood glucose is 89,9% (p = 0,000). The result of the analysis indicate that the new device has sensitivity and specificity 0,985 and 0,388 respectively at the glucose threshold level of blood glucose according to golden standard < 110 mg/dl. There are three significant correlation between vena blood glucose and capillary blood glucose in which each increase of 1 capillary unit will cause an increase 1,063 vena units. The cross point at the capillary device is104,5 with sensitivity 0,806 and specificity 1- 0,075. Several Factors affecting the carbohydrate metabolism are gender, age, other disease, family history with the value of significance 0,079, 0,049,0,032, and 0,003. Whereas the contraceptive pills, diet pattern, and nutritional status have no effect on the incidence of carbohydrate metabolism with the values of significance 0,105, 0,179,and 0,177 respectively. Key Word Reference : Glucose, Vena, Capillary, Sensitivity and specificity : 37 (1992-2008 ) Sebelum ditemukan tes glukosa darah kapiler, pengukuran glukosa darah digunakan dengan mengambil sampel dari vena, Hingga saat ini pengukuran glukosa darah vena masih dianggap sebagai standar baku emas/ gold standard untuk mengukur kadar glukosa darah. Namun sekarang orang lebih memilih pengukuran glukosa darah yang sampelnya berasal dari kapiler dengan alasan karena berbagai macam kelebihan yang dimiliki test glukosa darah kapiler ini seperti alatnya praktis, murah dan mudah dibawa kemana-mana, cepat memberikan hasil, kenyamanan pasien, serta bisa digunakan sendiri oleh pasien untuk mengontrol glukosa darahnya di rumah, Pada penelitian ini, kami membandingkan hasil

PENDAHULUAN Glukosa merupakan suatu monosakarida aldoheksosa yang terdapat dalam tubuh manusia dan makhluk hidup lainnya. Ini merupakan produk akhir metabolisme karbohidrat yang dilepas ke dalam darah dan menjadi sumber energi utama makhluk hidup. Karena perannya sebagai energi utama, glukosa kemudian ditranspor ke dalam sel untuk menghasilkan energi. Proses pembentukan energi ini terjadi dalam mitokondria dengan membutuhkan oksigen sebagai bahan bakarnya untuk menghasilkan ATP sebagai energi untuk setiap kegiatan sel. Glukosa darah ini dipengaruhi oleh faktor status gizi, genetik, umur dan penyakit (Nuringtyas, 2000).

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

pengukuran kadar glukosa darah dengan cara vena dan kapiler dan menganalisis faktor yang mempengaruhi untuk pengkajian masalah gizi karbohidrat. Penelitian yang dilakukan oleh Bilen Habib (2007) untuk mengevaluasi penggunaan glukometer dibandingkan dengan alat yang digunakan di laboratorium dengan mengukur glukosa darah puasa pada pasien Diabetes Melitus tipe II didapatkan hasil tidak ada perbedaan antara kedua metode pengukuran tersebut (p>0,05). Penelitian yang dilakukan oleh Carstensen B (WHO,2008) yang membandingkan glukosa darah dan jenis specimen lain dengan mengambil sampel darah dari 74 subjek untuk dianalisis menggunakan plasma vena, serum dan darah kapiler didapatkan hasil pengukuran dasar yang menggunakan darah kapiler mempunyai variasi yang luas dibandingkan dengan metode lain. Pengkuran darah vena memberikan hasil 0,5 mmol/L lebih rendah dibandingkan dengan metode yang lain. Sebelum ditemukan tes glukosa darah kapiler, pengukuran glukosa darah digunakan dengan mengambil sampel dari vena, Hingga saat ini pengukuran glukosa darah vena masih dianggap sebagai standar baku emas/ gold standard untuk mengukur kadar glukosa darah. Namun sekarang orang lebih memilih pengukuran glukosa darah yang sampelnya berasal dari kapiler dengan alasan karena berbagai macam kelebihan yang dimiliki test glukosa darah kapiler ini seperti alatnya praktis, murah dan mudah dibawa kemana-mana, cepat memberikan hasil, kenyamanan pasien, serta bisa digunakan sendiri oleh pasien untuk mengontrol glukosa darahnya di rumah, Pada penelitian ini, kami membandingkan hasil pengukuran kadar glukosa darah dengan cara vena dan kapiler dan menganalisis faktor yang mempengaruhi untuk pengkajian masalah gizi karbohidrat. METODE PENELITIAN a. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah studi analisis dengan pendekatan cross sectional dan retrospektif untuk melihat korelasi glukosa darah vena dan pengukuran glukosa darah kapiler. Data-data variabel independen dan dependen akan di kumpulkan dalam waktu yang bersamaan.

