You are on page 1of 22

Konflik Aceh

Konflik vertikal Aceh punya akar sejarah panjang.[1] Akar konflik berkait erat dengan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh adalah wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat komersial kepada pemerintah pusat. Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah dana operasional bagi negara muda, serta pemberian izin pada pemerintah pusat untuk menggunakan tanah Aceh sebagai air base penerbangan diplomasi Indonesia ke luar negeri guna mencari dukungan dunia internasional bagi kemerdekaan Indonesia.[2] Bahkan, dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno.[3] Maklumat ini diantaranya ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh karismatik Aceh. Secara historis pula, kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia telah berproses lama. Antaranya lewat interaksi Sarekat Islam yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916, Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam formal-modern sejak 1919, pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah di Jawa, dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif tahun 1939. Seluruh proses ini, intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan konteks sosial Indonesia sehingga melahirkan dukungan politik dan sosial bagi eksistensi negara Republik Indonesia.[4] Masalah mulai muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI di bawah tekanan Belanda mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka adalah Teungku Daud Beureueh, yang memerintah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo untuk kemudian dibentuk pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya. Selepas PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak memasukkan Aceh sebagai sebuah provinsi mandiri seperti PDRI dahulu ke dalam konstitusinya. Aceh hanya dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari provinsi Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di kalangan tokoh sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang amanahnya pemimpin Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud Beureueh terpaksa memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia tahun 1953. Negara Islam Indonesia ini sebelumnya telah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang dilakukan Aceh adalah demi mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.[5] Selain kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik juga muncul akibat marjinalisasi identitas kultural masyarakat Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom pra kolonial, Aceh punya konsep khas tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural yang lekat pada agama Islam mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam di wilayah Aceh.

Konflik kembali meruyak setelah pada tahun 1974 pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam kekhasan sosio-kultural Aceh. Struktur administrasi baru masyarakat Indonesia juga harus diterapkan di Aceh sehingga merombak lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama.[6] Untuk menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit lokal sebagai perpanjangan tangan dari elit pusat. Selain problem identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Lewat eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk yang dihasilkannya di Aceh mampu digunakan sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara. Eksploitasi lalu mendatangkan masalah saat terjadi reduksi pengembalian profit ekonomi dari pusat ke Aceh. Tahun 1993, LNG Aceh menyumbang 6.664 trilyun rupiah pada pemerintah pusat, sementara yang kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. Lebih ironis lagi, survey BPS 1993 menemukan fakta bahwa Aceh memiliki desa miskin terbesar di Indonesia yaitu 2275 desa.[7] Gencarnya pembangunan pabrik untuk eksploitasi alam berdampak pada meningkatnya kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa. Para pendatang ini dianggap dari kamata para pengelola pabrik lebih profesional. Ketimpangan rekrutmen pekerja ini mendorong munculnya prejudis di kalangan Aceh atas pendatang sehingga memperkuat jargon anti Jakarta yang terkembang dalam Gerakan Aceh Merdeka. Di lain pihak, masyarakat Aceh secara rasional mulai menyadari bahwa hasil tambang (gas dan minyak bumi) mereka telah tereksploitir dan profitnya lebih banyak dibawa ke pusat ketimbang dikembalikan ke daerah. Bukti bahwa konflik Aceh belum usai adalah seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di Tiro, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, dengan propaganda anti Jawa.[8] Berdirinya GAM merupakan sebuah katup pelepasan rangkaian faktor pendorong konflik di Aceh. Manifestasi konfliknya bersifat vertikal, yang direpresentasikan konflik militer antara GAM versus ABRI (saat itu). Lebih tinggi lagi, konflik daerah versus pusat. Dalam konflik ini, Aceh dimasukkan ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Sikap pusat ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat terhadap Aceh dan membenarkan gerakan mereka. Pemberlakuan DOM mengindikasikan resolusi konflik yang state-centric, di mana kekuatan militer digelar sejak tahun 1970-an. Resolusi konflik tidak kunjung meredakan konflik, karena sifatnya reaktif, tidak menyentuh akar konflik, dan didominir penggunaan kacamata pemerintah pusat. Hanya penyelesaian bersifat dialogis, tenang, dan saling pengertian saja yang mampu menyelesaikan larutan konflik Aceh. Lambang Trijono menulis, setelah mengambil momentum bencana Tsunami Aceh 2004, pemerintah Indonesia kembali membuka dialog perdamaian dengan tokoh-tokoh GAM.[9] Puncaknya adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh Pemerintah Republik Indonesia (diwakili Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh Merdeka (diwakili Malik Mahmud selaku Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia, ketua dewan direktur Crisis Management Initiative sebagai fasilitator) pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Dalam butir 1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur semua sektor publik kecuali hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal,

kekuasan kehakiman, dan kebebasan beragama yang seluruhnya tetap berada di tangan pemerintah pusat.[10] Selain itu, pasal 1.1.4. mengakui batas wilayah propinsi Aceh sesuai yang berlaku sejak 1 Juli 1956. Juga disepakati bahwa Qanun Aceh akan kembali disusun guna menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh. Aceh juga berhak menggunakan simbol-simbol bendera, lambang, dan himne sendiri. Di bidang ekonomi, Aceh secara unilateral berhak memperoleh dana lewat hutang luar negeri, bahkan menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Aceh juga berhak menguasai 70% semua hasil yang diperoleh dari cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya di wilayah darat dan laut Aceh, baik saat penandatangangan MOU maupun di masa mendatang. Dalam masalah keamanan, GAM sepakat untuk mendemobilisasi 3.000 pasukan militernya, dengan mana anggota GAM tidak lagi menggunakan seragam, emblem, atau simbol militer mereka sendiri setelah penandatangan Nota Kesepahaman. GAM juga sepakat menyerahkan persenjataan sejak 15 September 2005 dan selesai 31 Desember 2005. Jumlah tentara organik pemerintah yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang. Kini, merupakan tugas seluruh pihak, baik pemerintah daerah Aceh, rakyat Aceh, pemerintah Republik Indonesia, dan seluruh warganegara Indonesia untuk mempertahankan keberhasilan perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah. Kini Aceh harus membangun, terlebih setelah hentakan Tsunami dan konflik berlarut-larut yang terjadi selama ini.

