You are on page 1of 41

1

BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 8 November 2012
Nama : Tn. E
Jenis Kelamin : laki-laki
Umur : 52 tahun
BB : 70 kg
Ruang : NH no.10
No. MR : 696896
Diagnosis : Cholelithiasis
Tindakan : cholesistectomy

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI
ANAMNESIS
Keluhan utama
Nyeri ulu hati sejak 1 tahun yang lalu
Riwayat penyakit sekarang
Sejak 1 bulan SMRS pasien mengeluh nyeri ulu hati hilang timbul seperti
tertusuk-tusuk, nyeri timbul setelah makan makanan berlemak tetapi terkadang
timbul secara tiba-tiba, nyeri menjalar ke perut kanan atas dan punggung. Pasien
juga mengeluh kadang-kadang perut terasa kembung, mual (+), muntah (-),
demam (-), demam (-), bagian putih mata berwarna kuning (-), BAK berwarna
seperti teh (-), BAB berwarna seperti dempul (-), BAB hitam (-).
1 tahun lalu pasien mengeluh penyakit yang sama dengan 1 bulan SMRS, pasien
berobat ke Prakrek Dokter, didiagnosis Gastritis dan pasien mengkonsumsi obat-
obatan yang diberikan Dokter tsb, tetapi pasien lupa nama obat tersebut.
Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
2

- Riwayat sakit jantung (-)
- Riwayat astma (-)
- Riwayat batuk lama (-)
- Riwayat operasi sebelumnya (-)
Riwayat kebiasaan : merokok (-), Alkohol (-), Narkotik (-)
Riwayat alergi obat
Os mengaku tidak ada alergi obat dan makanan tertentu
Tidak menggunakan gigi palsu

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum :
Kesadaran : compos mentis
Vital Sign
- Tekanan darah : 130/90 mmHg
- Nadi : 95 x/menit
- Suhu : 37C
- Respirasi : 27 x/menit
Kepala : normocepali
Mata : pupil isokor ka=ki, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cm H
2
O
Thoral :
- Paru :Inspeksi : simetris
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

3

- Jantung :Inspeksi : Iktus normal
Palpasi : Iktus kordis di apeks
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I dan II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Datar
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : nyeri tekan kuadran kanan atas (+), Murphys sign (+)
- Perkusi : Timpani
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Wbc : 6,6 10
3
/mm
3
(3,5-10,0)
Rbc : 5,79 10
6
(3,80-5,80)
Hgb : 16,0 gr/dl (11-16,5 gr/dl)
Hct : 48,6 % (35-50%)
Plt : 221 10
3
/mm
3
(150-400.10
3
/mm
3
)
Pct : 140 % (100-500)
Bleeding time : 2 menit (1-3 menit)
Clotting time : 4 menit (2-6 menit)
GDS : 181 mg/dl <200

Faal hati :
- Bilirubin total : mg/dl (<1)
- Bilirubin direkt : mg/dl (<0,2)
- Bilirubin indirek : mg/dl
- Protein total : 8,6 g/dl (6,4-8,4)
- Albumin : 4,8 g/dl (3,5-5)
- Globulin : 4,8 g/dl (3-3,6)
- SGOT : 21 U/L (<40)
4

- SGPT : 20 U/L (<41)
Faal ginjal :
- Ureum : 26,9 mg/dl (15-39)
- Kreatinin : 1,1 mg/dl (0,9-1,3)

KESAN STATUS FISIK : ASA II

RENCANA TINDAKAN ANESTESI :
Diagnosa pra bedah : cholelitiasis
Tindakan bedah : cholesistectomy
Status fisik ASA : II
Jenis / tindakan anestesi :
- Anestesi umum (intubasi)
- Premedikasi : ondansetron 4 mg
Ranitidin 50 mg
Sulfas atropin 0,7 mg
Fentanil 70 g
- Induksi : recofol 140 mg
- Relaksasi : atracurium 35 mg
- Respirasi : sevoflurans + N
2
O : O
2






5

BAB II
ANESTESI
Tanggal : 8 November 2012
Ahli bedah : dr. Dennison, Sp.B
Asisten bedah : Metriadi dan Inti
Ahli anestesi : dr. Hj. Ade Susanti, Sp.An
Asisten anestesi : Yopi aprilo dan Aminah
1. TINDAKAN ANESTESI
- Metode : anestesi umum (intubasi)
- Premedikasi : ondansetron 4 mg
Ranitidin 50 mg
Sulfas atropin 0,5 mg
Fentanil 100 g
- Induksi : recofol (propofol) 150 mg
- Insersi ETT ukuran 7 difasilitasi dengan atracurium 35 mg
- Pemeliharaan : sevoflurans + N
2
O : O
2

