You are on page 1of 6

SISTEM IMUN

29SEP
A. Sistem Imun
Sistem imun adalah suatu organisasi yang terdiri atas sel-sel dan molekul-molekul yang memiliki
peranan khusus dalam menciptakan suatu sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi atau benda
asing. Terdapat dua jenis respon imun yang berbeda secara fundamental, yaitu :
1. Respons yang bersifat innate (alami/nonspesifik), yang berarti bahwa respons imun tersebut akan
selalu sama seberapapun seringnya antigen tersebut masuk kedalam tubuh. Biasanya akan
menggunakan sel-sel yang bersifat fagositik seperti neutrofil, monosit dan makrofag; sel-sel yang
akan menghasilkan mediator-mediator inflamasi seperti basofil, sel mast dan eosinosil; dan
sel Natural Killer (NK).
2. Respons yang bersifat adaptif (didapat/spesifik), yang berarti bahwa , yang berarti bahwa akan
terjadi perubahan respons imun menjadi lebih adekuat seiring dengan sering masuknya antigen
akan terjadi perubahan respons imun menjadi lebih adekuat seiring dengan seringnya antigen
tersebut masuk kedalam tubuh. Akan terlihat dengan adanya poliferasi sel-sel limfosit T dan B.
Sel limfosit B akan menghasilkan antibodi sementara sel limfosit T akan membunuh patogen
intraselular dengan cara mengaktifkan makrofag atau membunuh secara langsung sel-sel yang
terinfeksi virus.
a. Alat Lymphoid
Yaitu alat yang terkandung dalam sistem imun. Terdiri dari:
1. Sumsum tulang
Sumsum tulang sebagai alat lymphoid primer dan sebagai sumber segala sel lymphoid yang
diperbenihkan ke alat lymphoid tertier. Berada dalam tulang. Ada dua macam yaitu sumsum merah
(aktif memproduksi darah/hematopoietic). Sumsum kuning (mengandung banyak sel lemak/adiposit.
2. Timus
Timus sebagai alat lymphoid sekunder dan menghasilkan sel-T(T dari timus),timosin,limfokin.Terletak
di ventral pericardium dalam rongga dada.Terdiri dari 2 lobul(cortex dan medulla) yang diselaputi
kapsul dari jaringan ikat.
3. Nodul limfa
Tidak berkapsul, tersebar dilapisan saluran-saluran pencernaan, pernafasan, urogenitalia. Terletak
dalam nodus limfa.
4. Nodus Limfa
Berkapsul, terletak disepanjang sistem pembulih limfa, berkumpul di daerah lipatan paha, ketiak,
leher. Sebagai lymphoid tertier.
5. Limpa
Terletak di posterior lambung,sebelah kiri.Sebagai lymphoid tertier dan tempat terjadi reaksi antigen
dengan antibodi sehingga sel lymphoid menjadi immunocompetent(sanggup merespon imun).
B. Imunitas
Imunitas adalah keadaan dimana seseorang terlindung dari pembentukan penyakit. Imunitas dapat
bersifat inheren/bawaan (innate), pasif, atau di dapat setelah pajanan terhadap suatu
mikroorganisme.
a. Imunitas Inheren
Imunitas inheren/bawaan mengacu kepada imunitas spesies. Manusia memiliki imunitas bawaan
terhadap banyak penyakit yang menyerang ternak, anjing, kuda, dan hewan lain. Imunitas inheren ini
tidak timbul karena respons terhadap tantangan suatu mikroorganise; imunitas ini tetap ada tanpa
melihat apakah terjadi pajanan ke mikroorganisme atau tidak. Imunitas inheren mungkin terjadi
karena sel-sel manusia tidak memiliki resptor kunci-dan-gembok yang sesuai untuk mikroorganisme
tertentu, sehingga tidak dapat terinfeksi oleh kuman-kuman tersebut. Imunitas inheren juga
mencakup imunitas yang dihasilkan oleh kulit dan mediator-mediator peradangan yang nonspesifik.
