You are on page 1of 17

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Latar Belakang Meskipun istilah "lupus eritematosus" diperkenalkan dalam dunia kedokteran pada abad ke-19 untuk menggambarkan lesi kulit, butuh waktu hampir 100 tahun untuk mengetahui bahwa penyakit ini merupakan penyakit sistemik dan tidak ada keterkaitan dengan organ namunn hal itu disebabkan oleh respon autoimun.1 Heterogenitas klinis penyakit ini membentuk 11 kriteria (Tabel 2), dibutuhkan untuk 4 kriteria untuk diagnosis formal systemic lupus erythematosus (SLE / LES) .2 Pada sebagian besar pasien terdapat keterlibatan organ vital dan jaringan seperti otak, darah, dan ginjal dan sebagian besar dari mereka adalah wanita usia subur, (Gambar 1). Prevalensi berkisar antara 20 sampai 150 kasus per 100.000 penduduk, dengan prevalensi tertinggi dilaporkan di Brazil. Di Amerika Serikat, orang-orang keturunan Afrika dan Asia, dibandingkan dengan orang-orang dari ras lain, cenderung memiliki peningkatan prevalensi LES yang lebih besar. Tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun penyakit ini sekitar 70% .3 Lupus Eritematosus Sistemik (selanjutnya disingkat sebagai LES) merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat, dimana tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibodi terhadap antigen nuklear (ANAs), sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ. Manifestasi klinisnya tergantung organ mana yang terkena. Dengan demikian tampilan klinis LES sangat bervariasi baik berat-ringannnya maupun gejala dan tandanya. Hal ini tentu saja menyulitkan dokter untuk mendiagnosis secara dini. Jika pasien terdiagnosis dalam keadaan sudah jelas semua tanda dan gejalanya timbul, biasanya penyakitnya sudah berat, penatalaksaannya lebih sulit, butuh obat-obatan yang lebih mahal dan prognosisnyapun lebih buruk.14,21,23,27 Prevalensi LES di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun akhir-akhir ini Lupus mendapat perhatian lebih karena temuan kasusnya meningkat dan tingginya angka kematian pasien yang dirawat di ruangan. Dari 3025 pasien baru reumatik di Poliklinik Reumatik RS Hasan Sadikin sepanjang 2003-2005, 6.4% diantaranya adalah pasien Lupus. Delapan dari 32 kasus Lupus yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam mengalami kematian baik yang terkait langsung Lupusnya seperti nefritis dan keterlibatan susunan saraf pusat maupun karena penyakit penyerta seperti infeksi dengan sepsis.22 Manifestasi klinis beragam LES menyajikan tantangan terhadap dokter dokter. Beberapa mekanisme menyebabkan hilangnya daya tahan dan menyebakan disfungsi organ. Artikel ini merangkum factor genetik, epigenetik, lingkungan, hormonal, dan immunoregulatory yang berkontribusi terhadap cedera jaringan dan manifestasi klinis dan juga menjelaskan upaya untuk mengembangkan pengobatan rasional untuk penyakit ini. I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis ingin mengetahui definisi, faktor resiko, manifestasi klinik, diagnosis, diagnosis banding, komplikasi, penatalaksanaan, dan pencegahan Systemic Lupus Erythematosus.

I.3.

Tujuan

- Memahami definisi, etiologi, diagnosis, diagnosis banding, komplikasi, dan penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus. - Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran - memenuhi salah satu persyaratan kelulusan kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RS. AK GANI Palembang Fakultas kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. I.4. Metode Penulisan

Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu kepada beberapa literatur.

BAB II PEMBAHASAN
II.1 Patogenesis LES

Memahami patogenesis LES sangat penting agar dapat menentukan terapi yang paling efektif. LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan episode aktivasi komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen yang dicurigai berperan pada LES dan faktor lingkungan yang menghasilkan respon imun abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B juga. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal antara lain produksi autoantibodi yang beberapa diantaranya membentuk kompleks imun, dan depositnya dijaringan menimbulkan kerusakan. 14,17,18. Tabel 1. Autoantibodi yang berkaitan dengan penyakit autoimun 18,21,23,28 Spesifisitas Epitop ds-DNA Keterangan Berhubungan dengan bentuk lupus yang berat, seperti nefritis lupus tipe

glomerulonefritis proliferatif difus, dan lupus dengan target organ jantung dan paru. Smith Berhubungan dengan nefritis lupus tipe membranopati RNP Berhubungan phenomenon dan dengan indikasi Raynauds keterlibatan

pulmo dan muskuloskeletal SS-A (Anti-Ro) Lupus kutaneus, sicca complex, dan

sindroma lupus neonatal SS-B (Anti-La) Apabila ada maka meningkatkan resiko lupus neonatal

