Professional Documents
Culture Documents
DEFINISI DAN ETIOLOGI Definisi Anosmia adalah suatu tidak adanya/hilangnya sensasi penciuman, dalam hal ini berarti hilangnya kemampuan mencium atau membau dari indera penciuman. Hilangnya sensasi ini bisa parsial ataupun total. Etiologi a. Defek konduktif 1) Proses inflamasi / peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. 2) Adanya massa / tumor dapat menyumbat rongga hidung sehinga menghalangi aliran adorant / ke epitel olfaktorius. 3) Abnormalitas development (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi. 4) Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hisposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. b. Defek sentral / sensorineural 1) Proses infeksi / inflamasi menyebabkan defek sentral gangguan pada transmisi sinyal. 2) Penyebab congenital menyebabkan hilangnya struktur syaraf. 3) Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi pembauan. 4) Trauma kepala, operasi otak atau perdarahan subarachnoid dapat menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia. 5) Toksitisitas dari obat obatan sistemik dan inhalasi 6) Definsi gizi (vit A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengarui pembauan. Factor resiko a. Proses degenerative patologi (penyakit Parkinson, Alzheimer) b. Proses degenaratife normal (penuaan) c. Lingkungan o Perokok o Pencemaran bahan kimia o Cuaca o Virus bakteri pathogen d. Usia Dengan bertambahnya usia seseorang jumlah neuron olfaktorius lambat laun akan berkurang sehingga mengurangi daya penciuman. e. Jenis kelamin Perempuan lebih beresiko menderita anosmia karena jumlah bulu hidung relative lebih sedikit daripada pria dan imunitas yang kurang sehingga beresiko terhadap infeksi pada hidung. 2. PATOFISILOGI Indra penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam system penginderaan kimia kita (chemosensation). Proses yang kompleks dari mencium dan mengecap di mulai ketika molekul molekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang menstimulasi sel syaraf khusus dihidung, mulut atau tenggorokan. Sel sel ini menyalurkan pesan ke otak,
dimana bau dan rasa khusus di identifikasi. Sel sel olfaktori (saraf penciuman) di stimulasi oleh bau busuk di sekitar kita. Contoh aroma dari mawar adonan pada roti. Sel sel saraf ini ditemukan di sebuah tambahan kecil dari jaringan terletak diatas hidung bagian dalam, dan mereka terhubung secara langsung ke otak penciuman (olfaktori) terjadi karena adanya molekul molekul yang menguap dan masuk kesaluran hidung dan mengenal olfactory membrane. Manusia memiliki kira kira 10.000 sel reseptor berbentuk rambut. Bila molekul udara masuk, maka sel sel ini mengirimkan impuls saraf (Loncent, 1988). Pada mekanisme terdapat gangguan atau kerusakan dari sel sel olfaktorus menyebabkan reseptor dapat mengirimkan impuls menuju susunan saraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari sarafnya sehingga tidak dapat mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan dari saraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi impuls yang masuk. 3. MANIFESTASI KLINIS a. Berkurangnya kemampuan dan bahkan sampai tidak bisa mendeteksi bau. b. Gangguan pembau yang timbul bisa bersifat total / tidak bisa mendeteksi seluruh bau. c. Dapat bersifat parsial / hanya sejumlah bau yang dapat dideteksi. d. Dapat juga bersifat spesifik (hanya satu / sejumlah kecil yang dapat dideteksi) e. Kehilangan kemampuan merasa / mendeteksi rasa dalam makanan yang di makan. f. Berkurangnya nafsu makan. 4. PENATALAKSANAAN MEDIS a. Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sesuai penciuman antara lain antihistamin bila diindikasi penderita alergi b. Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman. c. Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat digunakan dekongostan nasal. d. Suplemen zink kadang direkomendasikan e. Kerusakan neuro olfaktorius akibat infeksi virus prognosisnya buruk, karena tidak dapat di obati. f. Terapi vitamin A sebagian besar dalam bentuk vitamin A 5. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN PENUNJANG MEDIS a. Merubah / menghentikan obat obatan yang diduga menjadi penyebab terjadi kelainan. b. Menjaga agar mulut tetap basah dengan cara mengulum permen. c. Menunggu beberapa minggu untuk melihat perkembangan selanjutnya. 6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Temuan laboratorium Telah dikembangkan teknik teknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius. b. Pencitraan CT scan dan MRI dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii anterior yang tidak diduga sebelumnya, sinusitis paranasolik dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. c. Pemeriksaan sensorik 1) Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif Untuk menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensori kualitatif. 2) Langkah kedua menentukan ambang deteksi Setelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk nil-teil metil karbonil. Tahapan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing masing sisi hidung.
Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat mendeteksi bau. Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau). ANATOMI DAN FISIOLOGI (4,5) Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus, daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius.Dengan bertambahnya usia seseorang, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain neuron olfaktorius, epitel ini juga tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan glandula Bowman yang sifatnya unik pada epitel olfaktorius dan sel basal yang berfungsi pada regenerasi epitel. Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahan-bahan kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama. Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. Reseptor odorant termasuk bagian dari G-protein receptor superfamily yang berhubungan dengan adenilat siklase. Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun tiap neuron hanya mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari dibuatnya peta pembauan (olfactory map). Neuron yang menyerupai reseptor yang terdapat di epitel mengirimkan akson yang kemudian menyatu dalam akson gabungan pada fila olfaktoria didalam epitel. PATOGENESIS (4). Aspek-aspek molekuler dari penciuman kini telah dipahami. Pada mammalia, kemungkinan ada 300-1000 gen reseptor penciuman yang termasuk dalam 20 keluarga yang berbeda yang terletak di berbagai kromosom dalam kelompok-kelompok. Gen-gen reseptor ditemukan pada lebih dari 25 lokasi kromosom manusia. Protein-protein reseptor penciuman adalah reseptor-reseptor tergabung protein G yang ditandai oleh keberadaan domain transmembran 7 alfa-helikal. Masing-masing neuron penciuman hanya mengekspresikan satu, atau paling banyak beberapa, gen reseptor, menjadi dasar molekuler untuk pembedaan bau. Maka sistem penciuman ditandai
GANGGUAN PENCIUMAN/PENGHIDU PENDAHULUAN Indera penghidu/pembau yang merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersamasama. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepetiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior (1). Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan pembauan yang sejati maka artikel ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan penurunannya. (2) Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika menderita gangguan pembauan, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan. Penelitian yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa mereka pernah mengalami penurunan ketajaman pembauan. (2,3) Terminologi. (2) Gangguan pembauan disebut dengan osmia. Gangguan Pembauan. Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau disosmia : distorsi identifikasi bau Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau tidak enak. Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau
oleh tiga hal yang penting: (1) keluarga gen reseptor yang besar yang menunjukkan keberagaman yang sangat baik sehingga memungkinkan respon terhadap berbagai bau, (2) protein-protein reseptor yang menunjukkan spesifitas yang hebat sehingga memungkinkan pembedaan bau, dan (3) hubungan-hubungan bau disimpan dalam ingatan lama sesudah peristiwa terjadinya paparan dilupakan. ETIOLOGI (4,6). Disfungsi pembauan Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena virus; dan trauma kepala. (2). Defek konduktif 1. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang progresif dan seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif. 2. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan keganasan. 3. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi. 4. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini. Defek sentral/sensorineural 1. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel. 2. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan bahwa pada Kallman syndrome tidak terbentuk VNO. 3. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi pembauan. 4. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan
subarakhnoid dapat menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia. 5. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obatobatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung. 6. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan. 7. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun. Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat. 8. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh. Walau dahulu pernah dianggap sebagai defek konduktif murni akibat adanya edema mukosa dan pembentukan polip, rhinosinusitis kronik nampaknya juga menyebabkan kerusakan neuroepitel disertai hilangnya reseptor olfaktorius yang pemanen melalui upregulated apoptosis. DIAGNOSIS GANGGUAN PEMBAUAN (2). Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Berikan penekanan khusus pada riwayat URI, patologi hidung atau sinus, riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang diminum. Lakukan CT scan jika dipandang perlu. Pada umumnya, berkurangnya fungsi pembauan tanpa disertei gejala susunan saraf pusat atau pemeriksaan neurologis yang abnormal sangat kecil kemungkinannya berhubungan dengan massa intrakranial seperti meningioma. Kendati demikian seringkali dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan MRI apabila riwayat penyakitnya tidak mendukung atau ditemukan gejala dan tanda neurologis sekunder. Walau tidak dianjurkan untuk melakkan pemeriksaan laboratorium standard namun dapat dilakukan pemeriksaan alergi, DM, fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hepar, fungsi endokrin, dan defisiensi gizi berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Biopsi epitel olfaktorius merupakan suatu teknik dalam riset. A. Tanda dan Gejala Mengetahui awitan dan perkembangan kelainan penciuman dapat menjadi hal yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis etiologik. Anosmia unilateral jarang menjadi keluhan; ia hanya dapat dikenali dengan menguji bau secara terpisah pada masing-masing lubang hidung. Anosmia bilateral, di lain pihak, membuat pasien mencari pertolongan dokter. Pasien-pasien anosmik biasanya
mengeluhkan hilangnya kemampuan merasa meskipun ambang rasanya mungkin berada pada kisaran normal. Pada kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya deteksi rasa, yang sebagian besar merupakan fungsi dari penciuman. (2,4) B. Temuan Fisik Pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas bagian atas, kepala, dan leher. Kelainan pada masing-masing daerah kepala dan leher dapat menyebabkan disfungsi penciuman. Keberadaan otitis media serosa dapat menunjukkan adanya massa nasofaring atau peradangan. Pemeriksaan hidung yang seksama untuk mencari massa hidung, jendalan darah, polip, dan peradangan membran hidung sangat penting. Bila ada, rinoskopi anterior harus ditunjang dengan pemeriksaan endoskopik pada rongga hidung dan nasofaring. Keberadaan telekantus pada pemeriksaan mata dapat mengarah ke massa atau peradangan di sinus. Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring dapat ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran tiroid. Pemeriksaan saraf yang menekankan pada nervus kranialis dan fungsi sensorimotorik sangat penting. Mood pasien secara umum harus dinilai dan tanda-tanda depresi harus dicatat. (4) C. Temuan Laboratorium Telah dikembangkan teknik-teknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius. Namun, karena degenerasi neuroepitelium olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel pernapasan pada daerah penciuman orang dewasa tanpa disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi harus diinterpretasikan dengan hati-hati. (4) D. Pencitraan CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis, dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus dilihat melalui CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus. (4) E. Pemeriksaan Sensorik (2). Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk (1) memastikan keluhan pasien, (2) mengevaluasi kemanjuran terapi, dan (3) menentukan derajat gangguan permanen. 1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman. a. Tes Odor stix Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.