b. Imunitas Pasif
Imunitas pasif mengacu kepada imunitas yang diberikan kepada seseorang melalui transfer antibodi
dari orang lain atau pemberian suatu antitoksin yang dipersiapkan. Antitoksin adalah antibodi yang
diproduksi secara spesifik terhadap toksin bakteri tertentu (sebagai contoh, antitoksin difteri). Imunitas
pasif terjadi apabila antibodi IgG ibu melintasi plasenta dan sewaktu IgA dan antibodi lain diberikan
kepada bayi melalui air susu. Imunitas pasif juga terjadi apabila antibodi yang dibentuk oleh
seseorang diberikan kepada orang lain yang telah terpajan sesuatu mikroorganisme tetapi sel-selnya
belum terinfeksi oleh kuman tersebut. Seseorang yang tergigit oleh ular berbisa dapat diberikan
antibisa. Antibisa terdiri dari antibodi yang dibentuk oleh seseorang yang telah digigit oleh jenis ular
bersangkutan dan bertahan hidup. Imunitas pasif bekerja dengan memberikan antibodi spesifik yang
sudah jadi kepada seseorang di mana orang tersebut tidak mampu membentuk antibodi yang
bersangkutan (janin atau bayi), atau apabila tidak tersedia cukup waktu untuk membentuk antibodi
sebelum terjadi infeksi atau kematian. Antibodi yang diberikan secara pasif akan membesihkan darah
dari mikroorganisme atau toksin sebelum terjadi kerusakan atau penyakit. Imunitas pasif bersifat
temporer dan tidak menghasilkan respon ingatan.
c. Imunitas Aktif
Imunitas aktif adalah respons imun selular dan humoral yang dibentuk seseorang yang telah secara
bermakna terpajan ke suatu mikro-organisme atau toksin. Pajanan dapat terjadi karena bentuk
proses penyakit atau akibat imunisasi. Imunitas aktif ditandai oleh memori baik disel T maupun sel B,
dan pembentukan sel T dan antibodi spesifik. Dapat dilakukan pengukuran titer (kadar) antibodi
dalam serum untuk mengetahui telah terbentuknya imunitas terhadap suatu mikroorganisme atau
toksin. Titer yang positif (kecuali pada bayi) mencerminkan imunitas aktif.
IgG adalah antibodi yang paling banyak ditemukan dan mencakup sekitar 80 % dari semua
imunoglobulin dalam darah. IgG adalah antibodi utama yang melintasi plasenta dari ibu kepada
janinnya selama kehamilan. Kadar IgG meningkat secara lambat selama respons primer terhadap
suatu antigen, tetapi meningkat secara cepat dan dengan kekuatan yang lebih besar pada pajanan
kedua.
C. Imunisasi Janin dan Neonatus
a. Imunisasi Pasif Janin
Sistem imun janin diperkuat oleh penyaluran imunoglobulin menembus plasenta dari ibu kepada
janinnya dan penyaluran melalui air susu. Profil imunoglobulin yang disalurkan melalui plasenta dan
disekresikan ke dalam air susu bergantung pada mekanisme transportasi spesifik untuk berbagai
kelas imunoglobulin. IgG ibu menembus plasenta ke dalam sirkulasi janin melalui mekanisme
transportasi aktif spesifik, yang efektif dari sekitar usia gestasi 20 minggu, tetapi aktifitasnya meningat
pesat sejak gestasi 34 minggu. Ibu akan menghasilkan respon imun terhadap antigen yang ia temui
dengan menghasilkan IgG, yang dapat melewati plasenta. Bahkan, apabila kadar IgG ibu rendah, IgG
akan tetap disalurkan melewati plasenta. Hal ini berarti janin akan mndapat imunsasi pasif terhadap
patogen prevalen yang besar kemungkinannya ditemukan di lingkungan setelah lahir. Imunitas pasif
ini memberi perlindungan temporer penting pascanatal sampai sistem imun bayi sendiri matang dan
menghasilkan sendiri antibodi. Bayi prematur beresiko mengalami hipoglobulinemia transien karena
mereka kurang mendapat IgG dan lahir dengan sistem imun yang lebih imatur daripada bayi aterm.
