You are on page 1of 4

YANG TERLUPAKAN DALAM MEMPELAJARI AGAMA (Kisah Nyata : Runtuhnya Keangkuhan Seorang Sarjana Agama) Oleh: H. E.

Nadzier Wiriadinata Suatu hari seorang pemuda alumni sebuah perguruan tinggi Islam datang menemui seorang nenek tua yang bersahaja. Nenek ini entah bagaimana sangat disegani dan didengarkan petuah-petuahnya oleh saudara-saudara kandungnya. Padahal dimata pemuda ini tidak yang istimewa dari sosok tua tua yang sudah agak bongkok itu. Yang pasti dia tidak lebih hanya seorang nenek tua yang biasa membantu pekerjaan bersih-bersih di rumahnya. Dari tutur katanya pun tak ada yag bisa dikategorikan luar biasa keculi satu hal : si nenek ini sopan dan halus tutur katanya. Yang lebih tidak masuk akal lagi, si nenek ini konon menurut guru ilmu hikmah saudara-saudaranya, adalah seorang sakti yang memiliki ilmu semar. Itulah alasan kuat kenapa dia begitu bersemangat untuk menemuinya dan mengetahui langsung siapa dia sebenarnya. Kesadaran intelektualnya sebagai seorang sarjana agama membuatnya harus mengambil langkah-langkah antisipatif agar saudara-saudaranya tidak terjebak dengan pemahaman-pemahaman agama yang tidak jelas juntrungnya.

Si nenek begitu kaget akan kedatangan si pemuda ini ke rumahnya yang sederhana itu. Si nenek itu kemudian membuka pintu rumahnya dan mempersilahkan si pemuda masuk dan duduk di ruang tamunya. Setelah basa-basi, si pemuda menyampaikan maksudnya bahwa dia ingin berdiskusi dengan si nenek tentang agama. Si nenek sangat kaget dengan maksud kedatangan si pemuda itu dan berkata, Nak, jika engkau ingin berdiskusi dengan nenek jangan sekarang. Karena saat engkau bicara tentang agama engkau hanya simpan agama itu dalam otak/fikiranmu dan tidak pernah masuk kedalam hatimu. Sebaiknya engkau sekarang pulang dulu dan kemudian bertafakurlah. Silahkan tafakuri ayat-ayat Allah yang ada disekelilingmu. Setelah engkau tafakuri itu semua silahkan engkau datang lagi kesini. Katakata itu halus diucapkan nenek itu namun begitu menusuk perasaannya yang paling dalam. DITOLAK ! Itulah intinya.

Jawaban si nenek diluar dugaan si pemuda. Dia kaget dengan persyaratan yang dikemukakan si nenek itu. TAFAKUR ! itulah yang harus dia lakukan jika dia ingin berdiskusi dengan si nenek yang tua renta itu. Tafakur adalah sebuah kosa kata yang sebenarnya tidak asing baginya tapi kemudian menjadi asing dan aneh tatkala itu diajukan sebagai syarat untuk terpenuhinya keinginan si pemuda tuk berdiskusi. Walaupun si pemuda tidak puas tapi

akhirnya dia menyetujui persyaratan si nenek tersebut. Saat dalam perjalanan pulang, si pemuda berfikir keras tentang apa yang harus ditafakuri. Selama dia kuliah tidak pernah diajarkan bertafakur. Semua dosen saat memberi tugas senantiasa menyuruhnya untuk mengkaji berbagai referensi dari buku-buku yag berbahasa Indonesia maupun asing. Si pemuda sangat kebingungan. Bingung dari mana dia mengawali tafakurnya. Apa yang harus ditafakurinya? Dalam kebingungannya itu akhirnya si pemuda teringat bila dia pernah

diberitahukan saudara-saudaranya bahwa si nenek ini adalah seorang pengamal thoriqoh.

Karena si nenek ini adalah seorang pengamal toriqoh, tepatnya thoriqoh QodiriyahNaqsabandiyah, akhirnya pemuda itu mencari dan mengkaji buku-buku yang berhubungan dengan thoriqoh/tashawwuf. Membaca dan membaca itulah bentuk aktivitas yang biasa dia lakukan. Saat itu memang hanya itulah bentuk tafakur yang dapat dia lakukan. Saat si pemuda habis melahap beberapa buku tentang thoriqoh/tashawwuf barulah ia menyadari bahwa selama ini dia memahami agama hanya menggunakan satu alat saja, yaitu otak/pikiran semata. Dia mengabaikan alat lain yang justru itulah alat utama memahami hakekeat keberagamaan, yaitu qolbu.