Tuntutan-tuntutan ini menghadapkan masyarakat pada tantangan-tantangan yangmemungkinkan dua pilihan yaitu pertama, masyarakat dapat mengabaikan tuntutan-tuntutankelompok-kelompok kecil dan lemah tanpa membahayakan perdamaiannya. Akan tetapi,masyarakat tidak dapat mengabaikan tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok besar dankemungkinan besar kelompok-kelompok besar tersebut tanpa membahayakan perdamaian dankelangsungan hidupnya sebagai integritas keseluruhan 7 c. Kekuatan yang amat besarFaktor ketiga untuk memelihara perdamaian di dalam masyarakat nasional adalahkekuatan yang amat besar dengan mana masyarakat dapat menghentikan sejak awalsetiap usaha untuk mengganggu perdamaian. PERAN NEGARA DALAM MEMELIHARA PERDAMAIAN 1. Negara memberikan kontinuitas hukum masyarakat nasional.2. Negara membentuk badan-badan kelembagaan dan proses-proses perubahan sosial3. Negara membentuk badan-badan untuk pelaksanaan hukumnya.Peran Negara yang sebagai agen penyelesaian konflik ialah mengkonstruksikan struktur-struktur lembaga perdamaian melalui penerapan norma-norma dalam peraturan-peraturan hukumyang bertugas untuk menyelesaiakan perkara-perkara sosial di dalam negara. 7

Ibid. 520

BAB II TELAAH PUSTAKA

A.

Konsep Resolusi Konflik Konsep resolusi konflik telah menjadi konsep yang begitu kompleks dalam ranah

hubungan internasional, terutama bagi penstudi hubungan internasional dewasa ini. Penggunaan istilah konflik dan resolusi konflik seringkali membingungkan, karena istilah yang sama digunakan dengan cara yang berbeda di dalam kepustakaan akademis dan dalam penggunaan secara umum. Pada dasarnya, pengertian dari resolusi konflik dapat kita lihat berdasarkan pengertian konflik itu sendiri. Konflik bukanlah suatu hal yang baru dalam kehidupan manusia. Konflik sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ketika manusia berinteraksi dengan manusia lainnya, akan ada ditemukan perbedaan paham, pandangan akan suatu hal atau bahkan perbedaan kepentingan antar individu yang berinteraksi tersebut. Konflik yang terjadi dalam kehidupan manusia dapat berskala kecil atau bahkan dapat bersifat destructive (desktruktif). Beberapa macam konflik yang bersifat destruktif adalah beberapa konflik yang merupakan perang sipil yang terjadi antar kelompok dalam suatu negara, antara pemerintah dengan kelompok separatis atau bahkan antar negara. Konflik bersifat destruktif ketika konflik tersebut telah memasuki tahapan kekerasan. Pada dasarnya, konflik memiliki berbagai macam pengertian. Boulding1 menggambarkan konflik sebagai suatu situasi dimana adanya perebutan atau pertentangan antar kelompok dan kompetisi internasional diantara kepentingan dan nilai yang mewarnai dinamika kekuasaan. Defenisi
1

Ho Won Jeong, op cit., hal. 5.

lainnya yang dijelaskan oleh Lulofs dan Cahn2, bahwa situasi konflik digambarkan dengan perasaan dimana tujuan yang ingin dicapai tidak sama dan usaha untuk mengontrol masingmasing pilihan lawan, yang pada umumnya merugikan perasaan dan prilaku lawan. Pada akhirnya, mempertaruhkan hubungan itu sendiri dan bagaimana hubungan ditetapkan. Dalam perkembangannya, Danrendorf3 menjelaskan bahwa konflik pada dasarnya diasosiasikan dengan ketegangan yang melingkupi keputusan dalam berbagai macam pilihan, kadangkala dimanifestasikan didalam konfrontasi antara kekuatan sosial. Dikarenakan pengertian konflik yang sangat luas tersebut, beberapa aktor mencoba memberikan defenisi konflik yang lebih spesifik, guna mendapatkan pemahaman yang lebih mudah akan konflik itu sendiri. Ketika para praktisi kadangkala menggunakan istilah konflik conflict dan perselisihan dispute sebagai dua istilah yang bersinonim, John W. Burton4 menjelaskan bahwa konflik digambarkan dalam konteks dari tantangan serius untuk menegakkan norma, hubungan, dan peraturan dari pembuatan keputusan. Dilain pihak, istilah perselisihan diaplikasikan untuk memanajemen isu dan kontrol dari ketidakpuasan yang berhubungan dengan implementasi dari kebijakan khusus. Sehingga, sengketa dapat menjadi respon ketidakadilan keputusan mutlak tanpa mempertanyakan legitimasi sumber pembuatan keputusan dari nilai dominan dan prosedur institusional yang dibangun. Setelah membahas pengertian konflik itu sendiri, maka penulis meras perlu untuk melihat batasan dari konflik itu sendiri. Holsti5 memberikan batasan bahwa konflik meliputi tindakan ancaman dan hukuman yang bersifat diplomatik, propaganda, komersial, atau militer yang diambil oleh pihak yang menentang terhadap yang lain.

2 3

Ibid, hal. 6. Ibid. 4 Ibid. 5 K.J. Holsti, op cit., hal. 170.

