Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Selain itu, kedelai juga merupakan tanaman palawija yang kaya akan protein yang memiliki arti penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai berperan sebagai sumber protein nabati yang sangat penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat karena aman bagi kesehatan dan murah harganya. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan industri olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack, dan sebagainya. Zakiah (2012), menyatakan bahwa pasokan kedelai di Indonesia cenderung semakin tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri sendiri. Sekalipun kedelai dapat ditanam dengan cara yang paling sederhana, produktivitas dan produksi kedelai dalam negeri, hampir tidak dapat memenuhi permintaan yang semakin meningkat. Saat ini produksi kedelai di Indonesia hanya mencukupi sekitar 35 persen kebutuhan, selebihnya dipenuhi melalui impor. Sekitar 20 tahun terakhir di Indonesia masih terus melakukan impor kedelai, terutama dari Amerika Serikat, sehingga tidak heran apabila kedelai impor telah mendominasi sebagai bahan baku olahan pangan (Adisarwanto 2008). Ini merupakan sebuah fenomena yang mengkhawatirkan, dimana persentase jumlah impor terhadap konsumsi, menunjukkan persentase yang semakin meningkat. Besarnya angka impor tersebut merupakan salah satu indikator betapa besar kebutuhan kedelai untuk memenuhi kebutuhan penduduk melalui berbagai jenis produk olahan (Zakiah 2012). Saluran pemasaran kedelai yang terlalu panjang, dan kebijakan harga yang tidak mendukung petani, mengakibatkan keuntungan yang diperoleh petani sangat sedikit. Ini mengakibatkan kebanyakan petani memilih untuk mengalih fungsikan lahan kedelai mereka ke komoditi tanaman lainnya. Masih lemahnya nilai tawar petani dan sistem informasi serta lemahnya kelembagaan kelompok tani menyebabkan daya saing petani kedelai lokal sangat lemah (Rachman et al 2008). Kendala internal berdasarkan aspek pemasaran adalah: (1) daya tawar petani lemah, (2) sistem informasi pasar lemah, dan (3) belum adanya tarif impor. Sedangkan kendala eksternalnya antara lain adalah: (1) tingginya impor kedelai dengan harga murah, (2) rantai pemasaran yang panjang sehingga tidak efisien, dan (3) biaya transportasi yang mahal. Panjangnya rantai dari produsen sampai kepada konsumen menyebabkan tidak efektifnya proses pemasaran. Memperbaiki dan memperpendek simpul mata rantai dari produsen ke konsumen perlu dibentuk dan difungsikan sebagaimana mestinya sehingga dapat efektif dan efisien dalam pendistribusian produk. Sistem informasi pasar belum terbentuk sehingga titik temu antara produsen dan konsumen sering tidak ketemu. Hal ini yang menyebabkan nilai jual produk berfluktuatif dan cenderung menurun. Harga komoditas kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah. Harga kedelai ditentukan oleh mekanisme pasar, yang ditentukan oleh permintaan dan persediaan (Demand and Supply). Belum digunakannya jenis benih unggul oleh semua petani, juga menyebabkan rendahnya produktivitas kedelai lokal. Hingga kini penggunaan varietas unggul baru mencapai 20% dan penggunaan benih yang bersertifikat hanya 10%. Ditambah lagi dengan teknologi pascapanen yang belum memadai menambah alasan rendahnya produksi kedelai lokal. Persaingan penggunaan lahan dengan komoditi lainnya, seperti jagung yang merupakan komoditi alternative unggulan setelah beras, diduga juga menjadi penyebab turunnya areal panen kedelai. Dalam hal ini kenaikan harga jagung akan mendorong petani untuk menanam komoditas tersebut, yang konsekuensinya akan mengurangi areal tanam kedelai (Zakiah 2012).
