You are on page 1of 14

II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karekteristik Ikan Lele Dumbo

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa, baik dibudidayakan di kolam maupun di keramba (sungai, danau dan irigasi). Sebagai bagian kelompok hewan berdarah dingin, sebagian besar ikan termasuk ikan lele sangat efisien dalam mengonversi energi yang berasal dari pakan menjadi protein (Khairuman dan Amri 2008). Hal ini tentu sangat menguntungkan karena dalam pembudidayaan ikan lele dumbo, pakan merupakan komponen biaya investasi yang cukup besar. Pemanfaatan pakan secara efektif akan menyokong laju pertumbuhan. Artinya, pakan yang diberikan dapat sepenuhnya dimanfaatkan untuk memacu laju pertumbuhan yang lebih cepat sehingga masa pemeliharaan dapat dipersingkat. Lele dumbo adalah ikan pendatang baru yang merupakan keturunan lele hasil persilangan antara lele asli dari Taiwan dan lele yang berasal dari Afrika. Ikan hasil persilangan ini kemudiaan diintroduksi (dimasukkan) ke negara Indonesia sekitar tahun 1986. Karena ukuran tubuhnya yang cepat besar atau bongsor dan melebihi ikan lele lokal, lele ini kemudian dinamakan lele dumbo. Kata dumbo diduga berasal dari kata jumbo yang berarti berukuran besar atau raksasa (Khairuman dan Amri 2008). Seperti umumnya ikan dari jenis ikan lele dumbo memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir, dan tidak bersisik. Jika terkena sinar matahari, warna tubuh lele berubah menjadi pucat dan jika terkejut warna tubuhnya berubah menjadi loreng seperti mozaik hitam-putih. Mulut ikan lele dumbo relatif lebar, yaitu lebih kurang dari panjang total tubuhnya. Tanda spesifik lainnya dari lele dumbo adalah adanya kumis di sekitar mulut sebanyak 8 buah yang berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak atau ketika mencari makan (Khairuman dan Amri 2008). Sebagai alat bantu untuk berenang, lele dumbo memiliki tiga buah sirip tunggal, yakni sirip punggung, sirip ekor, sirip dubur. Lele dumbo juga memiliki sirip berpasangan, yaitu sirip dada dan sirip perut. Sirip dada dilengkapi dengan

sirip yang keras dan runcing yang disebut dengan patil. Patil ini berguna sebagai senjata dan alat bantu untuk bergerak (Khairuman dan Amri 2008). 2.2. Habitat dan Tingkah Laku Ikan Lele Habitat atau lingkungan hidup lele dumbo adalah air tawar. Seperti sungai yang alirannya air tidak terlalu deras, atau perairan yang tenang misalnya danau, waduk, rawa serta genangan-genangan kecil (kolam). Menurut Agriminakultura (2008), salah satu sifat lele dumbo adalah suka meloncat ke darat terutama pada malam hari. Munculnya sifat ini karena lele merupakan hewan yang aktivitas hidupnya dilakukan pada malam hari atau biasa disebut hewan nocturnal. Sifat ini akan lebih tampak pada saat lele dumbo mencari makan, itulah sebabnya lele dumbo akan lebih suka berada di tempat gelap dibandingkan dengan berada di tempat yang terang. Sifat lain dari ikan lele dumbo adalah memiliki kebiasaan mencari makan di dasar perairan (bottom feeder) yang menyebabkan air kolam tampak keruh. Lele dumbo dilengkapi insang tambahan (organ arborescent) yang dikenal dengan sebutan labyrinth. Dengan organ ini lele dumbo bisa hidup dalam lumpur atau kandungan oksigennya sedikit. Bahkan dengan organ tersebut, lele dumbo mampu hidup di luar air selama beberapa jam asalkan udara sekitarnya cukup lembab (Khairuman dan Amri 2008). Kualitas air tidak menjadi masalah untuk ikan lele tidak seperti ikan-ikan lainnya, lele tidak menuntut air yang berkualitas misalnya air yang jernih dan air yang mengalir. Karena itu ikan lele bisa dipelihara di kolam penampungan buangan air di belakang rumah, bahkan dicomberan sekalipun (Khairuman dan Amri 2008). Pada kelompok tani LPPMPU kolam yang digunakan untuk pengusahaan ikan lele menggunakan kolam semen dan kolam terpal yang terletak di sekitar halaman rumah para petani ikan lele. Dalam pengusahaan ikan lele perlu juga diperhatikan keadaan suhu air dan tingkat keasaman air (pH). Kondisi iklim di derah Kecamatan Babelan cukup mendukung untuk melakukan pengusahaan ikan lele yaitu berkisar antara 27-32 0C, sedangkan tingkat keasaman air tanah yang dipergunakan untuk kegiatan produksi ikan lele sebesar 7,3.