Konflik pada dasarnya disebabkan oleh dua hal yaitu kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertikal. Kemajemukan horizontal merupakan struktur masyarakat yang majemuk secara kultural seperti suku bangsa, daerah, agama, dan ras. Kemajemukan horizontal juga melingkupi kemajemukan secara sosial (dalam arti perbedaan profesi) dan perbedaan tempat tinggal (dalam arti desa dan kota). Hal ini menyebabkan konflik karena masing-masing pihak mempertahankan identitas dan karakteristik budaya dari ancaman budaya lain. Konflik yang disebabkan oleh kemajemukan horizontal dapat diminimalisir apabila ada nilai yang disepakati dan dipatuhi bersama. Konflik vertikal merupakan struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan. Hal ini dapat menyebabkan konflik apabila kesenjangan yang terbentuk antar kelompok masyarakat semakin jauh. Distribusi kekayaan dan kekuasaan yang pincang akan menyebabkan perbedaan kepentingan dan berakhir dengan konflik.6 Di satu sisi konflik berdimensi positif tetapi di sisi lain ketika konflik melibatkan instrumen-instrumen kekerasan maka konflik dapat berdimensi negatif. Setelah membahas tentang pengertian konflik, maka kita akan lebih mudah membahas tentang resolusi konflik. Setidaknya ada tiga pandangan berbeda dalam melihat konflik dan kemungkinan penyelesaiannya. Pertama, pandangan yang berangkat dari asumsi bahwa selama ada antagonisme di dalam masyarakat maka selama itu pula konflik selalu terjadi sehingga merupakan bagian tidak terpisahkan dari masyarakat. Oleh karena itu, langkah maksimal yang dapat dilakukan untuk menghadapi konflik ini adalah pengaturan atau manajemen konflik (conflict management). Kedua, pandangan yang berangkat dari asumsi bahwa manifestasi konflik cenderung merugikan masyarakat. Maka sikap yang sebaiknya dilakukan ialah upaya membasmi konflik. Tetapi persoalannya, di dalam jangka pendek konflik kemungkinan dapat dibasmi dengan cara-cara kekerasan, tetapi untuk jangka panjang konflik
6

Awaluddin Nur, Peluang dan Kendala Penyelesaian Konflik Palestina-Israel Pasca Perang Teluk Kedua 1990-1995, Skripsi, 1996, hal. 23.

masih memiliki kemungkinan untuk kembali terjadi. Ketiga, pandangan yang berangkat dari asumsi bahwa dengan lebih merujuk pada sebab-sebab konflik, maka dalam jangka panjang struktur hubungan dari pihak-pihak yang bertikai dapat diselesaikan. Tradisi pandangan inilah yang lebih dikenal dengan istilah resolusi konflik (conflict resolution).7 Setelah mendapat pemahaman tentang pengertian konflik dan resolusi konflik, perlu diketahui apa saja yang menjadi akar permasalahan dari konflik tersebut. Perbedaan nilai, pandangan, kekuatan dan kepentingan oleh berbagai aktor menyebabkan terjadinya konflik. Eskalasi konflik kemudian terjadi dalam keadaan mispersepsi ataupun miskomunikasi. Dilain pihak, faktor ekonomi dan perebutan sumber daya alam lainnya dapat menjadi faktor utama yang menyebabkan konflik itu sendiri dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Berbicara dalam konteks hubungan internasional, Ross8 mengatakan bahwa adanya percampuran antara faktor sosial-ekonomi, budaya dan isu politik dalam kelompok minoritas dapat menyebabkan konflik. Dalam konteks hubungan internasional, konflik dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu external conflict (konflik eksternal) dan internal conflict (konflik internal). Pengkategorian konflik ini berdasarkan tingkatan dari konflik tersebut, dimana lebih ditekankan dari negara yang terlibat. External conflict melibatkan lebih dari satu negara sedangkan internal conflict terjadi dalam suatu negara. Konflik kontemporer tidak hanya terjadi antar negara di dunia, melainkan di dalam suatu negara yang merefleksikan melemahnya struktur negara, runtuhnya kedaulatan dan ikatan lokal dalam sistem negara.9 Keadaan konflik yang berbicara masalah kelompok-kelompok sosial memiliki kompleksitas tersendiri. Hal dikarenakan masing-masing kelompok yang terlibat dalam konflik memiliki keinginan dalam meningkatkan pengaruhnya dalam negara dan mencapai tuntutan masing- masing kelompok. Keadaan tersebut menimbulkan suatu konflik yang
7 8

Vinsensio Dugis, op cit., hal. 53-54. Ho Won Jeong, op cit., hal. 15. 9 Hugh Miall, op cit., hal. 49.

penyelesaiannya membutuhkan rentang waktu yang tidak singkat. Keadaan konflik menjadi semakin rumit ketika sebuah kelompok memiliki dominasi dan kekuatan yang lebih daripada kelompok lainnya. Kelompok-kelompok minoritas yang menjadi sumber konflik, kemudian dapat diklasifikasikan sebagai sebuah konflik etnis (salah satu contoh konflik). Dalam konflik jenis ini, konflik biasanya terjadi akibat bantahan dan penolakan terhadap akses pengambilan keputusan serta penolakan untuk melakukan pembagian yang adil terhadap kekuasaan dalam institusi politik. Lebih jauh lagi, identifikasi ketidakadilan yang memiliki hubungan erat dengan ekonomi, perbedaan etnis, serta pengambilan keputusan yang tidak adil mampu dengan mudah menyebabkan eskalasi konflik. Ketidakpuasan terhadap kekuasaan politik, tidak meratanya pengembangan ekonomi, dan adanya asumsi diskriminasi yang disebabkan oleh perbedaan kelompok etnis, merupakan beberapa faktor utama terjadinya konflik etnis. Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa latar belakang terjadinya sebuah konflik biasanya tidak hanya disebabkan oleh satu alasan tertentu melainkan adanya hubungan antara dua atau bahkan lebih alasan yang akan mempersulit penyelesaian konflik itu sendiri. Hal ini tidak hanya berlaku pada konflik yang terjadi antar etnis, tetapi juga dapat terjadi antar kelompok dalam suatu negara atau bahkan antar pemerintah dan kelompok separatis di sebuah daerah. Ramsbotham10 memaparkan tentang tahap-tahap terjadi konflik, yaitu: 1. Situasi damai yang stabil, yakni tingkatan tertinggi stabilitas politik dan legitimasi rezim. 2. Situasi tekanan politik, yakni timbulnya tingkatan hambatan sistemik dan meningkatnya perpecahan sosial politik.

