Professional Documents
Culture Documents
Oleh: HANA PERMATA SARI HUSNA AMALIA EMHA I GUSTI AYU DIAH KW IKA PUTRI YULIANI H1A011027 H1A011029 H1A011031 H1A011034
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas presentasi perkuliahan pada blok 16 ini tepat pada waktunya. Penugasan presentasi perkuliahan yang bertema infeksi saluran reproduksi wanita dan membahas sub judul bartholinitis dan kista bartholin ini bertujuan untuk menambah pengetahuan kami. Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas ini yakni kepada dosen-dosen pembimbing, dan teman-teman yang telah membantu. Kami menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, bahwa segala sesuatu ada kekurangannya termasuk laporan ini. Oleh karena itu sangat diharapkan berbagai saran dan kritik dari pembaca untuk penyempurnaan pembuatan laporan-laporan kami selanjutnya. Harapan kami laporan ini dapat bermanfaat di masa akan datang.
Penyusun
Epidemiologi Kista Bartholini merupakan kista yang sering terjadi pada vulva, 2% wanita mengalami kista Bartolini atau abses kelenjar pada suatu saat dalam kehidupannya. Abses umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak daripada kista. Salah satu penelitian kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit putih dan hitam yang lebih cenderung untuk mengalami kista bartolini atau abses bartolini daripada wanita hispanik, dan bahwa perempuan dengan paritas yang tinggi memiliki risiko terendah. Kista Bartolini yang paling umum terjadi pada labia majora. Involusi bertahap dari kelenjar Bartolini dapat terjadi pada saat seorang wanita mencapai usia 30 tahun. Hal ini mungkin menjelaskan lebih seringnya terjadi kista Bartolini dan abses selama usia reproduksi, antara 20 sampai 30 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih muda. Biopsi eksisional mungkin diperlukan lebih dini karena massa pada wanita pascamenopause dapat berkembang menjadi kanker. Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa eksisi pembedahan tidak diperlukan karena rendahnya risiko kanker kelenjar Bartholin (0,114 kanker per 100.000 wanita/tahun). Namun, jika diagnosis kanker tertunda, prognosis dapat menjadi lebih buruk. Sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami kista Bartolini atau abses di dalam hidup mereka. Etiologi dan Patofisiologi Kista Bartolini berkembang ketika saluran keluar dari kelenjar Bartolini tersumbat. Penyebab penyumbatan diduga akibat infeksi atau adanya pertumbuhan kulit pada penutup saluran kelenjar bartholini. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi. Abses Bartolini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk organisme yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia dan Gonore serta bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan, seperti Escherichia coli. Umumnya abses melibatkan lebih dari satu jenis organisme. Obstruksi distal saluran Bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam kelenjar. Kista Bartolini tidak selalu harus terjadi sebelum abses kelenjar. Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah mikroorganisme aerobik yang dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling umum. Chlamydia trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun, kista saluran Bartolini dan abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian
eksklusif dari infeksi menular seksual. Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan abses tersebut. Penyebab sumbatan : 1. Infeksi : Sejumlah bakteri dapat menyebabkan infeksi, termasuk bakteri yang umum, seperti Escherichia coli (E. coli), serta bakteri yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti gonore dan klamidia. 2. Non infeksi : Stenosis / atresia congenital Trauma mekanik Inspissated mucous
