You are on page 1of 6

Halliday 1977 Dua kelompok besar, Filosofis Logis Bahasa dan filsafat 1. Menggunakan analogi dan taat asas.

Bahasa tidak taat asas dibuang karena mengganggu generalisasi. 2. Tidak objektif pada penggunaan, tetapi lebih mengarah pada pendapat para tatabahasawan 3. Selalu mengaitkan makna dan kebenaran 4. Bahasa adalah ciri pikiran (kognitif) 5. Memandang bahasa sebagai suatu aturan (rule) yang disebut tatabahasa (grammar) 6. Menganalisis bahasa secara formal Deskriptif-etnografis Mengaitkan dengan antropologi-budaya 1. Menekankan pada anomali bukan pada analogi, hal yang telah dibuang menurut grammar masih bisa dianalisa secara menarik 2. Bersifat deskriftif yaitu memberikan atau mendeskripsikan bahasa secara actual (senyatanyatanya) 3. Mengaitkan dengan retorika, siapa yang berbicara, dengan siapa, dengan bahasa apa, kapan, dan dimana 4. Keempat, bbahasa sebagai gejala tindakan social, bahasa bukan sebagai kalimat tapi ujaran 5. Bahasa sebagai pilihan atau sumber. Pilihan leksikal dan gramatikal ditentukan oleh penutur, dipengaruhi oleh barbagai factor. 6. Menafsirkan makna semantik bahasa Teori tafsir ini didasarkan teori Halliday yakni trilogi bahwa bahasa dikaji dari teks, konteks situasi dan terakhir konteks budaya. Kemudian diikuti pula oleh Fairclough kemudian dengan tiga tahapan, yakni analisis bahasa teks, analisis praktek wacana dan analisis sosio kultural.

Menurut Sutjaja : Hubungan dua kelompok ini kadang mengalami pasang surut, kadang beroposisi tajam. Kadang pula tidak menunjukkan oposisi. Sebab setiap teori menghasilkan tata bahasa yang berbeda

Leech 1983 Formalisme Mengacu kepada bentuk 1. Bahasa sebagai fenomena psikologis. Bloomfield menyatakan sebagai psikologi tingkahlaku (behavior) 2. Kesemestaan bahasa itu diwariskan. Kemampuan bahasa merupakan fator keturunan. 3. Pemerolehan bahasa didasarkan pada kemampuan alamiah manusia. Anak-anak selalu berhasil berbahasa, dan tidak ada yang gagal. 4. Bahasa sebagai system otonom atau aspek internal bahasa. Bahasa mempunyai sistemnya sendiri sehingga tidak perlu dikaitkan dengan fenomena social-budaya Fungsionalisme Mengacu kepada fungsi 1. Bahasa sebagai fenomena social atau kemasyarakatan 2. Kesemesataan bahasa berasal dari penggunaaan yang nyata, dalam masyarakatmasyarakat manusia. Perubahan masyarakat mengubah secara langsung bahasa. 3. Pemerolehan bahasa anak manusia didasarkan pada perkembangan kebutuhan dan komununikatif dalam masyarakat, bukan bawaan. 4. Mengkasji bahasa sesuai dengan fungsi sosialnya. Leech menyatakan, walau dua kelompok ini tampak sangant bertentangan. Namun masingmasing pihak mengandung nilai kebenaran. Chomsky menyatakan bahwa pendekatan linguistic harus melihat aspke I-langue dan E-langue. Oetomo (1987), membagi menjadi dua kutub. Namun bisa saja saling tumpang tindih di suatu waktu. Sistemik 1. Didasarkan pada filsafat rasionalisme Descartes atau mazhab kartesian, yakni berpikir secara deduktif. Yakni menyusun teori dahulu diikuti oleh penafsiran pengalaman oleh peneliti. 2. Bahasa harus terlepas dari konteks social penggunaannya. Meskipun menurut Chomsky bahasa harus peka konteks namun itu bukan konteks sosial tetapi konteks lingual. Bahasa itu sempurna namun penerapannya yang tidak sempurna, tergantung kompetensi penggunanya. Bagaikan pemikiran barat, manusia diciptakan di taman surga yang sempurna (langue/kompetensi) dan diusir ke dunia fana (parole/performance).

3. Sumber data linguistic berasa dari intuisi penutur asli, termasuk intuisi peneliti. Chomsky meneliti frasa bahasa Inggris dengan intuisinya dan menganggaonya rumit. Sapir menyatakan bahwa kemampuan berbahasa informan dapat diterima atau tidak berdasarkan intuisi., sehingga penelitian lapangan seperti yang dilakukan Bloomfield dan boas terlalu ambisius, karena mewah dan menghabiskan waktu dan tenaga. 4. Menyusun teori umum bahasa berdasarkan aspek-aspek yang ada pada seluruh bahasa manusia. 5. Gramatikal sistemik terletak pada otak penutur asli. Bahasa adalah cenderung ke dalam diri manusia.