Ditinjau dari jenis makanannya pakan alami ikan lele dumbo adalah binatang renik yang hidup di dasar mau pun di dalam air seperti jentik-jentik nyamuk, larva serangga, anak-anak siput, kutu air, dan sisa bahan organik yang masih segar. Lele juga bersifat kanibal, yaitu makan sesama ikan yang ukurannya lebih kecil bila kekurangan pakan (Agriminakultura 2008). 2.3. Kegiatan Budidaya Ikan Lele Dalam budidaya lele atau perikanan pada umumnya dikenal adanya subsistem atau kegiatan pembenihan (termasuk didalamnya pemijahan), kegiatan pendederan dan kegiatan pembesaran. Ketiga kegiatan tersebut saling berhubungan dalam melakukan pengusahaan ikan lele. Jika ada permasalahan dalam suatu subsistem, maka akan berpengaruh terhadap subsistem lainnya. Pada saat ini sebagian besar petani ikan lele mulai memilih kegiatan yang lebih spesifik seperti spesialisasi pembenihan, spesialisasi pendederan, dan spesialisasi pembesaran. Dengan demikian, peluang usaha budidaya ikan lele dari masingmasing subsistem akan terbuka lebar, karena kegiatan pendederan dan pembesaran tidak akan dapat berjalan apabila tidak ada kegiatan pembenihan, dan begitu juga sebaliknya kegiatan pembenihan tidak akan dapat berjalan jika tidak ada kegiatan pendederan dan pembesaran. Sehingga tidak ada masyarakat yang akan mengkonsumsi ikan lele (Agriminakultura 2008). 2.3.1. Kegiatan Pembenihan Ikan Lele Secara umum pembenihan adalah kegiatan budidaya lele untuk menghasilkan benih sampai berukuran tertentu dengan cara mengawinkan induk jantan dan betina pada kolam-kolam khusus pemijahan. Kegiatan pembenihan bisa dilakukan di dalam ruangan tertutup atau di ruang terbuka di sekitar rumah. Usaha budidaya ikan lele bermula dari kegiatan menghasilkan benih, untuk selanjutnya didederkan dan dibesarkan sampai mencapai ukuran konsumsi (Agriminakultura 2008). Tahapan dalam kegiatan pembenihan diawali dengan penyiapan media unit pembenihan, manajemen atau pengelolaan induk yang baik, pemijahan, sampai dengan penetasan telur menjadi telur atau larva yang kemudian dilanjutkan dengan usaha pemeliharaan larva sampai ukuran tertentu untuk

tahapan pendederan. Induk yang akan dipijahkan dipilih yang sudah matang kelamin dan umurnya tidak kurang dari satu tahun. Menurut peternak ikan lele, ciri induk betina ikan lele yang telah siap untuk dipijahkan diantaranya bagian perut tampak membesar kearah anus dan jika diraba terasa lembek, lubang kelamin berwarna kemerahan dan tampak agak membesar. Jika bagian perut secara perlahan diurut kearah anus, akan keluar beberapa butir telur berwarna kekuning-kuningan dan ukurannya relatif besar, serta pergerakannya lamban dan jinak, sedangkan ciri-ciri induk ikan lele jantan yang telah siap untuk dipijahkan diantaranya alat kelamin tampak jelas dan lebih runcing, warna tubuh agak kemerah-merahan, tubuhnya ramping dan gerakannya lincah. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam kegiatan pemijahan ikan lele. Saat ini dikenal 3 cara pemijahan, yaitu pemijahan secara alami, pemijahan semi alami, dan pemijahan buatan. Pemijahan alami diartikan sebagai pemijahan yang dilakukan dengan cara induk tidak diberi rangsangan, sehingga memijah secara alami (memijah dengan sendirinya di kolam pemijahan). Pemijahan semi alami adalah pemijahan dengan cara induk diberi rangsangan dari kelenjar hipofisa atau hormon ovaprim agar terangsang untuk segera memijah dan melakukannya secara alami atau memijah sendiri. Adapun pemijahan buatan adalah induk diberi rangsangan atau suntikan kelenjar hipofisa atau hormon ovaprim, kemudian memijah secara buatan dengan bantuan manuasi. Untuk diketahui, kelenjar hipofisa berada di kepala ikan di bawah otak, sementara ovaprim merupakan hormon (campuran GnRh dan Domperidone). Pada kelompok tani LPPMPU petani yang melakukan pengusahaan ikan lele dalam kegiatan pembenihan atau pemijahan dengan cara pemijahan semi alami yaitu dengan menggunakan ovaprim dan aqua destilata. Teknik pembenihan dilakukan dengan memilih terlebih dahulu induk ikan lele yang siap untuk dipijahkan, kemudian dari masing-masing induk ikan lele tersebut disuntikkan ovaprim yang telah dicampur dengan aqua destilata. Setelah induk ikan lele disuntik dengan ovaprim maka ikan tersebut ditempatkan pada kolam pemijahan yang telah disiapkan sebelumnya. Dalam waktu 24 jam induk ikan lele

