You are on page 1of 17

BAB VIII LAHAR DAN BATUAN KLASTIKA GUNUNGAPI Bab 8 ini merupakan bahasan akhir dari dasar-dasar volkanologi

yang mencakup proses dan hasil kegiatan vokanisme. Pada bagian awal dari bab ini diuraikan tentang lahar sedang di bagian akhir dibahas mengenai batuan klastika gunungapi (volcaniclastic rocks). Pembahasan tentang lahar dimulai dari terminologi, faktor pembentuk dan jenis lahar, sifat aliran lahar dan ciri-ciri endapan lahar. Batuan klastika gunungapi tersebut di atas dapat dihasilkan oleh kegiatan erupsi eksplosiva, erupsi efusiva dan intrusi dangkal yang terdiri dari autoklastika, piroklastika, kataklastika dan epiklastika. Bahasan di bagian kedua ini dimaksudkan agar mahasiswa lebih memahami pemerian dan interpretasi dasar-dasar batuan gunungapi, khususnya yang mempunyai tekstur klastika. 8. 1 Terminologi Lahar Van Bemmelen (1949) mendefinisikan lahar adalah a mudflow containing debris and angular blocks of volcanic origin (suatu aliran lumpur yang mengandung bongkah-bongkah meruncing yang berasal dari kegiatan gunungapi). Neall (1976) mendefinisikan lahar sebagai a large mudflow composed of volcaniclastic detritus, often including large blocks, on or surrounding the flanks of a volcano (suatu aliran lumpur besar yang tersusun oleh bahan klastika gunungapi, sering termasuk bongkah-bongkah besar, yang terletak pada lereng dan di sekitar gunungapi). Di dalam buku standardisasi pemetaan kawasan rawan bencana gunungapi lahar adalah aliran massa yang berupa campuran air dan bahan lepas berbagai ukuran, mulai dari abu, pasir, kerikil hingga bongkah, yang berasal dari letusan/ kegiatan gunungapi (DSN, 1995). Varnes (1978) menamakan lahar sebagai aliran debris ( debris flow) apabila mengandung butiran kasar (kerakal-bongkah) lebih dari dari 50 %. Sebaliknya bila bahan berukuran butir halus (abu-pasir) sangat dominan (lebih dari 50 %) maka aliran masa itu disebut aliran lumpur. Lebih lanjut apabila kandungan air semakin banyak atau kandungan bahan padat semakin sedikit maka aliran lahar menjadi semakin encer dan di Indonesia sering dinamakan banjir galodo atau banjir bandang. Scott dkk. (1995) menyebut aliran debris apabila volume sedimen 60 %, sedang sisanya adalah air. Aliran debris yang mengandung sedimen berbutir halus

8- 1

(lempung-pasir) 60 % disebut aliran lumpur. Cohesive debris flow adalah aliran lumpur yang mengandung sedimen lempung 3-5 %. Sebaliknya, bila bahan

lempung < 3-5 % disebut non cohesive debris flow. Apabila volume sedimen antara 20-60 % saja disebut hyperconcentrated flow, sedangkan aliran sungai normal (normal stream flow) dibatasi jika volume sedimen < 20 %. Gambar 8.1 memperlihatkan perbedaan granulometri mulai dari aliran debris hingga aliran sungai normal. Grain flow adalah terminologi yang biasa digunakan untuk sedimen berbutir pasir dengan sortasi baik dan masif, tidak ada struktur sedimen dan cukup tebal.

Gambar 8.1. Kurva kumulatif butiran di dalam lahar kohesif dan lahar non kohesif di G. Raainer, washington, USA. Tipe aliran yang berkembang dari aliran non kohesif menjadi aliran sungai normal (Scott et al., 1995). 8- 2

