You are on page 1of 45

- 4 -

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Tanah Dasar
Tanah dasar merupakan pondasi bagi perkerasan baik perkerasan yang
terdapat pada alur lalu-lintas maupun bahu. Dengan demikian tanah dasar
merupakan konstruksi terakhir yang menerima beban kendaraan yang disalurkan
oleh perkerasan. Tanah dasar sebagai pondasi perkerasan disamping harus
mempunyai kekuatan atau daya dukung terhadap beban kendaraan, maka tanah
dasar juga harus mempunyai stabilitas volume akibat pengaruh lingkungan
terutama air. Tanah dasar yang mempunyai kekuatan dan stabilitas volume yang
rendah akan mengakibatkan perkerasan mudah mengalami deformasi dan retak.
Dengan demikian maka perkerasan yang dibangun pada tanah dasar yang lemah
dan mudah dipengaruh lingkungan akan mempunyai umur pelayanan yang
pendek.
Sifat-sifat fisik lapisan tanah dasar harus diketahui dengan baik, karena
dengan mengetahui sifat-sifat tanah dasar akan mengetahui :
1. Pemilihan konstruksi yang paling aman dan ekonomis.
2. Sistem pelaksanaan yang baik, sehingga dapat mendekati syarat-syarat pokok
konstruksi jalan.
3. Cara pemeliharaan secara intensif dan terus menerus terutama pada musim
hujan.
Umumnya ada beberapa persoalan yang menyangkut tanah dasar (subgrade)
antara lain :
1. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanent ) dari macam tanah tertentu
akibat beban lalulintas.
2. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar
air.
3. Kuat dukung tanah yang tidak merata dan sulit ditentukan secara pasti pada
daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya.
- 5 -

Bila tanah dasar (subgrade) tidak memenuhi kekuatan untuk memikul
beban kendaraan yang lewat maka jalan tersebut akan mengalami penurunan dan
apabila badan jalan merupakan tanah timbunan maka akan terjadi kelongsoran.
Akibatnya, permukaan jalan tersebut mengalami perubahan bergelombang besar,
hingga rusak sama sekali.

2.1.1. Komposisi Tanah
Tanah menurut Braja M. Das didefinisikan sebagai material yang terdiri
dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat
secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk
(yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-
ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut. Tanah berfungsi juga
sebagai pendukung pondasi dari bangunan. Maka diperlukan tanah dengan
kondisi kuat menahan beban di atasnya dan menyebarkannya merata.
Tanah terdiri dari tiga fase elemen yaitu: butiran padat (solid), air dan udara.
Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.1.














Gambar 2.1 Tiga fase elemen tanah
Sumber : Braja M. Das
- 6 -

Hubungan volume-berat :
V = Vs + Vv = Vs + Vw + Va
Dimana : Vs = volume butiran padat
Vv = volume pori
Vw = volume air di dalam pori
Va = volume udara di dalam pori
Apabila udara dianggap tidak mempunyai berat, maka berat total dari contoh
tanah dapat dinyatakan dengan :
W = Ws + Ww
Dimana : Ws = berat butiran padat
Ww = berat air

Hubungan volume yang umum dipakai untuk suatu elemen tanah adalah
angka pori (void ratio), porositas (porosity), dan derajat kejenuhan (degree of
saturation).

1. Angka Pori atau void ratio (e) didefinisikan sebagai perbandingan antara
volume pori dan volume butiran padat, atau :


2. Porositas atau porosity (n) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume
pori dan volume tanah total, atau :


3. Derajat Kejenuhan atau degree of saturation (S) didefinisikan sebagai
perbandingan antara volume air dengan volume pori, atau :


Hubungan antara angka pori dan porositas dapat diturunkan dari persamaan,
dengan hasil sebagai berikut :


- 7 -

4. Kadar Air atau water content (w) didefinisikan sebagai perbandingan antara
berat air dan berat butiran padat dari volume tanah yang diselidiki, yaitu :


5. Berat Volume () didefinisikan sebagai berat tanah per satuan volume.


6. Berat spesifik atau Specific gravity (Gs) didefinisikan sebagai perbandingan
antara berat satuan butir dengan berat satuan volume.



2.1.2. Batas Konsistensi Tanah
Atterberg adalah seorang ilmuwan dari Swedia yang berhasil
mengembangkan suatu metode untuk menjelaskan sifat konsistensi tanah
berbutir halus pada kadar air yang bervariasi, sehingga batas konsistensi tanah
disebut Atterberg Limits. Kegunaan batas atterberg dalam perencanaan adalah
memberikan gambaran secara garis besar akan sifat-sifat tanah yang
bersangkutan. Bilamana kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air akan
menjadi sangat lembek. Tanah yang batas cairnya tinggi biasanya mempunyai
sifat teknik yang buruk yaitu kekuatannya rendah, sedangkan compressiblitynya
tinggi sehingga sulit dalam hal pemadatanya. Batas-batas konsistensi tanah dapat
dilihat pada gambar dibawah ini :








Gambar 2.2 Batas - batas Atterberg

- 8 -

1. Batas cair (LL) adalah kadar air tanah antara keadaan cair dan keadaan plastis.
2. Batas plastis ( PL) adalah kadar air pada kedudukan antara daerah plastis dan
semi plastis, yaitu persentasi kadar air pada saat tanah digulung dengan
diameter silinder 3,2 mm mulai retak-retak. Batas plastis dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
PI = LL PL
dengan :
PI = indeks plastisitas (plasticity index)atau selisih antara batas cair dan
batas plastis, dimana tanah tersebut dalam keadaan plastis dalam %.
LL = batas cair (liquid limit) dalam %.
PL = batas plastis (plastic limit) dalam %.
Indeks Plastisitas (IP) menunjukkan tingkat keplastisan tanah. Apabila nilai
Indeks Plastisitas tinggi, maka tanah banyak mengandung butiran lempung.
Klasifikasi jenis tanah menurut Atterberg berdasarkan nilai Indeks Plastisitas
dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.
3. Batas susut (Shrinkage limits) didefinisikan sebagai kadar air pada kedudukan
antara daerah semi padat dan padat, yaitu persentase kadar air dimana
pengurangan kadar air selanjutnya tidak mengakibatkan perubahan volume
tanah. Batas susut dinyatakan sebagai berikut :

[

] [

]

dengan :
m1 = berat tanah basah dalam cawan (gram).
m2 = berat tanah kering oven (gram) .
V1 = volume tanah basah dalam cawan (cm3).
V2 = volume tanah kering oven (cm3) .
w = berat jenis air (gram / cm3).



- 9 -

Tabel 2.1. Hubungan nilai Indeks Plastisitas dengan jenis tanah
menurut Atterberg

IP Jenis Tanah Plastisitas Kohesi
0 Pasir Non Plastis Non Kohesif
< 7 Lanau Rendah Agak Kohesif
7 17 Lempung berlanau Sedang Kohesif
> 17 Lempung murni Tinggi Kohesif
Sumber : Mekanika Tanah II, Ir. Indrastono DA, M.Ing

2.1.3. Kekuatan Geser Tanah
Salah satu cara untuk mengetahui kuat geser tanah di lakukan percobaan
geser langsung (Direct Shear Test) yang mempunyai tujuan untuk mengetahui
gaya geser dengan tegangan geser langsung, sudut geser dalam dan kohesi tanah.
Data-data hasil pembacan arloji pengukuran horisontal, dapat digunakan untuk



mengetahui gaya geser dan tegangan geser sebagai berikut :
dengan :
= tegangan geser (kg/cm 2 )
P = gaya geser yaitu pembacaan arloji geser x faktor kalibrasi cincin
penguji (kg).
A = luas penampang contoh tanah (cm 2 ).