10

Ibid, hal. 23.

3. Konflik politik dengan kekerasan, yakni tekanan naik menjadi krisis politik karena ada erosi legitimasi politik pemerintahan nasional yang secara kasar

dikuantifikasikan dalam artian jumlah orang-orang yang terbunuh, termasuk konflik dengan jumlah seratus orang. 4. Konflik dengan intensitas lebih tinggi, kekerasan dan konflik bersenjata terbuka diantara kelompok-kelompok faksional. Penindasan rezim dan pemberontakan, dengan jumlah korban yang meninggal dunia 100-999 orang. 5. Konflik dengan intensitas tertinggi berupa perang diantara kelompok yang berseteru dan atau kerusuhan massal dan pemindahan sektor-sektor penduduk sipil dengan seribu penduduk atau lebih terbunuh. Konflik yang terjadi secara berkepanjangan akan menimbulkan kerugian materi, ketidakstabilan eksistensi negara dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Hal ini yang menyebabkan pihak-pihak yang terlibat ingin menyelesaikan konflik tersebut, salah satu jalannya melalui resolusi konflik. Ketika menyelesaikan konflik yang terjadi dengan menggunakan resolusi konflik maka tahap pertama yang dibutuhkan adalah pemahaman akan konflik apa yang akan diselesaikan. Pada dasarnya, tahap ini terdiri dari empat bagian, yaitu: parties, goals, issues, dan interests.11 Parties (aktor-aktor yang terlibat) merupakan hal pertama yang perlu untuk diketahui. Mengetahui aktor yang terlibat dalam konflik tersebut melingkupi; aktor (kelompok) yang memiliki posisi yang kuat dalam konflik tersebut, siapa yang kemungkinan akan menjadi korban dengan adanya konflik tersebut, aktor-aktor yang menjadi pelaku dalam sebuah konflik pada umumnya memiliki struktur komando yang pada awalnya harus kita ketahui. Karena dalam sebuah sebuah konflik ada aktor yang menjalankan perintah dan ada juga aktor yang memberikan perintah kepada anggota kelompoknya. Dalam

11

Ho Won Jeong, op cit., hal. 21.

hal ini, individu, kelompok atau bahkan institusi tertentu dapat memegang peranan yang signifikan dalam sebuah konflik. Goals (target) adalah faktor kedua yang harus diperhatikan dalam penyelesaian sebuah konflik. Target yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah tuntutan yang diberikan dan ingin dicapai oleh masing-masing kelompok yang bersengketa. Target ini dapat berbentuk tuntutan terhadap wilayah, politik, ekonomi, dan banyak hal lainnya. Proses dari pembuatan target kadangkala tidak bersifat terus terang atau rasional, khususnya ketika kedua kelompok yang berkonflik tidak dapat merumuskan atau mengidentifikasikan motivasi dan apa yang sebenarnya mereka inginkan. Dalam banyak konflik yang terjadi, target yang ingin dicapai oleh sebuah aktor bersifat dinamis dan sangat bergantung terhadap sumber daya yang dimiliki aktor tersebut. Issues (persoalan) merupakan unsure atau bagian pertentangan yang dialami oleh aktoraktor yang terlibat langsung dengan konflik. Pada dasarnya persoalan memiliki hubungan yang erat dengan berbagai perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga perbedaan itulah yang sering dianggap sebagai persoalan utama yang menimbulkan konflik. Ruang lingkup persoalan yang dimaksud biasanya dari segi persoalan ekonomi, aspirasi sosial, individu atau kelompok. Penyelesaian konflik sangat bergantung pada pengklasifikasian persoalan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik, agar dapat menentukan persoalan inti dan persoalan turunan yang seharusnya bukan merupakan prioritas dalam penyelesaian konflik tersebut. Pada akhirnya, hal yang tidak kalah penting yang perlu diketahui ketika menyelesaikan suatu konflik yaitu interests (kepentingan). Kepentingan melingkupi aspek politik, ekonomi, dan aspirasi sosial dari individu atau kelompok tertentu. Aspirasi yang dimaksud adalah halhal yang diinginkan oleh kelompok tersebut. Pertentangan kepentingan mungkin dihasilkan oleh kompetisi sosial yang melingkupi komponen menang kalah. Kepentingan ini menjadi

alasan kelompok tersebut berkonflik dari awal, dan merupakan dasar tercapainya sebuah penyelesaian konflik yang mampu disetujui oleh kedua belah pihak. Kerumitan dalam resolusi konflik muncul ketika adanya situasi untuk menentukan apa saja yang didapat oleh aktor A dan aktor B serta aktor yang terlibat lainnya akan mendapatkan apa. Situasi ini akan mendasari mengapa terjadi perselisihan, lebih lanjut lagi masing-masing aktor akan berusaha untuk bernegosiasi dengan aktor lain dan berusaha untuk mendapatkan bagian lebih banyak daripada aktor lainnya. Sehingga, keberhasilan resolusi konflik pada tahap ini bergantung pada fasilitasi kepentingan aktor-aktor yang terlibat. Apabila kita mengibaratkan konflik yang terjadi antara kelompok A dan kelompok B baik yang terjadi dalam suatu negara atau antar negara di dunia sebagai perebutan akan suatu hal seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I, maka pilihan kelima yang direkomendasikan merupakan pilihan yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik tersebut. Pilihan kelima yang dimaksudkan adalah penghargaan yang tinggi bagi kepentingan diri sendiri dan kepentingan pihak lain. Ini mengimplikasikan penegasan yang kuat terhadap kepentingan sendiri, tetapi juga menyadari aspirasi dan kebutuhan pihak lain dan secara bersama-sama berusaha untuk mencari penyelesaian masalah yang sifatnya menguntungkan bagi kedua belah pihak.12 Dalam resolusi konflik, banyak bergantung terhadap mekanisme penyelesaian konflik tersebut. Dalam konteks ilmu hubungan internasional, terdapat beberapa sifat dari resolusi konflik itu sendiri, menurut Oliver Ramsbotham, Hugh Miall, Dan Tom Voodhouse13, yakni: a. Multilevel: resolusi konflik harus menyertakan semua tingkatan konflik, yakni konflik antar-individu, antar-kelompok, dan antar aktor internasional, regional, dan nasional.
12 13