Analisis faktor gen dan lingkungan yang mempengaruhi gangguan metabolisme karbohidrat pada seseorang. b. Waktu dan Lokasi Penelitan Penelitian ini akan di laksanakan pada bulan Juli 2008 di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar c. Populasi dan sampel Populasi adalah semua pasien rawat jalan yang ada di rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sampel adalah pasien rawat jalan yang memeriksakan gula darah di laboratorium Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. d. Teknik dan Analisa Data Data yang diperoleh diolah dan di analisis dengan menggunakan program SPSS versi 11,5 for Windows. Pada tahap ini dilakukan dengan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variable dependen dan independen. Jenis uji statistik yang di gunakan pada penelitian ini yaitu korelasi Spearman untuk melihat hubungan linear antara pengukuran glukosa darah vena dan pengukuran glukosa darah kapiler, jika korelasi antara pengukuran glukosa darah vena dan pengukuran darah kapiler mempunyai hubungan sangat erat, maka nilai koefisien (r) mendekati nilai -1 atau +1 dan bila tidak ada hubungan akan mendekati nilai 0 (nol) Untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah menggunakan uji Kai-Kuadrat e. Kontrol Kualitas Kontrol kualitas merupakan upaya control terhadap keseluruhan aspek operasional penelitian mulai tahap penentuan tenaga lapangan sampai dengan tahap manajemen data. Langkah yang akan dilakukan untuk mencapai hasil tersebut adalah pemeriksaan pengukuran glukosa baik melalui vena dan kapiler. Sedangkan untuk control kualitas pengambilan glukosa darah kapiler, langkah yang akan dilakukan untuk mencapai hasil tersebut adalah : a). Melakukan penimbangan berat badan sebanyak 10 X pada orang yang sama dengan 2 orang peneliti berbeda. Intra observer Coefficient of Variation = 0,092 dan inter observer Coeffisien of Variation = 0,090 b). Melakukan pengukuran tinggi badan sebanyak 10 X pada orang sama dengan 2

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

orang peneliti berbeda. Intra observer coeffisient of varian = 0,21 dan inter observer coeffisien of variation = 0,19 c). Melakukan pengambilan darah sebanyak 10 X pada orang yang sama dengan 2 peneliti berbeda. Intra observer coeffisient of variation 7,09 dan inter observer coeffisient of variation = 6,79 Populasi dan sampel Populasi adalah semua pasien rawat jalan yang ada di rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sampel adalah pasien rawat jalan yang memeriksakan gula darah di laboratorium Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. f.

b. Kriteria Eksklusi
Menolak untuk diwawancarai Menolak untuk diambil darah vena dan kapiler Besar Sampel n1 = z 2 (0,75 x 0,25)/0,102 = 1,962 x 0,75 x 0,25/0,01 = 72 n2 = z 2 (0,80 x 0,20)/0,102 = 1,962 x 0,80 x 0,20/0,01 = 62 Dengan demikian diperlukan sejumlah (72 + 62) = 134 pasien Keterangan : Sensitivitas uji diagnostik yang digunakan adalah 75% Spesifisitas uji diagnostik yang digunakan adalah 80% Penyimpangan 10% Interval kepercayaan yang dikehendaki adalah 95% (=0,05) Proses Pengumpulan Data 1. Data primer Data primer di peroleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan data hasil pengukuran kadar glukosa darah vena dan kapiler diperoleh melalui hasil pengukuran darah di laboratorum. 2. Data Sekunder Data sekunder meliputi gambaran umum Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo dan laboratoriu diperoleh langsung dari institusi tempat penelitian. 1. 2.

a. Kriteria Inklusi 1. Semua penderita yang datang berobat rawat jalan dan memeriksakan gula darah di laboratorium Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar 2. Penderita yang datang berobat rawat jalan dan memerksakan gula darah di laboratorium Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan yang bersedia diwawancarai. TABEL 1 Distribusi Responden menurut Karakteristik Variabel Penelitian di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, 2008
Variabel Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir Karakteristik Laki-laki Perempuan Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI SMP/MTS/Sederajat MA/SMU/SMK/Sederajat Diploma/DIII/DIV Universitas/S1/S2/S3 Petani Buruh Harian Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta Ibu Rumah Tangga Lainnya Risiko Tidak Berisiko Laki-laki Perempuan Peny. Jantung Peny.Ginjal Hipertensi Peny.Lainnya Tidak Ada Baik Kurang n.

% 46.3 53.7 0.7 9.7 9.0 37.3 11.2 32.1 0.7 2.2 33.6 0.7 3.7 23.1 35.8 98.5 1.5 46.3 53.7 25.4 3.0 27.6 4.5 39.6 20.1 79.9

Pekerjaan

Risiko Usia Jenis Kelamin Penyakit lain yang diderita

62 72 1 13 12 50 15 43 1 3 45 1 5 31 48 132 2 62 72 34 4 37 6 53 27 107

Pola Makan

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

Jumlah Sumber : Data Primer, 2008

134

100.0

Korelasi Gula Darah Vena glukosa Darah Kapiler Puasa

Puasa

dan

a. Karakteristik Gula Darah Vena Puasa dan Gula Darah Kapiler Puasa Salah satu ciri yang dapat dijadikan prediktor gangguan metabolisme karbohidrat adalah kadar glukosa darah baik glukosa darah TABEL 2 Distribusi Responden menurut Glukosa Darah Vena Puasa dan Glukosa Darah Kapiler Puasa Jenis Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah n.

kapiler maupun glukosa darah vena. Hasil penelitian ini diketahui bahwa glukosa darah kapiler umumnya abnormal sebanyak 107 orang (79.8%) dan menurut glukosa darah vena normal 67 orang (50%).