Disfungsi plasenta membatasi pemindahan IgG, dengan demikian bayi SGA memperlihatkan kadar
IgG yang lebih rendah. IgA, IgM, dan IgD tidak menembus plasenta ,tetapi terdapat dalam
konsentrasi tinggi di dalam kolostrum.
Selain IgG yang bermanfaat, IgG yang merugikan juga dapat melewati plasenta. Akan dibentuk
antibodi ibu terhadap HLA janin saat sistem imun ibu menemukan beberapa sel janin. Antibodi anti-
HLA janin ibu akan melewati plasenta, tetapi tidak menimbulkan kerusakan apapun karena berikatan
dengan sel nontrofoblastik di plasenta yang mengandung HLA janin dan dapat menyekuestrasi IgG
ibu. Namun, pada penyakit autoimun, antibodi patogenik dari ibu dapat disalurkan melalui plasenta.
Sebagai contoh, antibodi antitrombosit dapat menembus plasenta dan masuk ke janin pada seorang
ibu dengan purpura trombositopenik autoimun. Pemindahan pasif antibodi autoimun dapat
memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dan dapat berpotensi menimbulkan paing tidak
gejala transien penyakit pada neonatus. Peningktan resiko perdarahan pada bayi yang lahir dari ibu
dengan trombosit topenia berarti prosedur traumatik, misalnya pengambilan sempel darah janin dan
persalinan dengan alat, harus dihindari.
b. Imunisasi Aktif Janin
Sistem imun yang imatur pada neonatus dibantu oleh imunisasi pasif alami dari penyaluran IgG
melalui plasenta dan IgA dari air susu. Sistem imun bayi juga ditunjang oleh program imunisasi.
Imunisasi aktif memerlukan pemberian antigen dalam bentuk yang inaktif dan tidak menimbulkan
penyakit. Kadar IgG mulai meningkat pada usia 3 bulan sehingga imunisasi ditunda setelah lahir.
Namun, diperlukan proteksi sebelum sistem imun menjadi matang. Dengan demikian, program
imunisasi sering dimulai saat bayi berusia 3 bulan. Pada sekitar tahap ini, banyak bayi mendapat
vaksin tripel, berupa antigen pertusis, difteria, dan tetanus secara seimbang. Difteria dan tetanus
memicu respons antigenik yang kuat walaupum sistem imun bayi masih imatur, sedangkan anak
diberikan dosis vaksin pertusis lebih lanjut. Vaksin polio hidup diberikan per oral pada saat yang
sama dengan vaksin tripel. Walaupun secara teoretis di perlukan hanya satu kal dosis, terdapat
paling tidak 3 strain dan respons imun mungkin belum diproduksi saatpertama kali bertemu. Vaksin
campak biasanya ditunda sampai bayi berusia sekitar setahun karena IgG ibu, yang ada di tubuh bayi
selama 6 sampai 9 bulan pertama kehidupan, cenderung menghancurkan organisme yang sudah
dilemahkan (vaksin) sebelum sistem imun bayi memiliki waktu untuk mengenali dan berespons
terhadap vaksin tersebut.
Imunisasi dengan menggunakan vaksin virus mungkin kurang efektif apabila individu yang
bersangkutan baru mengalami infeksi virus, misalnya flu (common cold). Kadar interferon menetap
setelah infeksi virus sehingga virus dalam preparat vaksin mungkin gagal mencapai konsentrasi yang
adekuat untuk merangsang sistem imun. Dengan demikian, imunisasi mungkin kurang efektif sampai
2-3 minggu setelah infeksi virus. Dosis vaksin oral mungkin inefektif apabila penyerapannya
terganggu, misalnya pada keadaan diare atau muntah. Steroid dosis tinggi menekan respons imun
sehingga terapi steroid atau adrenal yang aktif berlebihan dapat membatasi efektivitas vaksin hidup
dan melemahkan respons imun. Reaksi alergi dapat terjadi, terutama terhadap vaksin yang diperoleh
dri biakan jaringan atau yang mengandung sel utuh. Masalah reaksi alergi sering berkaitan dengan
vaksin yang ditumbuhkan di preparat biakan jaringan mengandung telur atau yang mendapat
tambahan antibiotik. Jelaslah, reaksi yag berat terhadap pemakaian suatu vaksin merupakan
kontraindikasi pemberian vaksin tersebut. Pemberian vaksin hidup tidak dianjurkan pada kehamilan.