Hugh Miall, op cit., hal. 9. Oliver Ramsbotham, op cit., hal.8.

b. Multidisciplinary: pada dasarnya resolusi konflik meyertakan beberapa ilmu termasuk ilmu politik, hubungan internasional, pembahasan tentang strategi pendekatan dan penyelesaian konflik, hingga ilmu psikologi. Hal ini dikarenakan konflik merupakan sebuah masalah multidimensional yang melibatkan banyak ilmu. c. Multicultural: konflik antar manusia merupakan fenomena yang mendunia dan menggambarkan peningkatan hubungan budaya lokal/global maka diperlukan usaha yang bersifat kooperatif antar negara untuk menyelesaikan konflik yang akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung pada negara yang terletak secara geografis disekitar negara yang sedang berkonflik. d. Both analytic and normative: merupakan sebuah analisis dalam hal

mentransformasikan sebuah keadaan yang menggambarkan kekerasan yang menuju keadaan yang lebih aman. Transformasi yang dimaksud adalah transformasi sosial dan politik. e. Both theoretical and practical: resolusi konflik seharusnya merupakan gabungan antara teori yang dibahas dan dapat diimplementasikan. Apabila kita melihat beberapa sifat yang telah dijelaskan diatas, maka muncullah beberapa mekanisme dan model penyelesaian konflik. Secara umum, model resolusi konflik dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: model resolusi konflik asimetris (asymmetric conflict) dan model resolusi konflik simetris (symmetric conflict). Model resolusi konflik yang akan digunakan oleh penulis terfokus pada model resolusi konflik asimetris. Konflik asimetris merupakan konflik yang terjadi antara sebuah kekuatan besar melawan kekuatan kecil, misalnya konflik antara pemerintah dan kelompok pemberontak, atau konflik antara mayoritas dan minoritas.14 Keadaan yang digambarkan dalam situasi konflik seperti ini terbilang sangatlah unik. Hal ini dikarenakan seringkali kekuatan di atas yang memiliki

14

Johan Galtung dan Charles Webel, Handbook on Peace and Conflict Studies, Routledge, USA, 2007, hal. 36.

sumber daya jauh lebih besar, cenderung akan menang. Pada akhirnya cara terbaik untuk menyelesaikan konflik jenis ini adalah melakukan perombakan dan perubahan struktur sesuai dengan aspirasi dari kelompok yang melakukan pemberontakan. Pengaplikasian resolusi konflik dalam upaya penyelesaian konflik antar kelompok memiliki kerumitan tersendiri dan bukan proses yang mudah. Dalam banyak kebudayaan, konflik digambarkan sebagai sesuatu yang sangat kompleksitas dan memiliki tingkat kerumitan yang sangat tinggi. Dalam pengaplikasiannya dibutuhkan tingkat kooperatif antara kelompok yang berkonflik serta waktu yang tidak singkat. Duffey15 mendeskripsikan penyelesaian konflik layaknya melepaskan sesuatu yang tersangkut di jala. Pada akar konflik terhadap ikatan hubungan problematik, kepentingan yang diperselisihkan dan

pandangan yang berbeda. Menguraikan ikatan ini adalah sebuah proses yang tidak mudah. Keberhasilannya tergantung pada bagaimana ikatan tersebut diikat dan urut-urutan langkah untuk melepaskannya. Ditambahkan oleh Fisher dan Keasley16 bahwa waktu dan koordinasi untuk mereka yang bertugas untuk metransformasi sangat penting. Mereka perlu mengembangkan energi dan momentum yang memadai untuk mengatasi hambatan dan sifat konflik yang cenderung untuk tetap bertahan. Para teoritisi pendukung resolusi konflik (conflict resolution) umumnya berargumen bahwa dalam konflik-konflik komunal dan identitas, pihak-pihak yang bertikai sangat sulit melakukan kompromi terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dianggapnya sangat fundamental. Meski demikian, kelompok teoritis ini meyakini tentang kemungkinan berubahnya konflik jika pihak-pihak yang kembali bertikai untuk ini dibantu untuk mengeksplor, menganalisis, dan

mempertanyakan

kemudian

mengkerangka-ulang

posisi-posisi

kepentingan-kepentingannya atas konflik yang tengah dialami.

15 16

Hugh Miall op cit., hal. 252. Ibid, hal. 252.

Karena itu, teoritisi pendukung resolusi konflik (conflict resolution) menekankan pentingnya campur tangan dari pihak-pihak lain yang potensial bekerjasama dengan pihakpihak yang berkonflik dalam rangka memperkuat pikiran-pikiran dalam kerangka hubunganhubungan baru antar pihak-pihak yang berkonflik. Intinya, resolusi konflik (conflict resolution) melihat kembali akar-akar penyebab konflikdan mengidentifikasi solusi-solusi kreatif yang kemungkinan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik terlewatkan dari komitmenkomitmen penyelesaian yang pernah dilakukan.17 Berdasarkan pemaparan resolusi konflik (conflict resolution) di atas, analisis penelitian akan fokus terhadap resolusi konflik dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik yang ditempuh oleh Pemerintah Kolombia dan Kelompok Separatis FARC-EP. Penulis akan menggunakan konsep resolusi konflik (conflict resolution) dalam menganalisa kasus penyelesaian konflik dalam penelitian ini. Dengan kata lain, penulis akan berusaha untuk menganalisis efektifitas resolusi konflik (conflict resolution) dalam penyelesaian konflik antara Pemerintah Kolombia dan Pihak Separatis FARC-EP.