- ETT dicabut
- Pemulihan diberikan O
2

- Medikasi :
- tramadol 100 mg
- ketorolak 30 mg
2. KEADAAN SELAMA OPERASI
a. Letak penderita : terlentang
b. Penyulit waktu anestesi : gigi ompong molar 1-2 atas-bawah (kanan-kiri)
c. Lama anestesi : -
d. Jumlah cairan :
Input : cairan kristaloid 4 kolf 2000 ml
Cairan koloid 1 500 ml
6

Total 2500 ml
Output : 75 ml

Kebutuhan Cairan Pasien ini:
BB = 70 kg
- Defisit Cairan karena Puasa (P)
P = 6 x BB x 2cc
P = 6 x 70 x 2cc = 840 cc
- Maimtenance (M)
M = BB x 2cc
M = 70 x 2 cc = 140 cc
- Stress Operasi (O)
O = BB x 8cc (operasi besar)
O = 70 x 8 = 560 cc
- Perdarahan
Total = Suction + Kassa + duk
Total = 100cc + 300 cc + 200cc = 600cc
Kebutuhan cairan selama operasi:
Jam I : (840) + 140 + 560 = 1120 cc
Jam II : (840) + 140 + 560 = 910 cc
Jam III : (840) + 140 +560 = 910 cc
Total cairan: 1120 cc + 910cc +910 cc + 600 cc = 3540 cc

e. Monitoring
Jam TD Nadi RR
10.15 159/104 98 14
10.30 105/68 93 32
10.45 120/75 86 29
11.00 120/80 94 27
11.15 120/86 115 21
11.30 120/86 83 26
11.45 124/90 80 29
12.00 146/123 70 18
7


3. RUANG PEMULIHAN
a. Masuk jam : 12.15 wib
b. Keadaan umum : kesadaran : compos mentis, GCS : 15
Tekanan darah : 146/123 mmHg
Nadi : 70 x/mnt
Respirasi : 18 x/mnt

c. Pernafasan : baik
Skoring alderette
- Aktifitas : 1
- Pernafasan : 2
- Warna kulit : 2
- Sirkulasi : 2
- Kesadaran : 2
Jumlah : 9

Instruksi anestesi post operasi :
- Observasi keadaan umum, vital sign, dan perdarahan tiap 15 menit selama 24
jam
- Tidur terlentang tidak menggunakan bantal dalam 24 jam pertama
- Analgetik (tramadol 100 mg + ketorolac 30 mg) 30 tts/mnt
- Terapi selanjutnya disesuaikan dengan dr. Dennison, Sp.B





8

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Cholelithiasis
cholelitiasis disebut juga Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus.
Istilah chsolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
1
Sebagian besar batu empedu, terutama batu
kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung
empedu ini berpindah ke dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu
sekunder atau koledokolitiasis sekunder.
2
a. Patofisiologi
Batu empedu pada hakekatnya merupakan endapan satau atau lebih komponen
empedu, yaitu kolesterol, protein, asam lemak, dan fosfolipid. Batu empedu memiliki
komposisi yang terutama terbagi atas tiga jenis: pigmen, kolesterol, dan batu campuran.
Batu empedu, terutama batu kolesterol, hampir selalu dibentuk dalam kandung
empedu dan jarang dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Kalau batu kandung
empedu ini berpindah ke dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran
empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder. Kebanyakan batu duktus koledokus
berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam
saluran empedu ekstrahepatik maupun intrahepatik. Batu saluran empedu primer harus
memenuhi kriteria sebagai berikut; ada masa asmtomatik setelah kolesistektomi,
morfologik cocok dengan batu empedu primer, tidak ada striktur pada duktus koledokus
atau tidak ada sisa duktus sistikus yang panjang. Morfologik batu primer saluran
empedu antara lain bentuknya ovoid, lunak, rapuh, seperti lumpur atau tanah, dan
berwarna coklat muda sampai coklat gelap.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya, akan tetapi
tampaknya faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi
kandung empedu.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu. Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita
9

batu empedu menyekresi empedu yang sangata jenuh dengan kolesterol. Kolesterol
yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu untuk membentuk batu
empedu.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan
kontraksi kandung empedu, atau spasme sfingter Oddi, atau keduanya dapat
menyebabkan terjadinya stasis. Faktor hormonal (terutama selama kehamilan) dapat
dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan meyebabkan
tingginya insidensi dalam kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.
Mukus meningkatkan viskositas empedu, dan unsur sel atau bakteri dapat berperan
sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai
akibat dari terbentuknya batu empedu, dibandingkan sebagai penyebab terbentuknya
batu empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parisal atau komplet sehingga
menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu berulang melalui duktus
sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat
menimbulkan peradangan dinding duktus sistikus dan striktur. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameterna terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu
akan tetap berada di sana sebagai batu duktus sistikus.