Mengasah kualitas otak dan mengasah kualitas qolbu/hati adalah dua hal yang sangat berbeda dan karenanya metoda yang digunakan untuk mengasah kemampuan keduanya pun sangat berbeda pula. Begitu banyak perhatian orang tersita mencari dan menemukan berbagai metoda untuk mengasah dan meningkatkan kualitas otak. Sementara hanya segelintir orang yang tertarik mencari dan menemukan metoda untuk mengasah dan meningkatkan kualitas qolb/hati. Itulah pencerahan yang sangat membuka kesadarannya dalam melihat agama dari perspektif lain, perspektif thoriqoh/tashawwuf. Saat mendapatkan pencerahan tersebut akhirnya si pemuda memutuskan akan menemui si nenek esok harinya.

Saat berjalan kaki ke rumah si nenek itu hati si pemuda berdebar-debar dalam hatinya bertanya-tanya apakah si nenek akan menerima kedatangannya dan kemudian mau berdiskusi tentang agama dengannya ataukah tidak. Ada keraguan didalam hatinya karena dia merasa belum yakin apakah tafakur yang disyaratkan si nenek sudah terpenuhi ataukah belum. Dia hanya membaca dan membaca kemudian meresapi apa yang tertulis dalam buku-buku yang dibacanya. Keraguan itupun akhirnya sirna tatkala kedatangannya disambut oleh si nenek dengan ramah. Yang sangat menggembirakan hatinya adalah si nenek itu berkenan untuk diskusi dengannya terkait permasalahan agama. Di awal pembicaraannya, si nenek

mengatakan, Pengetahuan ananda tentang agama cukup tinggi, tetapi tentang bab hati/qolbu mari kita belajar dari alif-alifan lagi. Si pemuda terhenyak. alif-alifan ? Bukankah itu huruf awal dalam bahasa Arab? Begitu pertanyaan yang menggelora dalam hatinya. Itu artinya dia harus belajar dari awal/permulaan/dasar. Perkataan yang sangat menusuk harga diri si pemuda yag adalah seorang sarjana lulusan perguruan tinggi agama ternama dan pesantren ternama juga. Saat itu dia belum bisa menerima dengan perkataan si nenek tersebut. Setelah beberapa lama diskusi dengan si nenek itu akhirnya tahulah dia bahwa si nenek ini bukanlah orang biasa. Dia baru menyadari bahwa dia berhadapan dengan seseorang yang mata batinnya telah terbuka atau dalam khazanah dunia tasawuf diistilahkan mukasyafah.

Melalui kemampuan mukasyafahnya itulah dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan sampai beberapa tahun kemudian si pemuda dibimbing perkembangan rohaniahnya dan diinformasikan tentang berbagai hal-hal yang tidak pernah terfikirkan olehnya. Yang paling mengesankan dirinya adalah tatkala di suatu kesempatan dia ditegur oleh nenek yang telah dianggap guru spiritualnya itu, Nak, kenapa hatimu kelam? Si pemuda kaget dengan pertanyaan si nenek tersebut. Tidak tahu harus menjawab apa karena dia belum memahami maksud dari pertanyaan tersebut. Akhirnya si nenek dengan halus mengingatkan, Nak, qolbu/hati itu bukan untuk menyimpan masalah. Qolbu/hati itu adalah tempat atau media untuk tafakur, berdzikir, dan beribadah. Ketika engkau menghadapi masalah jangan biarkan masalah itu masuk kedalam hatimu. Masalah itu harus engkau simpan diluar hatimu. Bentengi hatimu dengan dzikir. Itulah pernyataan si nenek yang tak pernah bisa hilang dari ingatannya. Pernyataan si nenek itulah yang senantiasa mengingatkan dia untuk senantiasa berdzikir kapanpun dan dimanapun, terutama saat dia dihinggapi kegalauan karena permasalahan yang menggelayuti pikirannya. Bergaul dengan si nenek membuat si pemuda menyadari hakekat dzikir. Bukankah semua ibadah dalam Islam senantiasa berbasiskan dzikir? Ya. Tidak ada satupun ibadah dalam khazanah Islam terbebaskan dari dzikir.

Dzikir adalah sebuah media untuk membangun sebuah kesadaran akan kehadiran Allah dimanapun manusia berada. Setiap asma Allah yang dilafalkan, baik secara lisan maupun dalam hati, adalah bentuk upaya menanamkan sebuah kesadaran akan hadirnya sang Pencipta dalam setiap aktivitas hidup keseharian manusia. Kesadaran akan pentingnya dzikir itulah yang membuat si pemuda merasa terlahir kembali dan semakin tenang menjalani kehidupan

yang semakin liar dan kompetitif ini. Itulah yang dia rasakan setelah mendapatkan bimbingan si nenek

Ya dzikir inilah yang telah membuatnya bisa memahami akan ketakberdayaan dan kelemahannya dihadapan Sang Khaliq, namun dalam waktu yang bersamaan melalui dzikir itu pulalah dia mendapatkan kekuatan dan kearifan dalam menjalani kehidupan yang fana ini.

You might also like