Nilai kalibrasi dari cincin penguji adalah 0,636 kg/cm2 sedangkan luas
sampel setelah disesuaikan luas dari cincin didapat sebesar 32,17cm2 .
Tegangan normal diperoleh dari pemberian beban normal dengan persamaan
sebagai berikut :


dengan :
= tegangan normal (kg/cm2 )
- 10 -

N = beban normal (kg)
A = luas penampang contoh tanah (cm2 )
Kekuatan geser tanah () tanpa memperhitungkan tekanan air pori tanah
dinyatakan dalam tekanan tanah total (Coulumb 1773 dalam Bowles, 1989)
mendefinisikan hubungan fungsi antara tegangan normal () dengan tegangan
geser () sebagai berikut :
= c + tan (13)
dengan :
= kekuatan geser tanah (kg/cm2).
= tegangan normal tanah (kg/cm2).
c = kohesi tanah (kg/cm2).
= sudut geser dalam (o).
Nilai c dan didapatkan diantaranya dengan pengujian geser langsung (Direct
Shear Test) di Laboratorium Mekanika Tanah
.
2.1.4. Modulus Elastisitas Tanah
Nilai modulus Young menunjukkan besarnya nilai elastisitas tanah yang
merupakan perbandingan antara tegangan yang terjadi terhadap regangan. Nilai
ini bisa didapatkan dari Triaxial Test. Nilai Modulus elastisitas (Es) secara
empiris dapat ditentukan dari jenis tanah dan data sondir seperti terlihat pada
Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2. Nilai perkiraan Modulus Elastisitas tanah
Jenis Tanah Es (kg/cm
2
)
Lempung
Sangat lunak
Lunak
Sedang
Keras
Berpasir

3 30
20 40
45 90
70 200
300 - 425
Pasir
Berlanau

50 200
- 11 -

Tidak padat
Padat
100 250
500 - 1000
Pasir dan Kerikil
Padat
Tidak Padat

800 2000
500 - 1400
Lanau 20 - 200
Loses 150 600
Cadas 1400 14000
Sumber : Bowles, 1977

2.1.5. Poissons Ratio
Nilai poissons ratio ditentukan sebagai rasio kompresi poros terhadap
regangan pemuaian lateral. Nilai poissons ratio dapat ditentukan berdasarkan
jenis tanah seperti yang terlihat pada Tabel 2.3 di bawah ini.

Tabel 2.3. Hubungan antara jenis tanah dan Poissons Ratio
Jenis Tanah Poissons Ratio ( )
Lempung jenuh 0,4 0,5
Lempung tak jenuh 0,1 0,3
Lempung berpasir 0,2 0,3
Lanau 0,3 0,35
Pasir padat 0,2 0,4
Pasir kasar (e = 0,4 0,7) 0,15
Pasir halus (e = 0,4 0,7) 0,25
Batu 0,1 0,4
Loses 0,1 0,3
Sumber : Bowles, 1977

2.1.6. Sistem Klasifikasi Tanah
Tekstur tanah adalah keadaan permukaan tanah yang bersangkutan.
Tekstur tanah dipengaruhi oleh ukuran tiap-tiap butir yang ada di dalam tanah.
Tanah dibagi dalam beberapa kelompok : kerikil (gravel), pasir (sand), lanau
(silt), dan lempung (clay). Umumnya tanah asli merupakan campuran dari butir-
butir yang mempunyai ukuran yang berbeda beda (Das,1995).
- 12 -

Istilah pasir, lempung, lanau, atau lumpur digunakan untuk
menggambarkan ukuran partikel pada batas yang telah ditentukan, akan tetapi
istilah yang sama juga digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat yang khusus.
Sebagai contoh, lempung adalah jenis tanah yang bersifat kohesif dan plastis,
sedang pasir digambarkan sebagai tanah yang tidak kohesif dan tidak plastis.
Kebanyakan jenis tanah terdiri dari banyak campuran lebih dari satu macam
ukuran partikelnya. Tanah lempung belum tentu terdiri dari partikel lempung saja,
akan tetapi dapat bercampur dengan butir-butiran lanau maupun pasir dan
mungkin juga terdapat campuran bahan organik (Hardiyatmo, 1992).
Sistem klasifikasi tanah yang ada mempunyai beberapa versi, hal ini
disebabkan karena tanah memiliki sifat-sifat yang bervariasi. Adapun beberapa
metode klasifikasi tanah yang ada antara lain:
Klasifikasi Tanah Berdasar Tekstur.
Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO
Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED

a. Klasifikasi Tanah Berdasar Tekstur
Pengaruh daripada ukuran tiap-tiap butir tanah yang ada didalam tanah
tersebut merupakan pembentuk testur tanah. Tanah tersebut dibagi dalam
beberapa kelompok berdasar ukuran butir: pasir (sand), lanau (silt), lempung
(clay). Departernen Pertanian AS telah mengembangkan suatu sistem klasifikasi
ukuran butir melalui prosentase pasir, lanau dan lempung yang digambar pada
grafik segitiga Gambar 2.3. Cara ini tidak memperhitungkan sifat plastisitas tanah
yang disebabkan adanya kandungan (baik dalam segi jumlah dan jenis) mineral
lempung yang terdapat pada tanah. Untuk dapat menafsirkan ciri-ciri suatu tanah
perlu memperhatikan jumlah dan jenis mineral lempung yang dikandungnya.
- 13 -


Gambar 2.3. Klasifikasi berdasar tekstur tanah
Sumber : MekanikaTanah Jilid 1, Braja M. Das

b. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO
Sistem klasifikasi tanah sistem AASHTO pada mulanya dikembangkan pada
tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Sistem ini
mengklasifikasikan tanah kedalam delapan kelompok, A-1 sampai A-7. Setelah
diadakan beberapa kali perbaikan, sistem ini dipakai oleh The American
Association of State Highway Officials (AASHTO) dalam tahun 1945. Bagan
pengklasifikasian sistem ini dapat dilihat seperti pada Tabel 2.4. dan Tabel 2.5. di
bawah ini. Pengklasifikasian tanah dilakukan dengan cara memproses dan kiri ke
kanan pada bagan tersebut sampai menemukan kelompok pertama yang data
pengujian bagi tanah tersebut memenuhinya. Khusus untuk tanah yang
mengandung bahan butir halus diidentifikasikan lebih lanjut dengan indeks
kelompoknya. Indeks kelompok didefinisikan dengan persamaan dibawah ini.


- 14 -

Tabel 2.4. Klasifikasi tanah sistem AASHTO















Sumber : MekanikaTanah Jilid 1, Braja M. Das
Tabel 2.5. Klasifikasi tanah sistem AASHTO






Sumber : MekanikaTanah Jilid 1, Braja M. Das
- 15 -

c. Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED
Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Cassagrande dalam tahun 1942
untuk dipergunakan pada pekerjaan pembuatan lapangan yang dilaksanakan oleh
The Army Corps Engineers. Sistem ini telah dipakai dengan sedikit modifikasi
oleh U.S. Bureau of Reclamation dan U.S Corps of Engineers dalam tahun 1952.
Dan pada tahun 1969 American Society for Testing and Material telah
menjadikan sistem ini sebagai prosedur standar guna mengklasifikasikan tanah
untuk tujuan rekayasa.
Sistem UNIFIED membagi tanah ke dalam dua kelompok utama:
- Tanah berbutir kasar adalah tanah yang lebih dan 50% bahannya
tertahan pada ayakan No. 200. Tanah butir kasar terbagi atas kerikil
dengan simbol G (gravel), dan pasir dengan simbol S (sand).
- Tanah butir halus adalah tanah yang lebih dan 50% bahannya lewat
pada saringan No. 200. Tanah butir halus terbagi atas lanau dengan
simbol M (silt), lempung dengan simbol C (clay), serta lanau dan
lempung organik dengan simbol O, bergantung pada tanah itu terletak
pada grafik plastisitas. Tanda L untuk plastisitas rendah dan tanda H
untuk plastisitas tinggi.
Adapun simbol-simbol lain yang digunakan dalam klasifikasi tanah ini
adalah:
W = well graded (tanah dengan gradasi baik)
P = poorly graded (tanah dengan gradasi buruk)
L = low plasticity (plastisitas rendah) (LL < 50)
H = high plasticity (plastisitas tinggi) ( LL > 50)
Untuk lebih jelasnya klasifikasi sistem UNIFIED dapat dilihat pada bagan Tabel
2.6. dan Tabel 2.7. dibawah ini.