Rendahnya produksi kedelai local menyebabkan ketidakcukupan kedelai local memenuhi permintaan industry pengolahan kedelai. Hal ini menyebabkan semakin tergantungnya industriindustri pengolahan kedelai pada kedelai impor (Zakiah 2011). Selain itu rendahnya kualitas kedelai lokal dari segi kebersihan dan kadar air menyebabkan industri-industri pengolahan kedelai cenderung memilih kedelai impor yang tingkat kebersihannya lebih tinggi dan kadar air yang lebih rendah rendah (Nurmeyda 2010). Kendala dalam aspek panen dan pascapanen adalah: (1) kehilangan hasil tinggi, (2) penerapan teknologi panen dan pascapanen belum memadai, dan (3) modal untuk membeli alsintan sangat terbatas. Selain itu, ancaman eksternalnya adalah: (1) belum ada insentif harga yang memadai bagi produk bermutu, (2) makin meningkatnya biaya operasional alsintan, dan (3) tenaga kerja pengolah relatif terbatas. Kehilangan hasil kedelai pada saat panen maupun prosesing masih cukup besar. Sistem panen yang dijemur di lapangan tanpa lantai jemur dan alas menyebabkan biji tercecer cukup banyak dan menyebabkan kehilangan hasil cukup tinggi. Alat pengering dinilai masih cukup mahal bagi petani kedelai. Belum berlakunya tarif impor menyebabkan jumlah kedelai impor semakin banyak, sehingga harga kedelai di dalam negeri jatuh dan petani enggan menanam kedelai. Penerapan teknologi panen dan pascapanen belum memadai, umumnya petani melakukan pemanenan dan prosesing masih dengan cara tradisional. Panen dengan menggunakan sabit dan proses pengeringan sebagian besar masih di lapang. Sedangkan pemakaian alat mesin untuk panen dan pengeringan, sebagian besar petani belum menggunakan. Keterbatasan modal, menyebabkan petani kedelai tidak mampu untuk membeli alat mesin. Hal ini yang menyebabkan kehilangan hasil panen cukup besar dan proses produksi menjadi tidak efisien. Salah satu alat analisis manajemen biaya yang dapat digunakan untuk memberikan informasi guna membuat keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis adalah analisis value chain. Shank dan Govindarajan (2000), mendefinisikan Value Chain Analyisis, merupakan alat untuk memahami rantai nilai yang membentuk suatu produk. Rantai nilai ini berasal dari aktifitas-aktifitas yang dilakukan mulai dari bahan baku sampai ke tangan konsumen, termasuk juga pelayanan purna jual. Selanjutnya Porter (1985) menjelaskan, Analisis value-chain merupakan alat analisis stratejik yang digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap keunggulan kompetitif. Value chain dapat mengidentifikasi dimana value pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara lebih baik hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan, dan perusahaan lain dalam industri (Blocher et al. 1999). Value chain mengidentifikasikan dan menghubungkan berbagai aktivitas stratejik diperusahaan (Hansen, Mowen 2000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa analisis rantai nilai merupakan suatu alat yang digunakan untuk menciptakan nilai bagi pelanggannya untuk mencapai suatu keunggulan yang kompetitif. Demi keunggulan kompetitif, dengan perilaku para konsumen yang makin berkembang, seperti menghendaki produk-produk yang lebih beraneka ragam dengan mutu serta pelayanan serba prima dan harga yang terjangkau dalam era globalisasi ini harus ditanggapi dengan meniadakan ketidakekonomisan (diseconomies) yang terjadi yang cenderung menghambat kelancaran arus proses penciptaan nilai tambah dari para pemasok sampai ke para konsumen sepanjang value chain. Untuk itu, perlu diidentifikasi dan ditiadakan biaya yang diakibatkan dari aktivitas-aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah sepanjang pelaksanaan analisis value chain.
