You are on page 1of 14

1

Anemia Hemolitik Autoimun


Nella
NIM : 102011185
Email: pricillanella@gmail.com
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta

Pendahuluan
Anemia merupakan masalah yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di
samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat terutama di negara berkembang.
Kelainan ini juga merupakan penayebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang
demikian sering, anemia seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di
praktek klinik. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala
berbagai macam penyakit dasar. Maka penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam
mengenai anemia.
Anemia Hemolitik adalah penyakit kurang darah atau anemia yang terjadi karena
meningkatnya penghancuran sel darah merah. Pada keadaan normal, sel darah merah
mempunyai waktu hidup 120 hari. Pada anemia hemolitik ini terjadi penurunan usia sel darah
merah, baik sementara atau terus-menerus. Anemia ini terjadi apabila sumsum tulang telah tidak
mampu mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek, atau bila kemampuannya
terganggu oleh sebab lain. Salah satunya jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah
sebelum waktunya (hemolisis), sumsum tulang berusaha menggantinya dengan mempercepat
pembentukan sel darah merah yang baru, sampai 10 kali kecepatan normal. Jika penghancuran
sel darah merah melebihi pembentukannya, maka akan terjadi anemia hemolitik.
1
A. Anamnesis
Anamnesis merupakan salah satu cara untuk mendiagnosis suatu penyakit. Secara
umum anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara yang dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-
anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis). Pada anamnesis
perlu ditanyakan beberapa hal seperti:
1. Identitas
a. Nama
b. Umur/ usia
2

c. Jenis kelamin
d. Alamat
e. Pekerjaan
2. Keluhan utama
Menanyakan apa keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien datang berobat.
3. Riwayat penyakit sekarang (RPS)
Apa yang dirasakan pasien? Lelah, malaise, sesak napas, nyeri dada, atau tanpa
gejala
Apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap?
Adakah petunjuk mengenai penyebab anemia?
Tanyakan kecukupan makanan dan kandungan Fe. Adakah gejala yang konsisten
dengan malabsorpsi? Adakah tanda tanda kehilangan darah dari saluran cerna
(tinja gelap, darah per rektal, muntah butiran kopi) ?
Jika pasien seorang wanita, adakah kehilangan darah menstruasi berlebihan?
Tanyakan frekuensi dan durasi menstruasi, dan penggunaan tampon serta
pembalut.
Adakah sumber kehilangan darah yang lain?
Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali? Jika sebelum ini
pernah mengalami hal yang sama apakah ada faktor tertentu yang memicu kondisi
tersebut?
Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang
sama pada saat ini?
Apakah sejak muncul gejala, gejala bertambah parah seiring waktu?
Upaya apa yang telah dilakukan pasien dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat
yang telah diminum pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan
penyakit yang saat ini diderita pasien.
2


4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Untuk mengetahui apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama
sebelumnya serta riwayat penyakit lain yang pernah diderita pasien.
Adakah dugaan penyakit ginjal kronis sebelumnya?
Adakah riwayat penyakit kronis (misalanya artritis reumatoid atau gejala yang
menunjukkan keganasan) ?
Adakah tanda tanda kegagalan sumsum tulang (memar, perdarahan, dan infeksi
yang tak lazim atau rekuren) ?
Adakah tanda tanda defisiensi vitamin?
Adakah alasan untuk mencurigai adanya hemolisis (misalnya ikterus, katup
buatan yang diketahui bocor) ?
Adakah riwayat anemia sebelumnya atau pemeriksaan penunjang seperti
endoskopi gastrointestinal?
3

Adakah disfagia (akibat lesi esofagus yang menyebabkan anemia atau selaput
pada esofagus akibat anemia defisiensi Fe).
2

5. Riwayat Keluarga
Untuk mengetahui bagaimana status kesehatan keluarga serta mencari tahu
apakah terdapat anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama. Defisiensi G6PD,
sferosit herediter, dan anemia sel sabit termasuk penyakit yang diturunkan melalui mutasi
gen.
6. Riwayat psychosocial (sosial)
Mengetahui bagaimana lingkungan kerja, sekolah atau tempat tinggal serta faktor
resiko gaya hidup.