- 16 -


Tabel 2.6. Klasifikasi tanah sistem UNIFIED
Sumber : MekanikaTanah Jilid 1, Braja M. Das

2.2. Konsolidasi
Konsolidasi dapat diartikan bahwa suatu peristiwa pemampatan
(compression) karena mendapat beban dari atasnya secara tetap/kontinyu yang
diakibatkan oleh suatu konstruksi atau timbunan tanah sehingga terjadi proses
pengeluaran air dari pori-porinya. Keadaan ini bisa terjadi apabila tanah dalam
keadaan jenuh atau hanya sebagian saja yang jenuh. Tanah butir kasar (granular
- 17 -

soil) terutama pasir akan mengalami kejadian konsolidasi yang cepat dan penuh
apabila mendapat tekanan (beban) sehingga grafiknya akan menurun tajam,
akhirnya berhenti dan lurus horisontal (gambar 2.4).









Gambar 2.4. Konsolidasi pada: (a) Tanah butir kasar,
(b) Tanah butir halus
Sumber : MekanikaTanah Jilid 1, Braja M. Das

Pemadatan dengan beban dinamis, proses bertambahnya berat volume
kering tanah sebagai akibat pemadatan partikel yang diikuti oleh pengurangan
volume air tetap tidak berubah. Jika tanah di lapangan membutuhkan perbaikan
guna mendukung bangunan di atasnya, maka tanah akan digunakan sebagai bahan
timbunan, maka pemadatan sering dilakukan (Hardiyatmo, 2002).
Tujuan dari pemadatan antara lain adalah :
1. Memperkuat kuat geser tanah.
2. Mengurangi sifat mudah mampat (kompresibilitas).
3. Mengurangi permeabilitas.
4. Mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air.
- 18 -

Maksud tersebut dapat tercapai dengan pemilihan tanah bahan timbunan,
cara pemadatan, pemilihan mesin pemadat, dan jumlah lintasan yang sesuai.
Tingkat kepadatan diukur dari nilai berat volume keringnya ( d).
Pada tanah berbutir halus (fine granular soil) terutama pasir akan
mengalami penurunan yang lama (lamban) apabila mendapat beban sehingga akan
berlangsung terus berkonsolidasi. Oleh karena penyelidikan konsolidasi
diutamakan untuk tanah berbutir halus (silt/lanau, clay/lempung). Tingkatan
Proses Konsolidasi:
- Konsolidasi Permulaan (Initial Consolidation) Adalah pengurangan volume
tanah yang tidak jenuh, pada waktu mendapat beban yang dipergunakan
untuk mengeluarkan udara dari rongga udara.
- Konsolidasi Pertama (Primary Consolidation) Pengurangan terus terhadap
volume tanah, untuk mengeluarkan air dari rongga yang disertai dengan
penggantian beban sehingga menimbulkan tekanan air pori.
- Konsolidasi Kedua (Secondary Consolidation) Pemampatan tanah secara
perlahan-lahan sesudah terjadi pengurangan tekanan pori sampai mencapai
nol.
Pada kejadian permulaan konsolidasi mempunyai tenggang waktu yang
relatif singkat antara konsolidasi pertama mencapai konsolidasi kedua. Dimana
konsolidasi kedua adalah lebih memperhatikan kepada butir-butir tanah yang
banyak gugusan tanah organik, demikian pula lempung organik dan lanau plastis.
Untuk mendapatkan besaran yang dapat dipergunakan untuk menghitung besarnya
penurunan (settlement), harus dilaksanakan penyelidikan penurunan. Tes
konsolidasi dilakukan untuk mendapatkan :
a. Hubungan antar waktu dan prosentase konsolidasi
b. Perubahan rongga udara dari tanah akibat penambahan beban
c. Data permeability tanah yang merupakan hal penting di dalam
mempertahankan stabilitas tanah
Di dalam penyelidikan konsolidasi :
a. Besarnya settlement bergantung dari compressibility tanah tersebut
- 19 -

b. Kecepatan settlement tergantung permeability dan compressibility dari tanah
tersebut
Akibat penurunan pada tanah dibawah bangunan maka dalam bidang teknik sipil
perlu dicari besaran-besaran :
1. Besar penurunan yang terjadi ( )
2. Kecepatan penurunan ( v )
3. Lamanya waktu yang terjadi ( t )
4. Derajat konsolidasi ( u )

2.3. Analisa Penurunan (Settlement)
Istilah penurunan menunjukkan amblesnya suatu bangunan akibat
kompresi dan deformasi lapisan tanah dibawah bangunan. Penurunan (settlement)
akan terjadi jika suatu lapisan tanah mengalami pembebanan. Penurunan juga
dipengaruhi oleh sebaran tanah lunak atau lempung yang terdapat dibawah
permukaan pada dataran
Jika lapisan tanah terbebani, maka tanah akan mengalami
regangan/penurunan (Settlement). Regangan yang terjadi dalam tanah ini
disebabkan oleh deformasi partikel tanah maupun relokasi partikel serta
pengurangan air/udara dari dalam pori tanah tersebut.
Penurunan (Settlement) adalah penurunan atau deformasi yang terjasi
akibat pembebanan di permukaan tanah. Penurunan (Settlement) yang disebabkan
oleh pembebanan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Penurunan Langsung / Immadiate Settlement (Si)
Merupakan pemampatan yang diakibatkan oleh perubahan elastis tanah tanpa
adanya perubahan kadar air. Perhitungan pemampatan segera ini umumnya
didasarkan pada pemampatan yang diturunkan dari teori elastisitas.
2. Penurunan akibat beban / Consolidation Settlement (Sc)
Merupakan penurunan yang diakibatkan oleh keluarnya air dari pori-pori
didalam tanah. Penurunan konsolidasi masih dapat dibagi lagi menjadi dua
bagian yaitu : penurunan konsolidasi primer dan penurunan konsolidasi
sekunder.
- 20 -

Penurunan total dari tanah berbutir halus yang jenuh air adalah jumlah dari
penurunan segera dan penurunan konsolidasi masih dapat dibagi lagi menjadi
penurunan akibat konsolidasi primer dan penurunan akibat konsolidasi
sedkunder. Besarnya amplitudio/penurunan tanah total menurut Das (1985)
adalah :
S
t
= S
i
+ S
cp
+ S
cs
+ S
lat

Dimana :
S
t
= Total settlement
S
i
= Immadiate Settlement
S
cp
= Consolidation primair settlement
Merupakan hasil dari perubahan volume tanah jenuh air sebagai
akibat keluarnya air yang menempati pori-pori tanah.
S
cs
= Consolidation Secondary
Merupakan akibat dari perubahan palstis tanah
S
lat
= Settlement akibat pergerakan tanah arah lateral

Pada perencanaan ini jenis settlement yang diperhitungan adalah
Immadiate Settlement (Si) dan consolidation primair settlement (Scp), dengan
alasan sebagai berikut :
a. Consolidation Secondary Settlement (Scs)
1. Besarnya Scs adalah lebih kecil jika dibandingkan dengan Si, Scp ataupun
S
lat

2. Proses Secondary Settlement (Scs) berlangsung sangat lama
3. Menurut definisi klasik Mekanika Tanah, proses konsolidasi sekunder
mulai bekerja setelah berakhirnya konsolidasi primer (t
100
) yang dalam hal
ini ditandai dengan tegangan air pori konstan (AU = 0) atau dengan kata
lain deformasi disini berlangsung dalam kondisi tegangan konstan.
Namun bila ditinjau dari skala mikroskopik, ditemukan bahwa
konsolidasi primer selesai. Sehingga apabila dilihat dari aspek korelasi
mikro-makro besarnya konsolidasi sekunder ini mejadi tidak jelas.