Bila dibandingkan dengan kedelai impor, kandungan protein kedelai lokal lebih tinggi dibandingkan impor, sehingga jika diolah untuk tahu, maka rendemen lebih banyak dihasilkan dari kedelai lokal dan memiliki cita rasa yang khas. Kedelai impor memiliki ukuran biji besar, seragam dan kadar airnya rendah, sehingga lebih disukai industri tempe karena volume biji impor mengembang lebih banyak dan bobot tempe yang diperoleh lebih banyak. Secara nasional, kita memiliki benih berbiji besar seperti varietas Argomulyo dan Burangrang (untuk kebutuhan benih 50 kg/ha) tidak jauh berbeda dengan benih kedelai Amerika (59,7 kg/ha), namun varietas ini masih belum lama dilepas dan perlu banyak dikembangkan, sehingga sebagian besar petani masih menggunakan benih berbiji kecil (40 kg/ha). Untuk industri kecap, biji kedelai hitam lokal lebih disukai dari impor, karena memiliki cita rasa khas dan kecap yang dihasilkan lebih gurih (Handayani D 2007). Tabel 6. Volume Impor Komoditas Tanaman Pangan Indonesia, 2009 2012 (dalam ton)
Gambar 1. Saluran Tataniaga Kedelai Polong Muda. Gambar 1 diatas menginformasikan bahwa saluran tataniaga kedelai polong muda mempunyai dua tujuan, yaitu dari petani kedelai (100 persen) dibawa ke pedagang pengumpul, kemudian kedelai tersebut (100 persen) dibawa ke pedagang Pasar Induk Parung. Di pedagang pasar induk, 80 persen kedelai diserap oleh pedagang pengecer dan 20 persen langsung diserap oleh konsumen akhir. Kecamatan Ciranjang terdapat delapan saluran tataniaga yang digunakan petani dalam menyampaikan kedelai polong tua ke konsumen (Gambar 2). Pada saluran kesatu sampai kelima petani menjual kedelai (73.33%) ke pedagang pengumpul. Saluran kesatu dari pedagang pengumpul kedelai dijual ke pedagang kecamatan (42.77%) lalu diserap langsung oleh pengrajin tahu/tempe (10.69%). Saluran kedua dan ketiga kedelai dari pedagang pengumpul dijual ke pedagang kabupaten (30.56%), lalu diserap langsung oleh pengrajin tahu/tempe (5.72%) melalui saluran kedua. 8.58 persen kedelai dari pedagang kabupaten diserap oleh pedagang pengecer kemudian dijual ke konsumen akhir melalui saluran ketiga. Saluran keempat dan kelima sama seperti saluran kesatu, tetapi dari pedagang kecamatan (42.77%) kedelai dijual langsung ke
pedagang propinsi (32.08%) lalu diserap pengrajin tahu/tempe (6.14%) melalui saluran keempat. 10.23 persen diserap pedagang pengecer untuk dijual ke konsumen akhir melalui saluran kelima.
Gambar 2. Saluran Tataniaga Kedelai Polong Tua Saluran keenam sampai kedelapan petani menjual kedelai langsung ke pedagang kabupaten (26.67%).Pada saluran keenam kedelai dari pedagang kebupaten dijual ke pedagang pengecer (8.58%) lalu ke konsumen akhir, sedangkan saluran ketujuh dan kedelapan, kedelai dari pedagang kebupaten dijual ke pedagang propinsi (4.58%). Kedelai diserap langsung oleh pengrajin tahu/tempe (6.14%) melalui saluran ketujuh dan diserap oleh pedagang pengecer (10.23%) melalui saluran kedelapan untuk dijual ke konsumen akhir.
Pada dasarnya petani memiliki kebebasan untuk menentukan saluran mana yang akan dipilih. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, penjualan kedelai ke saluran 1, 2 dan saluran 3 lebih banyak dipilih (73.33 persen) karena banyaknya jumlah pedagang pengumpul lokal yang mendatangi petani, lokasi petani yang jauh dari pedagang kabupaten, sehingga tidak ada alternatif lain bagi petani untuk menjual hasil panennya. Volume kedelai banyak melalui saluran tiga (57.23 persen) karena petani tidak mau mengambil resiko kerugian biaya transportasi. Saluran 6-8 hanya dipergunakan oleh petani responden (26.67persen) yang berdekatan dengan pasar Ciranjang seperti