B. Pemeriksaan Fisik
Pada skenario disebutkan keadaan umum pasien adalah tampak sakit ringan dan
kesadarannya compos mentis. Karena pasien datang dengan kondisi pucat selain melakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital, perlu dilakukan sedikit pemeriksaan fisik tambahan yang
lebih spesifik yaitu memeriksa kondisi konjungtiva dan sklera mata pasien. Konjungtiva
yang pucat merujuk pada kondisi kekurangan darah sedangkan sklera yang ikterik
menunjukkan tingginya kadar bilirubin dalam darah.
3
1. Pemeriksaan fisik khusus abdomen
Untuk pemeriksaan fisik pada bagian abdomen, dilakukan dengan terlebih
dahulu membagi bagian abdomen dengan 2 cara :
Pembagian atas empat kuadran, dengan membuat garis vertikal dan horizontal
melalui umbilikus, sehingga terdapat daerah kuadran kanan atas, kiri atas, kanan
bawah, dan kiri bawah.
Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan dua
garis vertical, Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawan
igakesepuluh dan yang kedua dibuat melalui titik spina iliaka anterior
superior (SIAS). Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan
antara SIAS dan mid-line abdomen. Sehingga didapatkan 9 regio, yaitu
hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium kiri, lumbal kanan, umbilical,
lumbal kanan, iliaka kanan, hipogastrium/suprapubik, dan iliaka kiri.
a. Inspeksi
Dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati dengan seksama
dinding abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah:
Keadaan kulit; Besar dan bentuk abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid (cekung).
Simetrisitas; perhatikan adanya benjolan local (hernia, hepatomegali, splenomegali,
kista ovarii, hidronefrosis).
Gerakan dinding abdomen pada peritonitis terbatas.
Pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ apa atau
tumor apa.
4

Peristaltik; gerakan peristaltik usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak pada
dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak (darm-contour).
Pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering memberikan
gambaran pulsasi di daerah epigastrium dan umbilical.
b. Palpasi
Beberapa pedoman untuk melakukan palpasi, ialah:
Pasien diusahakan tenang dan santai dalam posisi berbaring terlentang. Sebaiknya
pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru.
Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan. Sedangkan
untuk menentukan batas tepi organ, digunakan ujung jari. Disuahakan agar tidak
melakukan penekanan yang mendadak, agar tidak timbul tahanan pada dinding
abdomen.
Palpasi dimulai dari daerah superfisial, lalu ke bagian dalam. Bila ada daerah yang
dikeluhkan nyeri, sebaiknya bagian ini diperiksa paling akhir.
Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien diminta
untuk menekuk lututnya. Bedakan spasme volunter dengan spasme sejati; dengan
menekan daerah muskulus rektus relaksasi, maka itu adalah spasme volunter. Namun
jika otot kaku tegang selama siklus pernapasan, maka itu adalah spasme sejati.
Palpasi bimanual; palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan, dimana tangan
kriri berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien sedangkan tangan kanan di
bagian depan dinding abdomen.
Palpasi hepar dilakukan dengan meletakkan tangan kiri dibelang penderita
menyangga costa ke-11/12 sejajar, minta penderita rileks. Hepar didorong ke depan,
diraba dari depan dengan tangan kanan (bimanual palpasi). Tangan kanan
ditempatkan pada lateral otot rektus kanan, jari di batas bawah hepar dan tekan
lembut ke arah atas.Pasien diminta bernafas dalam sehingga terasa sentuhan hepar
bergerak ke bawah (tangan dikendorkan agar hepar meluncur dibawah jari sehingga
merabapermukaan yang lunak tidak berbenjol, tepi tegas/tajam, tidak ada
pembesaran).
c. Perkusi
Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara eselruhan,
menentukanbesarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa
berisi cairan(kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya
udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal adalah
timpani(organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ yang
padat).
Orientasi abdomen secara umum
Dilakukan perkusi ringan pada seluruh dinding abdomen secara sistematis
untuk mengetahui distribus daerah timpani dan daerah redup. Pada perforasi usus,
pekak hati akan menghilang.
5