- 21 -

b. Lateral Settlement (S
lat
)
Yaitu penurunan tanah dibawah timbunan sebagai akibat adanya pergerakan
tanah arah horizontal. Belum ada perumusan yan tepat untuk menghitung
settlement akibat pergerakan tanah lateral ini. Pada umumnya settlement ini
terjadi di zona tepi timbunan. Sehingga perhitungan settlement ini bertambah
rumit bila fenomena terjadinya bersamaan dengan fenomena keruntuhan
timbunan (sliding). Untuk memudahkan biasanya diabaikan atau dianggap
nol. Seandainya terjadi penurunan, maka perhitungan dianggap sebagai akibat
adanya sliding. (Das, 1985)

2.3.1. I mmadiate Settlement (S
i
)
Giroud (1973), menyajikan sebuah metode sederhana untuk menghitung
besarnya Immadiate Settlement (S
i
) rata-rata dari suatu timbunan :
Si = E(

)
Dimana :
Si = Immadiate Settlement
q = tegangan yang bekerja pada permukaan tanah (surcharge)
hi = tebal lapisan tanah i
Ei = modulus Oedometrik pada lapisan i = o
i
/c
I
diperoleh dari tes
konsolidasi.
Korelasi antara modulus YOUNG dengan modulus Oedometrik.
E = E' (

)
E = modulus elastisitas dari YOUNG dimana :
- Lempung Lunak, E = 1380 3450 KN/m
2
, = 0,15 0,25
- Lempung keras, E = 5865 138000 KN/m
2
, = 0,20 0,50
- Pasir Lepas, E = 10350 27600 KN/m
2
, = 0,20 0,40
- Pasir Padat, E = 34500 69000 KN/m
2
, = 0,25 0,45
= koefisien poison
- Lempung Lunak ( = 0,15 0,25)
- Lempung Keras ( = 0,20 0,50)
- Pasir lepas ( = 0,20 0,40)
- 22 -

- Pasir padat ( = 0,25 0,45)

Grafik 2.1. Perhitungan Tegangan Vertikal dalam Tanah (Grafik Osterberg)
Sumber : Pd T-06-2004-B

4.2.2. Consolidation Primair Settlement (Scp)
Das (1985), settlement akibat konsolidasi tanah dasar dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
a. Untuk tanah terkonsolidasi normal (Normally Consolidated Soil NC)
S
cp
=

(
Ao
o'
)
Dimana :
Cc = indeks kompresi (Compression index)
H = tebal lapisan tanah Compression
e
o
= angka pori awal (initial void ratio)
Ap = Surcharge load
o'o = overburden pressure effective
b. Untuk tanah terkonsolidasi lebih (Over Consolidated Soil - OC) terdapat 2
persamaan yaitu :
Apabila : o'
o
+ Ao s o'
c

S
cp
=

(
Ao
o'
)
- 23 -

Apabila : o'
o
+ Ao > o'
c
, maka
S
cp
=

Ao
o


Dimana :
H = tebal lapisan tanah
S
cp
= pemampatan konsolidasi pada lapisan tanah yang ditinjau
e
o
= angka pori awal
C
c
= indeks kompresi (Compression index)
C
s
= indeks mengembang (swelling index)
o
o
' = tekanan tanah vertikal efektif dan suatu titik di tengah-tengah
lapisan
ke-I akibat beban tanah sendiri di atas titik tersebut di lapangan
(efektif overbuden pressure)
o'
c
= tegangan prakonsolidasi efektif
Keterangan tambahan :
Tanah lunak di Indonesia umumnya dapat dianggap sebagai
tanah agak terkonsolidasi lebih, dengan harga :
o
c
= o
o
' + f
f = fluktuasi terbesar muka air tanah, dengan harga fluktuasi
muka air tanah
Ao = penambahan tegangan vertikal i titik yang ditinjau (ditengah-
tengah lapisan ke-i) akibat penambahan beban (surcharge load)

2.3.2. Parameter Tanah Untuk Perhitungan Consolidation Settlement
a. Tebal lapisan Compressible (H) yang diperhitungkan adalah yang masih bisa
mengalami konsolidasi primer (N-SPT < 30). Namun pada perencanaan ini
menggunakan N-SPT < 20.
b. Beban atau Surcharge
Surcharge yang dimaksud adalah besarnya beban yang bekerja di atas
permukaan tanah asli (compreeible soil) dalam satuan tegangan.
Beban luar yang berkerja di atas permukaan tanah akan mengakibatkan lapisan
tanah di bawah timbunan mengalami penambahan tegangan sebesar AP, hal ini
- 24 -

didistribusikan oleh massa tanah dimana semakin dalam lapisan suatu tanah
akan menerima pengaruh AP yang semakin kecil.
Besar penambahan tegangan Ao untuk suatu beban luar yang berupa beban
timbunan dapat ditentukan dengan menurunkan persamaan Boussinesq untuk
beban trapesium.
Besarnya AP pada kedalaman z adalah :
AP = I
z
x Ao
Ao = timbunan x H timbunan
Dimana :
I
z
= faktor pengaruh yang merupakan fungsi dari
kedalaman z dan ukuran timbunan a dan b
Ao = beban timbunan
H = tinggi timbunan
timbunan = berat volume dari tanah timbunan
H timbunan = tinggi timbunan

Apabila timbunan terendam air, maka digunakan harga timbunan efektif.
c. Koefisien pengaruh I
Ada dua cara yang dapat digunakan untuk menentukan faktor pengaruh I,
yaitu:
1. Dengan bantuan Grafik Osterberg (lihat atas) terdapat nilai perbandingan
terhadap kedalaman tanah yang ditinjau (z), yaitu a/z dan b/z. Dimana
nilai a adalah nilai lebar kemiringan talud, sedangkan nilai b adalah nilai
lebar talud itu sendiri.
2. Dengan bantuan persamaan berikut : Das (1990)
I = (1/t x |{(B1+B2)/B2}(o1+o2)} - B1/B2 (o2)|
Dimana :
o1 = tan-1 {(B1+B2)/z} - tan-1 (B1/z) (radian)
o2 = tan-1 (B1/z) (radian)
B1 = lebar timbunan
B2 = panjang proyeksi horisontal kemiringan timbunan
- 25 -

Karena nilai I ditinjau di tengah-tengah dari lebar timbunan, maka untuk
timbunan yang simetris nilai I yang diperoleh harus dikalikan 2 kalinya.

Gambar 2.5. Distribusi Tegangan Vertikal dalam Tanah
Sumber : Das, 1990

d. Compression dan Swelling Index
Dengan melihat data tanah SPT pada data tanah asli dan lampiran terlihat
bahwa tanah didaerah zona reklamasi dominan Inorganic clay (soft),
Inorganic clay (Firm), Clays - Sands and silts, Shell Sands and Gravels
(Loose), sehingga dapat dipastikan bahwa tegangan overburden pada saat ini
adalah tegangan maksimum yang pernah diterima oleh tanah tersebut atau
dapat dikatakan tanah tersebut terkonsolidasi secara normal (Normaly
consolidation Soil NC soil).
Wahyudi (1999), Membuat Harga Cc dapat diperoleh dari korelasi-korelasi
yaitu
Tabel 2.7. korelasi nilai Compression index (Cc)
Persamaan Daerah Pemakaian
Cc = 0,007 (LL 7) Lempung yang terbentuk kembali
(remolded)
Cc = 0,01 (WN) Lempung Chicago
Cc = 1,15 (eo 0,27) Semua Lempung
Cc = 0,30 (eo 0,27) Tanah kohesif anorganic, lanau
- 26 -

lempung berlanau, lempung
Cc = 0,0115 WN Tanah organik, gambut, lanau
organik dan lempung
Cc = 0,0046 (LL 9) Lempung Brazilia
Cc = 0,75 (eo 0,5) Tanah dengan Plastisitas rendah
Cc = 0,208 . eo + 0,0083 Lempung Chicago
Cc = 0,156 . eo + 0,0107 Semua Lempung
Sumber : Wahyudi (1999)
Dimana :
WL = batas cair (%)
WN = kadar air natural di lapangan
e
o
= angka pori awal di lapangan
Gs = Specific gravity
Untuk nilai swelling index (Cs), menurut Wahyudi (1997) dapat diperoleh
dari : Cs = 1/5 s.d 1/10. Cc
e. Angka Pori
Angka pori awal (e
o
) diperoleeh dari hasil test laboratorium
f. Overburden Pressure Effective (o'o)
Adalah teganagn vertikal efektif dari tana asli. Dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan :
o'o = ' . H
Dimana :
' =
sat
-
w

H = setengah tebal lapisan yang diperhitungakan

2.4. Waktu Konsolidasi
a. Lamanya Konsolidasi
Menurut Terzaghi dalam Das (1990) lama waktu konsolidasi dicari dengan
persamaan :
t =