tersebut akan menghasilkan telur sebanyak 25.000 butir telur yang terletak pada kakaban atau sarang telur. Proses produksi pembenihan ikan lele terdiri dari beberapa tahap yaitu persiapan kolam, pemeliharaan induk, seleksi induk, penyuntikan, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva, pencegahan dan pengobatan penyakit, pemanenan larva dan pengepakan. Pada kegiatan pembenihan ikan lele menghasilkan benih yang telah berumur 15-17 hari yang berukuran 0,9-1,3 cm, yang kemudian akan dibesarkan pada kegiatan pendederan ikan lele. 2.3.2. Kegiatan Pendederan Ikan Lele Pendederan bisa diartikan sebagai pembesaran larva dari ukuran benih sampai ukuran tertentu untuk dipelihara pada tahap pembesaran atau untuk dijual kepada peternak pembesaran. Ukuran siap jual (hasil pendederan) yang umumnya berlaku di kalangan peternak lele adalah 1-3 cm (benih), 3-5 cm (pendederan 1), dan 5-8 cm (pendederan 2) (Khairuman dan Amri 2008). Menurut Khairuman dan Amri K (2008) pendederan pertama adalah pemeliharaan benih ukuran 1-3 cm menjadi ukuran 3-5 cm. Pendederan kedua adalah pemeliharaan benih hasil pemeliharaan pendederan pertama 3-5 cm menjadi 5-8 cm. Rata-rata lama masa pendederan adalah 3-4 minggu. Adapun tempat kegiatan pendederan itu bisa dilakukan di jaring apung, terpal plastik, maupun di kolam tanah (tembok/semen). Kegiatan pendederan yang dilakukan pada kelompok tani LPPMPU adalah pendederan kedua yaitu menghasilkan benih yang berukuran 5-5,5 cm. Kolam yang pergunakan untuk pemeliharaan benih ikan lele adalah kolam semen dan kolam terpal. Masa pemeliharaan benih ikan lele adalah selama 1 bulan dari awal benih ditebar pada kolam pemeliharaan. Jenis pakan yang diberikan adalah pelet 99, dengan dosis yang diberikan adalah 3 kali sehari yaitu pada pagi hari, siang hari, dan sore hari. Padat tebar dalam setiap kolam adalah sebanyak 22.500 ekor benih ikan lele yang berukuran 0,9-1,3 cm. Proses produksi pendederan ikan lele terdiri dari beberapa tahap yaitu persiapan kolam, penebaran benih, pemeliharaan benih, pemberian pakan, pencegahan dan pengobatan penyakit, pemanenan benih dan pengepakan atau panen.

2.3.3. Kegiatan Pembesaran Ikan Lele Hasil pendederan 1 dan 2 hingga ukuran 5-8 cm belum bisa langsung untuk dikonsumsi. Ikan ukuran seperti ini harus dipelihara lagi untuk tahapan pembesaran sampai mencapai ukuran layak konsumsi, yaitu minimal 200 gram per ekor (5-6 ekor per kg). oleh karena itu, tahapan pembesaran merupakan tahapan penting dalam pemeliharaan ikan lele supaya bisa menghasilkan ikan panenan yang diterima konsumen untuk langsung dijadikan ikan konsumsi (Khairuman dan Amri 2008). Pembesaran ikan lele dapat dilakukan di kolam tanah atau kolam tembok atau kolam yang menggunakan bak plastik (terpal). Untuk jenis kolam, ada tiga ketegori utama yang bisa digunakan sebagai tempat pembesaran ikan lele. Pertama adalah kolam tanah, yaitu kolam yang dasar dan dinding atau tanggulnya tanah. Kemudian, kolam yang dasarnya tanah dengan dinding tembok, kolam yang semuanya tembok atau beton (dasar dan dindingnya tembok), dan menggunakan jaring atau waring untuk memelihara di sungai, danau, maupun waduk (Khairuman dan Amri 2008). Kegiatan pembesaran ikan lele pada kelomok tani dilakukan dengan menggunakan kolam semen dan kolam yang dindingnya semen tetapi dasarnya adalah tanah. Dalam kegiatan pembesaran kelompok tani LPPMPU menghasilkan ikan lele ukuran konsumsi 9-10 ekor per kilogramnya. Masa pemeliharan pada kegiatan pembesaran ikan lele yaitu membutuhkan waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan kegiatan pembenihan dan pendederan yaitu selama 3 bulan, sehingga petani LPPMPU dapat melakukan panen sebanyak 4 kali dalam setahun. Jumlah benih yang ditebar dalam satu kolam adalah 4.000 ekor dengan ukuran benih yang ditebar adalah pendederan kedua yaitu 5-5,5 cm. Jenis pakan yang diberikan pada benih ikan lele adalah pelet 782 dan pelet hiprovit. Harga ikan lele ukuran konsumsi yang siap panen adalah Rp 10.000,00 per kilogramnya.