Cairan bebas dalam rongga abdomen
Adanya cairan bebas dalam rongga abdomen akan menimbulkan suara
perkusi timpani di bagian atas dan dullness di bagian samping atau suara dullness
dominan. Karena cairan itu bebas dalam rongga abdomen, maka bila pasien
dimiringkan akan terjadi perpindahan cairan ke sisi terendah.
Pemeriksaan gelombang cairan (Undulating Fluid Wave)
Teknik ini dipakai bila cairan asites cukup banyak. Prinsipnya adalah
ketukan pada satu sisi dinding abdomen akan menimbulkan gelombang cairan yang
akan diteruskan ke sisi yang lain. Pasien tidur terlentang, pemeriksa meletakkan
telapak tangan kiri pada satu sisi abdomen dan tangan kanan melakukan ketukan
berulang-ulang pada dinding abdomen sisi yang lain. Tangan kiri akan merasakan
adanya tekanan gelombang.
Pemeriksaan pekak alih (Shifting dullness).
Prisnipnya cairan bebas akan berpindah ke bagian abdomen terendah. Pasien
tidur terlentang, lakukan perkusi dan tandai peralihan suara timpani ke redup pada
kedua sisis. Lalu pasien diminta tidur miring pada satu sisi, lakukan perkusi lagi,
tandai tempat perlaihan suara timpani ke redup maka akan tampak adanya peralihan
suara redup.
2,3

C. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperoleh diagnosis kerja, selain hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan hapus darah tepi,
dan pemeriksaan bilirubin (terutama bilirubin indirek).
4
Pada pemeriksaan darah lengkap, yang diperiksa adalah jumlah eritrosit, jumlah
leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, retikulosit dan jumlah trombosit. Patokan nilai
normal dapat berbeda-beda tergantung alat yang dipakai di tiap-tiap laboratorium. Akan
tetapi, nilai rujukan yang dapat digunakan secara universal adalah :
Hitung sel darah merah : Pria (4,7-6,1 juta sel/mikroliter); wanita (4,2-5,4 juta
sel/mikroliter).
Hitung sel darah putih : 4.000-10.000 sel/mikroliter.
Hemoglobin : pria (13,8-17,2 mg/dL); wanita (12,1-15,1 mg/dL).
Hematokrit : pria (40,7%-50,3%); wanita (36,1%-44,3%).
Hitung trombosit : 150.000-400.000 trombosit /mikroliter.
Laju Edap Darah (LED) : pria (0-15mm/jam); wanita (0-20mm/jam).
Hitung jenis leukosit : Neutrofil (55-70%); Eosinofil(1-3%); Basofil (0-1%);
Limfosit (20-40%); Monosit (2-8%).[4,5].
4

Melalui pemeriksaan darah lengkap, dapat diketahui Mean Corpuscular Volume
(MCV), Mean corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration (MCHC). MCV adalah nilai hematokrit dibandingkan dengan jumlah
6