b. Manifestasi Klinis
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok: pasien dengan
batu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik, dan pasien dengan
komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis).
Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu
diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien
dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien
tetap asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier, dan 20% mendapat komplikasi.
10

Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier. Keluhan ini
didefinisikan sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang
dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di perut kanan atas atau epigastrium tetapi bisa juga
di kiri dan prekordial. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi sepertiga
kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula,
atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah.
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut
kanan atas akan disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
kolangitis. Biasanya terdapat ikterus dan urin berwarna gelap yang hilang timbul.
Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan dan lebih
banyak ditemukan di daerah tungkai daripada badan.

Diagnosis
Diagnosis cholelithiasis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium darah, dan pemeriksaan radiologi.
Pada anamnesis biasanya didapatkan data adanya kolik bilier. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan kelainan berupa pembesaran kandung empedu atau nyeri tekan,
tetapi biasanya berhubungan dengan komplikasi seperti kolesistitis akut dengan
peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung empedu, empiema kandung empedu, atau
pankreatitis. Jika telah terjadi kolesistitis akut dapat ditemui Murphys sign positif.
Batu kandung empedu yang asimptomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut dapat terjadi leukositosis. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan batu di dalam duktus koledokus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap kali ada serangan akut.
Dewasa ini ultrasonografi merupakan pencitraan pilihan pertama untuk
mendiagnosis batu kandung empedu dengan sensitivitas tinggi melebihi 95%,
sedangkan untuk deteksi batu saluran empedu sesitivitasnya relatif rendah berkisar
antara 18 74%.
Ultrasonografi dapat mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu. Dengan ultrasonografi juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang
menebal karena fibrosis atau udem karena peradangan maupun sebab lain. Batu duktus
11

koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang udara di dalam usus.selain itu,
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangren lebih jelas
daripada dengan palpasi biasa.
Foto polos perut biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena 10-15
% batu kandung empedu yang bersifat rasioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat pada foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usu besar, di fleksura hepatika.
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras yang diberikan per oral
cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Pemeriksaan kolesistorafi
oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
CT-scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu
kandung empedu. Cara ini berguna untuk mendiagnosis keganasan pada kandung
empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan 70 90 %.
Foto rontgen dengan kolangiopankreatikografi endoskopi retrograde di papila
Vater (ERCP) atau melalui kolongiografi transhepatik perkutan (PTC) bergunan untuk
pemeriksaan batu di duktus koledokus. Indikasinya ialah batu kandung empedu dengan
gangguan fungsi hati yang tidak dapat dideteksi dengan ultrasonografi dan
kolesistografi oral, misalnya karena batu kecil.

Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi
makanan berlemak.
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah
dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan
kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan
kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.
Pilihan penatalaksanaan antara lain :
1. Kolesistektomi terbuka
12

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur
ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

3.2 Anestesi Umum (General Anesthesia)
a. Definisi
4,5

Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri bahkan
hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan. Tujuan anestesi yaitu :
Hipnotik
Analgesi
Relaksasi otot

Anestesi Umum
4,5

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anestesi
ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Cara pemberian anestesi umum :
1. Parenteral (intramuscular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi
anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat digunakan
ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral dikombinasikan
dengan cara lain.
7

2. Parekteral. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
7

3. Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah
menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang
digunakan berupa campuran gas (dengan oksigen) dan konsentrasi zat anestetik tersebut
tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentukan
kekuatan daya anestesi, zat anestetika disebut kuat bila dengan tekanan parsial yang rendah
sudah dapat memberi anestesi yang adekuat.
7


13

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI UMUM
2

A. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus
adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin
cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan
parsial
B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
C. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
Koefisien partisi jaringan/darah
Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh
darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh
darah/JSPD)
D. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal
Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang
rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
E. Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
14

Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman
anestesia semakin cepat.
PROSEDUR ANESTESI UMUM
5

Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat
harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat
dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik
dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat
ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini
dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran
prognosis pasien secara umum.