Gula Darah Kapiler Gula Darah Vena

Normal Abnormal Normal Abnormal Jumlah

27 107 67 67 134

20.1 79.9 50.0 50.0 100

Sumber: Data Primer, 2008

a. Uji Korelasi Gula Darah Vena Puasa dan Gula Darah Kapiler Puasa TABEL 3 Hasil Analisis Uji Korelasi Spearman Gula Darah Vena Puasa dengan Gula Darah Kapiler Puasa Variabel Nilai Korelasi Signifikansi (p) Gula Darah Kapiler N
Sumber: Data Primer, 2008

0.899 134 b.

0.000

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ada korelasi postif antara gula darah kapiler puasa dengan gula darah vena puasa dengan nilai korelasi sebesar r = 0,899 atau 89,9%. Hal ini juga berarti bahwa peluang hasil pengukuran yang tidak konsisten antara keduanya sebesar 10,1%. Tidak konsistensi ini sebesar 10,1% membuktikan bahwa untuk melakukan pengukuran secara akurat sebaiknya memakai sampel darah pada lokasi yang secara teoritis lebih repsentatif yaitu pada darah vena. Jika sampel darah kapiler yang kemudian dipilih maka dengan alat yang baik sekalipun peluang kesalahan masih ditemukan sebesar 10,1%.

Uji Sensitivitas dan Spesifisitas Gula Darah Vena dan Gula Darah Kapiler Puasa antara Metode (A) dan Metode (B)

Telah disebutkan diatas bahwa penentuan standar emas untuk jenis sampel darah yang diambil perlu memperhatikan konsep teoritis yang diakui secara ilmiah representative. Uji sensitivitas (se) dan spesifisitas (sp) perlu dilakukan khususnya terhadap alat uji diagnostic baru (B) terhadap sebuah alat uji standar emas (A).

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

TABEL 4 Hasil Analisis Sensitivitas dan Spesifisitas Gula Darah Vena Puasa dengan Gula Darah Kapiler Puasa
Standar Emas Normal Ab Normal Uji Sensitivitas dan Spesifisitas Hasil Baru Pengukuran Total %

Abnormal Normal

66 1 67

98,5 1,5 100

41 26 67

61,2 38,8 100

107 27 134

79,8 20,2 100

Total
Sumber: Data Primer, 2008

Berdasarkan distribusi hasil pengukuran kedua gula darah diatas maka dapat dihitung sensitivitas metode (B) adalah 66/67 = 0.985 sedangkan spesifisitasnya adalah 26/67 =0,388. Hal ini berarti bahwa metode B mampu mendeteksi secara positif sebesar 98,5% sama hasilnya dengan metode pada standar emas. Sensitivitas metode B cenderung untuk memiliki negative palsu yang lebih tinggi. Negatif palsu adalah kondisi dimana metode B menetapkan setiap individu dalam kelompok yang abnormal tetapi sebenarnya yang bersangkungan normal menurut standar emas. Spesifisitas metode B adalah 38,8% terhadap hasil yang didapatkan pada standar emas. Artinya metode B memiliki nilai Positif Palsu yang rendah. Positif palsu adalah kondisi dimana menurut metode B menyatakan yang bersangkutan normal tetapi menurut standar emas abnormalNilai penduga positif metode B sebesar 66/107= 0.616 sedangkan nilai penduga negative sebesar 26/27 = 0,962. Berdasarkan hasil ini maka maka nilai penduga positif metode B yang merupakan peluang bahwa seseorang yang menurut metode B dikategorikan normal benar benar akan dikategorikan normal menurut standar emas. Peluang ini sebesar 61,6%. Hasil ini harus dibandingkan dengan nilai penduga negative dari metode B yang merupakan peluang bahwa seseorang menurut metode B abnormal benar benar akan dikategorikan abnormal menurut standar emas. Peluang ini sebesar 96,2%. Hasil penduga positif metode B cukup baik dan juga penduga negatifnya baik sehingga metode ini

akurat untuk digunakan dalam uji diagnostik. Kelebihan metode B terletak pada kemampuannya yang baik untuk uji diagnostic pada individu yang secara factual abnormal dan ternyata memang di diagnosis abnormal. 3. Analisis Bivariat Hubungan antara Glukosa Darah Vena dan Glukosa Darah Kapiler Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pengukuran glukosa darah vena dan glukosa darah kapiler . Pengambilan sampelnya dilakukan pada keadaan glukosa darah puasa. Glukosa darah puasa adalah keadaan kadar glukosa darah responden setelah berpuasa selama 10 jam dan keadaan ini menggambarkan keadaan glukosa darah basal yang ada di dalam darah responden. Berdasarkan hasil penelitian, kemudian diuji secara statistik dengan menggunakan spearman untuk melihat korelasi hubungan glukosa darah vena dan glukosa darah kapilernya didapatkan p value=0,00 yang berarti lebih kecil dari nilai = 0,05. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara glukosa darah vena dan glukosa darah kapiler. Hasil uji statistik juga diperoleh nilai koefisien korelasinya atau r = 0,97, yang berarti korelasi antara glukosa darah vena dan glukosa darah kapiler berada pada hubungan yang kuat. Menurut Colton, kekuatan hubungan dua variabel secara kualitatif dapat di bagi 4 area yaitu:

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

r = 0,00- 0,25 tidak ada hubungan/hubungan lemah r = 0,26 - 0,50 hubungan sedang r = 0,51 - 0,75 hubungan kuat r = 0,76-1,00 hubungan sangat kuat/sempurna Hasil uji statistik dengan menggunakan uji regresi linear memperlihatkan nilai koefisien determinasinya atau R2 = 0,95 yang artinya persamaan regresi yang diperoleh dapat menerangkan 95% variasi glukosa darah vena TABEL 5 Korelasi dan Regresi Glukosa Darah Vena dan Glukosa DarahKapiler P Persamaan Valu Variabel r R2 Garis e Vena = Glukosa 0, -5,81 + Darah 0,95 0,00 97 1,06 Kapiler *Kapiler

atau persamaan garis yang diperoleh baik untuk menjelaskan glukosa darah vena.Uji regresi linear, diperoleh nilai konstanta sebesar -5,816 dan b sebesar 1,064 sehingga persamaan regresinya : Y = a + bX, dimana Y = Glukosa darah vena dan X = Glukosa darah kapiler, sehingga persamaan garisnya dapat dilihat pada tabel berikut: vena dengan glukosa darah kapiler, dimana setiap kenaikan 1 satuan kapiler akan menyebabkan peningkatan 1,063 satuan vena. 4.

Tititk potong (Cut off Point) Titik potong atau cut off point adalah nilai batas antara normal dan abnormal, atau nilai batas hasil uji positif dan hasil uji negatif pada alat pemeriksaan gula darah kapiler yang digunakan. Pada penelitian ini kita menetapkan cut off point atau titik potong Sumber : Data Primer 2008 sebesar 104,5 karena pada posisi ini sensitivitas dan spesitifitas bekerja dengan Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa ada baik. hubungan yang bermakna antara glukosa darah TABEL 7 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Metabolisme Karbohidrat
Variabel Penelitian Jenis Kelamin Laki Perempuan Usia Berisiko Tidak berisiko Penyakit Lain Ada Tidak Ada Riwayat Keluarga Ada Tidak Ada Pil KBn Ada Tidak Ada 9 21 33.3 19.6 18 86 66.7 80.4 27 107 100 100 0.105 6 24 10.3 31.6 52 52 89.7 68.4 58 76 100 100 0.003* 13 17 16.3 31.5 67 37 83.8 68.5 80 54 100 100 0.032* 28 2 21.2 100 104 0 78.8 0 132 2 100 100 0.049* 10 20 16.1 28.7 52 52 83.9 72.2 62 72 100 100 0.079* Gangguan Metabolisme Ya Tidak n. % n. % Jumlah n. % P Value

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

Pola Makan (Food Frequensi) Cukup Kurang Pola Makan (food Recall) Baik Kurang Status Gizi Obesitas Lebih Normal Kurang Total Sumber : Data Primer, 2008 7 15 7 1 30 13.2 26.3 35 1 22.7 46 42 13 3 104 86.8 73.7 65 75 77.6 53 57 20 4 134 100 100 100 100 100 0.177 19 11 19.8 28.9 77 27 80.2 71.2 96 38 100 100 0.179 10 20 33.3 66.7 50 54 48.1 51.9 60 74 100 100 0.153

A. Pembahasan 1. Koralasi Pengukuran Gula Darah Vena dengan Gula Darah Kapiler Hingga saat ini Ada dua jenis pengukuran untuk mengetahui kadar glukosa darah yaitu dengan mengukur sampel darah dari kapiler dan sampel darah dari vena. Secara historis pada pengambilan sampel darah vena, nilai glukosa darah mencakup keseluruhan darah, tetapi kebanyakan laboratorium sekarang mengukur level glukosa serum. Sel darah merah (eritrosit) memiliki konsentrasi protein (yaitu hemoglobin) yang lebih tinggi daripada serum, serum memiliki kandungan air yang lebih tinggi dan akibatnya glukosanya lebih larut dari pada darah yang lain. Meskipun demikian pada diabetesi dan toleransi glukosa didiagnosis dengan mengukur glukosa dalam darah. sebagai darah plasma atau darah kapiler dan kriteria diagnostiknya sering menyediakan perkiraan yang sama dari dua metode ini (Colagiuri. S dkk, 2003). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa ada korelasi positif antara gula darah kapiler puasa dengan gula darah vena puasa dengan nilai korelasi sebesar r = 0,97 atau 97%. Korelasi ini cukup kuat dengan nilai positif atau berjalan searah. Jika gula darah kapiler naik maka gula darah vena juga naik, meskipun nilai nyata keduanya tidak selalu sama. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan peluang hasil pengukuran yang tidak konsisten antara keduanya sebesar 10,1%. Tidak konsistensi ini sebesar 10,1% membuktikan bahwa untuk melakukan