Lahar primer atau lahar letusan adalah lahar yang terbentuk sebagai akibat terdorong dan meluapnya air danau kawah oleh magma yang sedang naik ke atas dari dalam bumi ke permukaan pada saat terjadi letusan. Air danau kawah bercampur dengan bahan magmatik membentuk lahar panas yang mengalir melalui sungaisungai yang berhulu di sekitar kawah gunungapi. Di Indonesia letusan gunungapi yang terkenal menghasilkan lahar letusan adalah G. Kelut di Jawa Timur dan G. Awu di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara (Matahelumual, 1982, 1985; Alzwar, 1985). Volume air danau kawah yang besar dapat meredam suara letusan dan melarutkan sebagian besar bahan letusan. Dengan demikian suara letusan dapat tidak terdengar oleh penduduk yang bermukim di daerah hilir sungai. Selain itu karena sebagian besar bahan magmatik larut bersama air kawah menjadi aliran lahar letusan maka bahan piroklas yang dilontarkan ke udara sangat sedikit. Sebagai contoh pada waktu G. Kelut meletus tahun 1919, dimana volume air danau kawah mencapai 40 juta meter kubik maka volume bahan hamburan hanya 2 juta meter kubik (Alzwar, 1985). Sedangkan letusan tahun 1966 volume air kawah sekitar 21 juta meter kubik dan bahan piroklas yang dihamburkan ke udara mencapai 90 juta meter kubik. Jarak luncur lahar letusan juga tergantung pada besarnya volume air danau kawah; semakin besar volume air di dalam kawah maka jarak luncur lahar letusan semakin jauh. Pada tahun 1919 lahar letusan G. Kelut mengalir sejauh 36 km dari kawah, sedang pada tahun 1966 jarak luncur lahar hanya 31 km (Matahelumual, 1982). Apabila volume air danau kawah terlalu sedikit maka tidak terbentuk lahar letusan. Hal ini terbukti pada letusan G. Kelut tahun 1951 dan 1990 dimana volume air danau kawah hanya sekitar 2 juta meter kubik. Pada letusan awal air dan endapan lumpur danau kawah dilontarkan ke udara dan kemudian jatuh bebas sebagai hujan lumpur di sekitar kawah (Bronto, 1990). Lahar primer juga dapat terjadi pada gunungapi yang tertutup salju, yaitu apabila lapisan es itu mencair karena terlanda awan panas dan secara bersama-sama air es dan bahan awan panas tersebut bercampur dan mengalir menuruni lereng membentuk aliran lahar. Contoh kejadian lahar primer ini adalah di G. Nevado del Ruiz di Colombia, Amerika Selatan (Tilling, 1989). Lahar sekunder atau lahar hujan adalah lahar yang terjadi akibat percampuran antara bahan piroklas yang belum lama diendapkan dengan air hujan. Dengan

8- 3

demikian lahar hujan dapat terjadi pada setiap gunungapi yang sedang atau baru saja meletus jika ada hujan lebat dan lama di kawasan puncak dan lereng gunungapi itu. Apabila pada saat mengalir lahar mengepulkan asap putih masyarakat umum menamakan sebagai lahar panas. Kalau lahar yang sedang mengalir tidak mengepulkan asap disebut lahar dingin. Sekalipun panas, temperatur lahar panas tidak akan melebihi titik didih air (100 oC). Panasnya lahar dapat disebabkan oleh pemanasan air danau kawah karena didorong dan kontak dengan magma pada saat terjadi letusan, atau bercampurnya air hujan dengan endapan awan panas yang masih bersuhu tinggi sekalipun sudah mengendap beberapa waktu lamanya. Karena lahar panas dapat terjadi pada lahar primer atau lahar sekunder maka sebaiknya dibiasakan untuk menggunakan istilah lahar letusan dan lahar hujan. 8.2 Faktor Pembentuk Lahar Faktor utama pembentuk lahar adalah bahan lepas, air dan bentang alam. Bahan lepas berasal dari endapan aliran piroklastika, endapan jatuhan piroklastika terutama yang berbutir halus (abu), ditambah dengan tanah pelapukan dan batuan tua yang berasal dari lereng, tebing dan dasar sungai yang ikut terangkut pada saat terjadi aliran lahar. Semakin besar volume bahan lepas, terutama endapan piroklastika aliran, maka kejadian lahar akan semakin besar dan berlangsung berkalikali atau cukup lama. Sebagai contoh letusan Mt. Pinatubo tahun 1991 di Filipina (Newhall & Punongbayan, 1996) karena volume endapan piroklastika yang sangat besar maka kejadian lahar melanda daerah yang sangat luas dan berlangsung hingga lima tahun setelah letusan. Sebaliknya letusan G. Kelut 1990 dan G. Merapi 1994, karena volume endapan piroklastika sangat sedikit maka aliran lahar hanya berlangsung pada tahun pertama setelah letusan. Air dapat berasal dari air hujan, air danau kawah, pencairan es dan air sungai. Lahar yang terjadi karena airnya berasal dari pencairan es atau air sungai dapat terjadi apabila aliran piroklastika yang bersuhu tinggi melanda daerah bersalju, atau masuk ke dalam sungai besar yang berair banyak. Volume air akan mempengaruhi kepekatan dan juga luas sebaran aliran lahar; semakin besar volume air maka lahar yang terbentuk semakin encer dan jangkuan alirannya semakin luas dan jauh. Lahar hujan biasanya terjadi apabila didahului oleh hujan lebat dengan curah hujan lebih