B.

Konsep Negosiasi Konflik yang pada dasarnya tidak hanya memakan korban yang sifatnya materi

melainkan korban jiwa. Konflik juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung. Konflik secara khusus akan berdampak langsung pada pihak-pihak yang terlibat konflik. Secara umum, konflik dapat berdampak secara tidak langsung bagi keamanan yang sifatnya bukan hanya pada region tertentu melainkan pada dunia. Hal ini yang mendasari pihak yang berkonflik akan menempuh cara-cara yang dimungkinkan untuk penyelesaian konflik tersebut.

17

Vinsensio Dugis, op cit., hal. 68-69.

Pada umumnya cara penyelesaian konflik terbagi atas dua, yaitu:18 cara penyelesaian secara damai , yaitu bahwa pihak-pihak yang telah bermufakat untuk mencari penyelesaian secara persahabatan dan penyelesaian dengan paksaan atau dengan kekerasan, yaitu dimana penyelesaian dipaksakan dengan kekerasan. Pada pembahasan kali ini, penulis lebih memfokuskan penyelesaian konflik dengan damai yang membutuhkan komunikasi. Karena disadari bahwa dalam penyelesaikan konflik yang terjadi, hal dasar yang dibutuhkan adalah meningkatkan komunikasi antar pihak yang berkonflik. Komunikasi yang dimaksudkan penulis pada pembahasan kali ini adalah komunikasi formal. Tanpa komunikasi formal, satusatunya jalan yang dapat dilakukan pemerintah untuk saling memberikan penilaian terhadap maksud atau kehendak mengubah sasaran ialah dengan melakukan tindakan yang meningkatkan kemungkinan terjadinya perang. Secara umu, cara yang dapat ditempuh pihak-pihak yang berkonflik secara damai dapat dikelompokkan kedalam empat bagian, yaitu:19 1. Negosiasi langsung, berarti perundingan antara pihak-pihak yang berkonflik yang dalam prosesnya dapat saja melibatkan pihak lain di luar pihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflik. 2. Mediasi (Mediation), merupakan bentuk penyelesaian konflik yang terjadi ketika terdapat pihak lain yang hadir dan berfungsi sebagai penengah. 3. Arbitrasi (Arbitration), penyelesaian konflik melalui arbitrasi terjadi ketika, peran pihak ketiga berada pada posisi yang lebih menentukan proses perundingan, yang dimungkinkan karena kewibawaan atau kekuatan lain semisal politik dan ekonomi yang dimiliki oleh pihak ketiga, serta legitimasi yang dipunyai. 4. Pengadilan, merupakan bentuk penyelesain konflik yang hamper sama dengan arbitrasi. Perbedaan mendasar antara arbitrasi dan pengadilan terletak pada sifat
18

J.G. Starke, An Introduction To International Law, terj. Justitia Study Group, Bandung, Justitia Study Group, 1986, hal. 264. 19 Vinsensio Dugis, op cit., hal. 56-66.

otonom dan daya paksa yang dimiliki oleh pengadilan. Tanpa harus mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak yang bertikai, pengadilan dapat menggunakan kekuasaannya untuk menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik antara Pemerintah Kolombia dan Pihak Separatis FARC-EP yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan memakan korban jiwa dan kerugian materi yang tidak sedikit, menjadi dasar kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini melalui jalur damai yaitu melalui negosiasi yang menggunakan peran mediator. Sebelum membahas lebih jauh tentang negosiasi dan perannya dalam penyelesaian konflik, penulis merasa perlu untuk membahas pengertian dari negosiasi. Zartman20 mendefenisikan bahwa negosiasi adalah sebuah proses dimana beberapa kelompok menggabungkan pandangan mereka yang berbeda mengenai suatu hal menjadi satu hasil yang disetujui. Kelompok tersebut setuju untuk duduk dalam proses negosiasi karena mereka menyadari akan mendapat hasil yang lebih baik dalam penyelesaian konflik daripada terus bergelut dalam perang. Pentingnya komunikasi formal untuk menanggulangi konflik atau menyelesaikan konflik, dapat dilihat dari seringnya usaha pihak ketiga yang bertindak sebagai perantara mengajak pihak yang bermusuhan membicarakan konflik yang berlangsung di antara mereka. Upaya demikian dilakukan dengan pertimbangan bahwa selama pihak yang bermusuhan melakukan perundingan, tindakan provokatif dapat dihindarkan.21 Apabila kita melihat lebih jauh bahwa ada kecenderungan psikologis tertentu lazim mengelilingi setiap konflik atau krisis yang serius. Berikut ini adalah beberapa sikap yang paling lazim dan pada akhirnya sikap tersebut dapat mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan oleh pembuat kebijakan tersebut antara lain:

20

I. William Zartman & Guy Olivier Faure, Escalation and Negotiation in International Conflicts , New York, Cambridge University Press, 2005, hal. 4. 21 K.J. Holsti, op cit., hal. 603.

