You are on page 1of 35

Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 1

PEMICU
Seorang pasien laki lakiumur 60 tahun dengan stroke hemorrhagic (perdarahan di otak), tiba-
tiba henti napas di bawa ke UGD RSU kelas B dan di konsul ke dokter anestesi.
Tindakan :
I.Intubasi yang membebaskan jalan napas dan memberikan oksigen dengan cara asisten (dibantu) dan
di control (dipompa terus)
II.Di ICU dilakukan bantuan napas dengan ventilator dan alat-alat pemantauan
III.Pasien ini di konsul ke bagian saraf di anjutkan di lakukan CT-SCAN.Hasilnya : perdarahan di
otak (di central)
IV.Di anjurkan oleh bedah saraf untuk operasi (craniotomy) untuk mengeluarkan darah dari otak.
Anestesi yang di lakukan adalah anestesi umum dengan ventilator dan pemberian obat-obatan
analgetik dan relaksasi.
1.Klarifikasi Istilah
a. UGD RSU kelas B (WDK)
2.Definisi Masalah
a. Mengapa Henti napas tiba-tiba ?
b. Stroke hemoragic ?
c. Mengapa pasien di beri O
2
dengan cara di control/di pompa terus ?
d. Apa hubungan stroke hemoragic dengan henti napas ?
e. Mengapa pasien harus di konsul ke bedah saraf ?
3.Analisa Masalah
a. -Perdarahan di otak menyebabkan penekanan pada bagian yang mengatur pusat pernapasan
-stroke haemoraghic menyebabkan kelumpuhan , lidah pun dapat menutup saluran napas
b. -Hipertensi membuat pembuluh darah pecah
-plak yang menyumbat pembuluh darah lalu pembuluh darah pecah
-adanya penyumbatan pada pembuluh darah otak
c. -upaya resusitasi agar tidak terjadi syok hipoperfusi yang menyyebabkan iskemik pada otak
dan pada bagian tubuh lainya
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 2

-untuk memberikan bantuan pernapasan agar organ-organ yang lain membutuhkan O
2
tidak
terganggu
d. -karena gangguan system pernapasan oleh karena pada saluran pernapasan ada sumbatan
e. oleh karena pasien memerlukan pembedahan pada bagian otaknya yang mengalami
perdarahan
4.Gali Konsep













5.Learning Objective
a. RSU kelas B
b. Pengertian Anestesi
c. Farmakologi obat-obatan anastesi
d. Alat-alat anastesi
e. Pemakaian muscle relaxant
f. Cara membebaskan jalan napas
g. Cara melakukan kompresi jantung
h. Cara perawatan resusitasi di ICU
Stroke Haemoraghic
Penekanan Pusat Napas Hemiparesis
Sumbatan jalan Napas (Lidah
jatuh kebelakang)
Henti Napas Tiba-Tiba
Tindakan Di UGD :
1. Intubasi
2. Bantuan napas dengan ventilator
3. Pasien di konsul ke bagian bedan saraf
4. Anjuran operasi
5. Anastesi,ventilator,analgetik
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 3

i. Pengertian ICU
j. Alat-alat di ICU
k. Indikasi masuk ICU






















Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 4

1.RSU Kelas B
rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan sekurang-kurangnya 4 (empat)
pelayanan medik spesialis dasar, 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik, 8 (delapan)
pelayanan medik spesialis lainnya dan 2 (dua) pelayanan medik subspesialis dasar serta dapat menjadi
RS pendidikan apabila telah memenuhi persyaratan dan standar. Berada di setiap Ibukota privinsi
dann merupakan pusat rujukan untuk rumah sakit kabupaten.
2.Anastesi
1.Pengertian anastesi
Anestesi adalah suatu tindakan untuk menghilangkan kesadaran disertai hilangnya rasa sakit
yang sifatnya sementara. Anestesi pada setiap keadaan membawa masalah-masalah tersendiri sesuai
dengan penderita atau pasien yang sedang ditangani karena efek samping dari obat-obat anestesi
mendepresi organ-organ vital di tubuh manusia maupun binatang.
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi,
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Dua kelompok anestesi
Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi.
Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. seseorang yang
mengonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan
seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. eberapa jenis anestesi menyebabkan
hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh
tertentu dan pemakainya tetap sadar.
Tipe anestesi
Beberapa tipe anestesi adalah:
Pembiusan total : hilangnya kesadaran total
Pembiusan local : hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan
Pembiusan regional : hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif
pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 5

Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan
sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran. Obat bius jenis ini
bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah selesai operasi tidak membuat lama waktu
penyembuhan operasi.
Penggunaan obat-obatan dalam anestesi
Dalam membius pasien, dokter anestesi memberikan obat-obatan (suntik, hirup, ataupun
lewat mulut) yang bertujuan menghilangkan rasa sakit (pain killer), menidurkan, dan membuat tenang
(paraytic drug). Pemberian ketiga macam obat itu disebut triangulasi.
Bermacam obat bius yang digunakan dalam anestesi saat ini seperti:
Thiopental (pertama kali digunakan pada tahun 1934)
Benzodiazepine Intravena
Propofol (2,6-di-isopropyl-phenol)
Etomidate (suatu derifat imidazole)
Ketamine (suatu derifat piperidine, dikenal juga sebagai 'Debu Malaikat'/'PCP'
(phencyclidine)
Halothane (d 1951 Charles W. Suckling, 1956 James Raventos)
Enflurane (d 1963 u 1972), isoflurane (d 1965 u 1971), desflurane, sevoflurane
Opioid-opioid sintetik baru - fentanyl (d 1960 Paul Janssen), alfentanil, sufentanil (1981),
remifentanil, meperidine
Neurosteroid
Gejala siuman
Sering terjadi pasien ternyata dapat merasa dan sadar dari pengaruh bius akibat obat pembius
yang tidak bekerja dengan efektif. Secara statistik, Dr. Peter Sebel, ahli anestesi dari Universitas
Emory yang dikutip Time terbitan 3 November 1997 mengungkapkan bahwa dari 20 juta pasien yang
dioperasi setiap tahunnya di Amerika Serikat, 40.000 orang mengalami gejala siuman tersebut. Untuk
mengatasi masalah ini, dalam pertemuan tahunan sekitar bulan Oktober 1997, Persatuan Dokter Ahli
Anestesi Amerika ditawari suatu alat yang disebut Bispectral Index Monitor yang akan memberi
peringatan bahwa pasien yang sedang dioperasi mengalami gejala siuman atau menjelang "bangun
dari tidurnya".Penemu alat tersebut adalah Dr. Nassib Chamoun, seorang dokter ahli saraf
(neurologist) asal Yordania.
Dengan menggunakan prinsip kerja dari alat yang sudah ada, yaitu piranti yang disebut EEG
(Electroencephalography). Alat yang ditemukan Dr. Chamoun itu mampu memonitor potensi listrik
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 6