- 27 -

Lamanya penurunan (t) tersebut diatas sapat pula dicari berdasarkan cara grafis
pada gambar diatas yang disajikan oleh J.P. BRU (1983 di buku Wahyudi
(1997).
Catatan : Mois = bulan, Ans = tahun, H yang dimaksud adalah H
dr


b. Parameter Tanah untuk lamanya Penurunan konsolidasi
1. Faktor Waktu (Tv)
Merupakan fungsi dari derajat konsolidasi (U%) dan bentuk dari distribusi
tegangan air pori (u) di dalam tanah (aliran satu arah atau dua arah).
Untuk tegangan air pori yang homogen hubungan Tv dan U seperti terlihat
pada tabel 2.8 dibawah ini :
Korelasi Tv dan U
Tabel 2.8. Faktor Waktu
Derajat
Konsolidasi
(U%)
Faktor Waktu
(Tv)
0 0
10 0,008
20 0,031
30 0,071
40 0,126
50 0,197
60 0,287
70 0,403
80 0,567
90 0,848
100

Sumber : Wahyudi H, 1997

2.Panjang Aliran Drainage
Jika tebal lapisan compressible adalah H, maka panjang aliran drainae
adalah H
dr
, dimana :
- 28 -

H
dr
= H, bila arah aliran air selama proses onsolidasi adalah dua arah
(ke atas dan ke bawah)
H
dr
= H, bila arah aliran drainage adalah satu arah (ke atas atau ke
bawah),
hal ini terjadi bila di atas atau di bawah lapisan Compressible
merupakan lapisan yang kedap air.
3. Koefisien Konsolidasi Vertikal (Cv)
Diperoleh dari grafik korelasi antara besarnya penurunan tanah dengan
waktu (t) berdasarkan hasil konsolidasi Oedometric test atau bisa juga
menggunakan tabel korelasi antar partikel tanah.
Apabila lapisan tanah homogen dan mempunyai beberapa nilai Cv, maka
harga Cv yang digunakan dalam perencanaan adalah harga Cv rata-rata.
(Absi, 1965)
Cv
rata-rata
=

) (

) (

)

Dimana :
H = tebal total lapisan Compressible
Hi = tebal lapisan Compressible lapisan i
Cvi = harga Cv lapisan-i

2.5. Tinggi Timbunan
Tinggi timbunan ini dibedakan menjadi tinggi timbunan kritis, tinggi
timbunan rencana dan tinggi timbunan pada saat pelaksanaan. Adapun
penjelasannya sebagai berikut :
a. Tinggi Timbunan Kritis
Ketinggian kritis adalah tinggi maksimal dari timbunan yang mampu
didukung tanah dasar agar tidak sliding. Tinggi timbunan ini di dapat
melalui analisa stabilitas dengan menggunakan program bantu komputer
GEOSLOPE, PLAXIS, XSTABLE, dll.
b. Tinggi Timbunan Rencana
Ketinggian timbunan ini adalah tinggi final dari permukaan tanah
timbunan yang akan direncanakan.
c. Tinggi Timbunan pada saat Pelaksanaan
- 29 -

Tinggi timbunan pada saat pelaksanaan fisik tidaklah sama dengan tinggi
timbunan rencana. Jadi misalnya tinggi timbunan rencana 3 meter, maka
tinggi timbunan total pada saat pelaksanaan penimbunan haruslah lebih
tinggi lagi yaitu dengan memperhatikan adanya penurunan tanah asli (Soil
Settlement) yang akan terjadi sebagai akibat adanya timbunan tersebut.
Penentuan dari tinggi timbunan final pada saat pelaksanaan fisik (dengan
memperhatikan adanya settlement), dapat dihitung dengan (Mochtar,
2000) :
q
Final
= q = (H
awal
Sc)
sat
+ Sc (
sat
-
w
)
q = H
awal
.
timb
Sc .
timb
+ Sc . '
timb

q = H
awal
.
timb
Sc . (
timb
- ')
Jadi :
H
inisial
=


H
akhir-i
= H
awal-i
- S
ci



2.6. Beban Traffic
Pada perencanaan jalan, beban traffic merupakan beban yang harus dipikul
oleh tanah dasar. Beban traffic diperhitungkan sebagai beban merata yang
tergantung dari tinggi timbunan embankment (Japan Road Association, 1986).
Makin tebal tinggi timbunan, makin kecil pengaruh beban traffic terhadap tanah
dasar. Kurva hubungan antara tinggi timbunan dengan beban traffic yang
digunakan untuk perencanaan disajikan pada grafik 2.2.



- 30 -


Grafik 2.2. Kurva Hubungan antara tebal timbunan dengan intensitas
beban yang bersesuaian dengan beban traffic
Sumber : Japan Road Association, 1986

2.7 . Teknik Peningkatan Stabilitas Tanah Dasar pada Konstruksi Timbunan
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan stabilitas tanah
dasar selama masa konstruksi timbunan berlangsung, yaitu:
1. Membangun timbunan secara bertahap
Pembangunan konstruksi timbunan secara bertahap dilakukan dengan
menimbun tanah dalam jangka waktu tertentu secara bertahap. Metode ini
bertujuan untuk mencegah kegagalan pada tanah dasar dengan cara
mengkonsolidasikan tanah dasar hingga timbunan berikutnya diberikan
sehingga stabilitas tanah dasar dapat ditingkatkan. Akan tetapi untuk tanah
dengan karakteristik drainase yang buruk, metode ini sangat jarang digunakan
secara mandiri karena metode ini memerlukan waktu konstruksi yang lama
sehingga seringkali tidak ekonomis jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi.


Gambar 2.5. Teknik Penimbunan dengan Metode Penimbunan Bertahap


- 31 -

2. Membangun timbunan dengan menggunakan berm
Penggunaan berm pada timbunan bertujuan untuk mencegah squeeze pada
tanah dasar dan meningkatkan area pembebanan sehingga dapat mengurangi
tegangan yang terjadi pada tanah dasar. Dengan demikian, maka stabilitas
tanah dasar dapat tetap terjaga. Akan tetapi metode ini memerlukan luas lahan
yang besar sehingga metode ini jarang untuk digunakan.

Gambar 2.6. Teknik Penimbunan dengan Menggunakan Berm

3. Membangun timbunan dengan menggunakan perkuatan pada dasar timbunan
Pemakaian sistem perkuatan pada dasar timbunan seperti geotekstil
merupakan metode yang paling ekonomis dan paling banyak digunakan
akhir-akhir ini karena metode ini dapat meminimalkan geometri timbunan
(meminimalkan luas area penimbunan dan memaksimalkan tinggi timbunan)
serta mengurangi masa pelaksanaan konstruksi timbunan.

Gambar 2.7. Teknik Penimbunan dengan Perkuatan Dasar Timbunan

2.8. Timbunan Jalan Pendekat Jembatan (Oprit)
Timbunan jalan pendekat jembatan yaitu segmen yang menghubungkan
konstruksi perkerasan dengan kepala jembatan. Adalah merupakan segmen
sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi tertentu sesuai alinyemen
horizontal, alinyemen vertikal dan besarnya kelandaian melintang berdasarkan
- 32 -

gambar rencana. Timbunan jalan penekat mulai dari ujung perkerasan jalan
melalui transisi kelandaian sampai kepala jembatan sesuai ketentuan RAMIJA.
Timbunan jalan pendekat sebagai pondasi dasar yang mendukung lapis pondasi
bawah. Apabila lapis pondasi bawah tidak ada maka lapisan tanah dasar
mendukung langsung timbunan, timbunan jalan pendekat mempunyai kekuatan
dan keawetan tertentu.
Dalam penentuan tebal timbunan nilai CBR dapat dikorelasi terhadap daya
dukung tanah (DDT). Tinggi timbunan harus dipertimbangkan terhadap adanya
bahaya longsor, sebaiknya pada lahan mencukupi dibuat kelandaian lereng alami
dan apabila tidak mencukupi harus dibuat konstruksi penahan tanah. Timbunan
harus dipadatkan lapis demi lapis sesuai ketentuan kepadatan lapisan.
Timbunan jalan pendekat harus direncanakan sedemikian rupa sehingga
mendukung terhadap kekuatan dan kestabilan konstruksi kepala jembatan. Khusus
untuk timbunan jalan pendekat dengan timbunan tanah yang tinggi, konstruksi
penahan tanah sangat diperlukan agar badan jan tidak longsor.
Pertimbangan perencanaan timbunan jalan pendekat terhadap alinyemen
horizontal harus direncakan sesuai dengan keamanan lalu lintas dan perpanjangan
jembatan terhadap sungainya. Pertimbangan jalan pendekat terhadap alinyemen
vertikal tergantung pada muka air tinggi, muka air banjir dan kelandaian
memanjang yang sebaiknya tidak melebihi 5%. Permasalahan utama pada
timbunan jalan pendekat yaitu sering terjadinya penurunan atau deformasi pada
ujung pertemuan antara struktur perkerasan jalan terhadap ujung kepala jembatan.
Hal ini disebabkan karena:
- Pemadatan yang kurang sempurna pada saat pelakasanaan, akibat tebal
pemadatan tidak mengikuti ketentuan pelaksanaan atau kadar air optimum
tidak terpenuhi.
- Karena air mengalir keluar, dimana terjadi kapilerisasi pada lapisan atau
kelurusan air melalui saluran drainase sehingga ada perubahan tegangan
efektif.
- Pemadatan lapisan timbunan jalan pendekat yang berlebih, dimana terjadi
perubahan kadar air yang mengakibatkan pengembangan lapisan tanah yang
dapat mendesak permukaan perkerasan ke atas.
- 33 -