b. Tes alkohol 12 inci Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien. c. Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) Tersedia scratch and sniff card yang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar. d. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) Tes yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi Bau ini paling mirip seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah, dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tesretes jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 719 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal. 2. Langkah ke-dua menentukan ambang deteksi Setelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung. TERAPI (4) A. Kurang Penciuman Hantaran Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau: (1) pengelolaan alergi; (2) terapi antibiotik; (3) terapi glukokortikoid sistemik dan topikal; dan (4) operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik. B. Kurang Penciuman Sensorineural Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter menganjurkan terapi seng dan vitamin. Defisiensi seng yang mencolok tak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah
geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya, konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini. (4) C. Kurang Penciuman Akibat Penuaan (Presbiosmia) Seperti dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh orang yang berusia di atas 60 tahun menderita disfungsi penciuman. Belum ada terapi yang efektif untuk presbiosmia namun sangat penting untuk membicarakan masalah ini dengan pasien-pasien usia lanjut; dapat menenangkan bagi pasien ketika seorang dokter mengenali dan membicarakan bahwa gangguan penciuman memang umum terjadi. Selain itu, manfaat langsung dapat diperoleh dengan mengidentifikasi masalah tersebut sejak dini; insidensi kecelakaan akibat gas alam sangat tinggi pada usia lanjut, kemungkinan sebagian karena penurunan kemampuan membau secara bertahap. Merkaptan, bau busuk pada gas alam, adalah perangsang olfaktorius, bukan trigeminal. Banyak pasien yang lebih tua dengan disfungsi penciuman mengalami penurunan sensasi rasa dan lebih suka memakan makanan-makanan yang lebih kaya rasa. Metode yang paling umum adalah meningkatkan jumlah garam dalam diitnya. Konseling dengan seksama dapat membantu pasien-pasien ini mengembangkan strategi-strategi yang sehat untuk mengatasi gangguan kemampuan membaunya. PROGNOSIS. (4) Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya. Disfungsi penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat disembuhkan. (2,4,5) Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama menderita infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya; namun, sebagian kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik. Karena alasan-alasan yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada dekade keempat, kelima, dan keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya buruk. Kemampuan dan ambang pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya usia. Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan kurang penciuman, meskipun anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan dapat terjadi dengan penghilangan bahan penyebabnya.
Fisiologi Penciuman Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus, daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius.Dengan bertambahnya usia seseorang, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain neuron olfaktorius, epitel ini juga tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan glandula Bowman yang sifatnya unik pada epitel olfaktorius dan sel basal yang berfungsi pada regenerasi epitel. Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahan-bahan kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama. Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari.
Reseptor odorant termasuk bagian dari G-protein receptor superfamily yang berhubungan dengan adenilat siklase. Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun tiap neuron hanya mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari dibuatnya peta pembauan (olfactory map). Neuron yang menyerupai reseptor yang terdapat di epitel mengirimkan akson yang kemudian menyatu dalam akson gabungan pada fila olfaktoria didalam epitel.
Anatomi Hidung & Sinus Paranasalis Hidung merupakan bagian yang paling menonjol pada wajah. Fungsinya sebagai jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air condition)1, penyaring & pembersih udara2, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses berbicara, dan refleksi nasal. Hidung juga merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis dan saluran air mata. Struktur hidung luar terdiri atas 3 bagian, yaitu : 1. Kubah tulang. Letaknya paling atas dan bagian hidung yang tidak bisa digerakkan.
2. Kubah kartilago (tulang rawan). Letaknya dibawah kubah tulang dan bagian hidung yangbisa sedikit digerakkan. 3. Lobulus hidung. Letaknya paling bawah dan bagian hidung yang paling mudah digerakkan. Struktur penting dari anatomi hidung : 1. Dorsum nasi (batang hidung)
2. Septum nasi
