Aulia Anbiya A. 1301-1212-0523 Annisa Ikhsanawati 1301-1212-0515 Eliza Techa F. 1301-1212-0540 Gunalan s/o Govindarajan 1301-1212- 3505 Maria Agustina S.W 1301-1213-0544 Kartika Sandra 1301-1213-0680 Preseptor: Rachmat Zulkarnain G.,dr., SpKFR
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG 2014 2
PENDAHULUAN Tujuan utama dari ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi medik adalah untuk mengembalikan fungsi fisik dan psikososial individu sehingga mereka dapat mencapai level optimal independensi. Untuk mencapai tujuan ini, tidak hanya diperlukan diagnosis dan dan pengobatan yang tepat saja, tetapi juga diperlukan monitoring untuk melihat komplikasi yang berpotensi muncul yang dapat menyebabkan masalah tambahan. Begitu juga yang terjadi ketika individu dirawat dalam jangka waktu lama sehingga terjadi inaktivasi atau imobilisasi alat gerak, tidak hanya pengobatan medikamentosa saja yang harus kita perhatikan, tetapi juga rehabilitasi medik terhadap pasien tersebut harus kita jalankan untuk meminimalisir terjadinya komplikasi yang mungkin timbul karena imobilisasi lama. Pada awalnya, imobilisasi ini menyebabkan perubahan kapasitas fungsional satu organ tertentu yang kemudian menyebar mempengaruhi banyak organ dan sistem tubuh. DEFINISI Imobilisasi merupakan sebuah keadaan dimana pasien dalam kondisi tirah baring, tidak bergerak secara aktif sebagai akibat dari adanya gangguan pada organ tubuh, baik fisik ataupun mental. EPIDEMIOLOGI Imobilisasi lama dapat terjadi pada semua orang, tetapi mayoritas terjadi pada pasien usia lanjut, gangguan muskuloskeletal, paska operasi atau penyakit kronis yang memerlukan tirah baring lama misalnya pada pasien infark miokardial. Dampak imobilisasi lama terutama adalah ulkus dekubitus mencapai 11% dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu. Perawatan emboli paru berkisar 0,9% dengan kematian 200.000 orang setiap tahunnya.
3
TINGKAT MOBILITAS Menurut Braden & Bergstrom (1989), dalam skala Braden, tingkat mobilitas terdiri dari empat tingkat : 1. Tidak terbatas : Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan. 2. Agak terbatas : Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas secara mandiri tetapi memiliki beberapa keterbatasan. 3. Sangat terbatas : kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas tetapi tidak dapat melakukan perubahan yang sering. 4. Imobilisasi : Tidak dapat melakukan perubahan baik pada posisi tubuh maupun pada ekstremitas tanpa adanya bantuan. KLASIFIKASI 1. Imobilitas fisik merupakan pembatasan gerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien hemiplegia. 2. Imobilitas intelektual, merupakan pembatasan gerak daya pikir seseorang, seperti pada pasien dengan kerusakan otak. 3. Imobilitas emosional, merupakan pembatasan gerak emosi seseorang akibat adanya perubahan yang tiba-tiba dalam proses penyesuaian diri, seperti yang terjadi pada pasien paska amputasi. 4. Imobilitas sosial, merupakan pembatasan gerak sosial seseorang dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya. KOMPLIKASI Imobilitas karena tirah baring jangka lama akan menyebabkan suatu keadaan klinis yang disebut deconditioning, dimana terjadi penurunan kapasitas fungsional berbagai sistem tubuh terutama sistem muskuloskeletal. Deconditioning terjadi pada berbagai usia dan jenis kelamin, terutama pada pasien dengan kondisi sakit kronis, usia lanjut dan cacat. Sebagai 4