Program imunisasi bermanfaat bag kesehatan populasi, sayangnya dengan pengorbanan beberapa
individu yang mungkin mengalami reaksi eksterm terhadap vaksin disertai efek ireversibel.
c. Kerentanan Neonatus
Saat lahir, neonatus secara imunologis belum matang dan rentan terhadap infeksi. Flora alami
mengoloni dan melindungi permukaan luar tubuh dan membran yang tampak internal, tetapi
berkontak dengan patogen eksternal, misalnya saluran napas atas, usus, dan sistem kemih. Flora
alami mungkin melindungi tubuh dengan menyaingi mikroorganisme patogenik untuk memperebutkan
sumber daya atau dengan mengubah lingkungan lokal sehingga lingkungan tersebut tidak lagi ramah
bagi patogen. Janin di uterus berada dalam keadaan steril karena tidak ada rute untuk kolonisasi.
Kolonisasi memerlukan waktu sekitar 6-8minggu, yang serupa dengan waktu yang diperlukan oleh
astronot NASA (North American Space Agency), yang secara bakteriologis dibuat steril sebelum
terbang, mengalami repopulasi flora bakteri residen nonpatogen. Karena flora usus menghasilkan
sebagian besar kebutuhan vitamin K tubuh, neonatus beresiko mengalami defisiensi vitamin K
sampai flora residen terbentuk. Proses kolonisasi dapat terganggu, misalnya oleh pemakaian
antibiotik atau asupan desinfektan. Kolonisasi pada neonatus berawal saat lahir, berupa pemindahan
organisme dari vagina ibu, kulit tangannya, dan payudara serta dari saluran napas perawat bayi.
Kulit neonatus sangat halus dan mudah rusak, yang mungkin menjadi rute bagi infeksi oportunistik.
Tali pusat, yang menjadi nekrotik, merupakan lokus untuk kemungkinan infeksi dan merupakan jalan
alternatif menuju hati. Mekanisme pertahanan neonatus juga diperlemah oleh prosedur, misalnya
pengambilan sampel darah atau pemasangan slang endoktrakea atau nasogastrik atau kanula
intravena.
Bayi memiliki sistem imun yang relatif kurang efisisen, terutama apabila ia lahir prematur atau
bertubuh kecil saat lahir. Sel sitem imun masih imatur dan kurang befungsi secara efisien pada masa
kehidupan awal; sebagai contoh, limfosit T memperlihatkan respons dan fungsi sitolitik yang rendah.
Fagosit memperlihatkan penurunan fagositosis dan aktivitas bakterisid. Fungsi sel ini pada penyakit
berat, misalnya sindrom distres pernapasan atau pneumonia aspirasi mekonium, juga terbatas.
Komponen jenjang komplemen saat lahir memiliki kadar 50-80% dari kadar pada orang dewasa.
D. Status Imun Janin dan Bayi Baru Lahir
Imunitas selular (sel T) berawal di dlam rahim. Respons imun primer (IgM) terhadap berbagai mikro-
orgaisme dapat dirangsang di dalam janin pada trimester ke tiga kehamilan. Respons-respons imun
lain terhadap suatu antigen (IgG dan IgA), fagositosis neutrofil dan makrofag, dan pembentukan zat-
zat antara peradangan belum terdapat secara signifikan sampai 6-8 bulan setelah lahir. Hal ini
membuat janin dan bayi baru lahir rentan terhadap infeksi dan penyakit. Dalam uterus, antibodi IgG
ibu secara aktif dipindahkan melintasi sel-sel plasenta dan dapat di deteksi di dalam tubuh bayi
selama paling sedikit 6 bulan setelah lahir. Antibodi-antibodi ini menghasilkan imunitas pasif terhadap
berbagai mikroorganisme bagi janin dan bayi. IgA dan imunoglobulin lain dapat sampai ke bayi
melalui air susu.