8- 4

dari 50 mm/jam, dalam waktu yang lama (3-5 jam) secara terus menerus dan jatuh di daerah sebaran endapan piroklastika yang baru saja terbentuk. Bentang alam sebagai faktor utama ketiga terbentuknya aliran lahar terutama menyangkut sudut lereng dan beda tinggi. Semakin besar sudut lereng dan semakin tinggi perbedaan elevasi maka efek gravitasi akan semakin besar. Dengan demikian aliran lahar akan semakin cepat dan menyebar lebih luas. Sebaliknya jika sudut lereng kecil dan beda tinggi sedikit maka efek gravitasi juga semakin kecil sehingga aliran lahar tidak akan terlalu cepat dan sebarannya juga terbatas. Kecepatan aliran lahar bervariasi dari 15 km/jam hingga 60 km/jam. Sebagai faktor tambahan terbentuknya lahar adalah waktu. Lahar sering atau biasa terjadi pada saat letusan gunungapi hingga 3 tahun kemudian. Lahar jarang terjadi setelah 3-5 tahun dari kejadian letusan, lahar sangat jarang terjadi bila waktu istirahat sudah melampaui 5-10 tahun, dan sejauh ini tidak pernah terjadi lahar setelah istirahat lebih dari 10 tahun. Kejadian lahar yang semakin jarang dengan bertambahnya waktu itu mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain volume bahan pembentuk lahar semakin berkurang, terutama yang berbutir halus (abu), endapan semakin padat dan kompak sehingga tidak mudah tererosi, serta bentuk alur sungai dan proses erosi sudah kembali normal seperti sebelum terjadi letusan. Di Indonesia lahar-lahar bersekala besar yang biasa terjadi adalah lahar hujan dan lahar letusan. Lahar dalam sekala kecil umumnya terbentuk karena aliran piroklastika masuk ke aliran sungai, air sungai terbendung oleh runtuhan endapan piroklastika, longsornya dinding danau kawah dan sebagai akibat tanah longsor yang bersamaan dengan terjadinya kegiatan letusan gunungapi. Lahar hujan dapat terjadi di luar kawasan gunungapi yang sedang meletus. Sebagai contoh pada saat G. Galunggung di Kabupaten Tasikmalaya meletus pada tahun 1982 abunya terbawa angin ke barat dan jatuh di daerah puncak dan lereng atas G. Guntur yang terletak di wilayah Kabupaten Garut dan berjarak lk. 30 km di sebelah barat G. Galunggung. Pada waktu terjadi hujan di G. Guntur, abu G. Galunggung itu bercampur air hujan membawa bahan lepas dari lereng G. Guntur ke daerah yang lebih rendah sehingga menimbulkan banjir lahar.

8- 5

8.3 Sifat aliran lahar Sebagai suatu massa alir yang dipengaruhi oleh gaya beratnya sendiri atau sebagai salah satu jenis aliran gravitasi maka lahar selalu mengalir mengikuti lembah sungai dan dataran yang merupakan bagian terendah pada suatu daerah. Kemudahan terbentuk lahar dan kekentalannya sangat dipengaruhi oleh banyak atau sedikitnya bahan berpotensi menjadi lahar serta jumlah air yang tersedia. Semakin banyak bahan padat yang terlarut akan semakin pekat aliran lahar. Sebaliknya, semakin banyak air yang terkandung maka aliran lahar akan semakin encer. Aliran lahar pekat umumnya terjadi pada tahap awal, selama letusan berlangsung atau beberapa saat setelah kegiatan berhenti, sedangkan aliran lahar encer lebih banyak terjadi kemudian. Lahar encer ini akan semakin encer dan berubah menjadi banjir bandang atau banjir biasa. Penurunan kepekatan dapat pula terjadi pada suatu aliran lahar dari bagian hulu ke hilir sungai bila suplai air sungai sangat banyak. Semakin pekat suatu aliran lahar maka kekuatan daya angkutnya juga semakin besar. Dengan demikian bongkah-bongkah batu besar yang berdiameter mencapai 3 5 m dan berada di sepanjang daerah aliran dapat terangkut karenanya. Sementara kecepatan aliran lahar terutama ditentukan oleh kemiringan lereng bukit dan lembah sungai. Selain itu, faktor campuran air dan abu halus yang berfungsi sebagai pelicin juga berpengaruh. Jumlah air yang terlalu sedikit, setelah bercampur dengan abu halus malah berfungsi sebagai semen atau perekat terhadap fragmen batuan gunungapi yang lebih besar. Aliran lahar relatif kecil, seperti di G. Merapi setelah terjadi guguran awan panas pada tanggal 22 November 1994, terbentuk karena adanya curah hujan dengan intensitas rata-rata 10 20 mm/jam dan berlangsung cukup lama (> 2jam). Sementara lahar besar dapat terjadi bila curah hujan mencapai 50 80 mm/jam dan berlangsung paling tidak selama 3 jam secara terus menerus. Suatu aliran lahar umumnya mengandung bahan padat berbutir semakin halus apabila jarak transportasi semakin jauh dari sumbernya. Selanjutnya bila jumlah bahan padat tetapi lepas itu semakin berkurang maka lahar akan semakin encer dan akhirnya hanya berupa banjir bandang biasa dimana endapannya biasa disebut endapan banjir (endapan sungai atau fluvial deposits). Namun bila aliran lahar mampu mengangkut banyak bahan lepas di lokasi yang dilaluinya dan keadaan