contoh, seorang pasien sehat yang tirah baring lama dapat mengalami pemendekan pada otot- otot di punggung dan kaki, terutama otot yang melewati sendi panggul dan lutut. Pada sisi lain, seorang pasien dengan kelainan neuron motor dan spastisitas anggota gerak sebagai penyerta juga dapat mengalami komplikasi muskuloskeletal yang sama tapi pada derajat yang lebih berat. Efek dari imobilitas jarang terbatas pada satu organ tertentu. Imobilitas menyebabkan berkurangnya kapasitas fungsional sistem muskuloskeletal sehingga dapat terjadi kelemahan, atrofi dan daya tahan otot yang lemah. Aktivitas metabolik dan ekstraksi oksigen pada otot juga berkurang menyebabkan berkurangnya kapasitas fungsional otot jantung. Tirah baring yang lama juga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis, hipotensi postural dan trombosis vena dalam. Efek samping imobilitas Sistem Efek Muskuloskeletal Otot Kontraktur Kelemahan dan atrofi otot Gangguan eksitasi elektrik Tulang Osteoporosis Sendi Degenerasi kartilago Infiltrasi jaringan fibrofatty Atrofi sinovial Ankilosis
5
Jantung dan paru Jantung Redistribusi cairan tubuh Hipotensi ortostatis Penurunan kapasitas fungsional kardiopulmoner Koagulasi darah (tromboembolisme) Paru Resistensi mekanis pernapasan Pneumonia hipostatis Peningkatan kapasitas total paru Emboli paru Genitourinaria dan gastrointestinal Statis urinaria, batu ginjal, infeksi saluran kemih Gangguan berkemih Penurunan nafsu makan Konstipasi Endokrin dan metabolik Metabolik Peningkatan lemak tubuh Gangguan elektrolit dan mineral Endokrin Intoleransi glukosa Gangguan produksi hormon Peningkatan temperatur dan respon berkeringat Gangguan ritme sirkadian Kognitif dan perilaku Deprivasi sensoris Disorientasi Depresi dan cemas 6
Penurunan kapasitas intelektualitas Gangguan keseimbangan dan koordinasi Gangguan tidur Kulit Ulkus dekubitus Edema Bursitis subkutan
Tambahan disabilitas (permanen, temporer) Dampak imobilitas terhadap berbagai sistem tubuh : 1. Sistem Muskuloskeletal Fungsi utama sistem muskuloskeletal adalah untuk menopang tubuh, transportasi tubuh, dan melakukan berbagai kegiatan fisik lainnya. A. Kelemahan dan atrofi otot Pada posisi berbaring, aktivitas otot minimal karena berkurangnya kekuatan gravitasi dan hipokinesia. Secara progresif, hal ini menyebabkan penurunan 7
ukuran, kekuatan dan daya tahan otot. Keadaan ini biasanya terjadi pada otot anti gravitasi pada anggota tubuh bagian bawah. Pada beberapa orang, keadaan ini bersifat reversibel, kecuali pada orang dengan kelainan muskuloskeletal atau neurologis. Dengan tirah baring sempurna, terjadi penurunan kekuatan otot sebesar 1-3 % per hari, atau 10-15 % per minggu. Pasien dengan tirah baring total selama 3-5 minggu dapat kehilangan setengah dari kekuatan ototnya. Pada tampilan histologis, terjadi penurunan area gelap ATPase tipe II sebanyak 46% dan area terang ATPase tipe I sebanyak 69%. Pada awal imobilitas, terjadi peningkatan aktivitas suksinat dehidrogenase per serat otot, tetapi kemudian mengalami penurunan secara signifikan pada akhir imobilitas. Secara general, terjadi penurunan aktivitas enzim oksidasi pada otot. Pada otot, terjadi pula perubahan metabolik sebagai respon terhadap gangguan aktivitas enzim. Walaupun sumber energi utama berasal dari karbohidrat dan lemak, terjadi kehilangan nitrogen selama imobilitas akibat aktivitas otot yang terbatas sehingga menyebabkan berkurangnya sintesis protein. Defisiensi protein ini diperberat dengan mekanisme gastrointestinal berupa kehilangan nafsu makan, berkrangnya absorspi protein dan konstipasi. Kehilangan nitrogen per hari dapat mencapai 2 gram. Peningkatan kehilangan nitrogen biasanya dimulai pada hari ke-5 atau ke-6 tirah baring, dengan puncaknya pada minggu kedua.