yang ditimbulkan oleh aktivitas "jaringan otak manusia". Alat ini dapat menunjukkan derajat kondisi
siuman pasien yang sedang menjalani suatu pembedahan. Angka "100" menunjukkan pasien dalam
keadaan "siuman sepenuhnya". Bila jarum menunjukkan angka "60" berarti pasien dalam kondisi
"siap untuk dioperasi". Angka "0" menandakan pasien mengalami "koma yang dalam". Dengan
mengamati derajat siuman dari alat ini, dokter anestesi dapat menambahkan obat pembiusan apabila
diperlukan, atau memberikan dosis perawatan kepada pasien yang telah mengalami kondisi ideal
untuk dilakukan operasi. Di samping itu, dokter bedah dapat dengan tenang menyelesaikan operasinya
sesuai rencana yang telah ditetapkan.
3.Farmakologi obat-obatan anastesi
Pemberian obat-obatan :
Umumnya diperlukan untuk penderita yang mendapat RKP.Intubasi trakhea dan pemberian 0
2

tinggi adalah penting untukmengurangi hipoksemi. Tidak ada bukti bahwa paru akan rusak dengan
pemberian 0
2
konsentrasi tinggi, bila digunakan dalamwaktu kurang dari 24 jam.Obat-obatan
sebaiknya diberikan intravena agar cepat mencapai sistim kardiovaskular. Pemberian intrakardial
hanyaterbatas pada epinefrin, pada awal henti jantung sebelum jalan intravena tersedia.
Obat-obatan dibagi 2 golongan yaitu :
1.Penting, yaitu :
Sodium bikarbonat
Epinephrine
Sulfat
Atropin
Lidokain
Morphin sulfat
Kalsium Khlorida
Oksigen juga dianggap obat yang penting.
2.Berguna(useful) yaitu:
obat-obat vasoaktif (Levarterenol)
Isoproterenol (Metaraminol),
Propranolol dan
Korticosteroid

Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 7

Obat obatan yang penting :
Bicarbonas Natricus :
Penting untuk melawan metabolik asidosis. Diberikan iv. dengan dosis awal : 1 mEq/kg BB,
baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat jugs diberikan
intrakardial. Begitu sirkulasi spontanyang efektif tercapai, pemberian hams dihentikan karena bisa
terjadi metabolic alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas.
Bila ada fibrilasi ventrikel, makahams diberikan setelah defribilasi. Bila belum ada sirkulasi
yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama. Pada penderita yang
dirawat,pemberian sebaiknya berdasarkan basil pemeriksaan gas darah arteri dan pH.Pemberian hams
diikuti ventilasi yang efektif untuk mengeluarkan CO
2
dalam darah arteri. Bila pemeriksaan gas darah
dan pH tidak tersedia, maka obat ini dapat diberikan nap 10 menit, dengan dosis awal.
Metabolik alkalosis dan hiperosmolalitas karena kelebihan pemberian harus
dihindarkan.Obat ini tidak boleh dipakai sendiri dalam kasus-kasus asistole ventrikel, fibrilasi
ventrikel yang persisten.
Dalam keadaan ini dosis ulangan epinephrine dan Bicarbonas Natricus haruss diberikan
selama melakukan KJL dan pemapasan buatan. Pemakaian kombinasi akan mengubah asistole
ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel yang kemudian dapat dilakukan defibrilasi.
Pemakaian kedua obat selama fibrilasi ventrikel memperbaiki keadaan miokardium dan
memudahkan efektifitas defibrilasi.
Epinephrine :
Walau dalam percobaan epinephrine dapat menghasilkan fibrilasi ventrikel, tapi kerjanya
dalam memperbaiki aktifitas listrik dalam keadaan asistole dan memudahkan defibrilasi dalam
fibrilasi ventrikel dapat dibuktikan juga. Epinephrine menambah kontraktilitas miokard, meninggikan
tekanan perfusi, menurunkan ambang defribrilasi, dan dalam beberapa kasus memperbaiki
kontraktilitas miokard dalam disosiasi elektromekanis.
Dosis : 0.5 ml dari larutan 1/1000 dilarutkan dalam 10 ml, atau 5 ml dari larutan 1/1000, hams
diberikan i.v. setiap 5 menit selama usaha resusitasi.
Pemberian intrakardial hanya dilakukan oleh tenaga terlatih, bila terdapatkesulitan dalam
memberikan iv.

Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 8

Sulfas Atropin :
Mengurangi tonus vagus, memudahkan konduksi atrioventrikular dan mempercepat denyut
jantung pada keadaan sinus bradikardi.
Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan pada keadaan sinus bradikardi
sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. S.A. diindikasikan pada sinus bradikardi
(< 60 kalilmenit) bila disertai dengan kontraksi ventrikel prematur atau tekanan sistolik < 90 mm Hg.
Juga digunakan pada blok atrioventrikuler derajat tinggi bila disertai dengan bradikardi.Ia tidak
berguna pada bradikardi ventrikel ektopik bila aktifitas atrium tidak ada. Dosis yang dianjurkan 0.5
mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyit nadi >
60/menit. Dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atriventrikuler derajat 3 yang
membutuhkan dosis lebih besar.
Lidocaine :
Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek atriaritmi dengan cara meninggikan
ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada
perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter
absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi
ventrikel setelahdefibrilasi yang berhasil. Ia juga efektif mengontrol denyut ventrikel premature yang
multifokal dan episode takhikardi ventrikel.
Dosis : 50 100 mg diberikan iv. Sebagai bolus, pelan-pelan dan bias diulang bila
perlu.Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 13 mg/menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg/menit,
berupa lidocaine 500 ml dextrose 5% larutan (I mghnl). Lidocaine tidak berguna pada keadaan
asistole.
Morphin Sulfa:
Bukan indikasi pada RKP, tapi penting pada kasus-kasus infark miokarduntuk mengurangi
nyeri dan pads pengobatan edema paru. Untuk mengurangi nyeri pada miokard infark akut, 1 ml (3
mg) sampai 1
1
/
2
ml (4,5 mg) diberikan iv. tiap 5 sampai 30 menit (kalau perlu). Pengalaman
menunjukkan bahwa dosis kecil tapi sering menghasilkan efek yang diinginkan dan menghindari
depresi pernapasan.
Kalsium Khlorida :
Menambah kontraktilitas miokard, memperpanjang sistole dan memudahkan perangsangan
ventrikel. Pemberian iv. yang terlalu cepat akan menekanpembentukan impuls sinus, hingga dapat
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 9