Saat dimana bayi sangat rentan adalah sekitar 5-6 bulan setelah lahir sewaktu kadar IgG ibu mulai
berkurang. Namun, sistem imun bayi itu sendiri belum bekerja pada puncaknya. Hal ini terutama
berlaku apabila pertimbangan pediatrik. Sebelum antibodi itu menghilang dari aliran darah bayi, sulit
diketahui apabila seorang bayi yang memiliki antibodi IgG terhadap suatu mikroorganisme
mencerminkan infeksi pada ibu atau apakah bayi tersebut secara aktif terinfeksi oleh mikroorganisme
yang bersangkutan. Antibodi ibu mulai turun setelah 6 bulan; dengan demikian, harus dilakukan
pengukuran titer (kadar) antibodi bayi setelah 6 bulan untuk mengetahui adanya infeksi sejati atau
imunitas pasif. Hal in penting diingat sewaktu mengidentifikasi bayi-bayi dari ibu yang terinfeksi HIV,
yang benar-benar terinfeksi yang hanya membawa antibodi ibu. Terapi obat-obatan mungkin akan
bermanfaat bagi bayi yang terinfeksi virus ini, dimana obat-obatan ini biasanya akan sangat
berbahaya apabila diberikan pada bayi yang tidak terinfeksi. Pengukuran antibodi IgA terhadap HIV
pada bayi yang tidak disusui yang lahir pada wanita positif HIV dapat memberikan diagnosis status
HIV bayi secara lebih dini. Hal ini dapat terjadi karena adanya IgA anti-HIV pada bayi ya tidak disusui
mencerminkan imunitas aktif karena IgA tidak dapat melewati plasenta.
E. Aspek Imunologis Lain pada Kehamilan
Antibodi antisperma pada pasangan pria atau wanita diperkirakan merupakan salahsatu penyebab
infertilitas (Manyonda, 1998). Antibodi antisperma dapat menghambat spermatogenesis atau
pembuahan. Namun, sel Sertoli melindungi sperma yang sedang tumbuh dan tubulus seminiferus
dari antibodi dan sel T penekan yang mengeluarkan sitokin imunospresif di epididimis. Sebagian
sperma dilapisi oleh glikoprotein dan laktoferin, yang mungkin menjadi penyebab sebagian antigen
tampak hanya setelah kapasitansi. Cairan seminalis memiliki sifat imunosupresif kuat dan dapat
menghambat berbagai respons imun (James & Hargreave, 1998). Adanya antibodi antisperma di
sekresi kelenjar genitalia, dan bukan di darah, tampaknya penting, terutama pada infertilitas pria.
Risiko terbentuknya antibodi antisperma meningkat seiring dengan peningkatan pemajanan ke
sperma yang berlebihan, seperti pada para pelacur atau pajanan sperma di tempat yang tidak
seharusnya, seperti pada pria homoseks. Pembentukan antibodi antisperma mungkin mencerminkan
tidak adanya faktor imunosupresif di cairan seminalis.
Endometriosis yaitu pengendapan jaringan endometrium di tempat luar uterus, dapat menimbulkan
nyeri hebat apabila jaringan tersebut meradang. Endometriosis yang berat dapat menyebabkan
infertilitas, tetapi banyak wanita memiliki jaringan endometrium di luar uterus yang tidak menimbulkan
nyeri atau memengaruhi kesuburan. Penyebab endometriosis tidak diketahui, tetapi diperkirakan
adanya faktor autoimun yang berperan.
Pre-eklampsia, gangguan perkembangan plasenta akibat remodelling arteri spiralis yang tidak
adekuat, juga diperkirakan memiliki komponen imun. Insiden pre-eklampsia lebih tinggi pada
kehamilan pertama dan pada kehamilan berikutnya dengan pasangan baru, yang mengisyaratkan
adanya mekanisme imunologis.
Sumber:
Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: P.T. Bina Pustaka
Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan Embryologi. Bandung: Tarsito.
http://srirhy.wordpress.com/2012/09/29/sistem-imun/

You might also like