2.4. Penanggulangan Hama dan Penyakit

Salah satu kendala yang sering dihadapi petani dalam budidaya ikan lele adalah serangan hama dan penyakit. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan hama biasanya tidak sebesar serangan penyakit. Meskipun demikian, keduanya

harus mendapat perhatian sehingga budidaya lele dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pencegahan merupakan tindakan yang paling efektif dibandingkan dengan pengobatan. Sebab, pencegahan dilakukan sebelum terjadi serangan, baik hama maupun penyakit, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar (Khairuman dan Amri 2008).
1) Hama Hama adalah organisme pengganggu yang dapat memangsa, membunuh dan mempengaruhi produktivitas lele, baik secara langsung maupun secara bertahap. Hama yang menyerang lele biasanya datang dari luar melalui aliran air, udara atau darat. Hama yang berasal dari dalam biasanya akibat persiapan kolam yang kurang sempurna. Hama yang sering menyerang ikan lele, terutama yang masih berukuran kecil adalah ular, belut, dan cacing. Pada pengusahaan pembenihan ikan lele LPPMPU hama yang sering menyerang pada benih ikan lele adalah cacing. Cacing tersebut berasal dari tempat penampungan air, sehingga sebelum benih ikan lele ditebar pada kolam pemeliharaan diberi garam dengan tujuan untuk membunuh hama atau cacing yang dapat menyebabkan kematian pada benih ikan lele. Setelah pemberian garam dengan merata, maka cacingcacing tersebut akan mati dan mengambang dipermukaan air. Cacing yang sudah mati diangkat dengan menggunakan serokan, jika pada kolam pemeliharaan sudah bersih dari cacing maka benih siap ditebar. 2) Penyakit Penyakit dapat diartikan sebagai organisme yang hidup dan berkembang di dalam tubuh ikan lele sehingga organ tubuh ikan lele terganggu. Jika salah satu atau sebagian organ tubuh ikan lele terganggu, akan terganggu pula seluruh jaringan tubuh ikan lele. Kemudian penyakit akan timbul jika terjadi ketidakseimbangan antara kondisi ikan lele, lingkugan dan pantogen. Ikan lele yang kondisi tubuhnya buruk, sangat besar kemungkinan terserang penyakit. Sebaliknya, jika kondisinya tubuhnya baik, ikan lele sangat kecil kemungkinan terserang penyakit. Kondisi tubuh yang buruk dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti terjadinya perubahan lingkungan secara mendadak yang membuat ikan lele mengalami stress atau terjadi luka dan pendarahan pada tubuhnya. Luka dan pendarahan dapat terjadi akibat penanganan kurang baik, terutama pada saat panen, dan sistem pengangkutan yang kurang tepat. Demikian pula dengan kondisi lingkungan. Jika lingkungan kurang baik, seperti kandungan oksigen di kolam rendah, ada gas beracun atau terjadi pencemaran (baik limbah industri maupun limbah rumah tangga), kondisi tubuh lele bisa manjadi lemah. Penyakit yang sering meyerang pada

tubuh ikan lele adalah bintik putih (white spot). Tanda-tanda ikan lele terkena penyakit bintik putih adalah terdapat bintik-bintik putih pada kulit, sirip dan insang. Ikan lele berenang sangat lemah dan selalu berenang dipermukaan air. Selain itu juga ikan lele sering menggosokkan tubuhnya ke dasar kolam atau benda-benda keras. Cara penanggulangannya yaitu dengan cara ikan lele yang terkena penyakit bintik putih dipisahkan dengan ikan yang belum terserang penyakit tersebut. Ikan lele dimasukkan pada kolam yang telah diberikan garam selama 3 jam. Setelah ikan lele diobati selama 3 jam, ikan lele tersebut diangkat dan dipindahkan pada kolam pemeliharaan yang baru, sampai keadaan ikan lele tersebut pulih kembali.