terjadi kematian tiba-tiba, terutama pada penderita yang mendapat digitalisasi.Calchlorida berguna
pada kolaps kardiovaskular yang berat (karena disosiasi elektromekanis). ia dapat berguna
memperbaiki ritme listrik dalam kasus asistole dan memudahkan defibrilasi listrik.
Dosis kalsium yang dibutuhkan henti jantung darurat sukar ditentukan. Dosis yang dianjurkan
adalah 2,5 ml sampai 5 ml dart larutan 10% (3,4 sampai6,8 mEq Ca). Kalau perlu dapat diberikan iv.
Sebagai bolus dengan interval 10menit. Ca-glukonat lebih sukar terionisasi. Bila dipakai, dosisnya
adalah 10 ml, dari larutan 10% (4,8 mEq). Dosis besar ulangan dapat meninggikan kadar kalsium
darah dengan efek yang merugikan. tidak boleh diberikan bersama dengan Bicarbonas Natricus
karena dapat menggumpal.
Cara lain pemberian obat-obatan :
Bila memberikan obat-obatan secara iv. maka epinephrine (1 2 mg/l O ml aquadest) atau
lidocaine (50 100 mg/10 ml aquadest) cukup efektif bila di berikan langsung ke dalam trakhea
bronkhus melalui pipa endotrakheal. Untukobat RKP lain, belum ditemukan cara lain. S.A. 2 mg atau
lidocaine 300 mg secara intramuskuler cukup efektif untuk mengontrol disritmia, tapi memerlukan
sirkulasi spontan yang adekuat.
Obat-obat vasoaklif (levarterenol, metarminol) :
Pemberian obat-obatan vasokonstriktor perifer yang kuat mendapat tan-tangan dart beberapa
ahli karena kemungkinan pengurangan aliran darah serebral, jantung dan ginjal. Pilihan
vasokonstriktor dan obat-obat inotropik positif belum dapat diterima semua orang, tetapi selama KJL
dan periode post resusitasi, tekanan darah hams dipertahankan.Kolaps pembuluh darah perifer,, klinis
ditandai dengan hipotensi dan hiIan gnya vasokonstriksi perifer, dapat diatasi levarterenol (Levophed
) bitartrate dalam konsentrasi 16 mg/ml atau metaraminol bitartrate (Aramine) dalam konsentrasi
0,4 mg/ml dextrose dalam air secara iv.; metariminol dapat diberikansecara iv. sebagai bolus dengan
dosis 2-5 mg tiap 5-10 menit. Pemberian kontinu dibutuhkan untuk menjaga tekanan darah dan urine
output agar tetap baik. Obat-obat ini adalah vasokonstriktor kuat dan berefek inotropik positif
terhadap jantung. Terutama berguna bila tahanan perifer sistemik rendah.
Isoproterenol
Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart
block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/ menit (1 10 ml larutan dart 1 mg
dalam 500 ml dextrose 5%), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60
kali/menit. Juga berguna untultsinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.

Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 10

Propranolol
Suatu beta-adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus
takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat
dipelihara dengan Lidocaine.Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg,
denganpengawasan yang ketat. Pemakaian hams hati-hati pada penderita dengan COPD dan
kegagalan jantung.
Kortikosteroid
Sekarang lebih disukai Kordikosteroid sintetis (5 mg/kg BB methyl prednisolon sodium
succinate atau 1 mg/kg BB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock
lung akibat henti jantung. Bila ada kecuri-gaan edema otak setelah henti jantung, 60 -100 mg methyl
prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi pans seperti
pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethasone fosfat 4 8 mg tiap 6 jam.
Obat-obat lain
Diuretik kuat, hipothermia dancontrolled hyperventilation akan berguna untuk mencegah
edema otak yang mungkin terjadi setelah resusitasi berhasil.Diuretik kuat (furosemid dan ethacrinic
acid) dalam dosis 40 -200 mg akan membantu diuresis; hiporosmolalitas akan bertambah berat.
Peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi yang digunakan untuk menghantarkan oksigen dan obat
anestetik inhalasi, mengontrol ventilasi, serta memonitor fungsi peralatan tersebut.
4.Peralatan Anastesi
Peralatan anestesi dapat bervariasi dari yang paling sederhana seperti alat untuk memberi
anestesi eter dengan tetes terbuka atau open drop sampai alat modern yang dilengkapi dengan
ventilator dan alat-alat monitor fungsi fisiologis yang diasar dengan komputer.
Mesin Anestesi
Mesin anestesi merupakan peralatan anestesi yang sering digunakan. Secara umum mesin
anestesi terdiri dari tiga komponen yang saling berhubungan yaitu :
1. Komponen 1 : sumber gas, penunjuk aliran gas (flow meter), dan alat penguap (vapor-izer).
2. Komponen 2 : sistem napas, yang terdiri dari sistem lingkar dan sistem Magill.
3. Komponen 3 : alat yang menghubungkan sistem napas dengan pasien, yaitu sungkup muka (face
mask), pipa endotrakhea (endotracheal tube).
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 11

Semua komponen mesin anestesi harus tersedia tanpa memperhatikan teknik anestesi yang
akan dipakai sebagai persiapan untuk kemungkinan pemakaian anestesi umum, selain itu sumber
oksigen dan peralatan bantu ventilasi (self inflating bag seperti Ambu Bag) harus tersedia untuk
semua prosedur anestesi.
5.Pemakaian Obat Relaxant
OBAT PELUMPUH OTOT (MUSLE RELAXANT)
A.Pengertian
Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan pembedahan
untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi.
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau untuk
melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah suatu operasi atau
memasukan suatu alat ke dalam tubuh.
B.Farmakologi Obat Pelumpuh Otot
Relaksasi otot jurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum inhalasi, blokade
saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan relakasasi otot ini akan memfasilitasi intubasi
trakea, mengontrol ventilasi mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada prinsipnya,
obat ini menginterupsi transmisi impuls saraf pada neuromuscular junction.
1. Fisiologi Transmisi Saraf Otot
Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular junction. membran
selneuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah (20 nm) yang disebut sebagai celah sinaps.
Ketika potensial aksi mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltage-gated
calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel penyimpanan menyatu dengan
membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi melewati
celah sinaps dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di membran otot
yaitu motor end plate. Motor end plate merupakan daerah khusus yang kaya akan reseptor asetilkolin
dengan permukaan yang berlipat-lipat.
Gambar 2.1
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 12






Neuromuscular Junction


Sumber: http://wargatarunajaya.blogspot.com/, diakses tanggal 10 Oktober 2012
Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Pada neuromuscular
junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein, yaitu 2 sub unit , dan 1 sub unit , ,dan . Hanya
kedua sub unit identik yang mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat pengikatan
berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor akan terbuka. Kanal tidak akan terbuka
apabila asetilkolin hanya menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium dan kalsium akan
masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki asetilkolin, potensial
motor end plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi membran perijunctional yang kaya akan
kanal natrium.





Gambar 2.2
Struktur reseptor asetilkolin

Sumber: http://wargatarunajaya.blogspot.com/, diakses tanggal 10 Oktober 2012
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 13

Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan terbuka dan
kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini akan memfasilitasi
aktin dan myosin untuk berinteraksi yang membentuk kontraksi otot. Kanal natrium memiliki dua
pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa lewat apabila kedua pintu ini
terbuka. Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan pintu atas tergantung tegangan.
Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi asetil dan kolin sehingga lorong
tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.
2. Farmakokinetik Pelumpuh Otot
Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan kurang baik
di usus dan onset akan melambat bila di administrasikan intramuskular. Volume distribusi dan klirens
dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan kardiovaskular. Pada penurunan cardiac
output, distribusi obat akan melemah dan menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang
melambat dan efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun dan konsentrasi
puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat.
Pada pasien dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun
dengan efek klinis yang juga melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi
ginjal untuk eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang tidak
tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot.
Neonatus dan infant memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan
memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan
volume distribusi dan plasma klirens. Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek yang
memanjang. Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun menyebabkan klirens
yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang.
3. Farmakodinamik Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik. Dosis terapeutik
menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis, ketidakseimbangan otot ekstraokular dengan diplopia,
relaksasi otot wajah, rahang, leher dan anggota gerak dan terakhir relaksasi dinding abdomen dan
diafragma.
a. Respirasi
Paralisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah bagian tubuh yang
kurang sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya paling terakhir lumpuh.

Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 14

b.Efek kardiovaskular
Hipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan hipertensi ditemukan
pada penggunaan pancuronium, takikardi pada penggunaan gallamine, rocuronium, dan pancuronium.
c. Pengeluaran histamine
D-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan pengeluaran histamin sedangkan
vecuronium adalah yang paling jarang. Reaksi alergi biasanya ditemui pada wanita dengan riwayat
atopi.
Obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot depolarisasi
(nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot
depolarisasi sangat menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin dan
membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase,
sehingga konsentrasinya tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan depolarisasi
di motor-end plate. Perpanjangan depolarisasi ini menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan
kanal natrium bawah tergantung waktu, Setelah eksitasi awal dan pembukaan, pintu bawah kanal
natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai repolarisasi motor-end plate. Motor end-
plate tidak dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot depolarisasi berikatan dengan reseptor
asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I block. Setelah beberapa lama depolarisasi end plate yang
memanjang akan menyebabkan perubahan ionik dan konformasi pada reseptor asetilkolin yang
mengakibatkan phase II block, yang secara klinis menyerupai obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin akan tetapi tidak
mampu untuk menginduksi pembukaan kanal ion. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan
reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk. Karena obat pelumpuh otot depolarisasi tidak
dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, maka ia akan berdifusi menjauh dari neuromuscular junction
dan dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim pseudokolinesterase. Sedangkan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase.
Pembalikan dari blockade obat pelumpuh otot nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya,
metabolisme,ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya (kolinesteraseinhibitor).
1. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak dirusak
dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang
ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 15

suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh
kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki onset yang
cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin
memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi
suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan
yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau
dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.
Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan
beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang
menyebabkan blokade yang memanjang.
1) Interaksi obat
a) Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh otot depolarisasi dengan 2
mekanisme yaitu dengan menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak,
maka depolarisasi akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat
pseudokolinesterase.
b) Pelumpuh otot nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi merupakan antagonis dari fase I
bock pelumpuh otot depolarisasi, karena ia menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi oleh
suksinilkolin sebagian dicegah.
2) Dosis
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek, banyak dokter yang percaya
bahwa suksinilkolin masih merupakan pilihan yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang
dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.



Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 16

3) Efek samping dan pertimbangan klinis
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada anak dengan miopati tak
terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja. Efek
samping dari suksinilkolin adalah :
Nyeri otot pasca pemberian
Peningkatan tekanan intraokular
Peningkatan tekakana intrakranial
Peningkatan tekakanan intragastrik
Peningkatan kadar kalium plasma
Aritmia jantung
Salivasi
Alergi dan anafilaksis
2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi
a. Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja pada menit kedua-
ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis
rumatan harus dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08
mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15
mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
b. Atracurium
1) Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada
fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
2) Dosis
0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg initial, laly 0,1
mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.Lebih cepat
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 17

durasinya pada anak dibandingkan dewasa. Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam
suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam
14 hari bila terpapar suhu ruangan.
3) Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
c. Vekuronium
1) Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan
lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang
dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
2) Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat memperpanjang
blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi
polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan sepsis. Efek pelemas
otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.
3) Dosis
Dosis intubasi 0,08 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15 20 menit.
Drip 1 2 mcg/kg/menit. Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien post
partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow. Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan
sebelumnya.
d. Rekuronium
1) Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat. Keuntungannya adalah
tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek
kerja yang lebih lama.


Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 18

2) Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak terpengaruh oleh kelainan
ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang
(di ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.
3)Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 0,9 mg / kg iv untuk
intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah
intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis
diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5
12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.
4) Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal. Diberikan 20 detik sebelum
propofol dan thiopental. Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi
sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.
D.Pemilihan Pelumpuh Otot
Karakteristik pelumpuh otot ideal :
1. Nondepolarisasi
2. Onset cepat
3. Duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat diantagoniskan dengan obat
tertentu
4. Tidak menginduksi pengeluaran histamin
5. Potensi
6. Sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak memiliki aksi
farmakologi.
Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot :
1. Ultra-short acting, contoh : suxamethonium
2. Short duration. Contoh: mivacurium
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 19

3. Intermediate duration. Contoh: atracurium, vecuronium, rocuronium, cisatracurium
4. Long duration. Contoh: pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium, pipecuronium.
Pelumpuh otot yang disarankan :
1. Untuk induksi yang cepat-suxamethonium, atau apabila dikontraindikasikan dapat dipakai
rocuronium
2. Untuk stabilitas hemodinamika (contoh pada hipovolemia atau penyakit jantung parah)-
vecuronium
3. Pada gagal ginjal dan hati-atracurium, vekuronium, cisatracurium ataumivacurium
4. Miastenia gravis: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
5. Kasus obstetric: semua dapat diberkan kecuali gallamin
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot :
1. Cegukan (hiccup)
2. Dinding perut kaku
3. Ada tahanan pada inflasi paru.
E. Penawar Pelumpuh Otot
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat
bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg),
piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang
hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan
pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-
0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa).
6.Cara membebaskan jalan napas
Pernapasan buatan Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah dasar pemapasan
buatan.Cara mengetahui adanya sumbatan jalan napas dan apne :
-Lihat gerakan dada dan perut
-dengar dan rasakan aliran udara melalui mulut atau hidung.
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 20

Pada sumbatan total dengan pernapasan spontan, tidak terasa/terdengar aliran udara melalui
mulut/hidung dan ada kesukaranbernapas dan berlebihan, hingga menggunakan otot
pernapasantambahan, adanya retraksi interkostal, supraklavikula dan ruang suprastemal. Pada
sumbatan sebagian dengan pernapasan spontan/buatan, ada bunyi aliran udara, misalnya : snoring
(karena sumbatanpada jaringan lunak hipofaring), crowing (karena laringospasme), gurgling (karena
benda asing) atau wheezing (karena obstruksi bronkhial). Kegagalan pernapasan (apne) ditandai
dengan kurang atau hilangnya usaha bernapas, tidak adanya gerakan dada atau perut bagian atas, dan
tidak adanya aliran udara melalui hidung atau mulut.
Jalan napas (airway) :
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan napas. Caranya ialah segera
menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup
menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus
dipertahankandalam posisi ini. Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke
depan.
Caranya :
-Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,
-mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
-buka rahang bawah untuk memudahkan bernapas melalui mulut atau hidung.
Penarikan rahang bawah paling bail( dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala
korban. Bila korban tidak mau bernapas spontan, penolong harus pindah ke samping korban untuk
segera melakukan pernapasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
Pernapasan (breathing) :
Dalam melakukan pernapasan mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di
belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain
menutup hidung korban (dengan ibujari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang.
Penolong menghirup napas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korbandengan kuat.
Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diper-hatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini
diulang satu kali tiap lima detik selama pemapasan masih belum adekuat. Pernapasan yang adekuat
dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu diperhatikan :

Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 21

-gerakan dada waktu membesar dan mengecil
-merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
-dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil
sampai batas habis.Teknik mulut hidung kadang-kadang lebih efektif terutamabila mulut korban sukar
dibuka, atau luka berat di mulut. Caranya sama dengan mulut ke mulut hanya tiupan dilakukan
melaluihidung sedangkan mulut korban ditutup. Sebaliknya, pads tiupanke hidung, mulut korban
dibuka sewaktu ekspirasi karena langit-langit mulut (soft palate) dapat mengakibatkan sumbatan di
daerah nasofaring; tiupan diulang satu kali tiap lima detik .Pada penderita yang mendapat
laringektomi maka tiupan dapat langsung ke lubang. Di sini tidak perlu penarikan kepala ataupun
penarikan rahang bawah, yang perlu . adalah menutup mulut dan hidung penderita waktu meniup agar
udara tidak keluar.
Anak dan bayi :
Di sini mulut penolong dapat menutup seluruh mulut dan hidung anak dan volume udara yang
ditiup lebih kecil. Tiupan untuk anak lebih lembut, pada hayi cukup meniup dengan pipi. Tiupan
diulang satu kali tiap tiga detik. Hati-hati waktu menarik kepala bayi ke belakang karena lehemya
masih lunak hingga malah dapat menyumbat jalan napas. Bila ada kecurigaan patah tulang leher,
pembukaan jalan napas hanya dengan menarik rahang bawah ke depan. Benda asing (foreign bodies)
: Penolong tidak perlu mencari benda asing di jalan napas;usaha pertama waktu meniup paru akan
menunjukkan adanya sumbatan jalan napas; di sini jalan napas hams segera dibersihkan
Caranya : Korban dimiringkan, pundak ditopang oleh lututpenolong. Mulut korban dibuka
paksa dengan teknik jempol telunjuk disilangkan Kemudian masukkan telunjuk/dengan jari tengah
mulai dari pipi ke arah dasar lidah sampai tenggorokan, dengan gerakan menyapu. Ulangi beberapa
kali sampai bersih. Bila perlu bantu laringoskop. Bila belum berhasil,atau terjepit di belakang
epiglottis, maka segeralah balikkan korban ke arah penolong, dan kemudian berikan pukulan keras
kepunggung penderita, lalu coba lagi mengambil dengan tangan. Bila masih gagal, lakukan pungsi
krikoiroid dan masukkan pipaendotrakhea ukuran 6 mm untuk dewasa. Prosedur ini sebaiknya
dilakukan dengan alat dan petugas yang terlatih.
Lambung kembung (gastric distension) :
Keadaan ini dapat terjadi pada pernapasan buatan, seringpada anak; disebabkan karena
tekanan terlalu besar atau jalan napas tersumbat. Bahayanya adalah regurgitasi, berkurangnya volume
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 22

paru karena diafragma meninggi dan kemungkinan ruptur garter. Untuk mencegah hal ini, miringkan
kepala dan badan korban dan kemudian tekan perut di antara pusat dan iga terbawah.
7.Cara Melakukan Kompresi Jantung
Sirkulasi buatan : Sering disebut juga dengan Kompresi, Jantung Luar (KJL).Henti jantung
(cardiac arrest) ialah terhentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang
tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat.Sebab-sebab henti jantung :
-Afiksi dan hipoksi
-Serangan jantung
-Syok
-listrik
-Obat-obatan
-Reaksi sensitifitas
-Transfusi darah
-Kateterisasi jantung
-Anestesi.
Untuk mencegah mati biologis (cerebral death),pertolongan hams diberikan dalam 3-4 menit
setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak diduga, maka langkah-langkah ABC
dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernapasan dan sirkulasi buatan.Henti
jantung diketahui dari :
hilangnya denyut nadi pada arteri besar
korban tidak radar
korban tampak seperti mati
hilangnya gerakan bernapas atau megap-megap.
Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan napas dengan
menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernapas, segera ti up paru korban 35 kali, lalu raba
denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena :
1.Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk me-lakukan pernapasan buatan.
2.Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepaskan pakaian korban.
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 23

3.Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih ber-denyut sekalipun daerah perifer lainnya
tidak teraba lagi.
Di rumah sakit dapat juga coba diraba pada a. femoralis dan daerah prekordial untuk
merasakan denyut apikal.Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Biladenyut nadi hilang
atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan KJL. Tekanan
dilakukan secara ritmis pada bagian bawah tulang dada, tapi tidak di atas prosesus xidofeus penolong.
Bila ada 2 orang penolong Salah satu berada di campingkorban dan melakukan KJL sedang yang
lainnya tetap di arah kepala korban, menarik kepala korban ke belakang dan melakukan pemapasan
buatan.
KJL untuk 2 orang adalah 60 kali/menit.Bila dilakukan tanpa terputus cara ini dapat
mempertahankan aliran darah dan tekanan darah yang adekuat, menghindari kelelahan si penolong,
mudah dihitung yaitu 1 kali/detik, dan diperoleh sirkulasi dan ventilasi optimum denganmenyelipkan I
tiupan ke pare korban dalam 5 kali kompresi tanpa berhenti (ratio 5 : I). Apabila korban sudah
diintubasi, maka peniupan paru lebih mudah dan jumlah kompresi dapat ditingkatkan sampai 60
kali/menit. Bila hanya ada 1 orang penolong hams melakukan pemapasan dan sirkulasi buatan dengan
ratio 2 : 15.
Caranya : 2 kali peniupan pare secara cepat, sesudah 15 kompresi jantung. Karena hams
berhenti untuk melakukan peniupan pare maka kecepatan 15 kompresi adalah 80 kompresi/menit (1
kali kompresi dalamdetik). Dua kali peniupan pare hams dilakukan dengan cepat, dalam waktu 5 6
detik tanpa ha-ms menunggu ekshalasi penuh.
Bayi dan anak :
untuk anak kecil hanya dipakai sate Lengan, untuk bayi hanya dipakai ujung telunjuk dan jari
tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil terletak lebih tinggi dalamrongga dada, jadi tekanan hams
dilakukan di bagian tengah tulang dada. Bahayarobeknya hati lebih besar pads anak karena dada lebih
lunak dan hati terletak lebih tinggi di bawah tulang dada bawah dan xifoid.
Tekanan : Pada bayi 1 2 cm,pada tulang dada, anak kecil 2 4 cm.
Jumlah kompresi : antara 80 100 kali/ menit dengan napas buatan secepat mungkin tiap 5
kali kompresi.Penarikan kepala bayi dan anak ke belakang akan mengangkat punggungnya. Jadi bila
melakukan kompresi maka punggung si anak harus diganjal dengan Lengan, sedang Lengan yang lain
melakukan kompresi jantung.

Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 24

8.Perawatan Pasca Resusitasi ICU
a.Petugas di tempat asal pasien yang akan dimasukkan ke ICU memberitahu kepada petugas ICU (
lewat telepon ) antara lain :
Telah disetujui oleh dokter penanggung jawab ICU
Identitas pasien
Diagnosa pasien / macam kegawatan
b. Petugas dari tempat asal pasien, mengantar pasien ke ICU sesuai dengan prosedur mengantar
pasien gawat yang benar
c. Setelah pasien masuk ke ICU, petugas ICU merawat / mengatasi kegawatan sesuai dengan
penatalaksanaan kegawatan dan segera memberi tahu kepada dokter ICU sesuai dengan bidangnya
atau dokter jaga yang dilimpahi atau kepada kepala ICU
d. Penatalaksanaan pasien selanjutnya berdasarkan instruksi tertulis dari dokter yang merawat semula
yang dikoordinir oleh dokter ICU
e. Kunjungan lanjutan ( follow up / visite ) dikerjakan setiap hari ( dianjurkan sebelum jam 09.00 )
dengan koordinasi dokter ICU dan tercatat di Rekam medik
f. Apabila pasien sudah diperbolehkan keluar dari perawatan di ICU, oleh dokter ICU dikemabalikan
ke ruang asal dengan sepengetahuan dokter yang merawat semula atau sesuai dengan permintaan
pasien yang bersangkutan.
Pemeriksaan laboratorium awal, minimal adalah :
a. Darah :
Hb / Ht
Lekosit
LED
Diff count
Gula darah sewaktu
Ureum / creatinin
Kalium, Natrium, Klorida, Magnesium atau kalsium
Protein / enzym jantung
b. Urine : produksi dan protein
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 25

9.Pengertian ICU
ICU atau ICCU (Intensive care unit/ Intensive cardiac care unit) adalah layanan rumah sakit
yang memberikan asuhan keperawatan secara terkonsentrasi dan lengkap. Unit ini memiliki tenaga
perawat yang terlatih khusus dan berisi peralatan pemantauan dan dukungan khusus untuk pasien
yang membutuhkan perawatan dan observasi intensif dan komprehensif, karena syok, trauma, atau
kondisi yang mengancam jiwa
STANDAR MINIMUM PELAYANAN INTENSIVE CARE UNIT
Tingkat pelayanan ICU harus disesuaikan dengan kelas rumah sakit. Tingkat pelayanan ini
ditentukan oleh jumlah staf, fasilitas, pelayanan penunjang,jumlah, dan macam pasien yang dirawat.
Pelayanan ICU harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut:
Resusitasi jantung paru.
Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan ventilator sederhana.
Terapi oksigen.
Pemantauan EKG, pulse oksimetri yang terus menerus.
Pemberian nutrisi enteral dan parenteral.
Pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh.
Pelaksanaan terapi secara titrasi.
Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai dengan kondisi pasien.
Memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat-alat portabel selama transportasi pasien
gawat.
Kemampuan melakukan fisioterapi dada.
1. Klasifikasi atau Stratifikasi Pelayanan ICU
a. Pelayanan ICU Primer (Standar Minimal)
Pelayanan ICU primer mampu memberikan pengelolaan resusitatif segera untuk pasien sakit
gawat, tunjangan kardio-respirasi jangka pendek, dan mempunyai peran penting dalam pemantauan
dan pencegahan penyulit pada pasien medik dan bedah yang berisiko. Dalam ICU dilakukan ventilasi
mekanik dan pemantauan kardiovaskuler sederhana selama beberapa jam.
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 26

Kekhususan yang harus dimiliki:
1) Ruangan tersendiri; letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruang perawatan lain.
2) Memiliki kebijaksanaan/kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan.
3) Memiliki seorang dokter spesialis anestesiologi sebagai kepala.
4) Ada dokter jaga 24 jam (dua puluh empat jam) dengan kemampuan melakukan resusitasi jantung
paru (A, B, C, D, E, F).
5) Konsulen yang membantu harus selalu dapat dihubungi dan dipanggil setiap saat.
6) Memiliki perawat yang cukup dan sebagian besar terlatih.
7) Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu (Hb, Hematokrit, elektrolit, gula
darah dan trombosit), rontgen,kemudahan diagnostik dan fisioterapi.
b. Pelayanan ICU Sekunder
pelayanan ICU sekunder memberikan standar ICU umum yang tinggi, yang mendukung peran
rumah sakit yang lain yang telah digariskan, misalnya kedokteran umum, bedah, pengelolaan trauma,
bedah saraf, bedah vaskular dan lain-lainnya. ICU hendaknya mampu memberikan tunjangan ventilasi
mekanis lebih lama dan melakukan dukungan/bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks.
Kekhususan yang harus dimiliki:
1) Ruangan tersendiri; letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang arurat dan ruang perawatan lain.
2) Memiliki kebijaksanaan/kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan.
3) Memiliki konsultan yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila diperlukan.
4) Memiliki seorang kepala ICU, seorang dokter intensive care, atau bila tidak tersedia oleh dokter
spesialis anestesiologi, yang bertanggung jawab secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal
mampu melakukan resusitasi jantung paru (bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut).
5) Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien: perawat sama dengan 1:1 untuk
pasien dengan ventilator, renal replacement therapy dan 2:1 untuk kasus-kasus lainnya.
6) Memiliki lebih dari 50% perawat bersertifikat terlatih perawat/terapi intensif atau minimal
berpengalaman kerja 3 (tiga) tahun di ICU.
7) Mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis beberapa lama dan dalam batas tertentu
melakukan pemantauan invasif dan usaha-usaha penunjang hidup.
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 27

8) Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan diagnostik dan fisioterapi selama
24 (dua puluh empat) jam.
9) Memiliki ruangan isolasi atau mampu melakukan prosedur isolasi.
c. Pelayanan ICU Tersier (Tertinggi)
Pelayanan ICU tersier merupakan rujukan tertinggi untuk ICU, memberikan pelayanan yang
tertinggi termasuk dukungan/bantuan hidup multi-sistem yang kompleks dalam jangka waktu yang tak
terbatas. ICU ini melakukan ventilasi mekanis, pelayanan dukungan/bantuan renal ekstrakorporal dan
pemantauan kardiovaskular invasif dalam jangka waktu yang terbatas dan mempunyai dukungan
pelayanan penunjang medik. Semua pasien yang masuk ke dalam unit harus dirujuk untuk dikelola
oleh spesialis intensive care. Kekhususan yang harus dimiliki:
1. Memiliki ruangan khusus tersendiri di dalam rumah sakit.
2. Memiliki kriteria penderita masuk, keluar, dan rujukan.
3. Memiliki dokter spesialis yang dibutuhkan dan dapat dihubungi untuk datang setiap saat
diperlukan.
4. Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensive care atau dokter ahli konsultan
intensive care yang lain yang bertanggung jawab secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal
mampu melakukan resusitasi jantung paru (bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut).
5. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien 1:1 untuk pasien dengan
ventilator, renal replacement therapy dan 2:1 untuk kasus kasus lainnya.
6. Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif atau minimal
berpengalaman kerja 3 (tiga) tahun di ICU.
7. Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan/terapi intensif baik non-invasif
maupun invasif.
8. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan diagnostik dan fisioterapi selama
24 (dua puluh empat) jam.
9. Memiliki paling sedikit seorang yang mampu dalam mendidik tenaga medik dan paramedik agar
dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien.
10. Memiliki prosedur untuk pelaporan resmi dan pengkajian.
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 28

