You are on page 1of 3

Anak-anak dengan Ilmu Terapan

26 Mei2014 Opini No comments


Dan dulu saya selalu berpikir, ilmu itu harus bisa diterapkan. Tetapi, sewaktu kuliah pada
1980-an dahi saya selalu berkerut. Saya sering heran mendengarkan kuliah yang hebat-
hebat, bahkan tak sedikit yang membuat saya tak mengerti.
Rhenald Kasali
Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
Masalahnya, saya selalu mencari cara bagaimana agar bisa menerapkannya. Hingga hari
ini, setiap kali menyaksikan debat atau ribut-ribut bicara para tokoh di TV, saya pun
masih suka mengerutkan dahi. Otak saya dengan cepat memilah, mana orang yang
praksis (kontekstual. dapat dijalankan) dan mana yang pembual.
Sekarang saya mengerti mengapa semakin banyak orang menjadi seperti itu. Kalau ini
dibiarkan, saya khawatir cara ini hanya akan lebih banyak menghasilkan caleg daripada
eksekutif. Di dunia kerja semakin banyak yang mengeluh bahwa sarjana kita kurang siap
pakai.
Pendidikan kita telah lebih banyak melahirkan orang-orang yang baru bisa bicara dan
kurang praksis. lnilah saatnya memperbaiki pendidikan, bahkan mewaspadai ke mana
anak-anak kita akan disekolahkan.
Ilmu Basic
Kita bisa membedakan science dalam basic dan applied. Dulu saya berpikir, untuk jadi
negara maju, Indonesia perlu Iebih banyak menguasai basic dan applied. Teman-teman
saya dari Rusia dan Tiongkok, sewaktu mengambil studi doktoral di Amerika Serikat pada
1990-an tampaknya mirip dengan kita.
Dengan basic science, kita bisa menertawakan mahasiswa-mahasiswa asal Amerika
Serikat, Canada, dan Australia karena sepertinya mereka bego sekali basic sciencenya.
Kami menjelaskan rumus-rumus matematika, biologi, dan kimia begitu mudah yang
ternyata sulit dipahami mahasiswa kulit putih itu. Anehnya, kalau soal aplikasi, merekalah
jagonya.
Belakangan saya ketahui, di negara-negara maju, selain liberal arts, mereka sangat kental
mengembangkan applied science. Ya, ilmu-ilmu terapan yang bisa dipakai. Bahkan,
porsinya 70 persen applied dan hanya 30 persen basic. Mereka menjadi lebih praktis,
simple, dan actionable.
Ini berbeda benar dengan rata-rata lulusan kita, yang hampir 100 persen belajar dalam
ranah basic science. Karena itu, ketika kita memperkenalkan kewirausahaan dalam ranah
tersebut, kita hanya banyak berkutat dalam business plan. Kata ilmuwan dari Babson
College. itu bukan riil entrepreneur, melainkan paper entrepreneur.
Dan, seperti itulah muara dan kebanyakan kampus kita. Harap diingat, basic science
sangat mengedepankan metodologi, dengan landasan matematika yang kuat. Lebih
mengedepankan control variable dan modeling, karena kinerja output-nya dinilai dari
jumlah publikasi ilmiahnya. Setelah itu, tak ada yang mampu mengaplikasikannya.
Secara berseloroh saya pernah menyindir mahasiswa-mahasiwa saya di kelas International
Marketing, khususnya mereka yang mendapatkan nilai A dari kelas sebelumnya
(marketing principle). Saya katakan saya tak percaya. Buktinya. pakaian mereka tidak
matching, miskin senyum. branding-nya tidak dibangun, bahkan banyak yang kesulitan
mendapatkan pacar.
Lho, buat apa belajar marketing kalau tidak bisa menerapkannya dalam soal-soal sepele?
Saya setuju dengan Anda, its time to change. Tapi, bagaimana kalau bos-bos mereka
sama saja?
Podomoro University
Hari-hari ini saya pun sibuk menyeleksi dosen. Beberapa syarat saya ajukan kepada divisi
SDM: Cari orang-orang yang applied science-nya kuat, mental melayaninya nomor satu
dan tentu saja enak dilihat, punya kemampuan dalam karya, praksis!
Usul saya itu rupanya sejalan dengan teman-teman dari Boston: Babson ColIege. Ini
adalah kampus mahal di Amerika Serikat yang oleh pengembang Agung Podomoro
diperkenalkan kepada saya. Lewat sebuah kerja sama kedua terbesar setelah dengan
seorang pengusaha dan Uni Emirat Arab, Babson begitu serius menyemai benih-benih
kewirausahaan dan applied science di sini.
Oleh Trihatma Haliman, chairman Podomoro, saya pun dipercaya memimpin kampus ini
yang kami beri nama Podomoro University. Sewaktu diajak bicara, kami pun menuangkan
mimpi-mimpi indah kami yang berawal dari keprihatinan akan lulusan-lulusan universitas
yang tidak aplikatif.
Pak Trihatma menyampaikan kepada saya bahwa hotel-hotelnya bintang dua hingga
bintang enam (Sofitel di Bali) bisa digunakan untuk praktik mahasiswa. Mahasiswa bisa
belajar dari arsitek-arsitek kelas dunia (termasuk yang membangun Burj Al Arab di
Dubai) yang membuat rancangan bangunan superblok grup ini.
Anak-anak muda bisa berekspresi, berpengetahuan, dan belajar dengan menyenangkan,
langsung mengaplikasikan ilmunya. Mereka juga bisa memanfaatkan trade center
(Mangga Dua), proyek-proyek konstruksi sampai mal-mal besar untuk menguji karya-
karya mereka.
ltulah impian-impian baru saya yang tengah saya kawinkan dengan gerakan-gerakan sosial
dan Rumah Perubahan.
Saya piker, inilah saatnya, menanamkan applied science kepada anak-anak didik kita agar
mereka tak lagi sulit mencari kerja. Bahkan, agar mereka bisa mewujudkan cita-cita para
pendiri bangsa: membuat negeri ini makmur dan sejahtera! (*)
SUMBER: http://www.metrosiantar.com/anak-anak-dengan-ilmu-terapan/

You might also like