pengukuran secara akurat sebaiknya memakai sampel darah pada lokasi yang secara teoritis lebih repsentatif yaitu pada darah vena. Jika sampel darah kapiler yang kemudian dipilih maka dengan alat yang baik sekalipun peluang kesalahan masih ditemukan sebesar 10,1%. Demikian juga penting dijelaskan bahwa pengambilan sampel darah pada lokasi kapiler atau vena akan memberikan nilai rerata yang berbeda secara statistic. Hal ini berarti bahwa lokasi pengambilan sampel darah sudah memberikan hasil yang berbeda, sehingga dianjurkan pengambilan sampel darah dilakukan pada lokasi yang ideal dan memang menggambarkkan kondisi nyata pada individu. Perhatian berikutnya setelah ditetapkan lokasi pengambilan sampel darah yang paling ideal adalah pemilihan metode yang dianggap paling efisien dan efektif. Penelitian ini juga membedakan dua jenis metode pengukuran gula darah dengan darah vena sebagai standar emas. Hasil pengukuran kedua gula darah diatas maka dapat dihitung sensitivitas metode (B) adalah 66/67 = 0.985 sedangkan spesifisitasnya adalah 26/67 =0,388. Hal ini berarti bahwa metode B hanya mampu mendeteksi secara positif sebesar 98,5% sama hasilnya dengan metode pada standar emas.

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

Sensitivitas metode B cenderung untuk memiliki negative palsu yang lebih tinggi. Negatif palsu adalah kondisi dimana metode B menetapkan setiap individu dalam kelompok yang abnormal tetapi sebenarnya yang bersangkungan normal menurut standar emas. Spesifisitas metode B adalah 38,8% terhadap hasil yang didapatkan pada standar emas. Artinya metode B memiliki nilai Positif Palsu yang rendah. Positif palsu adalah kondisi dimana menurut metode B menyatakan yang bersangkutan normal tetapi menurut standar emas abnormal Nilai penduga positif metode B sebesar 66/107=0,616 sedangkan nilai penduga negative sebesar 26/27 = 0,962. Berdasarkan hasil ini maka maka nilai penduga positif metode B yang merupakan peluang bahwa seseorang yang menurut metode B dikategorikan normal benar benar akan dikategorikan normal menurut standar emes. Peluang ini sebesar 61,6%. Hasil ini harus dibandingkan dengan nilai penduga negative dari metode B yang merupakan peluang bahwa seseorang menurut metode B abnormal benar benar akan dikategorikan abnormal menurut standar emas. Peluang ini sebesar 96,2%. Hasil penduga positif metode B cukup baik dan juga penduga negatifnya baik sehingga metode ini akurat untuk digunakan dalam uji diagnostik. Kelebihan metode B terletak pada kemampuannya yang baik untuk uji diagnostic pada individu yang secara factual abnormal dan ternyata memang di diagnosis abnormal. Hal ini dapat terjadi Karena gula darah kapiler selalu lebih rendah dari gula darah vena. Pasien yang mengalami gangguan metabolisme karbohidrat akan memiliki kenaikan gula darah di atas batas normal khususnya pada darah vena. 2. Analisis Bivariat Berdasarkan hasil analisis sensitivitas dan spesifisitas, maka dalam penelitian ini ditetapkan batas normal gula darah kapiler sebesar < 90 mg/dl. Pada posisi ini nilai sensitivitas alat ini sebesar 0.794 sedangkan 1- spesifisitas = 0,076 atau sensitivitasnya 0.97 (97%). Hal ini memiliki kelemahan karena pada kenyataannya gula darah vena selalu lebih tinggi daripada gula darah kapiler. Idealnya gula darah kapiler harus menetapkan cut of point lebih tinggi dibandingkan cut of point gula darah vena. Berdasarkan hasil

analisis COR cut of point paling ideal untuk gula darah kapiler adalah 104,5 mg/dl. Pada posisi ini nilai sensitivitasnya adalah 0.806 (80,6%) sedangkan nilai 1spesifitas = 0.075 atau nilai positif palsu sebesar 7.5%. Positif palsu adalah kondisi yang didiagnosa normal pada uji diagnostic ini, yang sebenarnya menurut standar emas negative. 3. Perbedaan Nilai Gula Darah Vena dengan Gula Darah Kapiler menurut Riwayat Riwayat penyakit Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa rerata gula darah vena puasa pada orang yang memiliki iwayat penyakit adalah 147.2974.04 mg/dl sedangkan pada orang yang tidak memiliki riwayat penyakit adalah 121.5347.69 mg/dl. Kedua hasil pengukuran ini berbeda secara nyata dengan nilai p=0.016. Artinya peluang orang yang memiliki nilai gula darah vena puasa sama antara yang meiliki rwayat Riwayat penyakit dan yang tidak memiliki riwayat t penyakit sangat kecil atau berada pada wilayah penolakan hipotesis null. Hasil yang sama juga ditemukan jika digunakan gula darah kapiler dimana rerata gula darah kapiler puasa pada orang yang memiliki Riwayat penyakit adalah 146.1268.13 mg/dl sedangkan pada orang yang tidak memiliki Riwayat penyakit adalah 118.0842.71 mg/dl. Kedua hasil pengukuran ini berbeda secara nyata dengan nilai p=0.004. Artinya peluang orang yang memiliki nilai gula darah kapiler puasa sama antara yang memiliki rwayat penyakit dan yang tidak memiliki riwayat penyakit sangat kecil (0.004) atau berada pada wilayah penolakan hipotesis null. Hasil ini membuktikan bahwa baik darah vena puasa maupun kapiler puasa keduanya dapat digunakan untuk mengetahui gangguan metabolisme karbohidrat pada individu yang memiliki riwayat Riwayat penyakit maupun tidak memiliki riwayat penyakit. Jika keduanya mampu mendeteksi gangguan metabolisme karbihidrat maka pertimbangan berikutnya adalah terkait efisiensi biaya dan waktu untuk melakukan uji diagnostik. Hal ini juga telah dijelaskan pada bagian awal bahwa

