You are on page 1of 5

RSS Feed

Geotrek Indonesia
Memandang alam dengan pengertian, jauh lebih berarti dan menyukakan hati daripada hanya menyaksikan keelokannya. (Albert Heim, 1878)

Bayat, Klaten: Bukan Kawan Karangsambung dan Akhir Perjalanan


Posted on July 17, 2013 by Ridwan Hutagalung Oleh: Awang Harun Satyana Kunjungan kami ke Bayat, Klaten pada Jumat, 28 Juni 2013 mengakhiri fieldtrip geologi Jawa Selatan setelah memulainya dari hari Minggu 23 Juni 2013 di Pelabuhanratu, Jawa Barat. Bayat, atau juga disebut Perbukitan Jiwo di literatur-literatur geologi, sering dikaitkan dengan dua area kunci lainnya yaitu Ciletuh dan Karangsambung yang sudah saya tuliskan ceritanya. Mereka bertiga suka dimasukkan sebagai jalur subduksi Kapur Akhir karena keberadaan batuan praTersiernya. Tetapi Bayat lain dari yang lain dan nampaknya bukan merupakan anggota jalur subduksi Kapur Akhir meskipun memiliki batuan metamorf berumur Kapur Akhir. Secara gamblang saja, Bayat hanya mempunyai batuan metamorf pra-Tersier, tidak ada ofiolit, tidak ada juga mlange, dan tidak ada endapan olistostrome, atau turbidit Paleogen seperti di Ciletuh dan Karangsambung (dalam hal ini bukan umur Old-Andesite Kebobutak). Maka, beberapa peneliti tak memasukkannya ke jalur subduksi, saya sepakat, mungkin jalur subduksi dari Karangsambung melintas lebih ke utara dari Bayat. Saya menulis (Satyana, 2003) Bayat duduk di atas suatu continental sliver, atau mikrokontinen kecil dan bukan bagian subduksi Kapur Akhir, terlebih semua batuan metamorfiknya berasosiasi dengan kerak benua (terutama filit yang kaya akan kuarsa), bukan kerak samudera. Bahwa Bayat mengandung singkapan batuan-batuan Pratersier khususnya metamorf diketahui secara detail untuk pertama kalinya oleh penelitian ahli geologi Bothe (1929). Kemudian, menjadi makin populer oleh publikasi-publikasi dari van Bemmelen (1949), Sumosusastro (1956) dan Sumarso dan Ismoyowati (1975). Bayat kemudian mulai dikaitkan secara tektonik ke jalur subduksi Kapur Akhir Karangsambung oleh Asikin (1974) dan Hamilton (1979). Kelompok batuan Pratersier Perbukitan Jiwo, Bayat secara umum terdiri atas filit, sekis dan marmer. Dalam kunjungan singkat ini, kami hanya mendapatkan singkapan filit. Dan memang hanya filit yang dominan dijumpai, baik di daerah Jiwo Barat maupun Jiwo Timur. Sebagian besar singkapan filit dalam keadaan lapuk, hanya sedikit singkapan filit yang segar. Pada singkapan filit biasanya dijumpai urat-urat kuarsa dan kalsit yang sejajar dengan foliasi filit. Penelitian Pak