8- 6

lembah sungai memungkinkan lahar untuk mengalir secara terus menerus, maka kandungan bahan lahar tersebut akan sangat bervariasi. Pada gunungapi di daerah benua karena aliran sungainya besar dan panjang serta melalui berbagai macam batuan non-gunungapi, maka komposisi endapan lahar sangat heterogen sehingga nantinya dapat membentuk breksi poli komponen. Disamping air dan rempah gunungapi, maka bentuk topografi dan pola aliran sungai juga mempengaruhi sifat aliran lahar. Di daerah hulu sungai dimana tubuh gunungapi mempunyai lereng yang sangat terjal (> 10 derajat) dan lembah sungai berbentuk huruf V serta lurus maka aliran lahar akan tetap berada di lembah sungai. Hal ini tidak akan membahayakan orang yang tinggal di punggung bukit. Daerah lereng ini merupakan daerah sebaran endapan rempah gunungapi yang merupakan sumber potensial untuk menjadi aliran lahar. Dengan kata lain apabila terjadi hujan deras di daerah ini, maka sebagian material aliran lahar berasal dari daerah ini. Di daerah kaki gunungapi, sudut lereng berangsur-angsur menurun dari 10 derajat ke 3 derajat. Perubahan kemiringan lereng ini bersamaan dengan perubahan bentuk dan pendangkalan sungai, yang mana dapat menyebabkan aliran lahar dapat menyeleweng atau meluap keluar dari badan sungai. Penyelewengan dan luapan banjir lahar itu sering membentuk aliran baru dan merusak daerah pemukiman, daerah pertanian serta sarana kehidupan yang lain. Pada hakekatnya aliran lahar baik aliran debris maupun aliran lumpur mempunyai kecenderungan untuk bergerak lurus. Apabila lembah sungai membelok dan aliran lahar masih mampu bergerak lurus maka akan terjadi penyimpangan. Penyimpangan kemudian dapat masuk ke dalam lembah sungai yang lain atau meluap di dataran sekitarnya (Gambar 8.2A). Gambar 8.2B, memperlihatkan penampang topografi bagian lereng bawah dan kaki suatu gunungapi, yang walaupun secara umum menurun tetapi ada bagian relatif lebih landai/datar daripada bagian yang lain. Di bagian yang relatif landai/datar itulah lahar kemungkinan dapat menyimpang atau meluap dan mengendap. Di bagian lereng yang miring lebih terjal terjadi erosi dan transportasi kuat sehingga lahar hanya mengalir di dalam lembah sungai. Di G. Galunggung, lahar meluap dari sungai yang mempunyai kemiringan lembah < 30 %. Faktor lain terjadinya peluapan

8- 7

adalah disebabkan oleh aliran sungai yang membelok, kedalaman lembah sungai kurang dari 25 m serta volume aliran lahar pada saat itu memang sangat besar. Selanjutnya daerah luapan lahar akan tergerus dan menjadi aliran sungai baru yang selalu dilalui aliran lahar berikutnya. Perubahan aliran sungai yang sangat cepat itu sangat umum terjadi di daerah gunungapi yang sedang meletus karena pengaruh pengendapan awan panas, lahar dan aliran lava.

Gb. 2.A

Gb. 2.B

Gambar 8.2 Penyimpangan dan pengendapan aliran lahar. Gambar 2A memperlihatkan penyimpangan aliran lahar pada kelokan sungai sehingga lahar dapat menyebar di dataran dan masuk ke sungai di dekatnya. Gambar 2B menggambarkan penampang kaki gunungapi; pengendapan lahar terjadi di daerah yang miring lebih landai (a). sedang pada daerah yang miring lebih terjal merupakan daerah erosi/ pengangkutan lahar (b). Di daerah dataran (sudut lereng < 3 derajat), bentuk lembah sungai sudah lebar, dangkal dan sering berkelok-kelok (meandering). Apabila aliran lahar masih di lembah sungai, maka aliran lahar akan lurus dan memotong kelokan sungai (Gambar 8.3A). Sedang apabila lembah sungai sudah sangat dangkal maka kemungkinan besar aliran lahar akan meluap ke dataran di sekitarnya (Gambar 8.3B). Kecepatan aliran lahar sangat bervariasi, tergantung pada sudut lereng dan jumlah masa yang mengalir. Lahar di G. Merapi, Jawa Tengah bervariasi antara 5 7 m/detik, sedangkan di G. Kelut, Jawa Timur, antara 4 6 m/detik. Letusan G. Agung

8- 8

di Bali pada tahun 1963, menghasilkan lahar hujan yang mempunyai kecepatan air sekitar 8 m/detik. Aliran lahar tersebut disertai suara gemuruh, terutama akibat beradunya batu-batuan selama dalam perjalanan.