2.5. Pakan Ikan Lele Untuk hidup dan berkembang biak ikan lele memerlukan pakan. Jenis, ukuran dan jumlah pakan yang diberikan tergantung dari ukuran dan jumlah ikan lele yang dipelihara. Ada dua jenis pakan yang disukai ikan lele, yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami merupakan mikroorganisme yang hidup di dalam air, seperti plankton, sedangkan pakan buatan adalah pakan yang di buat oleh manusia atau pabrik, meskipun demikian pakan alami dapat dibuat dengan cara membudidayakannya. Disamping pakan tersebut, ada satu lagi jenis pakan yang dapat diberikan, yaitu pakan alternatif.

Pakan alternatif yang dapat diberikan kepada ikan lele antara lain ikan rucah atau ikan-ikan hasil tangkapan dari laut yang sudah tidak layak dikonsumsi manusia, limbah peternak ayam, limbah pemindangan ikan, dan daging bekicot atau daging keong mas. Karena ikan lele tergolong karnivora atau pemakan daging, pakan yang diberikan, baik buatan maupun alami harus yang mengandung daging. Pakan buatan seperti pelet biasanya telah mengandung daging yang berasal dari tepung ikan, dengan kandungan protein tidak kurang dari 30 persen. Pakan buatan dalam bentuk pelet diberikan pada lele yang telah berukuran agak besar, yakni 30 gram ke atas. Sementara itu, ikan lele yang berukuran lebih kecil dapat diberi pakan pelet, tetapi dalam bentuk tepung atau crumble yang ukurannya lebih besar daripada tepung. Ukuran pakan buatan yang diberikan disesuaikan dengan bukaan mulut lele. Semakin kecil bukaan mulut, semakin kecil ukuran pakan yang diberikan (Khairuman dan Amri 2008).

Jenis pakan ikan lele yang diberikan pada kelompok tani LPPMPU adalah keong sawah dan pelet kasar merek Hiprovit untuk pakan induk ikan lele, sedangkan jenis pakan yang diberikan pada benih ikan lele adalah cacing sutra, dan pelet halus (pelet 99 merek Hiprovit). Dosis yang diberikan pada ikan lele adalah 3 kali dalam satu hari yaitu pada pagi hari, siang hari, dan malam hari. Keong tidak dapat diberikan langsung pada induk ikan lele, tetapi harus terlebih dulu dipisahkan cangkang dan dagingnya yaitu dengan cara memecahkan cangkang (ditumbuk) kemudian diambil dagingnya. Setelah bersih dari cangkang, daging keong bisa langsung diberikan pada induk ikan lele. 2.6. Hasil Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis kelayakan usaha budidaya perikanan seperti lobster air tawar, udang dan budidaya ikan konsumsi maupun ikan hias. Salah satunya adalah Perdana (2007) yang meneliti tentang Analisis Kelayakan Usaha secara Partisifasif pada Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Gurame (Studi Kasus Kelompok Tani Tirta Maju, Desa Situgede). Analisis kelayakan usaha yang dilakukan menunjukkan bahwa usaha keseragaman budidaya pembesaran ikan gurame pada Kelompok Tani Tirta Maju layak untuk diimplementasikan dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen maupun finansial. Analisis pendapatan usahatani menunjukkan nilai keuntungan sebesar Rp 16.238.500,00 dan R/C sebesar 1,29, sedangkan dalam analisis penilaian investasi usaha diperoleh nilai NPV, PI, IRR dan PBP masing-masing sebesar Rp 10.433.512,00 : 1,67 ; 28,9 persen ; dan 2,9 periode. Namun demikian, usaha ini masih termasuk kurang profitable dan menarik bagi bank atau investor untuk menanamkan modalnya. Hal ini dikarenakan keuntungan per bulan usaha ini selama 5 periode berjalan hanya sebesar Rp 260.838,00. Selain itu, pendapatan per bulan setiap anggota yang terlibat berdasarkan nilai keuntungan satu periode hanya sebesar Rp 225.535,00 dan lebih rendah dari kebutuhan rumah tangga yang mencapai Rp 450.000,00 per bulan. Hasil perhitungan dari analisis sensitivitas menunjukkan bahwa kelayakan usaha Tirta Maju cukup peka terhadap perubahan yang terjadi pada faktor harga jual ikan gurame dan volume produksi. Sementara itu, perubahan pada faktor harga pakan buatan (pelet) tidak terlalu berpengaruh terhadap kelayakan usaha ini. Pada kenaikan harga pelet mencapai 61 persen dapat menyebabkan usaha ini menjadi tidak layak. Afni (2008) yang melakukan penelitian dengan judul Analisis Kelayakan Pengusahaan Lobster Air Tawar (Kasus KBLATS Farm, Kecamatan Gunung Guruh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Penelitian ini menggunakan 3 skenario yaitu, sekenario I pada usaha pembenihan lobster air tawar arus penerimaan diperoleh dari hasil

