You are on page 1of 9

I.

ANALISIS MASALAH
1. Ny. Mina, 63 tahun, mengalami 2 episod inkontinensia urin sehingga ia tidak
dapat mencapai toilet tepat pada waktunya untuk mencegah keluarnya urin.
Episod pertama saat berada di dalam mobil dan yang kedua saat berada di
dalam mall.
a) Bagaimana fisiologis normal dari berkemih? A,B
b) Bagaimana etiologi dan mekanisme inkontinensia urin? C,D
c) Bagaimana perubahan fisiologis berkemih pada usia lanjut? E, F
d) Bagaimana klasifikasi inkontinensia urin? G,H
e) Bagaimana makna klinis dari jumlah episode dan lokasi terjadinya
inkontinensia urin? I,J
Stress inkontinensia :
Derajat I : urin keluar pada saat batuk, bersin, tertawa
Derajat II : urin keluar pada saat mengangkat berat dan melompat
Derajat III : urin keluar pada saat berdiri, jalan tapi tidak saat berbaring

f) Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan inkotinensia urin pada
kasus? K,L

2. Ny, Minah menjadi jarang keluar rumah karena ada urge incontinence.
a) Bagaimana etiologi dan mekanisme dari urge incontinence? M,N
b) Bagaimana dampak urge incontinence bagi kehidupan Ny. Minah? A,B

3. Ny. Minah mengalami menopause pada usia 50 tahun.
a) Adakah hubungan menopause dengan gejala yang dialami Ny. Minah:
Inkontinensia urin? C,D
Obesitas? E,F
Osteoporosis?G,H
Gangguan kardiovascular (Hipertensi)?I,J
Menurut Darmojo (2006), faktor yang mempengaruhi hipertensi pada
lanjut usia adalah :
a. Penurunanya kadar renin karena menurunya jumlah nefron akibat
proses menua. Hal ini menyebabkan suatu sirkulus vitiosus: hipertensi
glomerelo-sklerosis-hipertensi yang berlangsung terus menerus.
b. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Dengan
bertambahnya usia semakin sensitif terhadap peningkatan atau
penurunan kadar natrium.
c. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua
akan meningkatakan resistensi pembuluh darah perifer yang
mengakibatkan hipertensi sistolik.
d. Perubahan ateromatous akibat proses menua menyebabkan disfungsi
endotel yang berlanjut pada pembentukan berbagai sitokin dan subtansi
kimiawi lain yang kemudian meyebabkan resorbi natrium di tubulus
ginjal, meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah perifer dan
keadaan lain berhubungan dengan kenaikan tekanan darah.

Mekanisme dasar peningkatan tekanan sistolik sejalan dengan
peningkatan usia terjadinya penurunan elastisitas dan kemampuan
meregang pada arteri besar. Tekanan aorta meningkat sangat tinggi
dengan penambahan volume intravaskuler yang sedikit menunjukan
kekakuan pembuluh darah pada lanjut usia. Secara hemodinamik
hipertensi sistolik ditandai penurunan kelenturan pembuluh arteri besar
resistensi perifer yang tinggi pengisian diastolik abnormal dan
bertambah masa ventrikel kiri.
Penurunan volume darah dan output jantung disertai kekakuan arteri
besar menyebabkan penurunan tekanan diastolik. Lanjut usia dengan
hipertensi sistolik dan diastolik output jantung, volume intravaskuler,
aliran darah keginjal aktivitas plasma renin yang lebih rendah dan
resistensi perifer.
Perubahan aktivitas sistem syaraf simpatik dengan bertambahnya
norepinephrin menyebabkan penurunan tingkat kepekaan sistem
reseptor beta adrenergik pada sehingga berakibat penurunan fungsi
relaksasi otot pembuluh darah (Temu Ilmiah Geriatri , 2008).
Lanjut usia mengalami kerusakan struktural dan fungsional pada arteri
besar yang membawa darah dari jantung menyebabkan semakin
parahnya pengerasan pembuluh darah dan tingginya tekanan darah.