3. Kavum nasi (lubang hidung) Proses Mencium Pada saat bernapas, zat kimia berupa gas akan dihirup masuk ke dalam rongga hidung. Sumber bau pada zat kimia tersebut akan dilarutkan oleh selaput lendir kemudian akan merangsang rambut-rambut halus pada sel pembau. Sel pembau akan meneruskan rangsangan ini ke otak danmengolahnya sehingga kita dapat membedakan jenis bau dari zat kimia tersebut. Dorsum Nasi (Batang Hidung) Struktur yang membangun dorsum nasi (batang hidung) : 1. Bagian kaudal dorsum nasi (batang hidung) 2. Bagian kranial dorsum nasi (batang hidung) Bagian kaudal dorsum nasi (batang hidung) merupakan bagian lunak dari dorsum nasi (batang hidung). Tersusun oleh kartilago lateralis dan kartilago alaris. Jaringan ikat yang keras menghubungkan antara kulit dan perikondrium pada kartilago alaris. Bagian kranial dorsum nasi (batang hidung) merupakan bagian keras dari dorsum nasi (batang hidung). Tersusun oleh os nasalis dan ossis maksila prosesus frontalis. Septum Nasi Fungsi utama septum nasi adalah menopang dorsum nasi (batang hidung) dan membagi dua kavum nasi (lubang hidung). Struktur yang membangun septum nasi adalah 2 tulang dan 2 kartilago, yaitu : 1. Bagian anterior septum nasi 2. Bagian posterior septum nasi Bagian anterior septum nasi tersusun oleh tulang rawan, yaitu kartilago quadrangularis, cartilago alaris mayor crus medial, dan cartilago septi nasi. Bagian anterior septum nasi terdapat plexus Kiesselbach. Bagian posterior septum nasi tersusun oleh os vomer dan os ethmoidalis lamina perpendikularis. Kelainan septum nasi yang paling sering ditemukan adalah deviasi septi. Kavum Nasi (Lubang Hidung) Rongga / lubang hidung (cavum nasi / cavitas nasi) berbentuk terowongan dari depan kebelakang. Rongga hidung dilapisi 2 jenis mukosa, yaitu mukosa olfaktori dan mukosa respiratori. Rongga hidung tersusun oleh :
1. Nares anterior (nosetril). Nares anterior merupakan lubang depan rongga hidung (cavitas nasi). 2. Vestibulum nasi. Letaknya dibelakang nares anterior. Vestibulum nasi dilapisi oleh rambut dan kelenjar sebasea3. 3. Nares posterior (choanae). Nares posterior (choanae) merupakan lubang belakang rongga hidung (cavitas nasi). Penghubung antara rongga hidung (cavitas nasi) dengan nasofaring. Rongga / lubang hidung (cavum nasi / cavitas nasi) merupakan suatu ruangan yang memiliki dinding dan batas, yaitu : 1. Dinding medial kavum nasi (lubang hidung) yaitu septum nasi. 2. Dinding lateral kavum nasi (lubang hidung) yaitu konka nasi4 dan meatus nasi. Keduanyaterbagi atas konka nasi superior, meatus nasi superior, konka nasi medius, meatus nasi medius, konka nasi inferior, meatus nasi inferior, dan konka nasi suprema. Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus nasi inferior. Sinus paranasalis golongan anteriorbermuara pada meatus nasi medius. Sinus paranasalis golongan posterior bermuara padameatus nasi superior. 3. Batas anterior kavum nasi (lubang hidung) yaitu nares (introitus kavum nasi). 4. Batas posterior kavum nasi (lubang hidung) yaitu koane. 5. Dinding superior kavum nasi (lubang hidung) yaitu lamina kribrosa (lamina kribriformis).Lamina kribriformis memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. Selain itu, bagianatap ini dibentuk oleh os frontonasal, os ethmoidalis dan os sphenoidalis. 6. Dinding inferior kavum nasi (lubang hidung) yaitu palatum durum (processus palatina os maxilla dan lamina horisontal os palatina). Rongga / lubang hidung (cavum nasi / cavitas nasi) berdasarkan epitel pelapisnya terbagi atas : 1. Vestibulum nasi. Vestibulum nasi dilapisi epitel squamous complex. Terdapat vibrissae(rambut) 2. Regio respiratoria. Regio respiratoria dilapisi epitel pseudocolumnar. 3. Regio olfaktoria. Regio olfaktoria dilapisi neuroepitelium yang berasal dari nervus olfaktorius menembus lamina et foramina cribrosa. Vestibulum nasi dan regio respiratoria dibatasi oleh limen nasi. Vaskularisasi Rongga Hidung Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari
arteri ethmoidalis anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena
hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Plexus Kiesselbach
merupakan anyaman pembuluh darah pada septum nasi bagian anterior. Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum anterior & posterior, arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior. Pecahnya plexux Kiesselbach biasanya akan menyebabkan epistaksis anterior5. Innervasi Rongga Hidung Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari nervus nasalis anterior6 cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung bagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan parasimpatis rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lender meliputinya untuk melembabkan rongga hidung. Sinus Paranasalis Sinus paranasalis merupakan rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga udarahidung. Biasanya berjumlah 12 rongga. Fungsi sinus paranasalis antara lain : 1. Mengurangi berat tulang wajah. 2. Memelihara kekuatan dan bentuk tulang. 3. Menambah resonansi suara. Golongan besar sinus paranasalis : 1. Golongan anterior sinus paranasalis yaitu sinus maksilaris, sinus ethmoidalis anterior, dan sinus frontalis. 2. Golongan posterior sinus paranasalis yaitu sinus ethmoidalis posterior, dan sinus sfenoidalis.Ostia golongan anterior sinus paranasalis berada pada meatus nasi medius. Ostia golongan posterior sinus paranasalis berada pada meatus nasi superior. Pus dalam meatus nasi medius akan mengalir ke dalam vestibulum nasi. Pus dalam meatus nasi superior akan mengalir ke dalam faring.
Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma, penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder. Prosedur operasi yang diketahui berpengaruh adalah turbinektomi parsial dan total (80%), operasi sinus tanpa turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%). Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid, lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada negara berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis atrofi sekunder. Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi sekunder, namun sering ditemukan superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi radiasi pada hidung dan sinus hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma hidung sebanyak 1%.1 Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai penyebab rinitis atrofi: 1,3 ,5 1) Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain Yakni infeksi oleh Stafilokokus, Streptokokus danPseudomonas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus
mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena. Telahdilaporkan terjadinya rinitis atrofi
pada seorang anak 7 tahun dari satu keluarga setelah anak dari tetangga keluarga tersebut yang diketahui menderita rinitis atrofi menginap bersamanya. 2) Defisiensi besi dan vitamin A Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapat terapi besi dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan simptomatis. Adanya hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi menunjukkan peran diet pada penyakit ini. 3) Perkembangan Dilaporkan adanya pengurangan diameter anteropsterior hidung dan aliran udara maksiler yang buruk pada penderita rinitis atrofi. 4) Lingkungan Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan apatida.
Rhinitis atrofi
ETIOLOGI Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder.1Rinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.3,4 Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.1
5) Sinusitis kronik 6) Ketidakseimbangan hormon estrogen Dilaporkan adanya perburukan penyakit saat hamil atau menstruasi. 7) Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
Teori mekanik dari Zaufal 9) Ketidakseimbangan otonom 10) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS) 11) Herediter Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pada sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini. 12) Supurasi di hidung dan sinus paranasal 13) Golongan darah PATOGENESIS Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri).1,3,5 Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.1,3,5
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.3 GEJALA KLINIS Pemeriksaan fisik terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali. Tanda pertama sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa kasus, bau ini bisa berat. Hal ini akan menyebabkan ganggguan pada setiap orang kecuali pasien, karena pasien mengalami anosmia. Beberapa pasien juga memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi sosial dari penyakit. 1 Pasien biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas, dan perasaan kering pada hidung.3, 7 Gejala adalah : 3, 5 Gejala : - obstruksi hidung (buntu) - sakit kepala - epistaksis pada pelepasan krusta - bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang ada di sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa olfaktoria. - Faringitis sikka - Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke orofaring. klinis rinitis atrofi secara umum
Tanda : - foeter ex nasi - krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam - pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan mukosa hidung Mukosa secara umum atrofi, dengan metaplasia epitel skuamosa. Volume kavum nasi terlihat membesar, yang mungkin terjadi karena adanya laserasi dinding lateral hidung. 1 Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 3 a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan yang dapat dilakukan menegakkan diagnosis rinitis atrofi : 3,5,7 apusan hidung . radiologi dan kultur punksi sinus untuk meniyingkirkan sepsis pada sinus. test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis. tes serologi yang lain : protein Serum. pemeriksaan Fe serum pemeriksaan darah rutin ANA dan anti-DNA antibodi. untuk
CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan Pemeriksaan radiologis rinitis atrofi dapat dilakukan pada penyakit primer maupun sekunder, tapi tidak ada tanda yang dapat membedakan di antara keduanya. Perubahan kavum hidung bisa ditemukan dengan foto sederhana atau CT scan. Foto sederhana dapat menunjukkan membusurnya dinding lateral hidung yang, berkurang atau tidak adanya aliran, atau hipoplastik sinus maksilaris. 1 Pada CT scan dapat ditemukan : 1, 4, 5 penebalan mukoperiosteum sinus paranasal kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk meresobsi bula etmoid dan proses uncinate.