11. Memiliki sifat tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi, tenaga rekam medik, tenaga
untuk kepentingan ilmiah dan penelitian.
d. Prosedur Pelayanan Perawatan/Terapi ICU
Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di ICU:
a. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam jiwa dan
dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari.
b. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan pelaksanaan
terapispesifik terhadap problema dasar.
c. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang ditimbulkan
oleh:
- Penyakit
- Iatrogenik
d. Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang nyawanya pada saat itu bergantung pada
fungsi alat/mesin dan orang lain.
e. Indikasi Masuk dan Keluar ICU Suatu ICU harus mampu menggabungkan teknologi tinggi
dan keahlian khusus dalam bidang kedokteran dan keperawatan gawat darurat yang
dibutuhkan untuk merawat pasien sakit kritis. Keadaan ini memaksa diperlukannya
mekanisme untuk membuat prioritas pada sarana yang terbatas ini apabila kebutuhannya
ternyata melebihi jumlah tempat tidur yang tersedia di ICU.
Dokter yang merawat pasien yang mempunyai tugas untuk meminta pasiennya dimasukkan
ke ICU bila ada indikasi dan segera memindahkannya ke unit yang lebih rendah bila kondisi
kesehatan pasien telah memungkinkan. Kepala ICU menentukan berdasarkan prioritas kondisi medik,
pasien mana yang akan dirawat di ICU. Prosedur untuk melaksanakan kebijakan ini harus dijelaskan
secara rinci untuk tiap ICU. Harus tersedia mekanisme untuk mengkaji ulang secara retrospektif
kasus-kasus di mana dokter yang merawat tidak setuju dengan keputusan kepala ICU.




Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 29

10.Prasarana Dan Alat Dalam Ruang ICU
1.Prasarana
a. Lokasi
Dianjurkan satu kompleks dengan kamar bedah dan kamar pulih sadar, berdekatan atau
mempunyai akses yang mudah ke Unit Gawat Darurat, laboratorium, dan radiologi.
b. Desain
Standar ICU yang memadai ditentukan desain yang baik dan pengaturan ruang yang adekuat.
Bangunan ICU:
- Terisolasi
- Mempunyai standar tertentu terhadap:
a. Bahaya api
b. Ventilasi
c. AC
d. Exhausts fan
e. Pipa air
f. Komunikasi
g. Bakteriologis
h. Kabel monitor
- Lantai mudah dibersihkan, keras dan rata
1) Area Pasien:
- Unit terbuka 1216 m2/tempat tidur
- Unit tertutup 1620 m2/tempat tidur
- Jarak antara tempat tidur: 2 m
- Unit terbuka mempunyai 1 tempat cuci tangan setiap 2 tempat tidur
- Unit tertutup 1 ruangan 1 tempat tidur dan 1 cuci tangan
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 30

Harus ada sejumlah outlet yang cukup sesuai dengan level ICU. ICU tersier paling sedikit 3
outlet udaratekan, dan 3 pompa hisap dan minimum 16 stop kontak untuk tiap tempat tidur.
Pencahayaan yang cukup dan adekuat untuk observasi klinis dengan lampu TL day light 10
watt/m2. Jendela dan akses tempat tidur menjamin kenyamanan pasien dan personil. Desain dari unit
juga memperhatikan privasi pasien.
2) Area Kerja, meliputi:
- Ruang yang cukup untuk staf dan dapat menjaga kontak visual perawat dengan pasien.
- Ruang yang cukup untuk memonitor pasien, peralatan resusitasi dan penyimpanan obat dan alat
(termasuk lemari pendingin).
- Ruang yang cukup untuk mesin X-Ray mobile dan mempunyai negative skop.
- Ruang untuk telpon dan sistem komunikasi lain, komputer dan koleksi data, juga tempat untuk
penyimpanan alat tulis dan terdapat ruang yang cukup untuk resepsionis dan petugas admistrasi.
3) Lingkungan
Mempunyai pendingin ruangan/AC yang dapat mengontrol suhu dan kelembaban sesuai
dengan luas ruangan. Suhu 22o25o kelembaban 5070%.
4) Ruang Isolasi
Dilengkapi dengan tempat cuci tangan dan tempat ganti pakaian sendiri.
5) Ruang Penyimpanan Peralatan dan Barang Bersih
Untuk menyimpan monitor, ventilator, pompa infus dan pompa syringe, peralatan dialisis.
Alat-alat sekali pakai, cairan, penggantung infus, troli, penghangat darah, alat hisap, linen dan tempat
penyimpanan barang dan alat bersih.
6) Ruang Tempat Pembuangan Alat/Bahan Kotor
Ruang untuk membersihkan alat-alat, pemeriksaan urine, pengosongan dan pembersihan
pispot dan botol urine. Desain unit menjamin tidak ada kontaminasi.
7) Ruang Perawat
Terdapat ruang terpisah yang dapat digunakan oleh perawat yang bertugas dan pimpinannya.

Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 31

8) Ruang Staf Dokter
Tempat kegiatan organisasi dan administrasi termasuk kantor kepala bagian dan staf, dan
kepustakaan.
9) Ruang Tunggu Keluarga Pasien
10) Laboratorium
Harus dipertimbangkan pada unit yang tidak mengandalkan pelayanan terpusat.
PERALATAN DI ICU
a) Jumlah dan macam peralatan bervariasi tergantung tipe, ukuran dan
fungsi ICU dan harus sesuai dengan beban kerja ICU, disesuaikan dengan standar yang berlaku.
b) Terdapat prosedur pemeriksaan berkala untuk keamanan alat.
c) Peralatan dasar meliputi:
- Ventilator
- Alat ventilasi manual dan alat penunjang jalan nafas
- Alat hisap
- Peralatan akses vaskular
- Peralatan monitor invasif dan non-invasif
- Defibrilitor dan alat pacu jantung
- Alat pengatur suhu pasien
- Peralatan drain thorax
- Pompa infus dan pompa syringe
- Peralatan portable untuk transportasi
- Tempat tidur khusus
- Lampu untuk tindakan
- Continuous Renal Replacement Therapy
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 32