Gambar 8.3 Sifat aliran lahar di dalam lembah banjir dan tekuk lereng suatu gunungapi. (A) Bentuk aliran sungai berkelok-kelok di lembah sungai/dataran banjir; aliran lahar cenderung lurus sesuai bentuk lembah. (B) Luapan aliran lahar dari badan sungai ke dataran disekitarnya sehingga membentuk kipas aliran/ endapan lahar.

8.4 Ciri-ciri Endapan lahar Endapan lahar yang banyak mengandung fragmen ( debris flows) apabila telah membatu membentuk breksi lahar, sedang yang banyak mengandung butiran pasir disebut batupasir. Ciri-ciri endapan lahar di lapangan dapat dikenali berdasar bentang alam, tekstur, struktur, komposisi dan asosiasi batuan. Bentang alam endapan lahar mempunyai ciri-ciri seperti tersebut di bawah ini. a. Permukaan endapan relatif datar.

8- 9

b. Endapan mengisi lembah sungai (valley filling) sehingga endapan cenderung menebal di bagian tengah lembah dan menipis di tepi sungai dan dataran di sekitarnya. c. Bila proses pelapukan dan erosi telah berjalan lanjut sedang batuan di sekelilingnya kurang resisten maka endapan lahar membentuk punggungan bukit atau gumuk. Berdasar tekstur, struktur, komposisi dan asosiasinya endapan lahar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. 1. Umumnya berbutir sedang (pasir) hingga kasar (kerakal-bongkah). 2. Bentuk butir kasar meruncing tanggung membulat tanggung. 3. Dari daerah proksi (dekat sumber bahan) menuju daerah distal (jauh dari sumber) butiran kasar menghalus dan bentuknya cenderung menumpul/membulat. 4. Sumbu terpanjang bongkah sejajar dengan arah aliran. 5. Pemilahan buruk, kemas terbuka, bongkah mengambang di dalam matriks. 6. Endapan masif/tidak membentuk struktur sedimen, kecuali kepekatannya sudah menurun sehingga membentuk hyperconcentrated flow dan aliran sungai normal. 7. Endapan lahar dapat tersusun oleh monolitologi atau heterolitologi jika tercampur dengan batuan tua dari dasar/tebing sungai-sungai yang dilaluinya. 8. Endapan lahar dapat mengandung kayu atau arang. 9. Endapan lahar biasanya berselang-seling dengan endapan aliran piroklastika dan aliran lava di daerah proksi, sedang di daerah distal berselang-seling dengan endapan sungai biasa (fluvial deposits). 10. Endapan lahar berasosiasi dengan gunungapi komposit, gunungapi jamak dan kaldera letusan. 11. Dibanding dengan endapan aliran piroklastika, endapan lahar lebih padu, basah, berlumpur dan tekstur permukaan bom/blok gunungapi di dalamnya sudah menghalus, terabrasi atau menumpul.

8- 10

8.5 Terminologi Batuan Klastika Gunungapi Batuan gunungapi adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil kegiatan gunungapi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengertian langsung disini berarti bahwa bahan padat hasil erupsi/kegiatan gunungapi itu mengendap atau membeku dan kemudian membatu secara insitu (di tempat itu juga). Batuan gunungapi yang terbentuk secara langsung dari erupsi dan membatu secara insitu tersebut sering diistilahkan batuan gunungapi primer (primary volcanic rocks). Sebaliknya, bahan gunungapi yang setelah mengendap atau membatu kemudian mengalami perombakan atau pengerjaan kembali dinamakan batuan gunungapi sekunder atau pembentukannya tidak secara langsung oleh proses erupsi gunungapi. Perombakan tersebut dilakukan oleh tenaga dari luar (exogenic processes), yaitu air, angin dan es melalui proses pelapukan, erosi, transportasi dan pengendapan kembali. Untuk bahan gunungapi yang baru saja dierupsikan dan diendapkan maka biasanya masih bersifat lepas sehingga proses perombakannya tidak perlu melalui pelapukan tetapi dapat langsung tererosi, misalnya pembentukan lahar yang telah dijelaskan di atas. Batuan gunungapi pada prinsipnya adalah hasil pendinginan yang sangat cepat dari magma pada waktu dierupsikan sehingga terbentuk batuan beku luar, batuan intrusi dangkal dan batuan klastika gunungapi, khususnya batuan piroklastika. Pendinginan dan pembekuan magma yang sangat cepat itu menyebabkan sebagian unsur dan mineral tidak sempat mengkristal tetapi membentuk bahan amorf berupa gelas gunungapi (volcanic glass). Dengan demikian ciri khas batuan gunungapi adalah bertekstur gelas sampai hipokristalin porfiri dan selalu mengandung gelas gunungapi dalam berbagai tingkatan persentase. Batuan beku luar dan batuan beku intrusi dangkal merupakan lava koheren yang sudah banyak dibahas di dalam mata kuliah dan buku-buku literatur tentang petrologi batuan beku sehingga tidak perlu dibahas lagi disini. Bahasan selanjutnya di bawah ini dititik-beratkan pada batuan klastika gunungapi. Beberapa ahli telah mendefinisikan pengertian dari batuan klastika gunungapi (volcaniclastic rocks). Pertama adalah Fisher (1961); Fisher (1966); Fisher & Smith (1991) yang menyatakan bahwa batuan klastika gunungapi adalah the entire spectrum of clastic materials composed in part or entirely of volcanic fragments, formed by any particle-forming mechanism, transported by any mechanism,