eritrosit. MCH adalah kadar hemoglobin dibadingkan dengan jumlah eritrosit. Sedangkan
MCHC adalah kadar hemoglobin dibandingkan dengan nilai hematokrit. Ketiga hitungan
tersebut menunjukkan nilai eritrosit rata-rata. Nilai rujukan untuk ketiga hitungan tersebut
adalah :
5
MCV = 82-92 fL
MCH = 27-37 pg
MCHC = 32-37%
MCV dan MCH yang rendah merujuk pada morfologi eritrosit mikrositik hipokrom
yang biasa dijumpai pada anemia defisiensi besi. MCV yang konsisten dengan anemia
megaloblastik. Sedangkan MCV dan MCHC yang tinggi mengindikasikan sferositosis.
Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dlakukan secara otomatis, maka red cell
distrbution width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalny adalah 11,5-14,5 coeffecient of
variation. Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang merujuk pada anemia
hemolitik. Selain itu, peningkatan retikulosit menunjukkan terjadinya penurunan jumlah
eritrosit, namun bukan ciri khas dari anema hemolitik.
Selanjutnya adalah pemeriksaan hapus darah tepi. Yang perlu diperhatikan dari
hapus darah tepi adalah keadaan dari eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pada keadaan
eritrosit, yang perlu diperhatikan adalah ukuran, warna dan bentuknya. Sedangkan pada
keadaan limfosit dan trombosit yang perlu diperhatikan adalah jumlahnya. Dari pemeriksaan
darah tepi inilah dapat ditemukan sel-sel yang merupakan ciri khas dari suatu anemia seperti
sferosit, sel sabit, sel target, dan semacamnya. Pada anemia hemolitik secara umum dapat
dijumpai eritrosit normositik, polikromasi, kelainan morfologi, dan dapat pula dijumpai
eritrosit berinti. Jumlah leukosit meningkat dengan pegeseran ke kiri.
Pemeriksaan bilirubin. Ada dua jenis bilirubin, direk dan indirek. Bilirubin direk
larut dalam air dan dapat diperiksa melalui urin sedangkan bilirubin indirek tidak larut air
dan hanya dapat diperiksa melalui darah. Pada pemeriksaan serum, nilai normal bilirubin
total adalah 0,2-1 mg%, bilirubin direk adalah 0-0,2 mg%, dan bilirubin indirek adalah 0,2-
o,8 mg%. pada kondisi anemia hemolitik, bilirubin serum biasanya <3mg/dL. Nilai yang
lebih tinggi merujuk ke gangguan fungsi hepar ataupun kolestasis.
Untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit dapat digunakan Direct Antiglobulin
Test (Direct Coombs test) dan Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coombs test). Pada
Direct Coombs Sel eritrosit pasien dicuci dari protein protein yang melekat dan
direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin
dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu
atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.pada anemia hemolitik autoimun
pemeriksaan com direk biasanya positif. Sedangkan pada indirect Untuk mendeteksi
autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel sel reagen.
Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel sel reagen, dan dapat
dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi. Pada anemia hemolitik
autoimun, tes DAT (Direct Antiglobulin Test) akan memberikan hasil (+) dan pada IAT
7

(Indirect Antiglobulin Test) memberikan hasil (+) atau (-). Hasil Coombs test juga
memberikan hasil (+) pada anemia hemolitik imun diinduksi obat.
4,5

D. Working Diagnosis
Working diagnosis pada skenario ini adalah anemia hemolitik autoimun . Anemia
hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia= AIHA/AHA) merupakan suatu kelainan di
mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.
3

E. Diferensial Diagnosis
1. Anemia Defisiensi G6PD
Mutasi pada gen pengkode G6PD yang menyebabkan tidak terproduksinya enzim
G6PD yang berfungsi untuk memetabolisme sejumlah kecil glukosa untuk menghasilkan
glutation yang penting untuk melindungi membran eritrosit dan hemoglobin dari oksidan.
Diturunkan secara dominan melalui kromosom X. Penyakit ini lebih nyata pada laki-laki.
Gejala klinis yang timbul berupa cepat lelah, pucat, sesak napas, jaundice dan
pembesaran hepar. Pada bayi dengan defisiensi G6PD, neonatal jaundice dapat menjadi
berat, yang jika tidak diatasi dengan tepat dapat menyebabkan kernikterus dan kerusakan
saraf yang permanen. Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD
biasanya dipicu oleh fava beans, infeksi, dan obat-obatan. Biasanya serangan hemolitik
diawali dengan malaise, kelemahan, dan nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam
beberapa jam atau 2-3 hari, pasien mengalami jaundice dan sering kali menghasilkan urin
berwarna gelap akibat hemoglobinuria. Onsetnya tiba-tiba, terutama pada anak-anak.
Anemia yang terjadi bisa ringan sampai berat. Anemia biasanya normositik dan
normokrom karena hemolisis yang terjadi intravaskular. Oleh sebab itu, muncul
hemoglobinemia, hemoglobinuria, LDH (laktat dehirogenase) yang tinggi dan plasma
haptoglobin yang rendah atau tidak ada sama sekali. Dari pemeriksaan, ditemukan
hemighosts (sel darah merah dengan hemoglobin tidak merata) dan bite cells atau blister
cells (sel darah merah yang tampak seperti digigit) yang merupakan ciri khas dari anemia
hemolitik akut.
6