8
Inaktivitas
Peningkatan pemecahan nitrogen mekanisme sistem GI Penurunan sintesis nitrogen (berkurangnya nafsu makan, absorpsi)
hipoproteinemia Penurunan kapasitas enzim menyebabkan berkurangnya ekstraksi oksigen dari darah. Hal ini menyebabkan perubahan pada bentuk dan ukuran end plate dan fungsi dari reseptor asetilkolin sehingga menyebabkan penurunan daya tahan otot. Penurunan maksimal terjadi pada hari ke 8 dan 10, selanjutnya mengalami penurunan. Sejalan dengan perubahan serat otot, terjadi peningkatan relatif dari konten dan cross-linkage kolagen. Hal ini menyebabkan terjadinya rigiditas dan kontraktur miogenik. Selanjutnya, jika otot-otot ekstensor tetap pada posisi ekstensi penuh dan otot-otot fleksi tetap pada posisi fleksi penuh selama imobilisasi, dapat menyebabkan berkurangnya jumlah sarkomer otot sehingga terjadi penurunan panjang dan kekuatan otot selama aktivitas. Kelemahan dan atrofi otot ini dapat dicegah dengan peregangan otot selama setengah jam setiap harinya. Kelemahan dan atrofi otot ini juga dapat dicegah dengan penggunaan stimulasi elektris. Program yang dipakai adalah stimulasi rectangular bifasik sebanyak tiga sesi per hari selama 30 menit. B. Kontraktur Kontraktur adalah kurangnya jangkauan aktif atau pasif penuh lingkup gerak sendi yang terjadi karena adanya keterbatasan penggunaan sendi, otot atau 9
jaringan lunak. Berbagai keadaan dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan sendi, contohnya nyeri sendi (yang terjadi pada proses peradanagan, trauma, infeksi, degenerasi dan perdarahan), paralisis, fibrosis jaringan kapsular atau periartrikular, atau kerusakan otot (polimiositis dan distrofi muskuler) atau faktor mekanis seperti tirah baring yang tidak tepat. Faktor tunggal yang paling sering berkontribusi terhadap terjadinya kontraktur adalah kurangnya mobilisasi sendi dalam lingkup ruang sendi penuhnya. Imobilisasi sendi yang lama dapat menyebabkan penurunan panjang otot dan pemendekkan kolagen pada kapsul sendi dan jaringan lain. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan perkembangan kontraktur, diantaranya adalah posisi tungkai, durasi imobilisasi, keadaan patologi awal dan restriksi sendi. Edema, iskemia, perdarahan dan gangguan lain pada lingkungan mikro sendi dan jaringan periartrikular juga dapat menyebabkan kontraktur. Pada usia tua, terjadi kehilangan serat otot dan peningkatan relatif dari proporsi jaringan ikat sehingga dapat menyebabkan terjadinya kontraktur. Pada pasien diabetes melitus, terjadi perubahan mikrovaskular dan iskemia yang menyebabkan terjadinya kontraktur terutama pada tangan. Tulang dan otot merupakan jenis dari dari jaringan ikat, dimana jaringan ikat memiliki properti mekanis, terdiri dari sel (fibroblas) dan makromolekul interseluler (kolagen) yang dikelilingi oleh matriks ekstraseluler (jeli polisakarida). Kolagen merupakan protein yang paling banyak terdapat pada tubuh. Terdapat paling tidak 12 macam kolagen (I-XII) yang telah teridentifikasi. Kolagen disintesis dari asam amino pada retikulum endoplasma kasar. Setiap jaringan memiliki komposisi kolagen yang berbeda sehingga terjadi kekhasan 10
pada setiap jaringan. Kolagen-kolagen tersebut akan tersusun teratur sesuai dengan arah gerak sehingga membentuk fibril. Ikatan silang antara fibril kolagen kemudian memberikan kekuatan otot. Fibril kolagen kemudian akan beragregasi dalam grup membentuk fasikel. Sejumlah besar fasikel kemudian membentuk tendon atau ligamen. Perubahan pada struktur kolagen dapat dipengaruhi oleh enzim, faktor pertumbuhan atau stimuli mekanis. Selain kolagen sebagai penyokong utama struktur jaringan ikat, terdapat juga proteoglikan yang berfingsi untuk lubrikasi sendi. Pada keadaan trauma atau inflamasi dari jarigan ikat, sel mesenkimal berdiferensiasi menjadi fibroblas yang kemudian memproduksi kolagen yang kemudian tersusun secara acak. Jika sintesis kolagen lebih banyak daripada pemecahannya, dapat terjadi fibrosis yang berlebihan. Ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan kolagen ini dipengaruhi oleh faktor fisik seperti kurangnya peregangan, imobilitas dan inaktivitas yang lama. Trauma, perdarahan atau iskemia juga dapat menstimulasi sintesis kolagen. Sintesis kolagen pada otot juga dipengaruhi level aktivitas otot. Pemendekkan panjang otot juga dapat terjadi pada orang normal dalam derajat yang ringan, terutama pada otot-otot yang melewati beberapa sendi. Hal ini berhubungan dengan faktor mekanis. Diagnosis kontraktur ditegakkan setelah pemeriksaan lingkup gerak sendi yang meliputi evaluasi lingkup gerak sendi aktif dan pasif. Kontraktur yang diakibatkan oleh keadaan patologi dapat dibedakan menjadi artrogenik, miogenik dan jaringan lunak. Tipe kontraktur Penyebab Artrogenik Kerusakan kartilago (inflamasi, infeksi, trauma, 11
degenerasi) Proliferasi jaringan sinovial (efusi) Fibrosis kapsular Miogenik Intrinsik (struktural) Trauma (edema, perdarahan) Perubahan degeneratif (distrofi muskular) Iskemik (diabetes melitus, kelainan pembuluh darah perifer) Ekstrinsik Spastisitas (paralisis, kerusakan medula spinalis, sklerosis multipel) Flaccid paralysis Mekanis (imobilisasi, kurang peregangan) Jaringan lunak Gangguan pada jaringan lunak periartrikular Gangguan pada kulit atau jaringan subkutan (luka bakar) Gangguan pada tendon dan ligamen (tendinitis, bursitis) Kombinasi Kombinasi ketiganya ditemukan pada satu sendi
Kontraktur dan perubahan jaringan ikat Jaringan ikat secara konstan digantikan dan reorganisasi selama fase penyembuhan. Pada area yang sering bergerak, jaringan ikat longgar terbentuk, sedangkan pada area yang tidak ada atau minim gerakan akan terbentuk jalinan padat kolagen. Serat kolagen ini akan memendek bila terjadi imobilisasi. 12
Imobilisasi dapat menyebabkan infiltrasi fibrolipid pada sendi yang bisa matang menjadi perekat kuat di dalam sendi dan bisa merusak kartilago. Kontraktur artrogenik Proses patologis yang melibatkan sendi dapat menyebabkan tightness dan fibrosis. Inflamasi dan efusi synovial disertai rasa sakit yang mengakibatkan terbatasnya pergerakan sendi dan kontraktur kapsular. ROM pasif selama arthritis akut dapat meningkatkan IL-1, IL-1 penetrasi ke dalam kartilago dan berikatan dengan reseptor di membrane kondrosit dan menghambat pembentukan proteoglikan yang penting untuk proteksi kartilago. Nyeri dan rusaknya kartilago akibat splinting menurunkan pergerakan sendi dan ROM. Kapsul sendi juga bisa kehilangan ekstensibilitas akibat pemendekan serat kolagen. Penyebabnya adalah karena stretching yang kurang dan posisi fleksi. ROM terbatas ke segala arah. Sendi bahu dan pinggul paing sering mengalami kontraktur kapsul. Pemendekan kapsul posterior sendi lutut juga bisa terjadi pada pasien yang menggunakan kursi roda.
Kontraktur Jaringan Padat dan Lunak Trauma terhadap jaringan lunak dengan pendarahan bisa menyebabkan fibrosis dan menjadi kontraktur bila stretching tidak dilakukan. Dalam kondisi ini serat kolagen berproliferasi dan membentuk jalinan. Keterbatasan gerak hanya terjadi pada satu aksis. Kulit yang terbakar rentan terhadap kontraktur. Selama masa penyembuhan, luka terbakar yang melewati sendi harus sering digerakkan dan diposisikan melawan pemendekan dari jaringan parut. 13
Imobilisasi dapat menyebabka perubahan bomekanik dan biokimia pada ligament. Proses yang terjadi pada ligament selama imobilisasi yaitu penurunan sintesis kolagen dan peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang tempat insersi ligamen.