Predisposisi Phospholipid Centromere

fetal

loss,

trombus,

dan

trombositopenia Didapatkan pada LES tanpa sindroma CREST hanya ada Raynauds phenomenon Mengindikasikan scleroderma perubahan ke arah

SCL-70 (topoisomerase)

II.2

Etiologi LES

1. Genetik4,5,6,7 Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi antiSm dan anti-RNP. 2. Defisiensi komplemen12,13 Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

3. Hormon 10,11. Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit. 4. Lingkungan 8,9 Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II. 5. Obat-obatan14,15,16,17,21,23 Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang menyerupai penyakit LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus ini diantaranya : Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenylhydantoin, Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa, Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan antigenantigen tersebut menjadi lebih imunogenik. 6. Stres14,15,16,17,21,23 Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B. II.3 Diagnosis LES 15,18,21,22,23 24,25,26,27,28

Diagnosis LES dibuat dengan kombinasi data-data temuan klinis, patologi dan laboratorium, berdasarkan kriteria dari American College of Rheumatology (ACR). Kriteria ini semula disusun untuk kriteria inklusi clinical trials dan studi populasi bukan untuk diagnosis. Kriteria ini mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat membedakan dengan artritis reumatoid dan penyakit lainnya. Tabel 2. Kriteria ACR untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik Kriteria 1. Malar rash/ Ruam pada wajah 2. Lupus diskoid
a

Definisi Eritema yang rata atau sedikit menimbul diatas permukaan kulit muka, menyerupai kupu-kupu, biasanya tidak mengenai plika nasolabialis Ruam berbentuk bulatan menimbul diatas pemukaan kulit dengan lapisan terkelupas disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin

3. Fotosensitif 4. Ulserasi oral atau nasofaring 5. Artritis 6. Serositis

berbentuk jaringan parut. Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap sinar matahari, diperoleh dari anamnesis atau pemeriksaan fisik. Biasanya tidak terasa nyeri, didapatkan dari pemeriksaan fisik Artritis non erosif mengenai 2 sendi atau lebih, bengkak dan terasa nyeri atau terdapat efusi sinovial. a) Pleuritis adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan pleura pada pemeriksaan atau ada efusi pleura atau b) Perikarditis dari EKG atau didapatkannya bunyi gesekan perikardium atau ada efusi pericardium a) proteinuria menetap > 0.5 g/hari atau pemeriksaan proteinuria urin sewaktu > 3+ atau b) Celular cast dapat berupa sel eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran. a) Kejang spontan bukan karena obat-obatatn atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. Atau b) Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit a) Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau b) Leukopenia kurang dari 4000/mm3 pada 2/ lebih pengukuran c) Limfopenia kurang dari 1500/mm3 pada 2/ lebih pengukuran d) Trombositopenia kurang dari 100.000/mm3 tanpa obat-obatan yang dapat menimbulkan trombositopenia a) Anti-DNA: titer abnormal antibodi terhadap native DNA b) Anti-SM: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos atau atau c) Antiphospholipid antibodi positif berdasarkan pada : (1) Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi anti-kardiolipin atau, (2) Antikoagulan lupus positif dengan menggunakan metode standar atau (3) Uji serologis positif semu selama minimal 6 bulan dan dikonfirmasi oelh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluorosensi absorpsi antibodi treponema Titer ANA abnormal diperiksa dengan metode imunoflurosensi atau cara lain yang setara, yang dilakukan pada waktu yang sama atau adanya sindroma lupus karena obat

7. Kelainan ginjal

8. Kelainan neurologis

9. Kelainan hematologik

10. Kelainan immunologi b

11. Antibodi Antinuclear

a.

Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria. Untuk kepentingan studi klinis, seseorang dikatakan LES apabila didapatkan 4 atau lebih

dari 11 kriteria, baik secara serial maupun berkelanjutan selama interval atau observasi.
b

Modifikasi kriteria no.10 dibuat tahun 1997.