2. Anemia hemolitik et causa obat
Diagnosis dapat dicapai melalui anamnesis yang lengkap mengenai jenis obat-
obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien dan sudah berapa lama obat tersebut
dikonsumsi. Etiologi dari anemia hemolitik tipe ini adalah obat-obatan yang dapat
menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog seperti methyldopa.
Kemudian obat-obatanya yang membentuk kompleks ternary seperi kinin, kuinidin,
sulfonamid, sulfonylurea, dan thazid.
Anemia hemolitik imun yang diinduksi obat adalah suatu kelainan darah yang
terjadi ketika obat memicu pertahanan tubuh (imun) untuk menyerang sel darah merah
8

sendiri. Hal ini menyebabkan sel darah merah destruksi lebih awal, proses yang disebut
hemolisis.

Kasus ini menyebabkan sistem kekebalan tubuh keliru dan mengira sel darah
merah tubuh sendiri yang berbahaya, sebagai zat asing. Antibodi kemudian melawan sel-
sel darah merah sendiri. Antibodi menempel pada sel darah merah dan menyebabkan
mereka untuk destruksi lebih dini. Gejala umumnya sama seperti anemia hemolitik imun
hanya saja gejala anemia ini akibat induksi dari obat. Riwayat pemaikan obat tertentu
positif. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi
biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary
yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak, dan disertai gagal
ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat
terjadi pada pemaparan dengan dosis tunggal. Diagnosis dapat dicapai melalui anamnesis
yang lengkap mengenai jenis obat-obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien dan sdah
berapa lama obat-obatan tersebut dikonsumsi. Hasil laboratorium yang didaaat
mengonfirmasi anemia ini adalah retikulosis, anemia, MCV tinggi, tes Coombs positif,
leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, dan hemoglobinuria. Secara non-
medikamentosa dengan menghentikan obat yang menjadi pemicu dan transfusi darah jika
perli, hemolisis dapat dikurangi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan secara
medikamentosa adalah pemberian kortikosteroid jika kondisi benar-benar berat.
7

3. Anemia sel sabit
Anemia sel sabit adalah gangguan resesif autosomal yang disebabkan pewarisan
salinan gen hemoglobin detektif, masing masing satu dari orang tua. Hemoglobin yang
cacat tersebut, yang disebut HbS, menjadi kaku dan membentuk konfigurasi seperti sabut
jika terpajan oksigen berkadar rendah. Tekanan oksidatif juga memicu produksi hasil
akhir glikasi yang masuk kedalam sirkulasi, sehingga memperburuk proses patologi
vaskular pada individu yang mengidapa anemia sel sabit. Sel darah merah pada anemia
sel sabit ini kehilangan kemampuan untuk bergerak denga mudah melewati pembuluh
yang sempit dan akibatnya terperangkap dalam mikrosirkulasi. Hal ini menyebabkan
penyumbatan aliran darah dibawahnya, akibat timbul nyeri karena iskemi jaringan.
Meskipun bentuk sel sabit ini berbentuk reversible jika saturasi Hb kembali normal, sel
sabit sangat rapuh dan banyak yang sudah hancur didalam pembuluh yang sangat kecil,
sehingga menyebabkan anemia. Sel sel yang telah hancur disaring dan dipindahkan dari
sirkulasi ke dalam limpa; kondisi ini mengakibatkan limpa bekerja lebih berat. Jaringan
parut dan kadang kadang infark (sel yang sudah mati) dari berbagai organ, terutama
limpa dan tulang, dapat terjadi. Disfungsi multiorgan sering terjadi setelah beberapa
tahun.
1