penjualan benih lobster air tawar dan nilai sisa biaya investasi berupa tanah dan bangunan. Tiap induk betina dapat menghasilkan 200 ekor telur dengan tingkat kematian (SR) telur menjadi benih lobster berumur 2 bulan adalah 15 persen. Jadi, pada tiap produksi didapatkan 10.000 butir telur dengan jumlah benih hidup sebanyak 8.500 ekor. Hasil analisis kriteria investasi terhadap usaha pembenihan lobster diperoleh NPV sebesar Rp 73.792.135,00. Net B/C sebesar 3,47 dan IRR sebesar 33 persen. Menyatakan bahwa usaha pembenihan lobster air tawar layak untuk diusahakan. Pola usaha pembenihan lobster air tawar memiliki periode pengembalian biaya investasi selama 4,04 tahun. Hasil analisis sensitivitas pada usaha pembenihan lobster air tawar, apabila terjadi penurunan produksi, kenaikan harga pakan, dan penurunan harga jual yang masing-masing adalah 23,8 persen, 774,95 persen, dan 23,8 persen. Besarnya penurunan produksi dan harga jual sebesar 23,8 persen menunjukkan bahwa usaha pembenihan lobster air tawar ini masih layak apabila penurunan yang terjadi terhadap produksi dan harga jual tidak lebih besar dari 23,8 persen. Sementara itu, besarnya kenaikan harga pakan yang masih dapat mendatangkan keuntungan bagi usaha pembenihan lobster air tawar adalah 774,95 persen. Hal ini berarti bahwa kenaikan harga pakan memiliki pengaruh yang kecil terhadap kelangsungan usaha. Pada usaha pembesaran lobster air tawar dengan menggunakan skenario II, arus penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan lobster ukuran konsumsi dan diperoleh dari hasil nilai sisa biaya investasi proyek berupa lahan serta bangunan. Jumlah benih yang ditebar adalah 3.545 ekor dengan tingkat kematian benih (SR) adalah 25 persen, sehingga jumlah lobster yang dapat di panen hanya 75 persen dari total benih yang ditebar. Hasil analisis kriteria investasi terhadap usaha pembesaran lobster air tawar diperoleh NPV sebesar Rp 112.563.989,00. Net B/C sebesar 4,22 dan IRR sebesar 41 persen. Hal ini menyatakan bahwa usaha pembesaran lobster air tawar layak untuk diusahakan. Pola usaha pembesaran lobster air tawar memiliki periode pengembalian biaya investasi selama 3,40 tahun. Hasil analisis sensitivitas pada usaha pembesaran lobster air tawar menunjukkan bahwa perubahan terhadap penurunan produksi, kenaikan harga pakan dan harga jual masih layak apabila besarnya penurunan produksi dan harga jual tidak melebihi 23,11 persen. Jika penurunan yang terjadi lebih besar dari 23,11 persen, maka usaha pembesaran lobster air tawar ini menjadi tidak layak. Sementara itu, kenaikan harga pakan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap kelayakan usaha. Hal ini dapat dilihat dari besarnya perubahan kenaikan harga pakan yang mencapai 571,77 persen, sehingga