Untuk mempermudah kita dalam mengingat kriteria diagnosis LES dari ACR dibuat singkatan DOPAMIN RASH yaitu: D iscoid rash, Oral ulcers, Photosensitivity, Arthritis, Malar rash, Immnunologic disorder, Neurologic disorder, Renal disorder, Antinuclear antibody, Serositis, Hematologic disorder.

II.4

Penatalaksanaan LES

Non Farmakologis19,22 1. Edukasi Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat LES merupakan penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil. 2. Dukungan sosial dan psikologis. Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan. 3. Istirahat Penderita LES sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi. 4. Tabir surya Pada penderita LES aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam. 5. Monitor ketat Penderita LES mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita LES, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

Farmakologis 18,20,22 Terapi Imunomodulator 1. Siklofosfamid Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis. Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan. Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita LES dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan. 2. Mycophenolate mofetil (MMF) MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita LES dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita LES dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan. 3. Azathioprine Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada LES obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil

> 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman. 4. Leflunomide (Arava) Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien LES yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari. 5. Methotrexate Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita LES dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan. 6. Siklosporin Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman. Agen Biologis 1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang dipresentasikan limfosit B.

2. Anti CD 20 Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk LES yang refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi. 3. LJP 394 LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol. 4. Anti B lymphocyte stimulator Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal terhadap BlyS. 5. Sitokin inhibitor Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita LES. 6. Anti malaria Obat anti malaria yang digunakan pada LES adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan. Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap 6 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital pada janin. Oleh karena itu direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa menyusui. Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.

Hormon Seks Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit LES. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk LES dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien LES yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare LES. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis. Kortikosteroid Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis LES. Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut. Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari. Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini. NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug) NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan

fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas LES atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita LES dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu. Plasmaferesis Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura). Immunoglobulin Intravena Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita LES dengan defisiensi IgA.

BAB III KESIMPULAN LES adalah penyakit autoimun yang dominan pada perempuan dan biasanya memiliki manifestasi di beberapa organ. kelainan sistem kekebalan tubuh, kelainan genetik, hormonal, dan factor lingkungan, berkontribusi terhadap ekspresi kerusakan organ. Kompleks imun, autoantibodi, autoreaktif limfosit, sel dendritik, dan local factor terlibat dalam manifestasi klinis LES. Terapi obat-obatan dapat memperbaiki imunitas yang fungsi terganggu dan manifestasi klinis lainnya. Untuk dapat mendiagnosis lupus diperlukan pemahaman yang baik mengenai patofisiologinya. Selain gejala dan tanda yang tercantum dalam kriteria ACR kita perlu mengetahui bahwa banyak variasi manifestasi lain terutama pada kulit dan susunan syaraf pusat dan perifer. Seringkali penanganan harus segera dilaksanakan pada pasien yang tidak lengkap memenuhi kriteria ACR tapi mengalami life threatening condition semisal CNS lupus, krisis hemolitik, nefritis berat dan poliserositis yang tidak terbukti ada penyebab lain. Dilain pihak kitapun dituntut agar tidak overdiagnostik untuk kasus yang belum jelas. Penanganan lupus seringkali memerlukan kerjasama intra dan inter disiplin cabang dokteran. Sangatlah bijak jika sebagai dokter yang menangani lupus kita sertakan peer group atau support group dalam memberikan edukasi kepada pasien-pasien lupus.