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

darah vena memang sebagai standar emas akan tetapi darah kapiler juga memiliki korelasi kuat dengan darah vena sehingga tetap dapat digunakan untuk kepentingan screening. Penjelasan ini juga telah dikemukakan oleh tim dari The American Diabetic Association (ADA), memberikan suatu statement bahwa penanganan modern dari pasien rumah sakit dengan diabetes sering ditingkatkan oleh penentuan glukosa darah kapiler. Pada sisi alat ketersediaan yang cepat dan hasilnya bisa meningkatkan penanganan pasien dan bisa memperpendek waktu tinggal di rumah sakit, meskipun kemudian tidak perna lagi didokumentasikan pada penelitian klinis yang terkontrol (Lewandrowski dkk, 2002) Tes glukosa darah kapiler, sebagai suatu cara untuk pasien diabetes untuk memonitor nilai glukosa mereka dan untuk terapi langsung. Dengan perkembangan teknologi pemantauan glukosa kapiler secara luas dapat diimplementasikan pada ruangan dokter dan rumah sakit, tes glukosa darah kapiler menggunakan alat point of care telah digunakan secara luas untuk skrining kesehatan masyarakat. Biaya yang murah dapat menfasilitasi strategi monitoring yang intensif dan membiarkan pasien untuk terlibat secara aktif dalam penanganan penyakitnya. Pertimbangan ini penting dalam setiap tindakan pengobatan dan pengendalian glukosa darah secara partisipatif oleh pasien. 4. Faktor yang mempengaruhi Gangguan Metabolisme Karbohidrat Banyak faktor yang mempengaruhi gangguan metabolisme karbohidrat. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa faktor yang memperngaruhi gangguan metabolisme karbohidrat adalah jenis kelamin, usia, penyakit lain, dan riwayat keluarga dengan nilai sugnifikansi masing masing 0.079, 0.049, 0.032, dan 0.003. Sedangkan Pil KBn, pola makan dan status gizi tidak mempengaruhi kejadi gangguan metabolisme karbohidrat dengan nilai signifikansi masing masing 0.105, 0.179 dan 0.177. Usia mempengaruhi kejadian gangguan metabolisme karbihidrat karena beberapa alasan yaitu pertambahan umur merupakan salah satu faktor terjadinya penurunan toleransi tubuh terhadap masukan glukosa. Glukosa salah satu bentuk paling sederhana dari bahan makanan yang mudah diabsorsi oleh usus halus (small intestina). Penurunan

toleransi tubuh terhadap glukosa mengakibatkan kadar glukosa darah meningkat. Pada orang yang telah berumur, fungsi organ tubuh menurun berakibat aktifitas sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin berkurang selain itu sensitivitas sel-sel jaringan juga menurun sehingga tidak menerima insulin. (Retnaningsih, 2002). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan publikasi hasil studi Punagata Diabetes Heart Studi di Jepang. Studi Punagata memilih subjek berusia > 40 tahun karena dianggap sebagai usia berisiko untuk mengalami gangguan metabolisme karbohidrat yang ditandai dengan tes glukosa terganggu. Meskipun studi Punagata menekankan pada efek glukosa terganggu, glukosa normal dan diabetes mellitus terhadap angka kematian, namun variabel usia sebagai dijadikan penduga kejadian diabetes dan toleransi glukosa terganggu (Adam JF, 2006) Jenis kelamin juga mempengaruhi kejadian gangguan metabolisme karbohidrat. Testosteron yang rendah mungkin bisa berhubungan dengan hiperinsulinemia dan perkembangan diabetes tipe 2 dimana terjadi suatu resitensi insulin (Joel, 1999) selain itu testosterone (E/T) berkorelasi positif dengan level insulin dan glukosa serum pada laki-laki yang tidak obese dan juga pada laki-laki yang obese dimana obesitas pada laki-laki dihubungkan dengan hiperPil KBnemia, hiperinsulinemia, hiperglisemia dan PJK (Philips, 1993). Perbedaan jenis kelamin kaitannya dengan glukosa, dibuktikan melalui hubungan terbalik diabetes tipe 2 dan hormone androgen pada laki-laki dan suatu korelasi yang positif antara diabetes tipe 2 dan hormone androgen pada wanita. Pada laki-laki dan wanita tua, lakilaki dengan toleransi glukosa terganggu memiliki total testosterone yang secara signifikan lebih rendah. Wanita dengan toleransi glukosa terganggu atau diabetes tipe 2 memiliki level testosterone, estradiol dan total yang lebih tinggi secara signifikan daripada mereka yang mempunyai toleransi