Efek kontraktur pada fungsi fisik Kontraktur memiliki 3 efek, yaitu mengganggu pergerakan, aktivitas hidup sehari-hari, dan pada perawatan kulit Kontraktur pada ekstremitas bawah mengubah pola berjalan dan bisa menghambat ambulasi. Kontraktur pinggul : menurunkan ekstensi pinggul, meningkatkan kemungkinan lordosis lumbar dan kebutuhan energi. Kontraktur pinggul dapat menyebabkan pemendekan otot hamstring sehingga memfleksikan lutut, tidak jarang pasien dengan kontraktur pinggul mengalami kontraktur lutut dan ankle terutama bila tidak dilakukan mobilisasi. Kontraktur plantarfleksi menyebabkan hilangnya hentakan kaki dan abnormal pus-off. Keterbatasan pada ekstremitas atas menyebabkan tidak bisa menggapai, berpakaian, merawat diri, makan dan kemampuan motorik halus lainnya. Kontraktur pada banyak sendi mengganggu posisi tidur, berdiri, mobilisasi, dan mempersulit perawatan kulit dan perineum dan perluasan area tekanan pada kulit. 14
Hip contracture
Plantarflexion contracture Bed rest dan nyeri punggung bawah Bed rest yang terlalu lama dapat menyebabkan nyeri punggung bawah melalui mekanisme tightness pada otot punggung dan hamstring atau kelemahan otot punggung dan abdomen. Adanya pemendekan pada otot- otot ini akan mengubah alignment spinal dan postur tubuh. Imobilisasi osteoporosis spinal juga dapat menyebabkan nyeri punggung . Komplikasi bed rest ini dapat dicegah dengan latihan penguatan otot abdomen dan paraspinal serta hamstring. Bed rest yang lama tidak memiliki efek terapi pada sindrom nyeri punggung bawah. 15
Terapi dan Manajemen kontraktur Analisis Menentukan faktor predisposisi, pengetahuan mengenai efek kontraktur dan pentingnya mobilisasi dan stretching dari otot serta aktif dan pasif ROM. Stretch dan restorasi ROM Bila kontraktur sudah terjadi, latihan ROM aktif dan pasif dikombinasikan dengan terminal stretch minimal 2 kali sehari. Untuk kontraktur ringan, stretch selama 20-30 menit cukup efektif dan lebih dari 30 menit untuk kontraktur lebih berat. Terapi akan lebih berhasil bila dikombinasikan dengan pemanasan pada musculotendinous junction atau kapsul sendi, menggunakan ultrasound menghangatkan jaringan hingga suhu 40-43 C dapat meningkatkan sifat kental jaringan ikat dan memaksimalkan efek stretching. Stretch lama lebih dari 2 jam dapat dibantu menggunakan splint atau serial cast (pembalutan dengan plaster atau polymer bandage dengan bantalan pada tonjolan tulang)
Prinsip dasar pencegahan dan pengobatan kontraktur Pencegahan Posisi tidur yang benar, resting splint Latihan ROM (aktif atau pasif) Mobilisasi dini dan ambulasi CPM (continuous passive motion)
16
Pengobatan ROM pasif dengan terminal stretch Stretch lama dan pemanasan Progresif splinting, casting Terapi spastisitas; farmakologi, motor point atau blok saraf dengan botox A Intervensi bedah (eg. Pemanjangan tendon, osteotomi dan penggantian sendi). Pencegahan Kontraktur Pada pasien bed rest, dengan pemilihan matras dan tempat tidur yang sesuai, posisi yang benar, program latihan mobilisasi. Pasien sebaiknya mulai ambulasi segera setelah kondisi medisnya membaik. Namun, bila bed