Dalam mekanika tanah telah diketahui tanah timbunan jalan pendekat atau
tanah pondasi sebagai material isotropis mempunyai dua sufat fisik yaitu:
- indeks fisik seperti kadar air (w), massa jenis , batas cair (LL), indeks plastis
(PI), batas susut (SL) dan lain-lain.
- sifat kohesif (c ), indekss kompresibilitas (Cc) dan permeabilitas (k).
Masalah keseimbangan atau stabilitas ditentukan oleh kondisi beban pada
tanah dan struktur diatasnya. Sedang masalah deformasi memerlukan perhitungan
yang cermat untuk mengetahui besar distribusi tegangan yang ditimbulkan oleh
beban struktur terhdap tanah dan berapa besar daya dukung tanah daar yang dapat
menhan struktur diatasnya atau bagaimana pengaruh tinggi timbunan terhadap
penurunan, longsor dan deformasi kepala jembatan.
Selanjutnya masalah drainase sangat erat keterkaitannya dengan stabilitas
maupun deformasi. Kejadian yang sering antara ujung perkerasan baik aspal beton
maupun pelat lantai beton yang berdekatan dengan kepala jembatan adalah
penurunan dan konsolidasi struktur akibat material pengganti atau oleh tanah
dasarnya. Untuk mengeliminir penurunan pada kepala jembatan adalah dengan
menggali pada tanah kritis atau labil umumnya di daerah rawa dan menggantinya
dengan material pilihan sehingga material timbunan akan lebih cepat memadat.
Penggunaan material ringan untuk mengurai berat timbunan sehingga penurunan
dan stabilitas dapat ditekan.

2.9. Analisa Keseimbangan Batas pada Timbunan dengan Perkuatan
Geotektile
2.9.1. Geosintetik
Geosintetik sendiri secara umum dibedakan berdasarkan sifat bahan yaitu
bahan lulus air (permeable) dikenal sebagai geotekstil dan bahan bersifat kedap
air (impermeable) dikenal sebagai geomembran. Sifat bahan yang lulus air ini
digunakan untuk membedakan / untuk membantu di dalammengelompokkan
peran serta fungsi bahan tersebut. Bentuk bahan berupa lembaran yang merupakan
anyaman, nir anyaman / rajutan dari kumpulan benang sintetis.
Bahan dasar geosintetik merupakan hasil polimerisasi dari industri-industri
kimia / minyak bumi (Suryolelono, 1988) dengan sifat-sifat yang tahan terhadap
- 34 -

senyawa-senyawa kimia, pelapukan, keausan, sinar ultra violet dan mikro
organisme. Polimer utama yang digunakan untuk pembuatan geosintetik adalah
Polyester (PS), Polyamide (PM), Polypropylene (PP) dan Polyethylene (PE).
Geosintetik yang ada terdiri dari berbagai jenis dan diklasifikasikan dalam
beberapa bentuk, berdasarkan International Geosynthetic Society (IGS) adalah
sebagai berikut :
a. Geotextile : bahan lulus air dari anyaman atau nir anyaman benang (serat-
serat) sintetik yang digunakan dalam pekerjaan-pekerjaan tanah.
b. Geosynthetic : geotekstil, geomembran dan semua produk yang berhubungan,
dihasilkan olah industri-industri geotekstil dan geomembran.
c. Geoweb : sebenarnya merupakan geogrid yang disusun membentuk sel-sel
(istilah Amerika)
d. Geogrid : produk yang berhubungan dengan geotekstil yang lubang-lubang
berbentuk segi empat (geotextile grid) atau lubang-lubang berbentuk bujur
sangkar (geotextile net).
e. Geospacer : merupakan bahan sintetis yang ditempatkan di antara dua bahan
sintetis lain yang bersifat kedap air atau lulus air dan digunakan pada
konstruksi drain.
f. Geofabric : semua produk geosintetik tipe lembaran atau tipe net.
g. Geoproduct : berarti geosintetik, semua produk geotekstil yang berasal dari
serta-serat asli, geospacer dan batang-batang angker.
h. Geocompseite : kombinasi dua atau lebih dari geoproduct.

Geosintetik digunakan secara luas dibidang teknik sipil, geoteknik,
lingkungan, pertanian, sehingga bentuk maupun tipe geosintetik mengalami
perkembangan sesuai kebutuhan. Umumnya pemakaian bahan geosintetik
terutama untuk penanggulangan masalah-masalah erosi, sebagai pemisah dua
material yang berbeda gradasinya,sebagai bahan filter, perkuatan tanah dasar
pondasi pada pekerjaan timbunan, perkuatan pada dinding penahan tanah dan
sebagai bahan kedap air.(Suryolelono, 2000).


- 35 -

2.9.2. Geotekstil
Geotekstil adalah kelompok bahan geosintetik yang mudah meloloskan air.
Geotekstil sebenarnya merupakan bahan, baik yang berasal dari serat-serat asli
(jute, kertas filter, papan kayu, bambu) maupun serat-serat sintetis (fiber) yang
banyak berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaan tanah. Awalnya pemanfaatan
geotekstil, banyak bahan dengan serat asli dimanfaatkan, seperti jute digunakan
dalam pekerjaan-pekerjaan percepatan konsolidasi, untuk mengganti pasir sebagai
bahan drainase (vertical sand drain) yang banyak dilakukan di India, atau
dilakukan di Belanda dengan menggunakan kertas filter (Suryolelono, 2000).
Perkuatan tanah lunak pada awalnya menggunakan papan-papan kayu atau
anyaman bambu yang ditempatkan di atas tanah lunak (jaman Romawi kuno dan
di Kalimantan). Hanya saja, bahan-bahan ini merupakan bahan organis, sehingga
mudah lapuk dan umur konstruksi tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali
untuk bahan kayu / bambu, bila berada dalam air terus menerus akan bersifat
permanen. Geotekstil dari bahan serat-serat sintetis, sekarang ini mengalami
perkembangan yang pesat sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan yang
memerlukannya.(Suryolelono, 2000).
Tipe geotekstil dapat dikelompokkan berdasarkan cara pembuatannya di
pabrik-pabrik yang menghasilkan bahan tersebut. Awalnya dibedakan menjadi
dua kelompok besar yaitu anyaman dan nir-anyam. Sesuai dengan perkembangan
di dalam pembuatan bahan tersebut, berbagai bentuk geotekstil dan modifikasinya
yang dihasilkan oleh industri geotekstil seperti bentuk grid, mat, rajutan dan lain-
lain (Suryolelono, 2000).