Persiapan pasien
A. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga
pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta
berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi
penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-
paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi
(infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit
ginjal.
15

- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi,
obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung
seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan
pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti: merokok dan alkohol.

B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut,
lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang
sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin
walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb,
lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50
tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus
dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam
ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya
dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada
diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan
hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan
teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi
sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.

16

D. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.

E. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam,
anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anesthesia.

F. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau
kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan mencantumkan tanda
darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.

G. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
17

-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan
intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang
baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan
tujuan kita member anesthesia yang lancer dan aman.

Macam- macam tehnik anasthesi umum
4,7
1. ANESTESI INHALASI
anesteai inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan
jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme
kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri dalam farmakologi
modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan menuju organ sasaran yang jauh
merupakan suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi.
6,7
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat fisiknya:
18

1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya

Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan
alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah adalahfaktor utama yang penting
dalam menentukan kecepatan induksi dan pemulihannya.Induksi dan pemulihan berlangsung
cepat pada zat yang tidak larut dan lambat padayang larut.Kadar alveolus minimal ( KAM )
atau MAC (minimum alveolar concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus
pada tekanan satu atmosfir yangdiperlukan untuk mencegah gerakan pada 50 % pasien yang
dilakukan insisi standar.Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95 % pasien, jika
kadarnya dinaikkan diatas30 % nilai KAM. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial zat
anestetik dalam alveolisama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat.
6
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:
1. Konsentrasi inspirasi.Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah
penuh, makaambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inpirasi sama dengan alveoli.
Halini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat kalau konsentrasi makin
tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang laring. Induksimakin cepat jika
disertai oleh N2O (efek gas kedua).
2. Ventilasi alveolar Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi
dansebaliknya.
3. Koefisien darah/gasMakin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin
rendahkonsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung makin cepat uap diambil
5. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik. Jumlah uapdalam
mesin anestesi bukan merupakan gambaran yang sebenarnya, karenasebagian uap
tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi atau ke atmosfir sekitar sebelum
mencapai pernafasan.
ELIMINASI
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru. Sebagianlagi
dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa metabolismeyang larut
dalam air dikeluarkan melalui ginjal.
19

N2O
N2O (gas gelak,laughing gas , nitrous oxide, dinitrogen monooksida) diperolehdengan
memanaskan amonium nitrat sampai 240C. NH4NO3 --240 C ---- 2H2O + N2O N2O dalam
ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali
berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair dalamsilinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter
dengan tekanan 750 psi atau 50 atm.Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal
25%. Gas ini bersifatanestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan
untuk menguranginyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tetapidikombinasi dengan salah satu cairan anestesi lain seperti halotan dan
sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar
mengisi alveoli,sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindariterjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit.
HALOTAN
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang enak dan
tidak merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesikombinasi
dengan N2O. Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supayatidak dirusak oleh
cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi
intubasi, asalkan anestesinyacukup dalam, stabil dan sebelum tindakan dierikan analgesi
semprot lidokain 4% atau10% sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja,
umumnya laringoskopintubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup
baik.Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas kendalisektar 0,5-
1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Halotanmenyebabkan
vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulitdikendalikan dengan teknik
anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedahotak.Kelebihan dosis menyebabkan
depresi napas, menurunnya tonus simpatis,depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor.
Kebalikan dari N2O, halotananalgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi
keduanya ideal sepanjangtidak ada indikasi kontra.Kombinasi dengan adrenalin sering
menyebabkan disritmia, sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan
dengan pengenceran1:200.000 (5 g/kg).Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%,
karena relaksasi uterusakan menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan
insulin, meninggikankadar gula darah.Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar
secara oksidatif menjadikomponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Secara reduktif
menjadi komponenfluorida dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Metabolisme
20

reduktif inimenyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan indikasi kontra pada
penderita
gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang tiga bulan atau pasienkegemukan.
Pasca pemberian halotan sering menyebabkan pasien menggigil.
5

ENFLURAN
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer setelahada
kecuriagan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada pengguanan berulang. PadaEEG
menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia, karena itu
hindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang
beranggapan bukan indikasi kontra untuk dpakai pada kasus dengan riwayat epilepsi.
Kombinasidengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan.Enfluran yang
dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non-volatil yang dikeluarkan lewat
urin. Ssisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli.Induksi dan pulih dari anestesia lebih
cepat dibanding halotan. Vasodlatasi serebralantara halotan dan isofluran.Efek depresi napas
lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, depresilebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
5

ISOFLURAN
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau
subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapimeninggikan aliran
darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial ini
dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi,sehingga isofluran banyak digunakan
untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemariuntuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguankoroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil
menyebabkanrelaksasi dan kurang responsif jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga
dapatmenyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangisampai
1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.