8- 11

deposited in any physiographic environment or mixed with any other volcaniclastic type or with any non volcanic fragment types in any proportion (seluruh bahan bertekstur klastika yang tersusun sebagian atau seluruhnya oleh bahan klastika asal gunungapi, terbentuk oleh mekanisme fragmentasi apa saja, diangkut secara mekanisme apa saja, diendapkan dilingkungan fisiografi apa saja atau bercampur dengan bahan gunungapi yang lain atau dengan bahan bukan asal gunungapi berbagai tipe dan tingkatan). Pettijohn (1975); Walker & James (1992) mendefinisikan batuan klastika gunungapi sebagai all fragmental volcanic rocks that result from any mechanism of fragmentation (seluruh batuan gunungapi fragmental sebagai hasil dari mekanisme fragmentasi apa saja). Senada dengan pendapat tersebut maka Mathisen & McPherson (1991) menyatakan bahwa batuan klastika gunungapi adalah a clastic rock containing volcanic material in whatever proportion, and without regard to its origin (batuan bertekstur klastika yang mengandung bahan asal gunungapi di dalam berbagai proporsi dan tanpa mempermasalahkan asal-usulnya). Berdasar proses pembentukannya, batuan klastika gunungapi dibagi menjadi 4 macam, yaitu 1. Batuan autoklastika, 2. Batuan piroklastika/ hidroklastika, 3. Batuan kataklastika, dan 4. Batuan epiklastika . Pengertian batuan autoklastika adalah batuan yang terbentuk karena terjadinya fragmentasi pada saat magma sedang bergerak menerobos batuan samping di dalam bumi, atau fragmentasi yang terjadi pada saat lava mengalir atau menumpuk di permukaan bumi. Fragmentasi terjadi karena batuan samping, udara luar atau tubuh air (laut) jauh lebih dingin daripada magma atau lava maka selama proses penerobosan atau ekstrusi juga sekaligus mengalami pendinginan secara cepat terutama di bagian tepi, permukaan atau dasar aliran dan kubah lava. Dengan demikian sekalipun bagian tengah/dalam tubuh magma dan lava masih cair liat dan sangat panas maka di bagian luar sudah mendingin dengan cepat dan retak-retak atau pecah-pecah sehingga di antara pecahan itu kemudian disisipi oleh cairan magma yang berasal dari bagian dalam yang membeku kemudian. Oleh sebab itu tubuh batuan beku yang mengalami autoklastika hanyalah di bagian luar/tepi dengan ciri khas komposisi fragmen dan masadasar tersusun oleh batuan beku dari magma yang sama, tetapi hanya berbeda waktu pembekuannya. Bagian dalam atau tengah dari tubuh batuan beku yang