Psikologis?K,L

4. Pada bulan lalu, suaminya meninggal dan sekarang ia tinggal bersama
pembantunya.
a) Jelaskan hubungan psikologis pada Ny. Minah dengan inkontinensia urin
pada kasus! M,N

5. Pemeriksaan fisik
a) Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari:
BB dan TB (BMI) A,B
TD dan pulse C,D
Temperatur E,F
Tidak ada exertional dyspnea, fatigue, dan sakit kepala G,H

6. Pemeriksaan Penunjang (Densitometri, GDS, MMSE)
a) Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari:
Densitometri I,J

Densitometri lumbal : -3,0 osteoporosis
Densitometri femur : -2,7 osteoporosis
Mekanisme:
Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang
yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tidak langsung pada
tulang. Efek tak langsung estrogen terhadap tulang berhubungan dengan
homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus,
modulasi 1,25 (OH)2D, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormone PTH.
Selain itu, efek estrogen terhadap sel-sel tulang akan meningkatkan
formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.
Estrogen mempunyai 2 macam reseptor (ER dan ER) yang juga
diekspresikan oleh berbagai sel tulang, termasuk osteoblas, osteosit,
osteoklas, dan kondrosit. Ekspresi ER dan ER meningkat meningkat
bersamaan dengan diferensiasi dan maturasi osteoblas.
Setelah menopause, pengurangan jumlah estrogen yang diproduksi
mengakibatkan berkurangnya reseptor estrogen (ER dan ER). Hal ini
berefek pada homeostasis tulang, diantaranya: terjadinya peningkatan
produksi sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel
mononuclear (IL-1,IL-6,TNF-), penurunan TGF-, peningkatan
formasi osteoklas. Semua efek tersebut menyebabkan terjadinya
peningkatan diferensiasi dan maturasi osteoklas.
Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan
absorpsi Ca di usus dan meningkatkan ekskresi Ca di ginjal. Untuk
mengatasi keseimbangan negative Ca akibat menopause, tubuh
merespon dengan meningkatkan kadar PTH.
Semua efek pasca menopause tersebut menyebabkan peningkatan
resorpsi tulang yang mengakibatkan terjadinya penurunan densitas
tulang. Lebih lanjut dapat meningkatkan insiden fraktur, terutama
fraktur vertebra dan radius distal.


GDS K,L
MMSE M,N
b) Bagaimana cara pemeriksaan penunjang? A,B

7. Riwayat pengobatan : Ny, Mina mengkonsumsi Captopril 12,5 mg 2x/hari
a) Apa indikasi, kontraindikasi, dosis, cara pemakaian, efek samping, cara
kerja dari captopril? C,D
b) Bagaimana hubungan konsumsi obat captopril dengan keluhan utama? E,F
c) Bagaimana tatalaksana yang tepat untuk hipertensi pada kasus? G,H
8. Bagaimana cara penegakan diagnosis dan pemeriksaan tambahan yang
dibutuhkan pada kasus? I,J
Menurut Setiati dan Pramantara (2007), diagnosis inkontinensia urin bertujuan
untuk :
1) Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversibel.
2) Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus.
3) Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku.
Diagnosis Inkontinensia urin dilakukan lewat observasi langsung serta
mengajukan pertanyaan penapis. Pertanyaan penapis diagnosis inkontinensia
urin berisi status menstruasi, status kehamilan, gejala dan keluhan utama
gangguan berkemih serta riwayat penyakit.
International Consultation on Incontinence Questionnaire Short Form (ICIQ-
SF) dan The Three Incontinence Questions (3IQ) merupakan salah satu contoh
alat ukur yang berisi pertanyaan penapis diagnosis Inkontinensia urin.
ICIQ-SF merupakan instrumen yang telah diterima setelah perkembangan dari
beberapa seri kuesioner yang dapat diaplikasikan pada pasien dengan
inkontinensia. Pertanyaan pada kuesioner, ICIQ-SF telah secara penuh
tervalidasi. ICIQ-SF ini menggambarkan usaha untuk menangkap dan
merefleksikan pandangan pasien, serta disusun untuk mengevaluasi kondisi
pasien secara tepat (Abrams, 2003).
Sedangkan tipe inkontinensia urin dapat diketahui dengan menggunakan 3IQ.
Alat ukur 3IQ ini terdiri dari tiga pertanyaan dengan pilihan jawaban dimana
dari masing-masing pilihan jawaban tersebut merupakan petunjuk dari gejala
tipe inkontinensia urin yang terjadi. Dari pemeriksaan dengan menggunakan
kuesioner diagnosis inkontinesia urin kita dapat menentukan jenis
inkontinensia (Brown et al., 2006).
Sedangkan untuk mencapai tujuan diagnosis yang lebih komprehensif
pemeriksaan inkontinensia urin dapat dilakukan lewat beberapa aspek seperti
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik terarah, urinalisis, volume residu urin
paska berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus (Setiati dan Pramantara,
2007).
Menurut Martin dan Frey ( 2005 ) tahapan diagnostik Inkontinensia urin
meliputi :
1) Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang seksama. Hal-hal yang
perlu ditanyakan dalam anamnesis antara lain pola berkemih ( voiding ),
frekuensi dan volume urin, riwayat medis.
2) Pemeriksaan fisik meliputi perkembangan psikomotor, inspeksi daerah
genital dan punggung.
3) Pemeriksaan penunjang baik laboratorik maupun pencitraan, urinalisis,
biakan urin dan pemeriksaan kimia darah.

Pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan Q Test
Tes ini dilakukan dengan menginsersikan sebuah cotton swab (Q-tip) yang
steril ke dalam uretra wanita lalu ke kandung kemih. Secara perlahan tarik
kembali hingga leher dari Q-tip berada di leher kandung kemih. Pasien lalu
diminta untuk melakukan Valsava manuver atau mengkontraksikan otot
abdominalnya. Perubahan sudut Q-tip diukur dan dipergunakan sebagai
ukuran laksiti dasar panggul. Bila sudut yang terjadi lebih dari 35 derajat
dengan melakukan hal tersebut maka hal tersebut mengindikasikan adanya
hipermobilitas uretra (tipe II stress incontinence). Akan tetapi karena laksiti
mempunyai nilai yang kecil dalam menentukan penyebab inkontinensia, maka
kegunaan tes ini untuk diagnostik menjadi sangat terbatas.
2. Bony Test
Penekanan uretra dengan dua jari, bila kandung kemih terisi, penderita disuruh
batuk maka urin tidak akan keluar dari uretra sedangkan kalau tidak ditekan
urin akan keluar.
3. Pemeriksaan Pad Test
Penderita disuruh minum sebanyak 500 cc kemudian dalam waktu 30 menit
penderita disuruh naik tangga, jalan dan batuk-batuk. Lima belas menit
kemudian penderita disuruh duduk berdiri, duduk berdiri sebanyak 10 kali dan
batuk yang kuat serta mengambil barang yang jatuh di lantai. Enam puluh
menit setelah tes ini selesai (lama tes 60 menit). Pad ditimbang dengan hasil
kemungkinan:
a. Timbangan Pad bertambah 2 gram, ini berarti tidak ada stres inkontinensia
urin
b. Pad bertambah beratnya 2-10 gram disebut stres inkontinensia urin derajat
ringan
c. Pad bertambah 10-20 gram, ini berarti penderita mengalami stres
inkontinensia urin sedang
d. Pad bertambah beratnya 20-40 gram, ini berarti penderita mengalami stres
inkontinensia urin derajat berat.
e. Pad bertambah beratnya 40-50 gram, ini berarti penderita mengalami stres
inkontinensia urin derajat sangat berat.
4. Pemeriksaan Urodinamik Pemeriksaan urodinamik dikerjakan hanya pada
kasus-kasus yang diragukan diagnostiknya atau terapi direncanakan operatif.
Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis inkontinensia urin adalah sebagai berikut:
1. Sitoskopi : dipakai untuk menentukan adanya radang, tumor,
striktur, perubahan struktut vesika urinaria yang kiranya dapat
menimbulkan inkontinensia.
2. Urethrosistografi : dapat memperlihatkan keadaan urethra, vesika
urinaria, dansudut antara urethra dan vesica urinaria untuk memicu
etiologi inkontinensiaurin.
3. Sfingterometri : menunjukkan bahwa tahanan dari muskulus
rhabdosfingter lebih tinggi daripada muskulus lissosfingter dengan
memanfaatkan miografi.
4. USG : untuk melihat kelainan pada vesica urinaria.
5. Foto konvensional : untuk melihat kelainan pada panggul.


9. Apa DD dan WD pada kasus? K,L
10. Apa etiologi pada kasus? M,N
11. Apa epidemiologi dan factor risiko pada kasus? A,B
12. Apa patofisiologi pada kasus? C,D
13. Apa manifestasi klinis pada kasus? E,F
14. Apa tatalaksana pada kasus? G,H
15. Apa pencegahan pada kasus? I,J
16. Apa komplikasi pada kasus? K,L
17. Apa prognosis pada kasus? M,N
18. Bagaimana SKDI pada kasus? A,B
Daftar pustaka:
1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi ed.3. Jakarta: Sagung seto. 2011; 165-172.
2. Sudoyo SW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus KS, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid I ed.V. Jakarta: Internal publishing. 2009.
3. Abrams P, Cardozo L, Khoury S, Wein A. Incontinence volume 1 basic & evaluation. 2005.
4. Semijurnal Farmasi & Kedokteran Ethical Digest. Overactive Bladder. 2009; 66: 28-37.
5. Permana RU. Prevalensi dan Faktor-faktor resiko Overactive Bladder Pada Paramedis
Perempuan di RSUP H. Adam Malik Medan. 2008; FK-USU: 1-26.
6. Agustina N. Prevalensi penderita Overactive Bladder pada pegawai perempuan di lingkungan
Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta. 2008; FK-UI:
82-83.

You might also like