You are on page 1of 17

SUBSTITUSI NUKLEOFILIK BIMOLEKULER (SN

2
)

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Struktur dan Kereaktifan Senyawa Organik
yang dibina oleh Prof. Srini Iskandar, P.hd






Oleh
Kelompok 3 / Off. A
1. Vinda Cory Imami (140331807052)
2. Urwatil Wutsqo Amry (140331807349)
3. Qory Laila Rusda (140331807593)
4. Heru E. Manafe (140331807456)
5. Billy. A. Kalay (140331807679)
6. Putu Rizky Febrilia (140331807113)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PROGRAM PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN KIMIA
Oktober 2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Alkil halida adalah turunan hidrokarbon di mana satu atau lebih
hidrogennya diganti dengan halogen. Alkil halida dapat mengalami beberapa
reaksi yaitu reaksi substitusi dan reaksi eliminasi. Reaksi substitusi merupakan
reaksi penggantian gugus pergi dengan nukleofil, sedangkan reaksi eliminasi
merupakan pelepasan proton (H
+
) dan pembentukan ikatan rangkap.
Pada makalah ini kami akan membahas tentang reaksi substitusi. Reaksi
substitusi dibagi menjadi dua macam yaitu reaksi substitusi nukleofilik
unimolekuler (SN1) dan reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2). Kedua
reaksi substitusi ini memiliki perbedaan yang mendasar terkait perbedaan
mekanisme reaksinya.Selain memiliki perbedaan kedua reaksi tersebut juga
memiliki kesamaan dalam hal adanya gugus pergi.
Terdapat kriteria-kriteria khusus pada masing-masing reaksi substitusi
tersebut. Oleh karena itu untuk lebih memahami reaksi substitusi nukleofilik
khususnya reaksi SN2 maka akan selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam
makalah ini adalah:
1. Bagaimana mekanisme yang terjadi pada reaksi SN2?
2. Bagaimana laju reaksi dari reaksi SN2?
3. Bagaimana stereokimia yang dihasilkan pada reaksi SN2?
4. Bagaimana pengaruh gugus lepas terhadap reaksi SN2?
5. Bagaimana pengaruh pelarut terhadap reaksi SN2?



1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas yang menjadi tujuan dalam penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui mekanisme yang terjadi pada reaksi SN2.
2. Untuk mengetahui laju reaksi dari reaksi SN2.
3. Untuk mengetahui stereokimia yang dihasilkan pada reaksi SN2.
4. Untuk mengetahui pengaruh gugus lepas terhadap reaksi SN2?
5. Untuk mengetahui pengaruh pelarut terhadap reaksi SN2.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Reaksi Substitusi dan Reaksi S
N
2
Reaksi substitusi menurut Fessenden (2009:170) adalah suatu reaksi
dimana satu atom ion atau gugus disubstitusikan untuk menggantikan atom ion
atau gugus lain. Nukleofil adalah pereaksi yang dapat memberikan sepasang
elektron untuk membuat ikatan kovalen.Reaksi substitusi nukleofilik adalah reaksi
substitusi yang terjadi akibat suatu nukleofil menyerang alkil halida pada atom
karbon hibrida sp
3
yang mengikat halogen. Sedangkan reaksi S
N
2 adalah reaksi
substitusi nukleofilik bimolekuler (2 molekul yaitu nukleofilik dan alkil halida
keduanya terlibat dalam satu tahap penentuan laju reaksi)
2.2 Mekanisme Reaksi S
N
2
Mekanisme reaksi Sn2 adalah proses satu tahap yang dapat digambarkan
sebagai berikut :




Gambar 1. Mekanisme reaksi S
N
2.
Nukleofil menyerang dari belakang ikatan C-X. Pada keadaan transisi,
nukleofil dan gugus pergi berasosiasi dengan karbon dimana substitusi akan
terjadi. Pada saat gugus pergi terlepas dengan membawa pasangan elektron,
nukleofil memberikan pasangan elektronnya untuk dijadikan pasangan elektron
dengan karbon.


-

Nu
+ C X
nukleofil substrat Guguspergi
C X Nu
+
+
keadaan transisi

-

C
Nu
+
-
X
Contoh:

Gambar 2. Mekanisme reaksi S
N
2 bromo-metana.
2.3 Laju Reaksi S
N
2
Molekul yang bertabrakan membutuhkan energi untuk kita bisa bereaksi.
Molekul yang bergerak di dalam suatu larutan memiliki sejumlah energi
potensial tertentu dalam ikatan-ikatan mereka, dan sejumlah energy kinetik
tertentu dalam gerakan mereka. Energio potensial dan energy kinetic molekul-
molekul ini tidak sama, namun dapat digunakan pengertian energy rata-rata
molekul. Energy total (dari) campuran reaksi dapat ditambah, biasana dengan
memanasi larutan itu. Bila dipanasi, molekul memperoleh tambahan energy
kinetic, bertabrakan lebih sering dan lebih bertenaga, dan menukar (mengubah)
energy kinetic menjadi energy potensial.
Gambar dibawah ini menunjukkan diagram energy untuk berlangsungnya
reaksi SN2. Energy potensial yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan transisi
membentuk suatu barier energy, dalam grafik barier ini ialah titik energy
maksimum. Agar alkil halide dan nukleofil yang bertabrakan dapat mencapai
keadaan transisi, diperlukan sejumlah energy yang disebut energy pengaktifan
Eakt (activation energy). Pada keadaan transisi molekul-molekul mempunyai
pilihan yang sama mudahnya; kembali menjadi pereaksi atau terus menjadi
produk. Tetapi sekali melewati puncak, jalan dengan hambatan terkecil ialah
yang menuju ke produk. Selisih antara energy potensisal rata-rata pereaksi dan
produk, ialah perubahan entalpi H untuk reaksi itu.