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

glukosa normal. Total testosterone dan glukosa plasma puasa berhubungan bertolak belakang pada laki-laki, di sisi lain testosterone dan estradiol berhubungan positif dengan glukosa plasma puasa pada wanita (Goodman, 2000) Penyakit lain juga mempengaruhi kejadian gangguan metabolisme karbohidrat misalnya pada penderita hipotiroidisme juga menjadi kurang sensitif terhadap insulin. Kelainan metabolisme karbohidrat yang tampak pada hiperfungsi ataupun hipofungsi tiroid diduga berhubugan erat dengan perubahan yang terjadi pada target organ, kecepatan katabolisme atau kedua-duanya (William dkk, 2001) Riwayat keluarga adalah salah satu variabel yang berpengaruh kuat pada kejadian gangguan metabolisme karbohidrat. Hans Tandar (2007) menjelaskan bahwa gagguan metabolisme karbihidrat juga dapat dioengaruhi oleh faktor genetik atau memiliki riwayat keluarga yang menderita gangguan metabolisme karbohidrat. Mekanisme kejadian ini diawali oleh kerusakan sel beta pankreas akibat pengaruh keturunan, Pada beberapa kasus faktor keturunan kecenderungan faktor keturunan menyebabkan degenerasi sel beta, naiknya kadar glukosa darah, peningkatan penggunaan lemak sebagai sumber energi dan untuk pembentukan kolesterol oleh hati dan berkurangnya protein tubuh (Guyton & Hall, 2008) Pil KBn, pola makan dan status gizi tidak mempengaruhi gangguan metabolisme. Pil KBn adalah salah satu jenis hormon yang mempengaruhi sekresi hormon insulin. Manfaat efek peragsangan hormon ini adalah bahwa pemanjangan sekresi dari hormon ini dalam jumlah besar dapat mengakibatkan sel sel beta pulau Langerhans menjadi kelelahan dan karenanya akan meningkatkan risiko untuk terkena diabetes. Meskipun demikian secara fisiologis mejanisme ini memang masih diragukan banyak ahli (Guyton & Hall, 2008). Berdasarkan penjelasan diatas maka kemungkinan tidak adanya efek Pil KBn pada kejadian gangguan metabolisme memang masih besar, karena hasil penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh kuat antara Pil KB dengan gangguan metabolisme karbohidrat. Hal lain yang dimungkinkan terjadi adalah efek strogen ini sangat kecil dan dikalahkan oleh

faktor risiko lain seperti usia, riwayat keluarga dll. Pola makan dalam penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap kejadian gangguan metabolisme glukosa. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain bahwa pada kasus penelitian ini semua sampel telah mengalami toleransi glukosa terganggu yang juga berarti bahwa pola makan sebelumnya lebih banyak menjadi pemicu dibanding pola makan saar ini. Disain pengukuran survei konsumsi pangan yang digunakan dengan metode recall 24 jam memiliki keterbatasn untuk mendeteksi pola makan secara ideal pada masa sebelum mengalami gangguan metabolisme glukosa. Secara teoritis pola makan yang tidak seimbang dalam jangka lama akan menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat. Pada saat dilakukan pengaturan diet setelah didiagnosa mengalami gangguan metabolisme maka efek pola makan saat ini tidak dapat berkorelasi dengan gangguan metabolisme karbihidrat karena pola makan saat ini memiliki peran untuk mengontrol glukosa darah pada kisaran normal, Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan. Artinya gangguan metabolisme glukosa tidak serta merta menjadi normal disaat pola makan diatur sebagaimana mestinya. Gangguan toleransi glukosa terganggu awalnya dipicu oleh tidak seimbangannya antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dalam jangka lama, dimana seseorang secara terus menerus memiliki asupan yang berlebihan sehingga insulin menjadi resisten atau kelelahan. Kegagalan insulin atau reseptor insulin tidak dapat diperbaiki hanya dengan memperbaiki pola makan, kecuali efeknya terhadap kontrol glukosa darah yang dapat diakukan. Alasan inilah yang menyebabkan sehingga diabetes mellitus tidak dapat disembukan tetapi dapat dikendalikan secara baik melalui pengaturan pola makan. Status gizi dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap gangguan metabolisme karbohidrat. Soekirman (2001) menjelaskan bahwa status gizi adalah kondisi keseimbangan, antara asupan gizi dengan penggunaannya oleh

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

10

1.

2.

3. 4.