9

4. Sferositosis herediter
Suatu penyakit genetik dari selaput (membrane) sel darah merah yang secara
klinis dikarakteristikan oleh anemia, jaundice (penyakit kuning) dan splenomegaly
(pembesaran limpa). Sel darah merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap
dan dihancurkan dalam limpa, menyebabkan anemia dan pembesaran limpa. Anemia
biasanya ringan , tetapi bisa semakin berat jika terjadi infeksi.Pada dewasa muda ,
penyakit ini sering dikelirukan sebagai hepatitis. Bisa terjadi kelainan bentuk tulang
seperti tulang tengkorak yang berbentuk seperti menara dan kelebihan jari tangan dan
kaki.
Biasanya tidak diperlukan pengobatan tetapi anemia yang berat mungkin
memerlukan tindakan pengangkata limpa. Tindakan ini tidak memperbaiki bentuk sel
darah merah, tetapi mengurangi jumlah sel yang dihancurkan dan karena itu memperbaiki
anemia. Anemia karena kelainan pada sel darah merah . penghancurn sel darah merah
bisa terjadi karena , sel darah merah memiliki kelainan bentuk sel darah merah memiliki
selaput yang lemah dan mudah robek. Kekurangan enzim yang memugkinkan diperlikan
supaya bisa berfungsi sebagaimana mestinya dan enzim yang menjaga kelenturan
sehingga sel darah merah mengalir melalui pembuluh pembuluh darah yang sempit.
Kelainan sel darah merah tersebut terjadi penyakit keturunan tertentu. Sferositosis
Herediter adalah penyakit keturunan dimana sel darah merah berbentuk bulat. Sel darah
merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan oleh limpa,
menyebabkan anemia dan pembesaran limpa.
Anemia biasanya ringan tetapi, bisa semakin berat jika terjadi infeksi. Sferositosis
jika penyakit ini berat, bisa tterjadi sakit kuning (jaundice). Anemia , pembesaran hati,
pembentukan batu empedu. Pada dewasa muda, penyakit ini sering dikeliruka sebagai
hepatitis. Bisa terjadi kelainan bentuk tualang, seperti tulang tengkorak yang
bewrbewntuk seperti menara dan kelebihan jari tangan dan kaki. Biasanya tidak
diperlukan pengobatan . tetapi anemia yang berat memerlikan tindakan penangkatan
limpa. Tindakan ini tidak memperbaiki bentuk sel darah merah, tetapi mengurangi jumlah
sel yan dihancurkan dank arena itu memoerbaiki anemia. Penghancuran sel darah merah
bisa terjadi kaerna :
Sel darah merah memiliki kelainan bentuk
Sel darah merah memiliki selaput yang lemah dan mudah robek
Kekurangan enzim yang yang diperlukan supaya bisa berfungsi sebagaimana
memungkinkan sel darah merah mengalir melalui pembuluh darh yang sempit.
Kelainan sel darah merah tersebut terjadi pada penyakit keturunan tertentu.
Sferositosis Herediter adalah penyakit dimana sel darah merah berbeentuk bulat. Sel
darah merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan dalam
limpa menyebabkan anemia dan pembesaran limpa.
8


10

F. Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada pembatasan limfosit autoreaktif
residual.
7
G. Epidemiologi
Anemia hemolitik autoimun yang paling sering ditemukan adalah anemia hemolitik
autoimun tipe hangat (75% dari populasi anemia hemolitik autoimun). Anemia hemolitik
autoimun ini juga lebih banyak ditemukan pada wanita (65%dari kasus). Anemia hemolitik
autoimun tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti AIHA tipe dingin yang
seringkali menyerang usia pertengahan dan lanjut. Meskipun demikian, anemia hemolitik
adalah bentuk anemia yang jarang ditemukan. Jumlah kejadiannya adalah 1 kasus dari
100.000 individu. Namun, di Indonesia tidak ada data yang khusus membahas tentang
prevalensi dan insiden kasus AIHA secara nasional.
7