2.9.3. Penanganan Kelongsoran dengan Stabilitas Lereng dengan
Geosintetik
Widiyanto (1993) menyimpulkan bahwa penanggulangan kelongsoran
subgrade jalan raya dengan stabilitas lereng memberikan angka keamanan yang
kecil, memberikan indikasi bahwa badan jalan dalam keadaan labil, oleh karena
itu perlu dilakukan peningkatan stabilitas lereng. Hal ini dapat dilakukan dengan
memperbaiki sifat fisis tanah maupun dengan membangun dinding penahan yang
disertai dengan sistem drainase di bawah permukaan jalan yang baik.
- 36 -

Hasil penelitian Mekarsari (2000) menyimpulkan bahwa penaggulangan
longsoran dengan bahan geosintetik pada ruas jalan sebagai perkuatan timbunan
jalan, yaitu:
1. Penggunaan geotekstil sebagai separator
a. Ekonomis yaitu dapat menghemat material urugan.
b. Mempunyai kekuatan terhadap tarik yang sangat tinggi sehingga mampu
menahan dan menyusut.
c. Dapat mencegah bercampurnya agregat pilihan dan lapisan tanah dasar
sehingga kekuatan struktur jalan lebih terjamin.
2. Penggunaan geotekstil sebagai perkuatan / tulangan
Dapat dimanfaatkan sebagai perkuatan lereng pada jalan sementara dan
permanen.
3. Penggunaan geomembran pada bahu jalan
a. Mencegah perubahan kadar air pada tanah dasar karena geomembran
mempunyai sifat kedap air, tahan pelapukan terhadap zat kimia tanah
dan organisme pembusukan dalam tanah, sehingga mempunyai tahanan
kekuatan terhadap tarik, sobek, coblos yang cukup tinggi.
b. Dapat mencegah kelongsoran karena mempunyai tahanan tarik yang
tinggi dan kedap air.
4. Dasar teori kelongsoran
Kemungkinan terjadinya kelongsoran setiap macam lereng selalu ada, pada
kedalaman yang lebih besar permukaan galian tidak dapat menahan pada
bagian dasarnya.
5. Penggunaan geotekstil sebagai pengganti bahan filter alami Geotekstil
woven yang dipasang di atas tanah dasar lunak jenuh air pada konstruksi
jalan dan pekerjaan tanah harus menampilkan fungsi yang tepat pada kasus
yang dihadapi, perkuatan dan filtrasi.
6. Penggunaan beban merata yang bekerja di jalan
Penentuan beban yang bekerja di jalan berdasarkan klasifikasi lebar jalan
dan beban jalan sendiri. Berdasarkan lebar jalan dapat ditentukan beban
muatan sumbu yang maksimum dalam Tabel 2.8. dan Tabel 2.9. berikut ini.

- 37 -

Tabel 2.9. Lebar Jalan
Kelas I
&
Kelas I
Kelas 2 Kelas 3
&
Kelas 3
Kelas 4
&
Kelas 4
Kelas 5
&
Kelas 4
Lebar Jalan
(m)
3,5 3,25 3,00 2,75
4,50
(1 Jalur)
Sumber : DPU Bina Marga, Perencanaan Geometrik Jalan luar Kota, 1990

Tabel 2.10. Perencanaan Beban yang Bekerja
Klasifikasi Muatan Sumbu
Terberat MST
(Ton)
Fungsi Kelas
Arteri I
II
III A
> 10
10
8
Kolektor III A
III B
8
DPU Bina Marga, Perencanaan Geometrik Jalan luar Kota, 1990

Umumnya timbunan di atas tanah lunak akan mengalami penurunan yang
besar dan berpeluang mengalami failure akibat kurangnya daya dukung tanah
lunak terhadap beban timbunan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk
memperbaiki kondisi tanah dasar yang ada adalah dengan menggunakan material
geosintetik seperti geotekstil yang digelar di atas tanah lunak sebelum
pelaksanaan konstruksi timbunan. Material geosintetik dalam hal ini berfungsi
sebagai perkuatan tanah (soil reinforcement). Perkuatan dasar timbunan di atas
tanah lunak hanya bekerja sementara hingga daya dukung tanah lunak meningkat
sehingga mampu mendukung beban yang ada di atasnya. Umumnya desain
perkuatan tanah sebagaimana yang digambarkan di atas dilakukan dengan
menggunakan metode limit equilibrium dimana analisa stabilitas baru dapat
diterima jika faktor keamanan yang dihasilkan menunjukkan hasil yang
memuaskan (lebih besar dari 1). Analisa dengan menggunakan metode limit
equilibrium meninjau tiga modus stabilitas konstruksi timbunan di atas tanah
- 38 -

lunak, yaitu stabilitas internal (internal stability), stabilitas tanah dasar
(foundation stability), dan stabilitas konstruksi secara keseluruhan (overall
stability).


Gambar 2.8. Model Keruntuhan pada Internal Stability (Hird dan Jewel; 1990)

Analisa stabilitas internal (internal stability) bertujuan untuk mencegah
pergerakan lateral pada konstruksi timbunan. Gaya lateral yang timbul harus dapat
ditahan oleh kaki timbunan. Oleh karena itu, stabilitas internal (internal stability)
suatu timbunan sangat dipengaruhi oleh kemiringan kaki timbunan itu sendiri.


Gambar 2.9. Keseimbangan Batas pada Stabilitas Internal

Gaya lateral yang timbul pada analisa stabilitas internal diakibatkan oleh
tegangan lateral aktif akibat tanah timbunan. Secara matematis besarnya gaya
lateral yang timbul pada konstruksi timbunan diberikan oleh Persamaan :
E
a
= . K
a
. . H
2


- 39 -

Dimana:
Ea = Tegangan lateral aktif
Ka = Koefisien tegangan lateral aktif
= Berat isi
H = Tinggi timbunan
Untuk timbunan tanpa perkuatan (unreinforced embankment) yang berada
di atas tanah lunak jenuh air tak terkonsolidasi, pada interface antara timbunan
dan tanah dasar akan timbul sebuah bidang geser. Bidang geser inilah yang akan
mengimbangi gaya lateral yang ada. Besarnya gaya geser yang timbul pada bagian
interface antara material timbunan dan tanah dasar ini dipengaruhi oleh nilai
kohesi tanah dasar yang dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan :

F internal = c
u
. n . H
Dimana:
F internal = Gaya internal
cu = Kohesi undrained
n = Kemiringan kaki timbunan
H = Tinggi timbunan
Sedangkan untuk timbunan dengan perkuatan (reinforced embankment),
kuat geser yang timbul pada area interface ditentukan berdasarkan besarnya
gesekan antara material timbunan dan material perkuatan geotekstil yang
digunakan. Adapun besarnya kuat geser yang timbul dapat ditentukan dengan
Persamaan :
F internal = nH . . . H . tan
Dimana:
F internal = Gaya internal
n = Kemiringan kaki timbunan
H = Tinggi timbunan
= Berat isi
= Sudut geser dalam
Dengan demikian, struktur timbunan dikatakan aman terhadap stabilitas internal
jika:
- 40 -

SF . E
a
F internal
Dimana:
SF = Faktor keamanan
Ea = Tegangan lateral aktif
F internal = Gaya internal
Apabila kondisi keseimbangan batas tidak tercapai, maka diperlukan adanya suatu
gaya tambahan untuk menahan gaya lateral yang timbul. Gaya tambahan ini
berasal dari material perkuatan (geotekstil) yang digunakan. Adapun besarnya
kuat tarik material geotekstil yang diperlukan dapat dihitung dengan
menggunakan Persamaan :
T = SF . E
a
- F internal
Dimana:
T = Kuat tarik perlu geotekstil
SF = Faktor keamanan
Ea = Tegangan lateral aktif
F internal = Gaya internal


Gambar 2.10. Model Keruntuhan pada Foundation Stability

Akibat adanya beban timbunan, maka tanah dasar yang berupa tanah lunak
akan terdorong keluar. Hal inilah yang menjadi perhatian dalam analisa stabilitas
tanah dasar pada metode keseimbangan batas. Pada analisa keseimbangan batas
untuk foundation stability, modus keruntuhan yang terjadi adalah modus
keruntuhan translasi dimana bidang keruntuhan akan terjadi pada bidang WXYZ
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 2.16. Pada bidang ini akan bekerja
tekanan tanah aktif (Ea) dan tekanan tanah pasif (Ep) yang besarnya dapat
dihitung dengan menggunakan Teori Rankine ataupun Teori Coulomb. Adapun
asumsi yang digunakan dalam analisa keseimbangan batas untuk foundation
- 41 -

stability adalah pada bidang WX dan YZ tidak bekerja gaya geser. Dengan
demikian, secara matematis besarnya kuat tarik material geotekstil yang
diperlukan dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan :

Gambar 2.11. Keseimbangan Batas pada Stabilitas Pondasi

T = (E
a
E
p
G) SF

Dimana:
E
a
= .
s
. D
2
2 . c
u
. D + . H . D
E
p
= .
s
. D
2
+ 2 . c
u
. D
G = c
u
. n . H