Kontekstual 1. Bahasa sebagai kajian kontekstual dipengaruhi filsafat empirisme. Filsafat empirisme, John Locke dan David Hume dari inggris melahirkan aliran kontekstual Sampson (1980) diikuti oleh Firth dan Halliday. 2. Bahasa sebagai bagian dari segi social, sebab bahasa menurut Malinowsky adalah bukan saja to tell tapi juga to do. 3. Bahasa dalam kajian kontekstual adalah penggunaan bahasa di masyarakat. 4. Menyusun teori umum yang harus memperhitungkan secara utuh konteks bahasa dalam konteks social budaya. Siapa yang bicara, bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan bagaimana akhirnya. 5. Gramatika dalam kajian kontekstual adalah bentuk homogen dari bahasa yang digunakan masyarakat secara benar-benar nyata. Dalam dua teori ini tidak beroposisi, tetapi saling tumpang tndih, untuk saling membantu satu sama lain. Deskriptif dan kritis dalam studi bahasa Adanya dikotomi teori dalam bahasa antara deskriptif dan kritis merupakan angina segra bagi penelitian bahasa, sebab saling melengkap sehingga bahasa tidak lagi hanya sebagai theory of grammar (teori tata bahasa) tetapi juga theory of language (teori bahasa) Deskriptif dan kritis dalam lingustik Selama ini istilah linguistic telah dipahami secara ambigu sehingga lebih banyak merujuk kepada linguistik yang sebenarnya (fonologi, morfologi, sintaksis dan semantic), dan sedikit kajian tentang tuturan dan tulisan actual. Sehingga lahirlah aliran kritis, yang dikembangkan Fairclough (1989) mengacu pada pendapat Saussure, bahwa 1. bahasa dalam seluruh masyarakat dapat digunakan dalam tujuan-tujuan praktis.

2. Bahasa seharusnya lebih bersifat sinkronis daripada diakronik. Sehingga bahasa tidak boleh asocial. Deskriptif dan Kritis dalam sosiolinguistik Dalam sosiolinguistik, terdapat relas antara stuktur dalam linguistic proper dengan variablevariabel social, seperti tingkatan social, relasi social, jarak social, dan perbedaan latar social. Konsep ini dinamai atomisme logic oleh Chaika (1982), Wardhaugh (1986), dan Grimsaw (1981). Dalam sosiolinguitik lebih dipengaruhi oleh filsafat positifme-logik yang lebih menekankan pada sense-data. FIlsafat ini berpendapat bahwa variasi sosiolingual dapat dikaji dengan analogi dari sains atau ilmu-ilmu alam. Fairclough, menyatakan bahwa sosiolinguistik sangat kuat menjawab masalah, what (apakah variasi bahasa). Dan lemah menjawab why dan how, yaitu 1. 2. 3. 4. Mengapa fakta-fakta bahasa yang ada keadaannya tidak seperti lainnya. Bagaimana relasi kekuasaan mengatur manusia dalam bahasa Bagaimana relasi kekuasaan itu dijaga, ditopang dan dipenjuangkan. Bagaimana relasi itu diubah sesuai kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Deskriptif dan Kritis dalam Pragmatik Dalam pragmatik terdapat dua teori, yaitu aliran Eropa-Kontinental dan Anglo Amerika. Dalam teori Eropa-Kontinental : pragmatik luas : ilmu penggunaan bahasa Anglo Amerika : sempit : sosiolinguistik dan psikolinguistik. Austin dan Searle, berpendapat bahwa ujaran adalah suatu bentuk tindakan. Individu memiliki kekuasaan dalam menentukan kekuasaan dan tindakannya sendiri. Kelemahannya teori ini bersifat indidualis, mengabaikan aspek pertarungan sosial

Deskriftif dan kritis dalam Analisis Wacana Teori analisis wacana dan analisis percakapan diklaim oleh pandangan kritis. Menurut Fairclough, ada dua: 1. Analisisis wacana sebagai bidang lintas disiplin. Contoh : linguistic, filsafat, sosiologi, antropologi dan psikologi kognitif. 2. Analisisis percakapan bekerja dengan pilihan sampel percakapan nyata yang diperluas. Contoh: bagaimana struktur sosial hadil dan diproduksi dalam tindakan sehari-hari, tdak

hanya sebagai kepemilikan struktur makro masyarakat yang abstrak yang jauh dari kehidupan manusia yang nyata. Kelemahan analisis percakapan tampka ketika membuat relasi antara teks (mikro), konteks (makro)

Analisis percakapan memberikan dua pencitraan; 1. Analisis memberikan status dan kedudukan yang istimewa kepada sebuah percakapan santai, antar partisipan yang memiliki relasi setara atau sederajat. Kurang memperhatikan percakapat yang tidak setara. 2. Analisis percakapan, percakapan sebuah kepandaian actor kecakapan actor yang memproduksi, akibatnya oeneliti hanya meneliti dari perspektif ackor saja. Kritikan lain dari pandangan kritis terhadap analisis wacana yang bersifat deskriptif adalah; menghindari interpretasi local dalam menafsirkan wacana Hal yang harus diperhatikan. 1prinsip yang memberikan tuntunan pada analisis wacana untuk tidak menciptakan konteks yang lebih luas dari yang diperlukan agar dapat diperoleh, interpretasi yang paling mendekati maksud aslinya, yang diberikan oleh penghasil wacana. 2 prinsip memberi petunjuk kepada analisis wacana bahwa pengalaman seseorang tentang peristiwa yang semacam akan memberikan kepadanya suatu harapan, analisis ini cukup disangsikan kemampuan untuk menggali ideology dan kuasa. Untuk menganalisisnya analisis wacana memerlukan prinsip interpretasi yang tidak hanya bersifat local tetapi juga global, untuk mengungkap ideology dan kuasa yang menetukan kelahiran dan bentuk wacana. Contoh dalam wacana gender, jika penghasil teksnya laki-laki ideology superordinate, sebaliknya jika penghasilnya wanita ideologi subordinasi akan dapat diungkap seterangterangnya. Contoh dalam wacana politik, umumnya untuk mengungkap ideologi yang diperjuangkan oleh elit politik.sebaliknya analisis wacana kritis juga dapat menemukan wacana tanding yang sering muncul dalam wacana masyarakat awam sebagai akibat penindasan dan hegemoni dari para elit politik Penutup Tidak ada pendekatan yang bersifat universal, suatu wacana mungkin bisa dikaji secara deskriptif maupun secara kritis, tergantung jenis wacana.

You might also like