Peralatan lain (seperti peralatan hemodialisis dan lain-lain) untuk prosedur diagnostik dan
atau terapi khusus hendaknya tersedia bila secara klinis ada indikasi dan untuk mendukung fungsi
ICU. Protokol dan pelatihan kerja untuk staf medik dan paramedik perlu tersedia untuk penggunaan
alat-alat termasuk langkah-langkah untuk mengatasi apabila terjadi malfungsi.
3. MONITORING PERALATAN
(Termasuk peralatan portable yang digunakan untuk transportasi pasien).
a) Tanda bahaya kegagalan pasokan gas.
b) Tanda bahaya kegagalan pasokan oksigen. Alat yang secara otomatis teraktifasi untuk memonitor
penurunan tekanan pasokan oksigen, yang selalu terpasang di ventilator.
c) Pemantauan konsentrasi oksigen.
Diperlukan untuk mengukur konsentrasi oksigen yang dikeluarkan oleh ventilator atau sistem
pernafasan.
d) Tanda bahaya kegagalan ventilator atau diskonsentrasi sistem pernafasan.
Pada penggunaan ventilator otomatis, harus ada alat yang dapat segera mendeteksi kegagalan sistem
pernafasan atau ventilator secara terus menerus.
e) Volume dan tekanan ventilator.
Volume yang keluar dari ventilator harus dipantau. Tekanan jalan nafas dan tekanan sirkuit
pernafasan harus terpantau terus menerus dan dapat mendeteksi tekanan yang berlebihan.
f) Suhu alat pelembab (humidifier).
Ada tanda bahaya bila terjadi peningkatan suhu udara inspirasi.
g) Elektrokardiograf.
Terpasang pada setiap pasien dan dipantau terus menerus.
h) Pulse oximetry.
Harus tersedia untuk setiap pasien di ICU.
i) Emboli udara.
Apabila pasien sedang menjalani hemodialisis, plasmapheresis, atau alat perfusi, harus ada
pemantauan untuk emboli udara.
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 33

j) Bila ada indikasi klinis harus tersedia peralatan untuk mengukur variable fisiologis lain seperti
tekanan intra-arterial dan tekanan arteri pulmonalis, curah jantung, tekanan inspirasi dan aliran jalan
nafas, tekanan intrakranial, suhu, transmisi neuromuskular, kadar CO2 ekspirasi.
11. Kriteria Masuk ICU/Keluar ICU
ICU memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif.
Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi intensif
(prioritas satu -1) didahulukan dirawat di ICU, dibandingkan pasien yang memerlukan pemantauan
intensif (prioritas dua-2) dan pasien sakit kritis atau terminal dengan prognosis yang jelek untuk
sembuh (prioritas tiga-3). Penilaian objektif atas beratnya penyakit dan prognosis hendaknya
digunakan untuk menentukan prioritas masuk pasien. Peranan Ruangan Perawatan Intensif (ICU)
dalam Memberikan pelayanan rumak sakit.
Pasien Prioritas 1 (Satu)
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif
seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif kontinu, dan lain-lainnya. Contoh pasien
kelompok ini antara lain pascabedah kardiotoraksik, atau pasien shock septic. Mungkin ada baiknya
beberapa institusi membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat hipoksemia, hipotensi
di bawah tekanan darah tertentu. Pasien prioritas 1 (satu) umumnya tidak mempunyai batas ditinjau
dari macam terapi yang diterimanya.
Pasien Prioritas 2 (Dua)
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien ini berisiko
sehingga memerlukan terapi intensif segera, karenanya pemantaun intensif menggunakan metode
seperti pulmonary arterial catheter sangat menolong. Contoh jenis pasien ini antara lain mereka yang
menderita penyakit dasar jantung, paru, atau ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami
pembedahan major. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya
mengingat kondisi mediknya senantiasa berubah.
Pasien Prioritas 3 (Tiga)
Pasien jenis ini sakit kritis, dan tidak stabil di mana status kesehatan sebelumnya, penyakit
yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, baik masing-masing atau kombinasinya, sangat
mengurangi kemungkinan kesembuhan dan atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh pasien
ini antara lain pasien dengan keganasan metastase disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade,
atau sumbatan jalan napas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai
komplikasi penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 (tiga) mungkin mendapat terapi intensif
Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 34

untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau
resusitasi kardiopulmoner.
Pengecualian
Jenis pasien berikut umumnya tidak mempunyai kriteria yang sesuaiuntuk masuk ICU, dan
hanya dapat masuk dengan pertimbangan seperti pada keadaan luar biasa, atas persetujuan kepala
ICU. Lagi pula pasien-asien tersebut bila perlu harus dikeluarkan dari ICU agar fasilitas yang
terbatastersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3 (satu, dua, tiga).
1. Pasien yang telah dipastikan mengalami brain death. Pasien-pasien seperti itu dapat dimasukkan ke
ICU bila mereka potensial donor organ, tetapi hanya untuk tujuan menunjang fungsi-fungsi organ
sementara menunggu donasi organ. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
2. Pasien-pasien yang kompeten tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi
perawatan yang nyaman saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan perintah DNR.
Sesungguhnya, pasien-pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia di
ICU untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya.
3. Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
4. Pasien yang secara fisiologis stasbil yang secara statistik risikonya rendah untuk memerlukan terapi
ICU. Contoh pasien kelompok iniantara lain, pasien pascabedah vaskuler yang stabil, pasien diabetic
ketoacidosis tanpa komplikasi, keracunan obat tetapi sadar, concussion, atau payah jantung kongestif
ringan. Pasien-pasien semacam ini lebih disukai dimasukkan ke suatu unit intermediet untuk terapi
definitif dan atau observasi.
Kriteria Keluar
Pasien Prioritas 1 (Satu)
Pasien prioritas 1 (satu) dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak
ada lagi, atau bila terapi telah gagal dan prognosis jangka pendek jelek dengan kemungkinan
kesembuhan atau manfaat dari terapi intensif kontinu kecil. Contoh hal terakhir adalah pasien dengan
tiga atau lebih gagal sistem organ yang tidak berespons terhadap pengelolaan agresif.
Pasien Prioritas 2 (Dua)
Pasien prioritas 2 (dua) dikeluarkan bila kemungkinan untuk mendadak memerlukan terapi
intensif telah berkurang.

Resusitasi

Fakultas kedokteran
Universitas Methodist Indonesia 35

Pasien Prioritas 3 (Tiga)
Pasien prioritas 3 (tiga) dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak
ada lagi, tetapi mereka mungkin dikeluarkan lebih ini bila kemungkinan kesembuhannya atau manfaat
dari terapi intensif kontinu kecil. Contoh dari hal terakhir antara lain adalah pasien dengan penyakit
lanjut (penyakit paru kronis, penyakit jantung atau liver terminal, karsinoma yang telah menyebar luas
dan lain-lainnya yang telah tidak berespons terhadap terapi ICU untuk penyakit akutnya, yang
prognosis jangka pendeknya secara statistik rendah, dan yang tidak ada terapi yang potensial untuk
memperbaiki prognosisnya). Dengan mempertimbangkan perawatannya tetap berlanjut dan sering
merupakan perawatan khusus setara pasien ICU, pengaturan untuk perawatan non-ICU yang sesuai
harus dilakukan sebelum pengeluaran dari ICU. Peranan Ruangan Perawatan Intensif (ICU) dalam
Memberikan

You might also like