DESFLURAN
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya
mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan dengananestetik volatil lainnya, sehingga
21

perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati suhu ruangan
(23.5C). potensinya rendah (MAC 6.0%). Ia bersifatsimpatomimetik menyebabkan
takikardia dan hipertensi. Efek depres napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran
merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakanuntuk induksi anestesia.

SEVOFLURAN
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesilebih
cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disampinghalotan.Efek terhadap
kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat
seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadaphepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime,
baralime), tetapi belum ada laporanmembahayakan terhadap tubuh manusia.

SISTEM ATAU SIRKUIT ANESTESI
Sistem penghantar gas atau sistem anestesia atau sirkuit anestesia ialah alat yang bukan
saja menghantarkkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalannapas atau pasien,
tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnyadengan aliran gas segar
atau dengan mengisapnya dengan kapur soda.Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
1. Sungkup muka, sungkup laring atau pipa trakea
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas.
3. Pipa ombak, pipa cadang. Bahan karet hitam atau plastik transparan anti statik,anti
tertekuk.
4. Kantong cadang.
5.Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2. untuk mencegah terjadinya barotrauma
akibat naiknya tekanan gas yang mendadak tinggi, katup membatasitakanan sampai 50
cmH2O.
Sirkuit anestesi yang populer sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system),sirkuit
magill, sirkuit Bain dan sistem pipa T atau pipa Y dari Ayre.

SISTEM INSUFLASI
Sistem ini diartikan sebagai penghembusan gas anestetik dengan sungkup
mukamelalui salah satu sistem ke wajah pasien tanpa menyetuhnya. Biasanya dikerjakan
pada bayi atau anak kecil yang takut disuntik atau pada mereka yang sedang tidur supaya
22

tidak terbangun (steal induction). Untuk mnghindari penumpukan gasCO2, aliran gas harus
cukup tinggi sekitar 8-10 liter/menit. Sistem ini mencemari udarasekitarnya.Ada yang
mengartikan, bahwa sistem ini adalah penghembusan campuran gasanestetik melalui lubang
hidung dengan menggunakan pipa nasofaring. Seperti mealuisungkup, aliran campuran gas
juga harus tinggi sekitar 8-10 liter/menit.

TATALAKSANA ANESTESI UMUM INHALASI SUNGKUP MUKA
Indikasi
1. Pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh dan berlangsungsingkat dengan
posisi terlentang, tanpa membuka rongga perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (status fisik I atau II).
3. lambung dalam keadaan kosong
Kontraindikasi :
1.operasi di daerah kepala dan jalan napas.
2.operasi dengan posisi miring atau tertelungkup
Tatalaksana :
1.pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman
2. pasang alat pantau yang diperlukan
3.siapkan alat-alat dan obat resusitasi
4.siapkan mesin anestesi dengan sistem sirkuitnya dan gas anestesi yangdigunakannya
5.induksi dengan pentothal atau dengan obat hipnotik yang lain
6.berikan salah satu kombinasi obat inhalasi
7.awasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan napas bantuan
intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas pasien
8. pantau denyut nadi dan tekanan darah
9.apabila operasi sudah selesai, hentikan aliran gas/obat anestesi inhalasi dan berikan oksigen
100% (4-8 liter/menit) selama 2-5 menit.
Penyulit: sehubungan dengan efek samping obat dan risiko sumbatan jalan napas atas.
kombinasi obat anestesi inhalasi:
1. N2O + halotan atau
2. N2O + enfluran atau
3. N2O + isofluran atau
4. N2O + sevofluran

23

2. LARINGEAL MASK AIRWAY
Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya pengendalian
jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas. Tanggung jawab dokter anestesi adalah
untuk menyediakan respirasi dan managemen jalan nafas yang adekuat untuk pasien. LMA
telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face
mask. LMA di insersi secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan
rendah sekeliling pintu masuk laring

a. Desain dan Fungsi
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk memberikan
dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan memungkinkan
ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7
ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.
7

b. Macam-macam LMA
LMA dapat dibagi menjadi 3 ( 4 ) :
1. Clasic LMA
2. Fastrach LMA
3. Proseal LMA
4. Flexible LMA


4.1. I ndikasi :
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management.
LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan.
24

c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.
c. Kontraindikasi ( 4 ) :
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada emergency adalah
pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang
bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi
dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan11inspirasi puncak harus dijaga kurang
dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu
terjadinya laryngospasme.
d. Efek Samping ( 4 ) :
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi 10 %
dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama adalah
aspirasi.