H. Patofisiologi
Perusakan se-sel eritrosit yang di perantarai antibody ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen,aktifasi mekanisme seluler,atau kombinasi keduanya.
1. Aktivasi sistem komplemen
Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membrane
sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler (RBClisis-hemoglobin-ginjal-
hemoglobinuria,hemosiderinuria) yang di tandai dengan hemoglobinemia dan
hemoglobinuria.
Sistem komplemen akan di aktifkan menuju jalur klasik atau pun jalur
alternative.Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik
adalah IgM,IgG1,IgG2,IgG3.IgM di sebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibody
ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di
bawah suhu tubuh.Antibodi IgG di sebut agglutinin hangat karena bereaksi dengan anti
gen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
a. Aktivasi komplemen jalur klasik
Reaksi di awali dengan aktivitas C1suatu protein yang di kenal sebagai recognition
unit.C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibody dan menjadi aktif
serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik.Fragmen C1 akan
mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b ( di kenal sebagai C3
convertase).C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a.C3b
mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen
dengan partikel yang mengaktifkan komplemen ( sel darah merah berlabel
antibody).C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c.C3d dan C3g akan
berikatan pada membrane sel darah merah dan merupakan prroduk final aktivasi
C3.C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b( convertase).c5
11

convertase akan memecah menjadi C5a (anflatoksin) dan C5b yang berperan dalam
kompleks penghancur membrane.
Kompleks penghancur membrane terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8,dan beberapa
molekul C9.Kompleks ini akan menyisip ke dalam membrane sel sebagai suatu aluran
transmembran normal akan terganggu.Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga
sel membengkak dan rupture.
b. Aktivasi komplemen jalur alternatif
Aktifator jalur alternative akan mengaktifkan C3,dan C3b yang terjadi akan berikatan
dengan membrane sel darah merah.faktor B kemudian melekat pada C3b,dan oleh
faktor D faktor B di pecah menjadi Bad an Bb.Bb merupakan suatu protease serin,dan
tetap melekat pada C3b.Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi
menjadi C3a dan c3b.C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb di pecah menjadi
C5a dan C5b.Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membrane.
7
2. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular
Jika sel darah di sensitasi dengan igG yang tidak berikatan dengan komplemen
atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen
lebih lanjut,maka sel darah merah tersebut akan di hancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial.Proses immine adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit
yang di perantarai sel.Immunoadherence terutama yang di perantarai IgG-FcR akan
menyebabkan fagositosis.
7
I. Manifestasi Klinis
Gejala umum anemia dapat disebut sebagai sindrom anemia, timbul karena isemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan kadar Hb sampai
kadar tertentu (Hb < 7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan
dyspepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak
spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit diluar anemia dan tidak sensitive karena
timbul setelah penurunan Hb yang berat (Hb < 7g/dl). Pada anemia hemolitik gejala umum
yang terjadi adalah anemia, ikterus ringan yang disebabkan karena bilirubin yang tak
terkonjugasi dalam plasma namun tidak ada dalam urin, Splenomegali pada banyak tipe
anemia hemolisis. Anemia hemolitik autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia, AIHA)
merupakan kelainan darah yang didapat, dimana autoantibodi IgG yang dibentuk terikat pada
membran sel darah merah. Antibodi ini umunya berhadapan langsung dengan komponen
dasar dari sistem Rh dan sebenarnya dapat terlihat pada semua sel darah merah semua orang.
Anemia hemolitik autoimun (AIHA) di bagi menjadi :
1. Anemia hemolitik aotuimun tipe hangat
12

70% dari kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi beraksi secara
optimal pada suhu 37 derajat celsius. Kurang lebih 50% dari pasien AIHA tiep hangat
disertai dengan penyakit lainnya. Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan,
ikterik dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, nyeri
abdomen dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikteri
terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60% pasien,
hepatomegali terjadi pada 30% pasien, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya
25 % pasien tidak disertai perbesaran organ dan limfonodi.

Hemoglobin sering dijumpai
di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat
biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi
ini berasal dari kelas IgG dan berekais dengan semua sel eritrosit normal. Autoantibodi
tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri,
biasanya antigen Rh. Antibodi yang khas pada AIHA antara lain IgG,IgM atau IgA dan
bekerja pada suhu yang berbeda-beda. AIHA tipe hangat diperantarai IgG, yang mengikat
sel darah merah secara maksimal pada suhu 37C.