rest tetap harus dilakukan maka posisi tidur yang benar harus diterapkan. Matras yang kuat diperlukan untuk mencegah badan pasien melengkung atau merosot serta menghindari fleksi pinggul yang berlebihan. Footboard diletakkan 4 inchi dari ujung matras, untuk menghindari tekanan pada tumit. Tempat tidur memiliki pegangan atau rel disampingnya sebagai pegangan bagi pasien untuk mobilisasi dan duduk. Untuk bed rest lama disediakan alat untuk menjaga posisi sendi yang fungsional. Bantal pada bahu menjaga agar bahu tetap abduksi dan rotasi netral. Palmar roll untuk mempertahankan tangan, jari serta ibu jari pada posisi optimal. Trochanter roll untuk mencegah rotasi eksternal yang berlebihan pada sendi pinggul. 17
Latihan Fungsional Ambulasi untuk menjaga fungsi normal sendi yang lain. Stimulasi elektrik pada otot yang parese untuk melatih kekuatan otot. Imobilisasi osteoporosis Massa tulang akan meningkat bila ada beban dan akan berkurang jika tidak terdapat aktivitas otot Massa tulang mulai berkurang pada decade ke4-5 kehidupan, terjadi sangat cepat pada wanita saat 5-7 tahun pertama setelah menopause Imobilisasi menyebabkan penurunan kepadatan tulang, dicirikan dengan hilangnya kalsium dan hidroksiprolin dari cancellous bone epifisis dan metafisis tulang panjang. Penyebab utama adalah resorpsi tulang yang belum diketahui. Osteoporosis ini dapat dicegah dengan latihan isotonic atau isometric, ambulasi. Pasien dengan imobilisasi lama juga mengalami hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Tanda hiperkalsemia yaitu anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, konstipasi, bingung dan bisa menjadi koma. Hal ini dapat diobati dengan hidrasi dengan normal salin dan dieresis furosemid. Terapi inhibisi resorpsi tulang dengan diberikan bifosfonat.
KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR Komplikasi kardiovaskular dari immobilisasi adalah peningkatan denyut jantung, penurunan cardiac reserve, hipotensi ortostatik, dan venous thromboembolism.
18
Peningkatan Denyut Jantung dan Penurunan Cardiac Reserve Pada immobilisasi denyut jantung meningkat (umumnya menjadi 80 bpm), kemungkinan karena adanya peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Saat bed rest denyut nadi istirahat jadi lebih cepat 1 beat permenit setiap 2 hari. Meningkatnya denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi lebih singkat dan waktu ejeksi sistolik juga memendiek, akibatnya jantung kurang dapat merespon kebutuhan metabolik lebih banyak. Semakin pendek waktu diastolic menyebabkan aliran darah koroner berkurang, sehingga ketersediaan oksigen untuk otot jantung sangat terbatas. Cardiac output, stroke volume, dan fungsi ventrikel kiri juga akan berkurang. Jika terdapat sedikit saja aktivitas fisik berlebih akan menyebabkan takikardi dan angina, ini merupakan tanda bahwa kapasitas kerja sesorang berkurang. Untuk mengendalikan efek negatif bed rest dan untuk membangun kembali daya tahan, pasien hendaknya melakukan latihan ringan. Latihan dapat menggunakan sepeda ergometer ataupun arm ergometry untuk pasien dengan gangguan pada ekstremitas bawah.