8- 12

terfragmentasikan itu masih tetap berupa batuan beku koheren yang masif (lihat Gb. 7.6 7.8, dan 7.13). Berhubung fragmen batuan beku autoklastika tersebut pada umumnya berbutir kasar (diameter > 25m mm) dan bentuknya meruncing maka batuannya sering disebut breksi autoklastika. Batuan piroklastika dan hidroklastika sudah dijelaskan di dalam bab 6 sebagai hasil letusan magmatik dan letusan freatik. Berdasar ciri-ciri deskriptifnya endapan/batuan hasil letusan gunungapi tersebut dapat dibedakan menjadi bahan jatuhan, bahan aliran dan bahan seruakan. Perbedaan yang sangat mencolok dengan batuan autoklastika adalah pada matriks atau masa dasarnya. Di dalam batuan autoklastika masa dasarnya tersusun oleh batuan beku (lava koheren), sedang matriks di dalam batuan piroklastika adalah abu gunungapi atau dengan lapili skoria/ batuapung. Apabila batuan piroklastikanya terlaskan (welded pyroclastic rocks) maka batuan itu dapat dibedakan dengan breksi autoklastika pada fragmen penyusunnya yang kebanyakan berupa batuapung atau skoria, serta perubahan vertikal endapan, yakni ke bagian atas dan bawah secara berangsur berubah dari obsidian masif (densely welding), terlaskan sebagian (partial welding) dan akhirnya menjadi bahan piroklastika tidak terlaskan (no welding). Batuan kataklastika juga sudah disampaikan di dalam bab 8. Batuan ini terbentuk sebagai akibat gerakan mekanik setelah bahan gunungapi tersebut mengendap, membeku atau bahkan sudah membatu. Gerakan mekanik itu dapat disebabkan oleh longsoran batuan gunungapi, seperti yang terjadi di Mt. St. Helens, G. Raung, G. Galunggung, Mt. Bandai dan Mt. Bezymianny, longsoran kubah lava seperti yang terjadi di G. Merapi, dan tersesarkan. Ciri-ciri yang penting dari batuan kataklastika ini untuk batuan yang getas (fragile) mengalami fragmentasi membentuk breksi dengan fragmen berbentuk sangat meruncing-meruncing tajam. Retakanretakan ada yang sudah mengalami pergeseran atau masih di tempat membentuk retakan gergaji (jigsaw cracks), retakan prisma (prismatic jointings) atau retakan mosaik. Sementara untuk batuan yang plastis biasanya terlipat-lipat. Lebih daripada itu, baik batuan yang getas maupun yang plastis, keduanya mengalami pensesaran secara normal, lateral dan menaik, namun tidak selalu dapat dikorelasikan antara singkapan batuan di satu tempat dengan di tempat lain.

8- 13

Batuan gunungapi kelompok epiklastika adalah batuan gunungapi yang sudah mengalami perombakan kemudian diendapkan kembali. Di dalam buku literatur lama (misal Pettijohn, 1975) dinyatakan bahwa batuan sedimen epiklastika gunungapi adalah hasil perombakan batuan gunungapi yang sudah ada atau yang lebih tua. Perombakan dimulai dari proses pelapukan, erosi, transportasi dan kemudian diendapkan kembali. Endapan piroklastika yang masih-lepas-lepas kemudian mengalami erosi, transportasi dan resedimentasi tidak dimasukkan ke dalam batuan epiklastika tetapi disebut batuan piroklastika sekunder(secondary pyroclastic rocks) atau resedimented (syn-eruptive) volcaniclastic deposits, McPhie et al., 1993). Proses pengerjaan kembali endapan piroklastika yang masih lepas itu tidak perlu dimulai dari pelapukan, sebagai contoh perombakan endapan awan panas oleh air hujan sehingga membentuk lahar. Pandangan lama tentang pengertian batuan epiklastika gunungapi tersebut ternyata menimbulkan masalah. Pertama, endapan lahar dan endapan fluvium sebagai hasil kegiatan sekunder letusan gunungapi masa kini masih dipandang sebagai endapan piroklastika. Hal ini secara volcanologic sense tidak tepat, karena sudah tidak mengendap secara insitu dan pada saat pengerjaan kembali sudah bercampur dengan bahan rombakan lainnya. Kedua, berdasar ciri-ciri litologi di lapangan sangat sulit untuk membedakan antara batuan gunungapi epiklastika hasil perombakan batuan yang lebih tua dengan batuan piroklastika sekunder karena keduanya sudah mengalami proses pengerjaan kembali sehingga dari tekstur, struktur dan komposisi sangat sukar dibedakan. Lebih daripada itu komponen gelas gunungapi yang segar dan utuh juga tidak selalu dapat ditemukan sekalipun di dalam batuan piroklastika sekunder. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pengertian batuan epiklastika gunungapi disini adalah seluruh batuan gunungapi yang sudah mengalami pengerjaan kembali; tidak dipermasalahkan apakah dari batuan yang lebih tua atau dari endapan yang masih lepas-lepas. Dengan kata lain batuan epiklastika gunungapi adalah batuan sedimen bertekstur klastika dengan bahan asal dari hasil kegiatan gunungapi atau disebut volcaniclastic sediments. Pemberian nama batuan epiklastika ini mengikuti tata nama batuan sedimen klastika silikat (siliciclastic rocks) pada umumnya, yakni secara deskriptif berdasar tekstur (bentuk dan ukuran butir), mulai