3. INTUBASI ENDOTRACHEAL
A. Intubasi
a. Definisi
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira pada pertengahan antara pita suara dan bifurkasio
trakea.
4
Tujuan :
7,8,9

1. Pembebasan jalan napas
2. Pemberian napas buatan dengan bag and mask
3. Pemberian napas buatan secara mekanik (respirator)
4. Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
5. Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang dikembangkan)
6. Mencegah distensi lambung.
Pemberian oksigen dosis tinggi.

b. Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu disiapkan
yang disingkat dengan STATICS.
25

1. S= Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung
sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua
macam laringoskop:
5

a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Gambar 3. Miller Blade
3
Gambar 4. Macintosh Blade
3

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada
laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

2. T=Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar
polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang
pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah
usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa
seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan
kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor.
5
Alasan
lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea
dan postintubation croup.
4

Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal
tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat
menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada
pasien dengan farktur basis kranii.
26

Di pasaran bebeas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di
bawah ini.

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf
Tabel 1. Pipa Trakea dan peruntukannya
9


Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + umur (tahun)

Karakteristik Pipa Endotrakea
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan
patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.
27


Gambar 5. Pipa endotrakea
8
Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas
lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan
mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan
perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm
untuk memastikan kedalaman pipa.
5
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea disesuaikan
dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk
seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada
anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah
subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada
anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya
dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi
untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung
(memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak
langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain
adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan
balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih
baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat
dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan
28

tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa
hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn atau tanpa cuff.
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil
pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + umur (tahun).

Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari
hendaknya dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada
beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi
bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis
subglotis.
5
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang
dengan adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi
pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan
dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien
sadar tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka
panjang mungkin merasa lebih nyaman dan diberi
kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi
dilakukan lebih dini.
9

3. A=Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga
terbukanya jalan napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel,
orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
Size
PLAIN
Size
CUFFED
2.5 mm 4.5 mm
3.0 mm 5.0 mm
3.5 mm 5.5 mm
4.0 mm 6.0 mm
4.5 mm 6.5 mm
7.0 mm
7.5 mm
8.0 mm
8.5 mm
9.0 mm
29


Gambar 5. OPA dan posisinya
4
Gambar 6. NTA dan posisinya
4

4. T=Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

5. I=Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus
plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.

6. C=Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask
ataupun peralatan anestesia.

7. S=Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.

C. Indikasi Intubasi Trakea
Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

30

D. Kontraindikasi
a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi, penanganan jalan
nafas jangka panjang, mempermudah proses weaning ventilator

E. penyulit IntubasiTrakea
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang
dijumpai.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan menurut Cormack
dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.



Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi:
5

1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.
Gambar 7. Mallampati Classification and Cormack-Lehanne
Classification
5

31


F. Teknik Intubasi Trakea
Sebelum melakukan intubasi, perlu dipersiapkan alat-alat yang diperlukan dan
diperiksa keadaannya, misalkan apakah kaf pada intubasi tidak bocor, nyala lampu pada
laringoskop, dan lain-lain.
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien
yang benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih
tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk
mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak
perlu selama laringoskopi. Elevasi kepala sedang
(sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari
atlantoocipito join membuat pasien berada pada
posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari
tulang leher dibuat fleksi dengan menempatkan
kepala diatas bantal.
8

Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin. Setelah induksi
anestesi umum, mata rutin direkat dengan plester karena anestesi umum menghilangkan
refleks proteksi cornea.

1. Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade
dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan
lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung
blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis.
Handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat
pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus
dihindari. Orotracheal tube (OTT) diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan
melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon OTT harus berada dalam trachea bagian atas
tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi.
Balon dikembungkan dengan minimal udara yang dibutuhkan untuk meminimalkan tekanan
yang ditransmisikan pada mukosa trachea.
Gambar 8. Sniffing position
2

32


Gambar 9. Tampilan Glottis selama laringoskopi
8

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnogragraf
dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratracheal. Walaupun deteksi kadar CO
2
dengan
capnograf yang merupakan konfirmasi terbaik dari letak OTT di trachea, tapi tidak dapat
mengecualikan intubasi bronchial. Manifestasi dini dari intubasi bronkhial adalah
peningkatan tekanan respirasi puncak. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi
ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU. Setelah yakin OTT berada dalam posisi yang tepat,
pipa diplester atau diikat untuk mengamankan posisi.
9


2. Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung dan
nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih
dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes hidung
phenylephrine (0,5 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan
membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat
digunakan.
2

NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke dasar
hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin. Untuk
memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke
arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring.
Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika
ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan
33

hati-hati agar tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada
pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.
5


G. Komplikasi
8,9

Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik anestesi dan
perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman
dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang
diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi,
membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.
Komplikasi yang berhubungan dengan intubasi endotrakeal
Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat
dibagi menjadi:
Faktor pasien
1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki laring
dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat menimbulkan
kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan trauma fisik atau
fisiologis selama intubasi.
4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.

Faktor yang berhubungan dengan anestesia
1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi krisis yang
dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi selama
tatalaksana jalan napas.
2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan
peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.

Faktor yang berhubungan dengan peralatan
1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang
maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi pada
bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut.
2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.
3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
34

4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik berupa
etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan
yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian yang tidak
tepat.
Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan ventilasi
dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan
kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya ventilasi
maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi
dapat menyebabkan kematian atau hipoksia otak.
Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam
keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation (CVCI).

Komplikasi :
8,9

1. selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi , laring
- Merangsang saraf simpatis
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Selama Ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glotis-subglotis
- Infeksi laring, faring, dan trakea
35


Ekstubasi
,8,9

a. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- intubasi kembali menimbulkan kesulitan
- adanya resiko aspirasi
b. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan tidak
terjadi spasme laring
c. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan cairan lainnya.



Rumatan anestesi (maintenance)
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena
total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi
biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar,
analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga
tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan
(controlled).

Monitoring perianestesi

36

Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi
dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus
diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat)
misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).





























37

BAB IV
ANALISA KASUS

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Pada penderita batu kandung empedu yang simtomatik, keluhan utamanya berupa
nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau prekordium. Pada anamnesis penderita
ini didapatkan penderita mengalami nyeri perut kanan atas selama kurang lebih 1 tahun
terakhir yang hilang timbul, namun baru dirasakan menghebat dalam 1 bulan sebelum
penderita masuk rumah sakit. Nyeri bersifat tajam yang dirasakan menjalar hingga ke
punggung kanan. Intensitas nyeri bertambah saat penderita mengkonsumsi makanan yang
berlemak. Penderita mengaku tidak pernah mengalami demam, mual(+) dan muntah(-).
Pemeriksaan fisik penderita batu kandung empedu terutama ditemukan nyeri tekan
dengan punktum maksimum di daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy positif
apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
napas. Pada pemeriksaan palpasi daerah abdomen pasien ini ditemukan adanya nyeri tekan
pada daerah kuadran kanan atas dan Murphy sign positif.
Tatalaksana pada pasien ini adalah dengan tindakan pembedahan cholesistectomy.
Anastesi untuk tindakan cholesistectomy pada pasien ini menggunakan general anastesi
dengan teknik anastesi intubasi untuk mencegah aspirasi lambung.
Tindakan Anestesi pada pasien ini tergolong kepada ASA II, sebab pasien menderita
penyakit sistemik yang tidak mengganggu aktifitas rutin, pada pasien ini terdapat penyakit
sistemik berupa hiperkolesterolemia seperti pada pemeriksaan faal hati di dapatkan nilai
protein total yaitu 8.6 g/dl

menandakan terjadinya peningkatan, dan pemeriksaan globulin di
dapatkan 4,8 g/dl melebihi dari nilai normal.
Premedikasi
Sebelum obat anestesi diberikan pasien diberi obat premedikasi yaitu ranitidin 50 mg,
ondansetron 4 ml, sulfas atropin 0,6 mg, fentanil 60 mg secara intravena. Dimana ranitidin
merupakan antagonis reseptor H
2
histamin yang memblokir sekresi hydrogen yang
ditimbulkan histamine-pentagastrin dan asetilkolin oleh sel parietal sehingga ranitidin
diberikan tujuan untuk mencegah refluks gastroesophagus, keadaan hipersekresi asam
38