Desa Ciranjang dan Desa Cibiuk. Nilai Pemetaan nilai dilakukan dengan memetakan nilai yang terjadi pada setiap aktor. Disini dipetakan nilai margin dan R/C ratio. Marjin tataniaga diartikan melalui selisih harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat pedagang pengecer yang diperoleh dengan satuan rupiah per kilogram kedelai. Marjin tataniaga dalam penelitian ini dihitung berdasarkan kedelapan saluran tataniaga yang terbentuk. Marjin tataniaga menjelaskan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan mengenai jumlah komoditi yang dipasarkan. Penghitungan marjin meliputi biaya tataniaga dan keuntungan lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga tersebut. Biaya tataniaga merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam memasarkan kedelai dari petani sampai ke konsumen akhir. Biaya tataniaga tersebut meliputi biaya transportasi, tenaga kerja, pengemasan dan retribusi. Keuntungan pemasaran merupakan selisih antara harga jual dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang bersangkutan. Secara umum petani menyalurkan kedelai melalui dua lembaga saluran tataniaga, yaitu pedagang pengumpul dan pedagang besar kabupaten. Pembahasan mengenai sebaran marjin tataniaga dibagi menjadi sebaran marjin melalui pedagang pengumpul dan sebaran marjin melalui pedagang besar kabupaten. Saluran tataniaga kedelai yang melalui pedagang pengumpul yaitu saluran satu sampai saluran lima (Tabel 1) dan saluran tataniaga yang melalui pedagang besar kabupaten yaitu saluran enam sampai saluran delapan (Tabel 2). Tabel 1 Marjin Tataniaga Kedelai Saluran Satu, Dua, Tiga, Empat dan Lima di Kecamatan Ciranjang
Tabel 2 Marjin Tataniaga Kedelai Saluran Enam, Tujuh dan Delapan di Kecamatan Ciranjang
Pangsa dan Net Marjin Berdasarkan sebaran marjin tataniaga kedelapan saluran tataniaga di atas,maka dapat dilihat persentase pangsa marjin (Tabel 3) dan persentase net marjin (Tabel 4) yang diperoleh setiap pelaku pasar untuk masing-masing saluran tataniaga. Pangsa marjin digunakan untuk melihat besarnya marjin yang diperoleh pelaku pasar untuk setiap saluran tataniaga, pangsa marjin diperoleh dari marjin tataniaga masing-masing lembaga dibagi total marjin tataniaga dalam bentuk persen. Net marjin digunakan untuk mengetahui penyebaran marjin keuntungan pada setiap pelaku pasar, net marjin dihitung dari keuntungan tiap lembaga tataniaga dibagi total keuntungan tataniaga dalam bentuk persen. Saluran tataniaga yang efisien ditunjukkan oleh perolehan marjin yang merata di setiap pelaku pasar. Tabel 3 menginformasikan pangsa marjin terbesar terdapat pada saluran tataniaga satu dan saluran tataniaga dua dengan tujuan pengrajin tahu/tempe di Kabupaten Cianjur yang diperoleh pedagang kecamatan dan pedagang kabupaten yaitu masing-masing sebesar 59.745 persen. Pada saluran tataniaga satu dan dua terdapat dua pelaku pasar yaitu pedagang pengumpul dan pedagang kecamatan/kabupaten. Pada saluran tataniaga ini merupakan pangsa marjin terbesar dari kedelapan saluran tataniaga yang dibahas dan diperoleh pedagang kecamatan dan pedagang kabupaten. Tabel 3 Persentase Pangsa Marjin Setiap Pelaku Tataniaga
Tabel 4 menginformasikan sebaran net marjin pada saluran tataniaga satu dan dua cenderung belum merata, terlihat dari pedagang pengumpul memperoleh 39.24 persen dan pedagang kecamatan 60.76 persen pada saluran satu. Sebaran net marjin pada saluran tiga, enam dan tujuh cenderung sudah merata. Saluran tataniaga lima yang merupakan saluran terpanjang, net marjin terendah diperoleh pedagang pengumpul sebesar 10.19 persen, dan tertinggi pedagang kecamatan dan pedagang propinsi sebesar 43.29 persen.