Manifestasi Klinis Pada bartolinitis akut kelenjar membesar disertai keterbatasan aktivitas/gerakan, merah, nyeri unilateral atau dispareuni, lebih panas dari sekittarnya dan dapat terjadi ruptur spontan. Kista bartolini tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang dirasakan sebagai benda yang berat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Jika kista bartolini masih kecil dan tidak terinfeksi, umumnya asimtomatik. Tetapi bila berukuran besar dapat menyebabkan rasa kurang nyaman saat berjalan atau duduk. Tanda kista bartolini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva. Adapun jika kista terinfeksi maka dapat berkembang menjadi abses bartolini dengan gejala klinik berupa: Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik, atau berhubungan seksual Umumnya tidak disertai demam kecuali jika terinfeksi dengan organisme yang ditularkan melalui hubungan seksual Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari Biasanya ada sekret di vagina, terutama jika infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui hubungan seksual Dapat terjadi ruptur spontan Labium mayor dapat berfluktuasi
Diagnosis Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fsik sangat mendukung suatu diagnosis. Pada anamnesis ditanyakan tentang gejala seperti panas, gatal, sudah berapa lama gejala
berlangsung, kapan mulai muncul, Faktor yang memperberat gejala, apakah pernah berganti pasangan seks, keluhan saat berhubungan, riwayat penyakit menulat seksual
sebelumnya, riwayat penyakit kelamin pada keluarga, riwayat keluarga mengidap penyakit kanker kelamin, riwayat penyakit yang lainnya misalnya diabetes dan hipertensi, serta riwayat pengobatan sebelumnya. Keluhan pasien pada umumnya adalah : Benjolan Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik, atau berhubungan seksual Umumnya tidak disertai demam, kecuali jika terinfeksi dengan mikroorganisme yang ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai dengan adanya perabaan kelenjar limfe pada inguinal Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari Biasanya ada sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5 hari pasca pembengkakan, terutama jika infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui hubungan seksual Dapat terjadi ruptur spontan Teraba massa unilateral pada labia mayor sebesar telur ayam, lembut, dan berfluktuasi, atau terkadang tegang dan keras Kista atau abses Bartholini di diagnosis melalui pemeriksaan fisik, khususnya dengan pemeriksaan ginekologis pelvis. Pada pemeriksaan fisis dengan posisi litotomi, kista terdapat di bagian unilateral, nyeri, fluktuasi dan terjadi pembengkakan yang eritem pada posisi jam 4 atau 8 pada labium minus posterior. Jika kista terinfeksi, pemeriksaan kultur jaringan dibutuhkan untuk mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi akibat penyakit menular seksual seperti Gonorrhea dan Chlamydia. Untuk kultur diambil swab dari abses atau dari daerah lain seperti serviks. Hasil tes ini baru dilihat setelah 48 jam kemudian, tetapi hal ini tidak dapat menunda pengobatan. Dari hasil ini dapat diketahui antibiotik yang tepat yang perlu diberikan. Biopsi dapat dilakukan pada kasus yang dicurigai keganasan. Karena kelenjar Bartholini biasanya mengecil saat menopause,
pertumbuhan vulva pada wanita postmenopause harus dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya keganasan, khususnya jika massa irregular, nodular dan indurasi persisten. Tatalaksana Penatalaksanaan bartholinitis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Pemberian antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab yang diketahui secara pasti dari hasil pengecatan gram maupun kultur, antara lain: Infeksi Neisseria gonorrhoe: Ciprofloxacin 500 mg single dose Ofloxacin 400 mg single dose Cefixime 400 mg oral ( aman untuk anak dan bumil) Cefritriaxon 200 mg i.m ( aman untuk anak dan bumil)
Infeksi Chlamidia trachomatis: Tetrasiklin 4 X500 mg/ hari selama 7 hari, po Doxycyclin 2 X100 mg/ hari selama 7 hari, po
Infeksi Escherichia coli: Ciprofoxacin 500 mg oral single dose Ofloxacin 400 mg oral single dose Cefixime 400 mg single dose
Infeksi Staphylococcus dan Streptococcus : Penisilin G Prokain injeksi 1,6-1,2 juta IU im, 1-2 x hari Ampisilin 250-500 mg/ dosis 4x/hari, po. Amoksisillin 250-500 mg/dosi, 3x/hari po.