dapat dilihat bahwa usaha pembesaran lobster air tawar sangat sensitif terhadap perubahan produksi dan harga jual karena dapat mengubah tingkat kelayakan usahanya. Pada pola usaha III yaitu usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar, arus pemasukan diperoleh dari penjualan benih lobster dan penjualan lobster konsumsi. Hasil analisis kriteria investasi terhadap usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar diperoleh nilai NPV sebesar Rp 138.280.330,00, Net B/C sebesar 5,14 dan IRR sebesar 52 persen. Hal ini menyatakan bahwa usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar layak untuk diusahakan. Pola usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar memiliki periode pengembalian biaya investasi selama 2,79 tahun. Hasil analisis sensitivitas pada usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar diperoleh apabila perubahan terhadap penurunan produksi dan penurunan harga jual yang terjadi melebihi 34,87 persen, maka usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar ini menjadi tidak layak. Dengan perubahan kenaikan harga yang masih dapat mendatangkan keuntungan bagi usaha ini adalah sebesar 828,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga pakan memiliki pengaruh yang kecil terhadap kelayakan usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar. Anggraini (2008) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Kelayakan Finansial Usaha Ikan Mas (Cyprinus carpio) dengan cara Pemberokan (Kasus : Desa Selajambe, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat). Berdasarkan hasil perhitungan analisis kelayakan finansial pada tingkat diskonto sebesar 5,5 persen dan umur ekonomis selama 10 tahun menunjukkan bahwa usaha ikan Mas dengan cara pemberokan pada ketiga skala usaha (kecil, menengah, dan besar) di daerah penelitian layak diusahakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPV pada skala kecil sebesar Rp 112,293 juta, pada skala menengah sebesar Rp 1.588,601 juta, dan pada skala besar sebesar Rp 6.772,189 juta. Sementara itu nilai IRR yang diperoleh pada skala kecil adalah 14 persen, pada skala menengah sebesar 59 persen, dan pada skala besar diperoleh IRR sebesar 55 persen. Nilai Net B/C yang diperoleh pada skala usaha kecil adalah 1,511, pada skala menengah adalah 4,45, dan pada skala besar adalah 4,19, sedangkan payback period pada skala kecil yaitu 9 tahun 3 bulan, pada skala menengah adalah selama 2 tahun 10 bulan, dan pada skala besar adalah selama 3 tahun 7 bulan. Jika dilihat dari nilai IRR, Net B/C, dan payback period pada ketiga skala usaha tersebut, dapat disimpulkan bahwa usaha ikan Mas dengan cara pemberokan pada skala menengah adalah yang paling efisien untuk diusahakan. Hal tersebut dikarenakan usaha yang dilakukan pada skala menengah merupakan yang paling optimal di mana produksi ikan Mas per meter perseginya sudah lebih sesuai dengan kondisi ideal menurut dinas