a. Kecurigaan. Kecurigaan ditujukan terhadap lawan, kehendaknya, dan motif- motif yang mendasari tindakannya. b. Perluasan masalah. Perluasan masalah merupakan sikap yang bias menghinggapi para pengambil kebijaksanaan pada waktu mereka berhadapan dengan situasi konflik atau krisis. c. Tingkat urgensi. Perasaan para pengambil kebijakan bahwa situasi yang dihadapi dalam tahapan krisis pada konflik internasional dianggap sangat urgen. d. Keterbatasan alternative tindakan. Dalam situasi yang dirasakan bersifat urgen serta banyak ketidakpastian sekitar motivasi dan tindakan negara lawan, para pengambil kebijaksanaan memandang bahwa mereka hanya memiliki sedikit sekali alasan untuk melakukan tindakan disbanding dengan alternatif yang dimiliki negara lawan. e. Konflik sebagai titik balik hubungan. Para pengambil kebijakan dapat memandang krisis atau konflik sebagai titik balik hubungan antara dua negara, ataupun sebagai titik balik perubahan sejarah dunia. f. Prioritas pandangan terhadap ancaman. Dalam krisis, persepsi terhadap ancaman jauh lebih menonjol daripada persepsi terhadap negara lawan.22 Dengan adanya komunikasi langsung diharapkan masing-masing pihak yang berkonflik dapat meminimalisir gambaran psikologis yang disebut diatas, mengutarakan tuntutan

mereka, mencoba mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik dan pada akhirnya dapat membangun hubungan baru yang lebih baik. Dalam berbagai literatur, kata negosiasi berasal dari ungkapan Bahasa Latin, negotiates yang berasal pula dari kata negotiare yang mempunyai arti untuk melakukan

22

Ibid, hal. 599-601.

bisnis.23 Pendefenisian negosiasi apabila dilihat dalam Oxford Dictionary24 mendefenisikan bahwa negotiation is discussion aimed at reaching an agreement. Pengertian negosiasi dalam International Relations Political Dictionary: Fifth Edition25 dijelaskan bahwa negosiasi adalah teknik diplomasi untuk mewujudkan perdamaian dalam proses penyelesaian perbedaan dan pencapaian kepentingan nasional masing-masing pihak. Tujuan dari negosiasi yang dimaksud dalam konteks ini bersifat jangka panajang bagi pemulihan hubungan kedua belah pihak. Lebih lanjut lagi, George M. Hartmann26 mendefenisikan bahwa negotiation is the process of communication by which two parties, each with other own viewpoint and objectives, attempt to reach a mutually satisfactory agreement on a matter of common concern. Berdasarkan pengertian dari negosiasi yang telah dijelaskan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa negosiasi adalah suatu proses duduk bersama dalam penyelesaian konflik antar dua atau lebih pihak untuk mencari jalan keluar yang lebih baik sehingga dapat meminimalisir kerugian yang ditimbulkan baik yang bersifat materi dan korban jiwa. Kesimpulan lain yang dapat ditarik berdasarkan pengertian negosiasi diatas, negosiasi dimaksudkan untuk memperbaiki hubungan antar pihak yang berkonflik sehingga, pada masa yang akan datang pihak yang berkonflik tersebut akan memiliki hubungan yang lebih baik dari sebelumnya. Pembahasan tentang proses negosiasi sebagai salah satu bentuk komunikasi formal dalam penyelesaian konflik dalam ranah internasional, diharapkan dapat membangun rasa percaya antar pihak yang melakukan negosiasi yang pada akhirnya dapat membantu dalam mengubah pandangan (perceptions) masing-masing pihak dalam melihat konflik yang terjadi.

23 24

Patrice Lumumba, 2012, Negosiasi Dalam Hubungan Internasional, Makassar, Kretakupa Print, hal. 5. Oxford Dictionaries on line, Negotiation, diambil dari http://oxforddictionaries.com/definition/english/negotiation?q=negotiations diakses pada tanggal 27 Maret 2013. 25 Lawrence Ziring, Jack C. Plano, & Roy Olton, International Relations Political Dictionary: Fifth Edition , California, ABC-CLIO, 1995, hal. 265. 26 Ibid, hal. 7.

Dengan adanya negosiasi juga sebagai jalur yang tepat untuk melakukan tawar-menawar yang berhubungan dengan strategi yang tepat yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik ini, melihat resiko yang akan muncul apabila konflik ini terus berlangsung bagi kedua belah pihak, keuntungan komparatif (comparative advantages) yang akan didapat oleh kedua belah pihak apabila konflik ini berhasil diselesaikan, dan dasar yang akan dibangun untuk memulai hubungan yang baru yang lebih baik antar kedua belah pihak.27 Dengan adanya rasa percaya yang didapat dari proses negosiasi, para aktor yang terlibat dalam proses tersebut diharapkan menunjukkan sikap bahwa mereka juga membutuhkan pihak lain untuk merumuskan kebijakan yang akan digunakan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Ketika menyelesaikan suatu konflik melalui proses negosiasi yang terjadi antar pihak yang bertikai tidak dapat ditempuh lagi, maka diperlukan adanya peran pihak ketiga. Keterlibatan pihak ketiga dalam proses penyelesaian konflik dinamakan mediasi. Sebelum membahas lebih jauh tentang peran dari mediator dalam penyelesaian suatu konflik, maka akan lebih baik jika mengetahui arti dari mediasi itu sendiri. Bentuk penyelesaian konflik melalui mediasi terjadi ketika terdapat pihak lain yang hadir dan berfungsi sebagai penengah. Di dalam penyelesaian konflik melalui mediasi, pihak ketiga (mediator) terutama berfungsi sebagai fasilitator yang pada prinsipnya memfasilitasi upaya-upaya pihak yang terlibat konflik memperkecil perbedaan sikap dan memperbesar kemungkinan menemukan kesepakatan terhadap kontradiksi atas konflik dimana para pihak terlibat. Sebelum membahas lebih jauh tentang peran mediator, penulis merasa perlu untuk menjelaskan arti dari mediasi itu sendiri. Defenisi mediasi oleh National Alternative Dispute Resolution Advisory Council28, sebagai berikut: Mediasi adalah sebuah proses dimana pihak-pihak yang bertikai dengan bantuan dari seorang praktisi resolusi pertikaian mengidentifikasi isu-isu yang dipersengketakan, mengembangkan pilihan-pilihan, mempertimbangkan alternatif dan upaya untuk
27 28

Ho Won Jeong, op cit., hal. 40. M. Mukhsin Jamil, dkk.2007. Mengelola Konflik Membangun Damai. Semarang. Walisongo Mediation Centre, hal.16.

mencapai sebuah kesepakatan. Dalam hal ini sang mediator tidak memiliki peran menentukan dalam kaitannya dengan isi/materi persengketaan atau hasildari resolusi persengketaan tersebut tapi mediator dapat memberikan saran/menentukan sebuah proses mediasi untuk mengupayakan sebuah resolusi/penyelesaian.