Hipotensi Ortostatik Hipotensi ortostatik terjadi jika sistem kardiovaskular tidak dapat beradaptasi secara normal terhadap posisi tubuh berdiri. Hipotensi ortostatik muncul setelah 3 minggu bed rest (bisa muncul lebih awal pada orang lanjut usia). Hal ini bersama dengan 19
denyut jantung yang cepat menyebabkan pengisian ventrikel saat diastole jadi berkurang, akibatnya perfusi serebral juga akan berkurang. Biasanya hipotensi ortostatik memiliki tanda berupa meningkatnya denyut nadi lebih dari 20 bpm dan penurunan pulse pressure sebanyak 70% atau lebih karena darah terkumpul di kaki. Penanganan hipotensi ortostatik meliputi latihan pada daerah kaki, mobilisasi dan ambulasi segera, juga bantuan dengan menggunakan stocking elastic. Venous Thromboembolism Venous thromboembolism terjadi terutama akibat stasis pada vena dan bisa juda karena peningkatan koagulabilitas darah. Stasis terjadi pada daerah kaki diikuti penurunan kontraksi otot gastrocnemius dan soleus. Mayoritas trombus vena dalam terjadi pada daerah betis dan berasal di sinus soleus. Semakin proksimal lokasi vena yang trombus, semakin besar kemungkinan terjadinya emboli pulmoner. Jika terjadi emboli pulmoner, maka mortalitasnya 20-35% bila tidak ditangani. Lamanya bed rest berkaitan secara langsung dengan frekuensi munculnya thrombosis vena dalam. Pasien yang mengalami trombosis vena dalam bisa saja tidak menampakkan gejala. Apabila muncul gejala umumnya berupa sakit dan nyeri tekan, pembengkakan, distensi vena, sianosis ataupun kemerahan pada daerah yang trombosis. Lebih dari 50% pasien yang menampakkan gejala klinis tidak memberi tanda khusus di hasil venografinya. Untuk pemeriksaan yang lebih sensitif dan spesifik bisa dengan menggunakan USG Doppler, impedance plethysmography, dan venografi kontras (gold standar). 20
Jika terjadi emboli pulmoner pasien akan menampakkan gejala dyspne, takipne, takikardi, nyeri dada pleuritik, batuk dengan/tanpa darah, ataupun efusi. Tanda yang kurang spesifik lainnya seperti demam, confusion, wheezing, dan aritmia. Pada kasus yang sudah parah gejala akan menyerupai gagal jantung kanan. Untuk membedakan dengan kelainan jantung bisa dilakukan EKG. Terapi tromboemboli vena adalah dengan mengurangi stasis vena dengan fisioterapi seperti latihan, elevasi kaki, penggunaan stocking elastik, ambulasi awal, dan kompressin mekanis. Untung mengurangi koagulabilitas darah bisa digunakan dextran, obat antiplatelet seperti acetylsalicylic acid, dan antikoagulan seperti warfarin dan heparin. Terapi diberikan sampai pasien benar-benar bisa melakukan ambulasi dengan baik. Sedangkan tindakan pencegahan yang efektif berupa penggunaan heparin dosis rendah, kompressi pneumatik yang intermiten, oral antikoagulan, dan dextran. PERUBAHAN PADA SISTEM GENITOURINARI Bed rest lama akan meningkatkan insidensi batu ginjal, kandung kemih, dan infeksi traktus urinarius. Hiperkalsiuria adalah penemuan tersering pada pasien yang mengalami immobilisasi. Selain kalsium, ekskresi fosfor dalam urin juga meningkat. Dalam posisi berbaring, urin harus mengalir naik dari renal collecting system menuju ureter. Pasien sering mengeluh kesulitan untung memulai buang air kecil saat berbaring. Akibatnya akan ada incomplete voiding yang menyebabkan stagnasi urin. Ketika pengosongan kandung kemih tersebut tidak sempurna akan terjadi peningkatan risiko terbentuknya batu. Umunya jenis batu yang terbentuk adalah struvat dan carbonate apatite (15-30% pasien yang immobilisasi). Batu kandung kemih ini akan mengiritasi dan menyebabkan trauma pada mukosa, menyebabkan infeksi lebih 21