Rasio Keuntungan dan Biaya Tingkat efisiensi tataniaga dapat juga diukur melalui besarnya rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Nilai rasio dapat dilihat pada Tabel 5, nilai yang tinggi artinya keuntungan yang diperoleh semakin tinggi . Rasio keuntungan dan biaya tataniaga paling tinggi terdapat pada saluran tataniaga tujuh dan delapan pada lembaga pedagang kabupaten yaitu sebesar 14.87. Nilai rasio ini memberikan arti bahwa setiap satu rupiah perkilogram biaya tataniaga yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 14.87 per kilogram. Rasio keuntungan terendah terdapat pada saluran tataniaga tiga pada tingkat pedagang pengecer yaitu sebesar 5.49. Pemetaan informasi Informasi pasar dan harga telah terjalin antar aktor dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Petani Informasi harga tidak diketahui oleh petani karena umunya pedagang pengumpul langsung mendatangi sawah dan rumah petani dengan penawaran harga terterntu. Sistem ini memberikan kemudahan bagi petani tetapi petani tidak memiliki akses terhadap informasi pasar dan harga. Namun ada pula beberapa petani yang menjual langsung ke pedagang besar di pasar. 2. Pedagang pengumpul Kedelai yang dijual ke pedagang pengumpul sebanyak 77,33% dari keseluruhan hasil produksi kedelai di Ciranjang. Pedagang pengumpul mengetahui akses pasar dan harga. 3. Pedagang kecamatan Pedagang kecamatan umumnya mendapatkan dari pedagang pengumpul yang telah menerima bantuan modal darinya namun ada pula petani yang langsung menjual ke pedagang kecamatan. Pedagang kecamatan memiliki informasi yang akurat tentang harga yang terjadi karena berhubungan langsung dengan pedagang besar provinsi. 4. Pedagang besar kabupaten Pedagang kabupaten mendapatkan kedelai dari pedagang pengumpul atau pedagang kabupaten yang lain seperti pedagang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pedagang besar umunya mengetahui informasi harga yang akurat. 5. Pedagang besar propinsi Pedagang besar propinsi ini berada di Bandung dan menerima pasokan kedelai dari beberapa pedagang besar kabupaten Cianjur (di Kecamatan Ciranjang), Subang, Karawang, Sukabumi Selatan, Garut, Tasik, Majalengka, dan Banjar, serta dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi. Informasi harga yang dimiliki adalah inforasi harga terbaru
karena pedagang besar berhubungan langsung ke pengrajin tahu/tempe dan pedagang pengecer di daerah Bandung. 6. Pedagang pengecer Pedagang pengecer menerima pasokan kedelai dari pedagang besar untuk dijual langsung kepada konsumen akhir. Pedagang pengecer dengan konsumen menghadapi struktur pasar persaingan karena banyaknya pedagang pengecer dan dan banyaknya konsumen pembeli. Tabel 5 Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Tahun 2008
IV. SALURAN PEMASARAN IMPOR Bagan Biaya dan Harga Jual Kedelai Impor melalui Distributor
V. PERBAIKAN
Peluang pengembangan kedelai berdasarkan aspek panen dan pascapanen meliputi: (1) tuntutan terhadap hasil panen bermutu, (2) jenis olahan beragam, dan (3) industri produk olahan berbahan baku kedelai makin berkembang. Mutu hasil panen kedelai saat ini masih perlu ditingkatkan. Preferensi konsumen terhadap mutu kedelai semakin meningkat. Industri pengolahan produk berbahan baku kedelai membutuhkan jenis kedelai yang bermutu tinggi sesuai dengan produk yang akan dihasilkan. Sebagian besar konsumen menghendaki biji besar/sedang, warna kuning mengkilap dan kebersihan biji. Varietas kedelai sesuai dengan kehendak konsumen dan sesuai dengan bahan baku industri telah tersedia, biji besar/sedang, warna kuning mengkilap (Argomulya, Burangrang, Anjasmoro, Kaba) bahkan kedelai hitam yang sesuai dengan industri kecap juga telah tersedia (Merapi, Cikuray, dan Malika). Peluang pengembangan kedelai berdasarkan aspek distribusi dan pemasaran meliputi: (1) industri pengolahan kedelai berkembang, (2) jaringan transportasi memadai, dan (3) permintaan kedelai terus meningkat. Berbagai macam produk olahan berbahan baku kedelai berkembang dengan pesat. Industri pengolahan bahan pangan (tahu, tempe, tauco, kecap, snack), farmasi (obat-obatan), aplikasi dalam bidang teknik (industri) dan sebagai pakan ternak menyebabkan kebutuhan akan kedelai semakin meningkat. Di Indonesia konsumsi tertinggi