8- 14

dari breksi, konglomerat, batupasir, batulanau dan batulempung. Dinamakan breksi apabila fragmennya berbentuk meruncing dan diameternya lebih dari 256 mm, sedangkan konglomerat jika bentuknya membulat. Batupasir bahannya berukuran pasir (1/16 2 mm), batulanau mempunyai diameter butir lanau (1/256 1/16 mm) dan batulempung bila bahan penyusunnya berukuran lempung (< 1/256 mm). Ciri penting daripada batuan epiklastika terutama untuk breksi dan konglomerat adalah pada fragmennya yaitu sudah mengalami abrasi sehingga bentuknya cenderung membulat dengan tekstur permukaan halus. Sebagai tambahan, ada batuan klastika gunungapi dalam bentuk breksi atau konglomerat namun proses fragmentasi dan pembentukan matriksnya tidak secara fisik tetapi secara kimiawi, yaitu melalui pelarutan, pengisian rekahan dan reaksi kimia. Batuan semacam ini biasanya dijumpai di daerah yang mengalami ubahan atau alterasi hidrotermal. Batuan yang terkesan mempunyai fragmen dan matriks tersebut umumnya sudah tidak segar lagi. Dalam beberapa hal, batuan teralterasi itu juga dapat dijumpai sebagai bahan aksesori/tambahan di dalam batuan piroklastika dan longsoran tubuh gunungapi, tetapi dapat menjadi bahan penyusun utama di dalam batuan hasil letusan hidroklastika. Dari uraian tersebut di atas maka penamaan batuan klastika gunungapi sangat umum karena yang penting batuan itu bertekstur klastika, tanpa mempermasalahkan penyebab fragmentasinya. Dengan demikian penamaan breksi gunungapi (volcanic breccias) juga mempunyai arti yang sangat umum, yaitu batuan klastika gunungapi berbutir kasar dengan bentuk fragmen meruncing. 8.6 Ringkasan Lahar adalah aliran lumpur yang mengandung bongkah-bongkah batuan berasal dari kegiatan gunungapi, dapat berupa lahar hujan atau lahar letusan. Apabila komponen bongkah > 50 % disebut aliran debris, sebaliknya jika bahan berbutir halus > 50 % dinamakan aliran lumpur. Berkurangnya bahan padat atau meningkatnya kandungan air menyebabkan aliran lahar semakin encer sehingga dapat berubah menjadi aliran jenuh (hyperconcentrated flow) bila volume sedimennya antara 20-60 %, atau bahkan menjadi aliran sungai normal jika kandungan sedimennya < 20 %. Faktor utama pembentuk lahar adalah bahan lepas,

8- 15

terutama endapan piroklastika (aliran dan jatuhan), air (hujan, danau, sungai, pencairan es), serta kemiringan bentang alam lereng gunungapi. Karena sangat pekat, aliran lahar cenderung lurus, tetap berada di dalam sungai bila kedalaman lembah > 25 m, tetapi aliran itu dapat meluap dan menyebar di di dataran sekitarnya pada daerah aliran sungai yang lebih dangkal. Endapan lahar setelah membatu menjadi breksi lahar atau batupasir masif yang dicirikan oleh kemas terbuka yaitu dengan adanya fragmen yang mengambang di dalam matriks, bentuk meruncing tanggung membulat tanggung dan tidak ada strukstur sedimen yang terbentuk. Batuan klastika gunungapi adalah seluruh batuan gunungapi bertekstur klastika, terdiri dari autoklastika, piroklastika, hidroklastika, kataklastika dan epiklastika. Breksi autoklastika tersusun oleh fragmen dan matriks dari batuan beku sejenis. Batuan piroklastika/hidroklastika mengandung bom/blok gunungapi, lapili skoria/batuapung dan abu gunungapi. Breksi kataklastika terbentuk karena fragmentasi oleh deformasi sehingga fragmen dan matriksnya pecah-pecah membentuk butiran yang sangat meruncing meruncing tajam, sering dijumpai kekar prisma, rekahan gergaji dan struktur mosaik. Batuan epiklastika merupakan batuan sedimen asal gunungapi yang merupakan bahan rombakan dari batuan gunungapi yang lebih tua. 8.7 Latihan Soal 1. Apakah setiap terjadi aliran lumpur dan bongkah batuan di kawasan gunungapi dapat disebut lahar ? Jelaskan jawaban saudara! 2. Mungkinkah dapat terbentuk lahar jika bahan piroklastikanya berbutir kasar? 3. Jelaskan perbedaan secara proses dan ciri-ciri endapan antara lahar letusan dengan lahar hujan! 4. Apa yang terjadi bila bentuk aliran sungai yang dilalui aliran lahar membelok hampir tegak lurus sedang lembah sungai itu tidak terlalu dalam? 5. Apa perbedaan antara endapan lahar dengan endapan awan panas? 6. Apa perbedaan antara aliran lahar dengan aliran sungai biasa? 7. Terangkan pengertian batuan klastika gunungapi! 8. Apa perbedaan antara batuan autoklastika dengan batuan kataklastika?

8- 16

9. Apa perbedaan antara batuan piroklastika dengan batuan epiklastika? 10. Apa perbedaan antara endapan longsoran kubah lava dengan endapan longsoran tubuh gunungapi ?

8- 17

You might also like