lambung, profilaksis terhadap aspirasi lambung, pneumonitis asam lambung. sedangkan
pemberian ondansetron untuk pasien ini dimaksudkan untuk mengurangi mual dan muntah
pasca pembedahan. Pemberian SA (0,7 mg) sebagai pengobatan bradikardi, SA pada
premedikasi untuk mengurangi sekresi ludah dan bronkus, dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgbb.
Pemberian fentanil dimaksudkan untuk analgesia, pada pasien ini diberikan 70 mikrogram
dengan aturan dosis pemberian 1-2 mikrogram/kgBB (dalam pengenceran 10cc, 1cc = 10
mikrogram).
Untuk induksi pada pasien ini diberikan recofol (propofol) dengan dosis 2-2,5
mg/kgBB (150 mg) secara intravena. Recofol merupakan suatu obat hipnotik intravena
diisopropikfenol yang menimbulkan induksi anestesi yang cepat. Recofol digunakan untuk
obat induksi sadar, pemeliharaan dari anestesi, pengobatan mual dan muntah pasca bedah.
Obat disuntikkan dalam keccepatan 30-60 detik. Selama induksi anestesi harus diperhatikan
pernafasan pasien, nadi, tekanan darah, dan diberi oksigen.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atracurium 35 mg iv, yang merupakan
non depolaritation intermediete acting. Atracurium dipilih sebagai agen penginduksi karena
mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme terjadi di dalam darah (plasma)
terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hofman. Reaksi ini tidak
tergantung pada fungsi hati atau ginjal. Selain itu tidak mempunyai efek kumulasi pada
pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi
dan relaksasi otot adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2
mg/kgBB (iv).
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevo. Oksigen diberikan untuk
mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal
25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi analgetiknya kuat. Sevoflurane
merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan isoflurane.
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian
dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan oleh tubuh.
Ketorolak dan tramadol diberikan psada pasien ini dalam RL 500 ml (30 tts/mnt).
Sebagai analgetik yang mana cara kerja ketorolak ialah menghambat sintesis prostaglandin di
perifer tanpa mengganggu reseptor opioid disistem saraf. Dosis awal ketorolak 10-30 mg dan
dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Tramadol adalah analgetik sentral dengan
afinitas rendah pada reseptor mu. Dan kelemahan analgesinya 10-20 % dibandingkan morfin.
39

Dapat diberikan secara IM atau IV dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulangi setiap 4-6 jam
dengan dosis maksimal 400 mg perhari.
Diberikan Pemberian cairan pada pasien ini diberikan cairan kristaloid sebanyak 2000
ml dan diberikan cairan koloid 500 ml untuk mempertahankan volume intravaskuler. Dari
anamnesis pasien tidak makan dan minum selama 6 jam pre op, perdarahan sekitar 600 cc,
dan urin 75 cc.
Ekstubasi dilakukan pada pasien ini ketika efek anestesi sudah ringan dan pasien
sudah mulai bernafas spontan. Pada pasien ini tidak ditemukan kesulitan dalam ekstubasi.
Setelah ekstubasi itu pasien dipindahkan ke ruang recovery dan diobservasi
berdasarkan Aldrete Score. Jika Aldrete Score 8 dan tanpa ada nilai 0 atau Aldrete Score >
9, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada pasien ini didapatkan Aldrete Score 9,
maka pasien bisa dipindahkan ke ruang recovery.















40

BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
cholesistectomy pada penderita Tn. E, usia 52 tahun, status fisik ASA II dengan diagnosis
Cholelitiasis dengan menggunakan teknik general anestesi dengan ET no.7 respirasi
terkontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat
ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan
yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum
pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian.













41

DAFTAR PUSTAKA

1. D. Shier, Butler J., Lewis R. Holes Human Anatomy and Physiology, 1999. 8
th
ed,
McGraw-Hill Comp, Boston, USA.
2. R. Sjamsuhidayat, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah, 2005. Edisi 2; Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
3. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, Anestesiologi, 2004,
Jakarta.5-41.
4. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan Intensive
Care FKUI. Jakarta. Hal : 291-311
5. Latief, S.A. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensife FKUI. Jakarta. Hal : 29-90
6. Turan et al. Comparison of the laryngeal mask ( LMA ) and laryngeal tube ( LT ) with the
new perilaryngeal airway ( CobraPLA ) in short surgical procedures. EJA 2006 ; 23 : 234
238
7. Brimacombe J. The advantage of the LMA over the tracheal tube or face mask: a meta
analysis. Can J Anaest 1995 ; 42 : 1017 1023
8. Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in Intubated Neonatal
in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525-528. Available at:
http://www.archoto.com.
1. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani W.I., Setiowulan W., (ed)., (2002), Kapita Selekta
Kedokteran, edisi III, Jilid 2, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta

You might also like