adalah untuk bahan industri tahu dan tempe. Berdasarkan perhitungan, konsumsi kedelai untuk tahu dan tempe pada tahun 2002 mencapai 1,776 juta ton atau 88% dari total kebutuhan dalam negeri. Sedang 12% sisanya dipergunakan berbagai keperluan makanan olahan lain dan bahan baku industri lainnya. Jaringan transportasi sudah baik dan ditunjang oleh alat angkut yang memadai, sehingga memudahkan mobilitas bahan baku kedelai dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran Bila melihat saluran pemasarn yang terjadi dari saluran pemasaran satu hingga delapan, maka saluran enam yaitu dari petani ke pedagang kabupaten ke pengecer dan terakhir ke konsumen merupakan saluran yang direkomendasikan karena memiliki perolehan total margin yang paling rendah yaitu 1000, dan meperlihatkan pangsa margin dan net margin yang merata merata di tiap tingkat lembaga. Meningkatkan R/C ratio Petani Data BPS tahun 2011, menunjukan Indonesia memproduksi kedelai 851,29 ribu ton biji kering. Namun dari jumlah produksi ini tidak semuanya termanfaatkan. Masih tingginya susut yang terjadi tiap tahapan penanganan komoditas dalam baik secara kualitatif dan kuantitatif. Susut kuantitatif yang terjadi adalah susut hasil akibat tertinggal selama proses panen dan pascapanen sedangkan kualitatif adalah penurunan mutu hasil akibat kerusakan material (butir rusak, berkecambah, biji keriput, biji belah, dan lain sebagainya). Petani memegang peran penting sebagai penghasil kedelai. Petani akan melakukan rangkaian kegiatan pascapanen kedelai mulai dari panen, penjemuran, perontokan, dan pengangkutan Aktivitas yang dilakukan petani antara lain panen, penjemuran, perontokan, pengankutan, dan penjualan. Susut pascapanen terjadi dalam setiap rangkaian aktivitas ini. Dan susut dari perontokan erupakan susut terbesar yaitu mancapai 7% (Purwadaria, 1989). Bila susut ini mampu ditekan mejadi 4% denga penambahan thresher
maka nilai tambah kedelai bagi petani dapat ditingkatkan. Sebagai contoh peningkatan R/C ratio petani yang terjadi pada saluran pemasaran no 6.
Pembelian
Distribusi informasi Dilihat dari distribusi informasinya , petani memiliki sedikit akses informasi pasar dan harga. Pedagang besar yag memiliki akses kuat dalam inforasi. Oleh karenya diperlukan akses petani terhadap informasi pasar dan harga salah satunya dengan membuats sistem informasi pasar dan harga yang bisa diinisiasi oleh pemerintah Kabupaten Ciranjang.
VI. KESIMPULAN
1. Saluran pemasaran kedelai impor memberikan nilai R/C ratio yang lebih merata di banding kedelai lokal. Sehingga dalam pengembangan kedelai lokal diharapkan memiliki saluran pemasaran yang lebih pendek sehingga lebih efisien. 2. Perbaikan pascapanen dapat dilakukan dengan menggunakan thresher yang dapat meningkatkan R/C ratio.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2009. Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. Http:\\www.litbang.deptan.co.id. ACIAR. 2012. Membuat Rantai Nilai Lebih Berpihak pada Kaum Miskin. ACIAR. Australia Blocher/Chen/Lin, 1999. Diterjemahkan oleh A. Susty Ambarriani, 2000. Manajemen Biaya. Jilid 1. Penerbit Salemba: Empat Jakarta. Handayani D. 2007. Simulasi Kebijakan Daya Saing Kedelai Lokal Pasar Domestik. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2013/09/20/gambaran-harga-kedelai-di-setiap-titik-rantaipasok-id0-1379647151.pdfan Hansen, and Mowen, 2000. Management Biaya; Akuntansi dan Pengendalian, alih bahasa Tim Salemba Empat: Jakarta. Nurmeyda, 2010. Permintaan Industri Tempe Terhadap Kualitas Bahan Baku Kedelai diKota Banda Aceh. Skripsi Fakultas Pertanian Unsyiah, Banda Aceh. Meryani N. 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai Di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa barat Porter, Michael E. 1985. Competitive Advantage Creating a Sustaining Superior Performance, New York: The Free Press. Sarwono B. 2004. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta. Shank, Jhon K., Govindarajan Vijay. 2000. Strategic Cost Management and the Value Chain., Thomson Learning: USA. UNIDO. 2011. Pro-Poor Value Chain Development. UNIDO. Austria Zakiah. 2012. Preferensi dan Permintaan Kedelai pada Industri dan Implikasinya terhadap Manajemen Usaha Tani. MIMBAR, Vol. XXVIII, No. 1 (Juni, 2012): 77-84.