2. Anemia hemolitik aotoimun tipe dingin
Pada tipe dingin ini sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin.Hemolisis berjalan
kronik. Anemia ini biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering juga terjadi akrosinosis
dan splenomegali. Pada cuaca dingin akan menimbulkan meningkatnya penghancuran sel
darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis
(tampak kebiruan) pada tangan dan lengan. Pada AIHA tipe dingin diperantarai oleh IgM
(coldaglutinin), yang mengikat sel darah merah pada suhu yang rendah (0 sampai 4C).
AIHA tipe hangat lebih sering dijumpai dari pada tipe dingin. Wanita lebih sering terkena
daripada laki-laki. Direct Coombs tes dapat menunjukkan adanya antibodi atau
komplemen pada permukaan sel darah merah dan merupakan tanda dari autoimun
hemolisis.
7

J. Penatalaksanaan
1. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu biasanya sebagian besar akan
menunjukan respon klinis baik (Hematokrit meningkat, retikulosit meningkat, tes
coombs direk positif lemah, tes coomb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan
dicapai pada hari ke 30 sampai hari ke 90. Bila respon terhadap kortikosteroid baik,
maka dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi
steroid dosis < 30 mg/hari dapat diberikan secara selang sehari.
Spelenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering
dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis tetap dapat
terjadi walau sudah dilakukan splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel
13

eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan
kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%
tapi tidak permanen, glukokortikoid rendah masih sering digunakan setelah
splenektomi.
Imunosupresi : Azathioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150mg/hari.
Terapi lainnya : Danazol 600-800mg/hari. Biasanya digunakan berbarengan dengan
steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan dosisnya atau dihentikan dan dosis
danazol diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Kombinasi danazol dan prednison
menberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisial dan memberikan respon pada
80% kasus. Mycophenolate mofetil 500 mg per hari 1000 mg per hari pernah
dilaporkan memberikan hasil yang baik pada AIHA yang refrakter. Rituximab 100
mg/minggu selama 4 minggu untuk salvage therapy.
Terapi transfusi : hanya diberikan apabila untuk life saving (Hb <3g/dl).
2. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Terapi pada anemia hemolitik autoimun tipe dingin yakni dengan menghindari udara
dingin yang dapat memicu hemolisis.
Prednisolon dan splenektomi tidak banyak membantu
Chlorambucil 2 -4 mg /hari
Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi
hemolisis, namun secara praktik hal ini sulit dilakukan.
7


K. Komplikasi
1. Ikterus
2. Hepatosplenomegali
3. Kematian.
7

L. Prognosis
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar
memiliki penyakit yang berlangsung kronik namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar
70%. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%..
7

Kesimpulan
Setelah mempelajari teori-teori yang berkenaan dengan skenario, kesimpulannya adalah
wanita tersebut menderita anemia hemolitik autoimun.


14

Daftar Pustaka
1. Corwin JE. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-2.Jakarta:EGC.2009.hal;416.
2. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005. h. 84-5.
3. Bakta IM. Pendekatan terhadap pasien anemia.dalam buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi 5. Jakarta : Interna Publishing; 2010. h. 1109-15.
4. Price, Sylvia A. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta:
Penerbit EGC; 2005. h.256.
5. Atul BM, Victor H. At a glance hematologi. Edisi ke-2.Jakarta:Penerbit Erlangga; 2006.
h.19.
6. Rinaldi I, Sudoyo AW. Anemia hemolitik non imun dalam buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010.h.1157
7. Parjono E, Hariadi KWT. Anemia hemolitik autoimun dalam buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi 5. Jakarta : Interna Publishing; 2010. h. 1152-6.
8. Mitchel, Kumar, Abbas, Fuasto. Buku saku dasar patologis klinis. Edisi 7. Jakarta:
Penerbit EGC; 2008.h.363

You might also like