DAFTAR PUSTAKA 1. Duarte C, Couto M, Ines L, Liang MH. Epidemiology of systemic lupus erythematosus. In:Lahita RG, Tsokos G, Buyon J, Koike T, eds. Systemic lupus erythematosus. 5th ed. London: Elsevier, 2011:673-96. 2. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, et al. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1982;25:1271-7. 3. Pons-Estel GJ, Alaron GS, Scofield L, Reinlib L, Cooper GS. Understanding the epidemiology and progression of systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum 2010;39:257-68. 4. Moser KL, Kelly JA, Lessard CJ, Harley JB. Recent insights into the genetic basis of systemic lupus erythematosus. Genes Immun 2009;10:373-9. 5. Tsokos GC, Kammer GM. Molecular aberrations in human systemic lupus erythematosus. Mol Med Today 2000;6:418-24. 6. Manolio TA, Collins FS, Cox NJ, et al. Finding the missing heritability of complex diseases. Nature 2009;461:747-53. 7. Blanchong CA, Chung EK, Rupert KL, et al. Genetic, structural and functional diversities of human complement components C4A and C4B and their mouse homologues, Slp and C4. Int Immunopharmacol2001;1:365-92. 8. Kang I, Quan T, Nolasco H, et al. Defective control of latent Epstein-Barr virus infection in systemic lupus erythematosus. J Immunol 2004;172:1287-94. 9. Poole BD, Scofield RH, Harley JB, James JA. Epstein-Barr virus and molecular mimicry in systemic lupus erythematosus. Autoimmunity 2006;39:63-70. 10. Smith-Bouvier DL, Divekar AA, Sasidhar M, et al. A role for sex chromosome complement in the female bias in autoimmune disease. J Exp Med 2008;205:1099-108. 11. Urowitz MB, Gladman DD, Farewell VT, Stewart J, McDonald J. Lupus and pregnancy studies. Arthritis Rheum 1993; 36:1392-7. 12. Tenbrock K, Juang YT, Leukert N, Roth J, Tsokos GC. The transcriptional repressor cAMP response element modulator alpha interacts with histone deacetylase 1 to repress promoter activeity. J Immunol 2006;177:6159-64. 13. Mishra N, Reilly CM, Brown DR, Ruiz P, Gilkeson GS. Histone deacetylase inhibitors modulate renal disease in the MRL-lpr/lpr mouse. J Clin Invest 2003; 111:539-52.

14.Belmont HM. Lupus Clinical http://www.cerebl.com/lupus/nephritis.php

Overview.

2007.

Available

at:

15.Brent LH.Lupus Nephritis. 2007. Available at:http://www.eMedicine.com/med/tipe1957.htm 16. Schur PH. Complement and Systemic Lupus Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BV. Dubois Lupus Erythematosus. 5th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.245-262. 17. Kashgarian M. Lupus Nephritis: Pathology, Pathogenesis, Clinical Correlations and Prognosis. In: Wallace DJ, Hahn BV. Dubois Lupus Erythematosus. 5th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.1037-1052. 18. Klippel JH, Wortmann RL, Weyand CM. Primer on the Rheumatic Disease, 11th ed. The Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia. 1997. p.246-263. 19. Hahn BV. Management of Systemic Lupus Erythematosus. Systemic Lupus Erythematosus and Related Syndromes. In Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Budd RC, and Sergent JS. Kelleys Textbook of Rheumatology. 6th ed. Volume 2. W.B. Saunders Company; 2001. p.1125-1144. 20. Ginzler EM and Dvorkina. Newer Theurapeutic Approaches for Systemic Lupus Erythematosus. In: Urowitz MB. Rheumatic Disease Clinics of North America. 2005. 31: 315-328. 21. Hahn BV. Systemic Lupus Erythematosus. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci S, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005. p.19601967. 22. Wachyudi RG, Pramudiyo R. Diagnosis dan Terapi Lupus. Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung. 2006. 23. Norton Y. Lupus. A GP Guide to Diagnosis. 2000. LUPUS UK. 24. Wallace DJ. The Clinical presentation of Systemic Lupus Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BV. Dubois Lupus Erythematosus. 5th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.627-634. 25. Edworthy SM. Clinical Manifestation of Systemic Lupus Erythematosus. Systemic Lupus Erythematosus and Related Syndromes. In Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Budd RC, and Sergent JS. Kelleys Textbook of Rheumatology. 6th ed. Volume 2. W.B. Saunders Company; 2001. p.1105-1124. 26. Petri M. Review of Classification Criteria for Systemic Lupus Erythematosus. In: Urowitz MB. Rheumatic Disease Clinics of North America. Saunders. 2005. 31: p.245-254. 27. Dooley MA and Nachman PH. Kidney Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus and Rheumatoid Arthritis. In: Primer of Kidney Disease. 2007. p. 234-240.

28. Petri M. Systemic Lupus Erythematosus. Lupus& Related Autoimmune Disorders. In: Imboden J, Hellmann DB, Stone JH. Current Rheumatology Diagnosis and Treatment. 1sted. McGraw-Hill Company. 2005. p. 171-178.

You might also like