tubuh. Mekanisme penggunaan zat gizi dan efeknya bagi status gizi dapat dipandang sebagai mekanisme input proses dan out put. Artinya bahwa bahan makanan sebagai komponen input, dan proses metabolisme sebagai proses serta komposisi tubuh dalam berbagai dimensi sebagai status gizi. Jika demikian halnya maka status gizi pada kejadian gangguan metabolisme karbohidrat dapat dipandang sebagai outcome bukan sebagai sebuah proses. Manifestasi gangguan metabolisme yang akan membuat keseimbangan baru dalam pemanfaatan zat gizi makro maupun mikro. Jika gangguan metabolisme telah berlangsung lama maka efeknya pada status gizi sebagai sebuah titik keseimbangan antara asupan dan metabolisme zat. gizi dalam tubuh akan dengan mudah diketahui. Penjelasan lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan alasan tidak ditemukannya pengaruh status gizi dengan gangguan metabolisme adalah efek disain penelitian. Penelitian ini adalah penelitian cross sectional study dimana variabel pengaruh (status gizi) dan terpengaruh (gangguan metabolisme karbohidrat) diteliti secara bersamaan atau potong lintang. Salah satu kelemahan disain ini adalah tidak efektif untuk mendeteksi hubungan sebab akibat karena hubungan sebab akibat faktanya tidak pernah terjadi secara paralel atau bersamaan. Disain yang cocok adalah penelitian kohor atau case control. Gangguan metabolisme dan status DAFTAR PUSTAKA Arisman. 2004.Gizi Dalam Daur Kehidupan. Buku Ajar Ilmu Gizi. Penerbit Buku Kedokteran. EGC, Jakarta. Halaman 85. Bilen Habib, 2007. Blood Glucose Monitoring Performance of Roche Accu-Check Go Glucometer Device at Moderately High Altitude- Original Articies. http://rochewww.turkjem.orgsayilar7115118pdf%20-.htm. Diakses 24 Juni 2008 3.Boyd,R,Leig h,B and Stuart, P. 2005. Capillary versus Venous Bedside 4.Caya R, 2007. Perbandingan Hasil Pengukuran Glukosa Darah Memakai cara Vena dan cara Kapiler. Unhas Makassar. Tesis tidak publikasikan.

gizi secara ideal harus dipandang sebagai hubungan sebab akibat. KESIMPULAN 1. Ada korelasi positif antara gula darah vena puasa dengan gula darah kapiler puasa. 2. Ada hubungan yang bermakna antara glukosa darah vena dengan glukosa darah kapiler, dimana setiap kenaikan 1 satuan kapiler akan menyebabkan peningkatan 1,063 satuan vena 3. Ada perbedaan rerata gula darah vena puasa dengan gula darah kepiler puasa menurut riwayat penyakit keluarga. 4. Faktor yang mempengaruhi gangguan metabolisme adalah, jenis kelamin, usia, riwayat keluarga, dan penyakit lain sedangkan status gizi, Pil KBn, dan pola makan tidak memiliki pengaruh nyata terhadap kejadian gangguan metabolisme karbohidrat. SARAN Skreening gula darah pada dasarnya dapat dilakukan dengan pemeriksaan gula darah kapiler karena mempunyai korelasi yang kuat dengan gula darah vena. Sedangkan untuk menguji sensitivitas dan spesifisitas yang lebih bagus pada alat ini sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan pada pasien yang telah menderita DM

5.

6.

7.

8.

5.Carste nsen B. 2008, Measurement of Blood Glucose: Comparison between different types of specimens. WHO http//www.Measurement.htm. Diakses 10 Juni 2008. 6.Chand ra, B.1995. Pengantar Statistik Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran. EGC, Jakarta. Halaman 23. 7.Colagi uri, S; Sandbaek A, Carstensen B, Christensen J. Glumer C, Lauritzen T, Borch-Johnsen K 2003. Comparability of Venous and Capillary Glucose Measurement In Blood. 8.Depke s RI, 2003. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat Jakarta.

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

11

9. 10.

11.

12.

13.

14.

15.

10.Dorland, W. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Penerbit Buku Kedokteran. EGC, Jakarta. 11.Ganiswara , S.G. 1995. Farmakologi Dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.Hal 470-471. 12.GoodmanGruen D, Barrett-Connor E. 2000. Sex ifferences in the association of endogenous sex hormone levels and glucose tolerance status in older men and women. Pubmed online Available at hhtp://www.ncbi.nlm.nih.gov. 13.Guyton and hall, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran. EGC, Jakarta. Halaman 231-242. 14.Guyton and Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran. EGC, Jakarta. 15.Hardjoeno, dkk. 2004. Sistem Endokrin Dan Metabolisme. Bagian Patologi Klinik. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. Hal 23-26. 16.Hutagalun g, H. 2004. Karbohidrat. Bagian Ilmu Gizi.

Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.

Universitas

16.

17.

18.

19.

20.

Hartono, A.2005. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Buku Kedokteran, EGC. Halaman 15-65. 18.. Irianto, D.P. 2005. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan. Andi offset. Yogyakarta. Halaman 33. 19.Joel E. Michalek, Fatema Z. Akhtar and Johnathan L. Keil. 1999. Serum Dioxin, Insulin, Fasting Glucose and Sex Hormon-Binding Globulin in Veterans of Operation Ranch Hand Available at www.cgi.gov/reprint/84/1540/.pdf Accessed at 23 Januari 2007. 20.Lewa ndrowski, et al. 2002. Capillary blood glucose Testing at the Point of CareClinical Application and the Evolution of Diagnostic Technologies. 21..Lind er, M. C. 1992. Biokimia Nutrisi Dan Metabolisme Dengan Pemakaian Secara Klinis. Penerbit Universitas Indonesia. UIPRESS. Jakarta. Hal 28-32.

Diagnostic testing for blood level vena and capillary glucose and analyzed of carbohydrate disorders metabolism Satriono1, suryani a. Armin2, nusrah ningsih3,1,2 fakultas kedokteran unhas makassar3 rsup.dr. Wahidin sudirohusodo makassar

12

You might also like