hipoplasia sinus maksilaris pelebaran kavum hidung dengan membusurnya dinding lateral hidung . erosi dan
resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior. DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, dan perubahan yang terjadi pada hidung seperti adanya pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan terdapatnya perlekatan, penebalan dan krusta hijau kuning, pemeriksaan mikrobiologi dengan isolasi bakteri seperti K. ozaenae dari kultur hidung . 3,4 DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut :
2
1. Rinitis atrofi: sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan, penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas. 2. Sinusitis: sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anakanak maupun orang dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi. 3. Nasofaringitis kronis: sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain tidak
membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita PENATALAKSANAAN Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu secara topikal, sistemik dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir terbentuknya krusta.1 Terapi Topikal Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau sebagai suatu terapi yang bersifatrumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat beberapa variasi tipe dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada literatur yang menunjukan akan kelebihan bahan yang satu dengan lainnya.1 Adapun bahan-bahan itu antara lain:1,3,6 1. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau larutan NaCl NH4Cl NaHCO3 aaa9 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat 2. Larutan garam dapur 3. Campuran Na bikarbonat 28,4 g Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat 4. Larutan antibiotik berupa Gentamisin 80 mg dalam satu liter NaCl Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air
yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Beberapa literatur juga menyarankan untuk menambahkan minyak mawar (rose oil) atau mentol untuk menutupi bau yang terdapat pada rinitis atropi. Perlu diingat bahwa pengobatan topikal rinitis atropi dengan irigasi nasal tidak berfungsi untuk menghilangkan penyakit, melainkan sekedar mencegah penyakit hingga harus dilakukan secara berkelanjutan. Ketidak patuhan dalam melanjutkan terapi biasnya berdampak dengan kambuhnya penyakit dalam sebagian besar kasus.1 Terapi Sistemik Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal. Terapi yang biasa digunakan ialah dengan pemberian antibiotik. Diberikan antibiotik berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun waktu 2 tahun pemakaian.1,6 Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan diantaranya ialah adjuvan berupa vitamin A yang terbukti berhasil mengalami peningkatan >80% dalam sebuah penelitian dan adjuvan berupa besi yang juga berhasil mengalami peningkatan >50%. Penggunaan kortikosteroid juga pernah diajukan sebagai suatu adjuvan namun beberapa ahli menyatakan penggunaan kortikosteroid merupakan kontra indikasi bagi pasien dengan rinitis atropi. Vasokontriksi untuk kongesti nasal juga merupakan kontra indikasi karena berhubungan dengan berkurangnya vaskularisasi di mukosa.1 Terapi Bedah Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang maksimal, pasien akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang muncul meskipun sudah seringkali melakukan terapi lanjutan. Dalam rangka mencegah pasien untuk bergantung pada terapi medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan terapi bedah. Secara umum terapi bedah terdiri dalam 3 bagian kategori antara lain denervasi, reduksi volume rongga hidung dan penutupan nasal1 Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara
lain:3
1. Operasi Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. 2. Operasi Young yang dimodifikasi Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3. Operasi Lautenschlager Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin. 5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasiWittmack) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Adapun operasi denervasi nasal antara lain:5 1. Simpatektomi servikal 2. Blokade ganglion Stellata 3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung.3,6 PROGNOSIS Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan. yang bertujuan sebagai