Sulitnya proses memulai komunikasi antar pihak-pihak yang terlibat konflik pada bentuk penyelesaian konflik melalui negosiasi langsung, pada banyak kasus penyelesaian konflik menjadi faktor meningkatnya penyelesaian konflik melalui mediasi yang menggunakan peran pihak ketiga. Karena perannya sebagai fasilitator, mediasi pihak ketiga dapat saja memberikan saran-saran tetapi posisi fasilitator pihak ketiga ini bukan sebagai pengambil keputusan dari konflik yang ada. Pada tahap awal, kredibilitas muncul karena adanya indikasi ketidakbiasaan sikap mediator dalam melihat konflik atau pengalaman mediator di masa lalu. Hal ini dianggap sebagai salah satu kunci yang dapat digunakan mediator sehingga dia dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik.29 Berdasarkan kekuatan dan peran utama yang dilakukannya maka keterlibatan pihak ketiga atau mediator dapat diklasifikasikan lagi menjadi beberapa macam, yaitu:30 1. Mediasi murni (Pure Mediation), tugas mediator murni adalah untuk memfasilitasi negosiasi langsung mengenai isu-isu terpenting dengan tujuan menciptakan penyelesaian masalah secara permanen. Mediator murni menggunakan kredibilitas serta pengalaman yang telah dimiliki untuk mendorong kedua pihak yang terlibat di dalam konflik untuk menciptakan pemecahan atas ketidaksepakatan mereka yang telah direncanakan sebelumnya. 2. Konsiliasi (Conciliation), merujuk pada peran mediasi dimana pihak ketiga sebagai mediasi (konsiliator) menyediakan jalur-jalur komunikasi bagi pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Langkah ini umumnya digunakan pada awal perencanaan berlangsungnya proses negosiasi.
29 30

Vinsensio Dugis, op cit., hal. 63. Peter Harris dan Ben Reilly, Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiator, Stockhol, IDEA, 1998, hal. 106-108.

3. Fasilitasi (Facilitation), peran mediasi yang dilakukan pihak ketiga di dalam proses ini terbatas pada membawa wakil-wakil kedua pihak yang bertikai secara bersamasama. Fasilitator memimpin pertemuan-pertemuan antara kedua belah pihak dalam rangka menyelidiki persepsi bersama dan mendorong berlangsungnya komunikasi secara aman dan tidak mengancam. Unsure netralitas dalam proses ini penting untuk diperhatikan. 4. Mediasi dengan Kekuasaan (Power Mediation), di dalam kasus ini mediator mempunyai kekuasaan sehingga potensial membujuk kedua pihak yang bertikai agar taat terhadap kesepakatan. Bujukan tersebut umunya dilakukan dengan pemberian insentif dan hukuman agar pihak-pihak yang bertikai bersedia taat kepada apa yang disepakati. Mediasi dengan kekuasaan ini umumnya dilakukan oleh negara-negara besarr dan institusi-institusi internasional yang berpengaruh di dalam sejumlah konflik-konflik internasional yang melibatkan negara-negara. Seperti yang telah dijelaskan di atas, maka untuk merealisasikan resolusi konflik (conflict resolution), maka sesungguhnya yang diimplementasikan adalah kombinasi antara model negosiasi dan mediasi. Hal ini terjadi oleh karena negosiasi sebenarnya bukan persoalan yang mudah untuk diadakan tanpa adanya bantuan dari pihak ketiga. Seperti halnya yang telah ditulis sebelumnya, negosiasi seringkali menjadi mustahil dapat berlangsung pada konflik yang bersifat asimetris atau suatu konflik yang diwarnai oleh perbedaan-perbedaan yang mencolok di antara pihak-pihak yang terlibat. Persepsi pihak yang merasa lebih kuat acapkali merupakan dorongan dan kekuatan baginya untuk tidak mau melakukan perundingan. Sebaliknya juga demikian, pihak yang berada pada posisi lebih lemah acapkali

menggunakan posisi tersebut sebagai model untuk mengajukan persyaratan yang dalam proses seringkali memperumit upaya-upaya penyelesaian konflik.31 Cara penyelesaian konflik yang ditempuh oleh Pemerintah Kolombia dan Pihak Separatis FARC-EP dalam usaha penyelesain konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak adalah melalui negosiasi yang melibatkan peran pihak ketiga (mediator). Pemerintah Kolombia dan Pihak Separatis FARC-EP menyadari bahwa apabila kedua belah pihak bersikeras untuk tetap menempuh jalur kekerasan dalam usaha penyelesaian konflik hanya akan menimbulkan kerugian yang lebih besar baik secara materi maupun korban jiwa. Penulis akan fokus pada peranan pihak ketiga dalam negosiasi penyelesaian konflik sebagai salah satu bentuk atau cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara Pemerintah Kolombia dan Pihak Separatis FARC-EP. Di lain pihak, penulis akan berusaha untuk melihat alasan-alasan yang mendasari negara-negara yang bertindak sebagai mediator bersedia ikut terlibat dalam proses penyelesaian konflik ini. Pada akhirnya, penulis akan berusaha untuk melihat peluang dan tantangan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam usaha untuk menyelesaikan konflik ini dan mewujudkan perdamaian di Negara Kolombia.

31

I. William Zartman, ed., Elusive Peace, Negotiating An End to Civil Wars, Washington D.C., Brookings Institution, 1995, hal. 29.

You might also like