Penatalaksanaan kista bartholini tergantung pada beberapa faktor seperti gejala klinik nyeri atau tidak, ukuran kista, dan terinfeksi tidaknya kista. Jika kistanya tidak besar dan tidak menimbulkan ganguan tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Pada kasus jika kista kecil hanya perlu diamati beberapa waktu untuk melihat ada tidaknya pembesaran. Kista bartholini tidak selalu menyebabkan keluhan, akan tetapi kadang-kadang dirasakan sebagai benda berat dan menimbulkan kesulitan pada saat coitus. Jika kistanya tidak besar dan tidak menimbulkan gangguan, tidak perlu dilakukan tindakan apaapa. Dalam hal ini perlu dilakukan tindakan pembedahan, tindakan itu terdiri atas ekstirpasi,
akan tetapi tindakan ini bisa menyebabkan perdarahan. Akhir-akhir ini dianjurkan marsupisialisasi sebagai tindakan tanpa resiko dan dengan hasil yang memuaskan. Pada tindakan ini setelah diadakan sayatan dan isi kista dikeluarkan, dinding kista yang terbuka dijahit pada kulit yang terbuka pada sayatan. Penanganan tergantung kondisi kista dan keluhan yang dirasakan, kalau kelenjar kista bartholininya kecil dan tidak mengganggu bisa diobservasi saja. Tapi kalau kistanya besar dan menyebabkan keluhan atau terinfeksi menjadi bisul (abses) terapi definitifnya berupa operasi kecil (marsupialisasi). Marsupialisasi yaitu sayatan dan pengeluaran isi kista diikuti penjahitan dinding kista yang terbuka pada kulit vulva yang terbuka. Marsupialisasi merupakan suatu tehnik membuat muara saluran kelenjar bartholin yang baru sebagai alternatif lain dari pemasangan word kateter. Tindakan ini terbukti tidak beresiko dan hasilnya memuaskan. Insisi dilakukan vertical pada vestibulum sampai tengah kista dan daerah luar cincin hymen. Lebar insisi sekitar 1,5 3 cm, tergantung besarnya kista kemudian kavitas segera dikeringkan. Kemudian dilakukan penjahitan pada bekas irisan. Bedrest total dimulai pada hari pertama post operatif. Komplikasi berupa dispareuni, hematoma, infeksi. Langkah-langkah marsupialisasi: Disinfeksi dinding kista sampai labia dengan menggunakan betadine. Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan lidokain 1 %. Dibuat insisi vertikal pada kulit labium sedalam 0,5cm (insisi sampai diantara jaringan kulit dan kista/ abses) pada sebelah lateral dan sejajar dengan dasar selaput himen. Dilakukan insisi pada kista dan dinding kista dijepit dengan klem pada 4 sisi, sehingga rongga kista terbuka dan kemudian dinding kista diirigasi dengan cairan salin. Dinding kista dijahit dengan kulit labium dengan atraumatik catgut. Jika memungkinkan muara baru dibuat sebesar mungkin(masuk 2 jari tangan), dan dalam waktu 1 minggu muara baru akan mengecil separuhnya, dan dalam waktu 4 minggu muara baru akan mempunyai ukuran sama dengan muara saluran kelenjar bartholin sesungguhnya.
Dampak pada Kehamilan dan Persalinan Dampak terhadap kehamilan dan bayi khususnya pada bartholinitis yang disebabkan oleh Gonokokus yaitu: Sering dijumpainya kemandulan anak satu (one child sterility) pada penderita atau bekas penderita karena pada saat persalinan lendir kental dalam cervix lenyap dan ostium terbuka hingga akhirnya Gonokokkus ada kesempatan untuk mejalar ke atas berturut-turut menyebabkan endometritis dan salpingitis (salpingitis inilah penyebab kemandulan tersebut) Anak yang melalui jalan lahir dapat kemasukan Gonococcus ke dalam matanya dan menderita konjungtivitis gonorea neonatorum (blenorea neonati). Radang pada glandula bartholini dapat terjadi berulang - ulang dan akhirnya dapat menjadi menahun dalam bentuk kista Bartholini. Sebaiknya kista yang kecil dan tenang pada wanita hamil dibiarkan saja dan baru diangkat kira-kira 3 bulan setelah persalinan. Apabila kista sering meradang walaupun sudah diobati berukang kali, atau apabila kista sangat besar sehingga dikhawatirkan akan pecah waktu persalinan, maka sebaiknya kista tersebut diangkat dalam keadaan tenang sebelum persalinan. Adakalanya kista yang sangat besar baru diketahui sewaktu wanita sudah dalam persalinan. Dalam hal demikian dilakukan punksi dan cairan
dikeluarkan, walaupun ini bukan terapi tetap. Selanjutnya dilakukan marsupialisasi (nanah dikeluarkan) sebagai tindakan tanpa resiko dengan hasil yang memuaskan. Pada tindakan ini setelah diadakan sayatan dan isi kista dikeluarkan, dinding kista yang terbuka dijahit pada kulit vulva yang terbuka pada sayatan.
Daftar Pustaka
Ashari, M.A. (2010). Materi Kuliah Tumor Jinak Ginekologi. Yogyakarta : SMF Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSD Panembahan Senopati Bantul. Cunningham, F.G., MacDonald, P.C. (2005). Obstetri Williams. Jakarta: EGC. Norwitz, E., Schorge, J. (2008). At A Glance : Obstetri & Ginekologi. Edisi 2. Jakarta : Erlangga. Winkjosastro, H., Saifuddin, A.B., Rachimdani, T. (2009). Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.