perikanan. Sementara itu untuk skala usaha kecil dan skala usaha besar, produksi ikan Mas per meter perseginya belum mencapai kondisi ideal. Jumlah tenaga kerja yang kurang seimbang dengan luas usaha yang diolah mengakibatkan sistem budidaya pada skala usaha besar, khususnya cara pemupukan dan pemberian pakan, tidak dilakukan secara optimal. Pada skala usaha kecil, penggunaan benih yang kurang berkualitas menyebabkan usaha ikan Mas pada skala tersebut memiliki tingkat kelayakan lebih rendah dibandingkan dengan skala lainnya. Beberapa penelitian lain yang terkait dengan kelayakan usaha budidaya komoditas perikanan juga dilakukan oleh Sugama (2008) yang melakukan penelitian mengenai Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Kerapu Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali). Berdasarkan hasil analisis finansial diperoleh nilai NPV pada usaha pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu dan masingmasing hasilnya adalah Rp 330.405.688,00, Rp 448.428.815,00, dan Rp 206.600.377,00 keuntungan yang diperoleh pada selama 10 tahun. Nilai IRR yang diperoleh yaitu pada ikan kerapu macan sebesar 72 persen, ikan kerapu bebek sebesar 96 persen, dan ikan kerapu sunu sebesar 46 persen, sedangkan nilai Net B/C yang diperoleh pada usaha pembenihan ikan kerapu macan sebesar 3,179, pembenihan ikan kerapu bebek diperoleh 4,867, dan pembenihan ikan kerapu sunu diperoleh nilai sebesar 2,431. Payback period yang diperoleh dalam usaha pembenihan ikan kerapu macan adalah 3 tahun, pembenihan ikan kerapu bebek adalah 2 tahun 2,9 bulan dan untuk pembenihan ikan kerapu sunu adalah 3 tahun 3,36 bulan. Berdasarkan nilai-nilai tersebut maka usaha pembenihan ikan kerapu secara masing-masing layak untuk diusahakan. Dari hasil analisis sensitivitas, diperoleh bahwa usaha pembenihan ikan kerapu macan paling sensitif dan tidak layak diusahakan jika terjadi pada penurunan harga benih, diikuti dengan pembenihan gabungan, pembenihan kerapu bebek, dan pembenihan kerapu sunu tetapi masih layak untuk dilaksanakan. Jika terjadi penurunan tingkat kematian (SR), usaha pembenihan ikan kerapu sunu dan ikan kerapu macan merupakan usaha yang paling sensitif dan tidak layak untuk dilaksanakan, diikuti dengan pembenihan kerapu gabungan, dan kerapu bebek tetapi masih layak untuk dilaksanakan. Jika terjadi kenaikan harga telur, usaha pembenihan ikan kerapu sunu merupakan usaha yang paling sensitif diikuti pembenihan ikan kerapu macan, pembenihan ikan kerapu bebek, pembenihan ikan gabungan tetapi usaha masih tetap layak untuk dilaksanakan. Surahmat (2009), meneliti mengenai Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Larva Ikan Bawal Air Tawar Bens Fish Farm Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Berdasarkan kriteria kelayakan finansial pada skenario I dengan tingkat diskonto 7,25 persen usaha pembenihan larva ikan bawal Bens Fisha Farm di cabang usaha yang ke 24, diperoleh NPV lebih besar dari nol yaitu sebesar Rp 587.596.184,05 artinya usaha ini layak untuk dilaksanakan, sedangkan nilai Net B/C rasio yang diperoleh sebesar 4,15 lebih besar dari satu yang berarti dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan selama umur proyek mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar 4,15 rupiah dan usaha ini layak untuk dilaksanakan. Nilai IRR sebesar 61 persen lebih besar dari tingkat suku bunga deposito, sedangkan waktu yang diperlukan untuk pengembalian total investasi selama 2 tahun 3 bulan. Hasil analisis finansial dengan skenario II yang berasal dari modal pinjaman diperoleh nilai NPV sebesar Rp 9.501.982,34 yang artinya usaha pembenihan larva Bens Fish Farm di cabang yang ke 24 memberikan manfaat yang positif pada tingkat suku bunga kredit 14 persen. Usaha tersebut jika dilaksanakan akan masih memperoleh keuntungan yang sangat kecil yaitu sebesar Rp 9.501.982,34. Nilai Net B/C rasio sebesar 3,9 lebih besar dari satu yang berarti dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan selama umur proyek mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar 3,9 rupiah dan usaha ini layak untuk dilaksanakan. Nilai IRR sebesar 21 persen lebih besar dari tingkat suku bunga pinjaman sebesar 14 persen, artinya investasi di usaha ini masih menguntungkan dan usaha ini layak untuk dilaksanakan. Waktu pengembalian modal investasi melebihi dari 10 tahun yang lebih besar dari umur proyek, sehingga usaha tersebut tidak layak. Dari hasil analisis switching value untuk mengetahui tingkat perubahan harga jual larva, penurunan produksi larva, dan kenaikan harga input (ovaprim), sehingga keuntungan mendekati normal, dimana NPV mendekati atau sama dengan nol atau bisa juga dengan menggunakan parameter IRR sama dengan tingkat suku bunga. Skenario I dengan modal sendiri, penurunan harga jual larva yang masih dapat ditolerir sebesar 7,04 persen yaitu dari harga Rp 8 per ekor menjadi Rp 7,43 per ekor. Pengusahaan pembenihan larva ikan bawal masih layak diusahakan apabila penurunan jumlah produksi tidak melebihi 42,1 persen yaitu dari 29.030.400 ekor menjadi 16.810.661 ekor, sedangkan untuk peningkatan harga input agar usaha tersebut masih layak diusahakan sampai 95,89 persen. Untuk skenario II dengan modal pinjaman, tidak dilakukan switching value karena dengan modal pinjaman usaha tidak layak untuk dilaksanakan berdasarkan waktu pengembalian modal investasi yang lebih besar dari umur proyek. Dengan demikian dapat disimpulkan berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial, bahwa skenario I dengan modal sendiri usaha tersebut layak untuk dilaksanakan, sedangkan dengan modal pinjaman tidak layak untuk dilaksanakan, hal ini dikarenakan

waktu pengembalian investasi lebih besar dari umur proyek. Hasil analisis switching value usaha tersebut sangat sensitif terhadap perubahan harga jual larva ikan bawal. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, persamaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada kriteria analisis kelayakan usaha yaitu menggunakan alat analisis data seperti NPV, Net B/C, IRR, Payback Period dan analisis Switching value. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah mengambil topik dan komoditi yang berbeda yaitu analisis kelayakan usaha ikan lele dan tempat yang berbeda dengan yang sebelumnya. Narasumber dalam penelitian ini merupakan kelompok tani LPPMPU (Lembaga Pemberdayaan Pemuda dan Masyarakat Peduli Umat) yang melakukan pengusahaan ikan lele di daerah Kecamatan Babelan yang melakukan kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan lele. Modal awal yang ditanamkan dalam pengusahaan ikan lele dumbo merupakan modal sendiri, selain itu juga yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah membandingkan jenis pengusahaan yang dilakukan oleh kelompok tani yaitu pengusahaan pembenihan ikan lele dumbo dengan pengusahaan pembesaran ikan lele dumbo, serta merencanakan untuk mengembangkan skala usaha kecil menjadi skala usaha besar. Data diolah dengan menggunakan Sofware Microsoft Excel dan interpretasi data secara deskriptif untuk melihat apakah investasi usaha ini nantinya akan layak untuk dilaksanakan atau tidak.

You might also like