Prasetyadi pada 2007 menunjukkan bahwa komposisi filit terdiri atas mineral kuarsa yang hadir dominan (60-70%), klorit dan serisit (20-25%), sedikit mineral opak. Perhatikan bahwa komposisi ini menunjukkan fasies kontinen (dominan kuarsa). Batuan metamorf lainnya di Bayat, sekis dan marmer, tidak luas penyebarannya, dan ditemukan sebagian sebagai fragmen di batuan sedimen Tersier atau bersisipan dengan filit. Komposisinya pada umumnya juga menunjukkan fasies kontinen yang didominasi mineral kuarsa. Umur batuan metamorfik di Bayat berdasarkan pengukuran dengan metode K-Ar pada sekis mika adalah 98 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir) (Prasetyadi, 2007). Umur sekis mika di Karangsambung adalah 125-110 juta tahun yang lalu. Kelompok batuan Tersier di Bayat terdiri atas Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Tengah yang disusun oleh konglomerat, batupasir kuarsa, batugamping Nummulites, dan batulempung. Formasi Wungkal-Gamping ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Kebobutak yang singkapannya terdapat di bagian tenggara daerah Bayat dan terdiri atas lava basaltikandesitik, batupasir volkanik dengan sisipan batulanau dan laminasi tuf. Umur formasi ini adalah Oligosen Akhir sampai Miosen Awal (Surono dkk., 1992). Formasi-formasi ini diterobos oleh intrusi mikrodiorit (Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Formasi Tersier termuda di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat adalah Formasi Wonosari yang berumur Miosen Akhir (Surono dkk., 1992) dan menumpang secara tidak selaras di atas formasi-formasi yang lebih tua. Formasi Wonosari terdiri atas batugamping klastik yang berselang-seling dengan napal, batugamping terumbu, dan batugamping tufan. Kunjungan singkat kami di Jiwo Barat dan Jiwo Timur mendatangi singkapan-singkapan: batuan metamorf filit, konglomerat alas yang lebih tua dari Wungkal-Gamping, singkapan batugamping Wungkal yang kaya akan fosil Nummulites, intrusi mikrodiorit mirip gabro post Oligo-Miosen, mungkin Miosen Tengah, dan batugamping Wonosari (Miosen Atas). Singkapan paling menarik yang kami dapatkan adalah singkapan kontak Pratersier Tersier di Desa Padasan, Jiwo Timur. Singkapan ini penting kerena menunjukkan kontak antara Basement metamorfik filit dengan batugamping Wungkal yang banyak mengandung Nummulites. Kontak ketidakselarasan di antara dua jenis batuan ini dipisahkan oleh lapisan tipis yang nampaknya konglomerat alas yang disusun oleh fragmen filit, sekis dan kuarsit dalam kemas terbuka. AKHIR PERJALANAN Kunjungan kami di Bayat ini merupakan stop site terakhir. Total lintasan yang ditempuh selama enam hari (23-28 Juni 2013) sejak Jakarta ke Pelabuhanratu, Ciletuh, Gunung Walat, Rajamandala, Tasikmalaya, Karanggayam, Karangsambung, Nanggulan, dan Bayat ini lebih panjang dari setengah panjang Pulau Jawa. Semua target yang direncanakan tercapai. Perjalanan berlangsung dengan lancar dan aman. Banyak hal baru dan penyegaran kembali tentang geologi Jawa Selatan yang diperoleh, baik oleh para peserta dari Pertamina maupun instrukturnya sendiri (saya dan Pak Prasetyadi-Geo UPN Yogyakarta). Diskusi di lapangan dan di kelas telah melahirkan pemahaman-pemahaman baru yang membuka ide untuk melahirkan konsep-konsep eksplorasi hidrokarbon Jawa Selatan. Berikut adalah kata-kata kunci saya tentang fieldtrip ini yang cerita-ceritanya sudah saya tulis untuk semua lokasi yang kami kunjungi: GEOLOGY IS SCIENCE OF ROCKS AND THEIR RELATIONS IN FIELD, THEREFORE GEOLOGISTS SHOULD LOVE ROCKS AND FIELD.

Seperti juga kata Robert Compton, seorang field geologist terkenal penulis buku-buku geologi lapangan, Field studies are the primary means of obtaining geologic knowledge. Observations made at individual outcrops are fundamental. Geologist is continuously observing relations and making interpretations in the field. (Robert Compton, 1962)

(http://geotrekindonesia.files.wordpress.com/2013/07/bayat-1.jpg)

(http://geotrekindonesia.files.wordpress.com/2013/07/bayat-2.jpg)

(http://geotrekindonesia.files.wordpress.com/2013/07/bayat-3.jpg)

(http://geotrekindonesia.files.wordpress.com/2013/07/bayat-4.jpg)

(http://geotrekindonesia.files.wordpress.com/2013/07/bayat-5.jpg)

(http://geotrekindonesia.files.wordpress.com/2013/07/bayat-6.jpg)

(http://geotrekindonesia.files.wordpress.com/2013/07/bayat-7.jpg)
O c c a s i o n a l l y , s o meo f y o u r v i s i t o r sma y s e e a n a d v e r t i s e me n t h e r e . A b o u t t h e s e a d s ( h t t p : / / w o r d p r e s s . c o m/ a b o u t t h e s e a d s / ) T e l l memo r e( h t t p : / / e n . w o r d p r e s s . c o m/ a b o u t t h e s e a d s / ) | D i s mi s st h i sme s s a g e

Leave a comment Posted in Geo-Histori, Geologi, Ilmu Alam, Indonesia. Bookmark the permalink.

About Ridwan Hutagalung


Selamat menikmati tulisan-tulisan seputar geo-histori Indonesia. Semoga dapat membuka wawasan dan menumbuhkan kecintaan yang mendalam pada alam Indonesia: "Memandang alam dengan pengertian jauh lebih bermakna dan menyukakan hati daripada menikmati keelokannya saja." Albert Heim 1849-1937. View all posts by Ridwan Hutagalung Blog at WordPress.com. The Liquorice Theme.

You might also like