Keterangan:
T = Kuat tarik perlu geotekstil
Ea = Tegangan lateral aktif
Ep = Tegangan lateral pasif
G = Gaya geser
SF = Faktor keamanan
s, = Berat isi
cu = Kohesi undrained
H = Tinggi timbunan
D = Tebal lapisan tanah dasar dimana terjadi keruntuhan

- 42 -


Gambar 2.12. Model Keruntuhan pada Overall Stability

Analisa stabilitas keseluruhan (overall stability) pada metode
keseimbangan batas memfokuskan perhatian pada mekanisme keruntuhan struktur
timbunan secara keseluruhan, yaitu stabilitas tanah timbunan dan tanah dasar.
Untuk kondisi dimana tanah dasar terdiri dari tanah yang relatif homogen dengan
kuat geser yang rendah, model keruntuhan umumnya diasumsikan sebagai
keruntuhan rotasi dan dianalisa dengan menggunakan Bishop Simplified Method.
Dengan demikian, maka faktor keamanan pada analisa stabilitas keseluruhan
suatu struktur timbunan didefinisikan sebagai perbandingan antara momen
penahan yang tersedia dengan momen pendorong yang ada. Perhitungan
dilakukan secara iterasi untuk sejumlah mekanisme keruntuhan rotasi hingga
diperoleh faktor keamanan terkecil. Oleh karena itu perhitungan analisa stabilitas
keseluruhan pada metode keseimbangan batas umumnya dilakukan dengan
menggunakan bantuan program komputer.
Faktor keamanan untuk timbunan tanpa perkuatan dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan:
Dimana:
SF = Faktor keamanan
c = Kohesi
b = Lebar slice
W = Berat slice
- 43 -

u = Tegangan air pori
= Sudut geser dalam
= Kemiringan slice pada bidang keruntuhan

Apabila faktor keamanan struktur timbunan tanpa perkuatan tidak
mencukupi, maka faktor keamanan struktur timbunan dapat ditingkatkan dengan
menggunakan perkuatan geotekstil pada dasar timbunan. Gaya yang timbul pada
material geotekstil akan meningkatkan momen penahan pada struktur timbunan
sehingga akan meningkatkan faktor keamanan timbunan secara keseluruhan.
Besarnya momen penahan tambahan yang terjadi pada struktur timbunan akibat
adanya perkuatan geotekstil pada dasar timbunan adalah:
M
r
= T x y
Dimana:
Mr = Momen penahan tambahan akibat material geotekstil
T = Kuat tarik perlu geotekstil
y = Ordinat pusat kelongsoran

Sehingga besarnya kuat tarik geotekstil yang diperlukan sebagai perkuatan dasar
timbunan adalah:

Dimana:
T = Kuat tarik perlu geotekstil
SF = Faktor keamanan
c = Kohesi
W = Berat slice
b = Lebar slice
u = Tegangan air pori
= Sudut geser dalam
= Kemiringan slice pada bidang keruntuhan
- 44 -

y = Jarak antara resultan gaya tarik pada material geotekstil dengan pusat
kelongsoran

Walaupun perkuatan geotekstil pada dasar timbunan dapat memberikan
gaya penahan tambahan dalam arah horizontal sehingga faktor keamanan
timbunan meningkat, beban vertikal yang bekerja pada tanah dasar akibat
timbunan tetap dipikul oleh tanah dasar. Apabila daya dukung tanah dasar tidak
mencukupi, maka akan terjadi deformasi yang besar pada struktur timbunan.
Besarnya daya dukung timbunan di atas tanah lunak dapat dihitung dengan
menggunakan Persamaan
Q
ult
= c
u
. N
c

Dimana:
Q ult = Daya dukung batas
cu = Kohesi undrained
Nc = Faktor kapasitas daya dukung
Adapun nilai Nc diperoleh dari grafik yang dipublikasikan oleh Pilot (1976)
seperti pada Grafik 2.3.

Grafik 2.3 Faktor Kapasitas Daya Dukung
Sumber : Pilot; 1976

- 45 -

2.10. Data Sondir
Alat sondir atau Dutch Cone Penetrometer Test (CPT) merupakan alat
penyelidikan tanah yang paling sederhana, murah, praktis dan sangat popular
digunakan di Indonesia. Alat sondir dari Belanda ini memberikan tekanan konus
dengan atau tanpa hambatan pelekat (friction resistance) yang dapat dikorelasikan
pada parameter tanah seperti undrained shear strength, kompresibilitas tanah dan
dapat memperkirakan jenis lapisan tanah.
Uji sondir ditujukan untuk :
Identifikasi, stratigrafi, klasifikasi lapisan tanah, kekuatan lapisan tanah.
Kontrol pemadatan tanah timbunan.
Perencanaan pondasi dan settlement.
Perencanaan stabilitas lereng galian/timbunan.
Hasil sondir (qc,fc,JHP,FR) dapat dikorelasikan :
Konsistensinya.
Kuat geser tanah ( Cu )
Parameter konsolidasi ( Cc dan Mv )
Relatif Density ( Dr )
Elastisitas tanah.
Daya dukung pondasi
Penurunan
Dari nilai-nilai qc dan FR dapat dikorelasikan terhadap jenis tanah. Hubungan
antara Tekanan Konus ( qc ), Friction Ratio ( FR ) dan jenis tanah dapat dilihat
pada grafik Schmertmann, 1969, dapat dilihat pada Grafik 2.4. Dari nilai-nilai qc
dapat dikorelasikan terhadap konsistensi tanah lempung pada suatu lapisan tanah.
- 46 -


Grafik 2.4. Hubungan antara tekanan konus (qc),
Friction Ratio (FR) dan jenis tanah
Sumber : Schmertmann, 1969

Tabel 2.11. Hubungan antara konsistensi dengan tekanan konus

Sumber : Begemann, 1965
- 47 -


Tabel 2.12. Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc dan

Sumber : Begemann, 1965

Perkiraan Lapisan dan Parameter Tanah dari Tes Sondir
Data sondir yang tersedia digunakan untuk memperkirakan lapisan tanah dan
memperkiraan parameter tanah. Perkiraan lapisan tanah dan parameter tanah
diperlukan untuk mengelompokkan hasil tes sondir dengan hasil tes boring dan
SPT. Adapun contoh perkiraan lapisan tanah untuk tes sondir S.01 dan S.02
ditentukan dengan cara ; Menentukan harga sondir (qc), rata-rata ( ) dengan
memperhatikan grafik sondir secara visual.

2.11. Data Boring
Pengeboran merupakan cara yang paling awal dan mudah dalam
penyelidikan tanah. Maksud dari pekerjaan bor ini adalah untuk
mengidentifikasikan kondisi tanah, sampai kedalaman yang ditetapkan, sehingga
dapat digunakan untuk perencanaan pondasi, timbunan tanah, khususnya
penanggulangan longsoran. Pekerjaan ini menggunakan mesin bor dan tabung
untuk mengambil contoh tanah tak terganggu.
Tujuan boring antara lain :
Identifikasi jenis tanah
Menggambar contoh tanah asli maupun tidak asli.
Uji Penetrasi Baku/Standard Penetration Test (SPT)
Uji lain : Pecker, Vane shear, PMT, Air pori.
- 48 -

Selain itu juga dilakukan SPT (Standard Penetration Test) pada setiap interval
tertentu. SPT digunakan untuk menentukan konsistensi atau density tanah di
lapangan. Tes tersebut dilakukan dengan memancangkan alat split spoon sampler,
yaitu berupa baja dengan ujung-ujung yang terbuka. Split spoon dipancangkan 45
cm ke dalam tanah pada kedalaman tertentu dalam tanah. Alat untuk memancang
berupa palu (hammer) dengan berat 63.5 kg dengan tinggi jatuh 75 cm. Jumlah
tumbukan untuk penetrasi 15 cm kedua dan 15 cm ketiga disebut standard
penetration resistance N, yang mana hal ini menggambarkan jumlah tumbukan
per 30 cm penetrasi.
SPT dapat dikorelasikan dengan :
Konsistensinya
Kuat geser tanah
Parameter konsolidasi
Relatif density
Daya dukung pondasi
Penurunan
Korelasi antara N-SPT dengan relative density dan sudut geser dalam telah
ditampilkan pada tabel 2.12.

You might also like