mudah terjadi. Jika bakterinya memiliki urease, makan akan terbentuk presipitat kalsium dan magnesium yang dapat menjadi batu jenis lainnya. Pencegahan munculnya batu tersebut antara lain dengan pemberian asupan cairan yang cukup, membiasakn diri buang air kecil dalam posisi berdiri/duduk, dan pencegahan kontaminasi instrumen (kateter). Sedangkan untuk terapi bisa menggunakan asidifikasi urin dengan vitamin C, antiseptic urinary, dan pada pasien yang risiko terbentuknya batu lebih tinggi bisa diberikan inhibitor urease. Untuk terapi jika batu sudah terbentuk adalah dengan litiotripsi ultrasonic. Pemberian antibiotik juga diharuskan jika terdapat infeksi saluran kemih. Pada pasien yang sudah dapat bergerak, sangat dianjurkan untuk melepaskan kateter dan membiasakan diri buang air kecil sambil duduk/berdiri. PERUBAHAN PADA SISTEM GASTROINTESTINAL Immobilisasi bisa menyebabkan perubahan pada sistem gastrointestinal berupa kehilangan nafsu makan, kecepatan absorpsi yang lebih lambat, dan hipoproteinemia. Pasase makanan melalui esophagus, lambung, dan usus kecil lebih lambat pada posisi berbaring. Oleh karena itu disaranakan untuk pasien yang belum bisa duduk sempurna untuk menggikan badan dan kepala dengan 2-3 bantal saat makan. Konstipasi merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada pasien immobilisasi, karena pada keadaan immobile akan ada peningkatan aktivitas adrenergic sehingga gerakan peristaltik terhambat. Berkurangnya volume plasma juga dapat memperparah konstipasi. Untuk mencegah konstipasi, asupan makanan harus cukup serat dan cairan. Penggunaan stool softener juga dapat membantu. Pemberian obat-obatan golongan narkotik juga sebaiknya dibatasi karena bisa memperlambat peristaltis. 22
PERUBAHAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT Immobilitas yang lama dapat menyebabkan perubahan keseimbangan sodium, sulfur, fosfor, dan potassium. Penurunan sodium terjadi pada awal bed rest. Level sodium dalam serum tidak berhubungan dengan keparahan hipotensi ortostatik yang terjadi. Hiponatremi pada orang tua dapat menyebabkan letargi, disorientasi, anorexia, bahkan kejang. Penurunan kadar potassium terjadi secara progresif pada minggu-minggu awal bed rest. Selain hiponatremia dan hipokalemia juga terdapat hiperkalsemia. GANGGUAN HORMONAL Kurangnya aktivitas fisik mengubah kepekaan tubuh terhadap hormon dan enzim. Pada awal immobilitas (3 hari pertama) dapat terjadi intoleransi karbohidrat yang signifikan, uptake glukosa perifer bisa berkurang hingga 50% sampai hari ke-14. Penyebab intoleransi ini bukan karena kurangnya insulin, namun karena meningkatnya resistensi jaringan terhadap insulin. Pada pemeriksaan darah akan didapati hasil hiperglikemia dan hiperinsulinemia. Selain insulin juga terjadi peningkatan hormon paratiroid, yang menyebabkan hiperkalsemia dan hormon T3. Beberapa hormon lain yang juga mengalami perubahan adalah androgen, hormon pertumbuhan, dan adrenokortikotropik. PERUBAHAN PADA SISTEM SARAF Penurunan fungsi sensoris sering terjadi dan menjadi ancaman pada pasien yang immobilisasi lama. Selain masalah sensori, isolasi sosial yang terjadi juga menyebabkan kelabilan emosional pada pasien, tanpa diserai penurunan fungsi intelektual. Perubahan konsentrasi, orientasi tempat dan waktu, gelisah, kecemasan, 23
depresi, penurunan ambang batas nyeri, insomnia, dan iritabilitas biasanya terjadi pada pasien yang immobilisasi lebih dari 2 minggu. Berkurangnya konsentrasi dan motivasi, depresi, dan berkurangnya kemampuan psikomotor dapat mencegah tercapainya hasil terapi yang optimal. Untuk pencegahan, diperlukan stimulasi fisik dan psikososial yang sesuai mulai dari awal immobilisasi. Kontak dengan keluarga dan rekan kerja pada sore hari dan akhir minggu dapat memperbaiki hasil.
Pembedahan Skoliosis Lengkap Buku Panduan bagi Para Pasien: Melihat Secara Mendalam dan Tak Memihak ke dalam Apa yang Diharapkan Sebelum dan Selama Pembedahan Skoliosis
ILMU PERUBAHAN DALAM 4 LANGKAH: Strategi dan teknik operasional untuk memahami bagaimana menghasilkan perubahan signifikan dalam hidup Anda dan mempertahankannya dari waktu ke waktu