Gambar 3. Diagram energi suatu reaksi S
N
2

Tiap molekul yang bereaksi dan menghasilkan produk harus melewati
keadaan transisi, baik strukturnya maupun energinya. Karena energy molekul-
molekul tidak sama, maka diperlukan waktu agar semua molekul itu bereaksi.
Persyaratan waktu ini menimbulkan pengertian dan besaran yang disebut laju
reaksi (rate of reaction). Laju reaksi kimia adalah ukuran berapa cepat reaksi itu
berlangsung; yakni berapa cepat pereaksi itu habis dan produk terbentuk.
Kinetika reaksi mempelajari dan mengukur laju-laju reaksi.
Pada reaksi S
N
2 terdapat dua variabel yang harus diperhatikan ialah
konsentrasi pelarut dan struktur pereaksi. Lazimnya laju reaksi S
N
2 berbanding
lurus dengan konsentrasi-konsentrasi dua pereaksi. Jika semua variabel lainnya
dibuat konstan dan konsentrasi alkil hadila atau konsentrasi nukleofil dilipat
duakan, maka laju pembentukan produk juga berlipat dua. Jika salah satu
konsentrasi dilipat tigakan, laju juga akan berlipat tiga. Oleh sebab itu laju reaksi
pada S
N
2 mengikuti kinetika reaksi orde kedua (karena tergantung pada
konsentrasi alkil halida dan konsentrasi nukleofil). Tipe hukum laju ini digunakan
untuk reaksi substitusi nukleofilik alkil halida, dimana kereaktifan alkil halida
primer > sekunder > tersier
[ ][]
[][

]
Dalam persamaan ini, [] dan [

] menyatakan konsentrasi dalam


mol/liter masing-masing dari alkil halide dan nukleofil. Tetapan proporsionalitas
disebut tetapan laju (rate constant). Harga konstan untuk reaksi yang sama
pada kondisi eksperimen yang identik (pelarut, temperature, dan sebagainya).
Kinetika reaksi memberikan suatu cara yang berharga untuk memeriksa
efek-efek struktur terhadap reaktivitas. Berikut data laju reaksi beberapa jenis
alkil halida:
Tabel 1. Laju relatif rata-rata beberapa alkil halida dala reaksi S
N
2 yang
lazim
Alkil Halida Jenis alkil halida Laju relatif
CH
3
X Primer 30
CH
3
CH
2
X Primer 1
CH
3
CH
2
CH
2
X Primer 0,4
CH
3
CH
2
CH
2
CH
2
X Primer 0,4
(CH
3
)
2
CHX Sekunder 0,025
(CH
3
)
3
CX Tersier ~0
Laju reaksi Sn2 pada Alkil halida : primer > sekunder > tersier dipengaruhi oleh
efek rintangan sterik. Beberapa struktur alkil halida dapat dilihat sebagai berikut:



(a) (b) (c)
Gambar 4. (a) Alkil halida primer, (b) alkil halida sekunder, dan
(c)Alkil halida tersier
2.4 Stereokimia Reaksi Substitusi Nukleofilik Bimolekuler S
N
2
Stereokimia merupakan hasil dari mekanisme suatu reaksi. Mekanisme
reaksi S
N
2 dapat digambarkan secara lebih rinci dengan mempertimbangkan
stereokimianya. Reaksi substitusi dapat terjadi pada sebuah pusat stereo dalam
tiga cara yang berbeda secara stereokimia: (1) retensi konfigurasi, (2) inversi
konfigurasi, atau (3) rasemisasi (campuran retensi dan inversi).
Jika datangnya nukleofil dan lepasnya gugus pergi terjadi pada arah atau
jurusan yang sama (penggantian sisi depan), maka reaksi substitusi ini
menghasilkan produk dengan retensi konfigurasi.

Gambar 5..
Perbedaan terjadi jika datangnya nukleofil dan lepasnya gugus pergi
terjadi dari arah yang berlawanan (pergantian sisi belakang), tiga gugus lainnya
pada karbon harus membalikkan arah, atau "berubah dari dalam ke luar" untuk
mempertahankan sudut ikatan tetrahedral. Mekanisme ini akan menghasilkan
produk dengan inversi konfigurasi.

Gambar 6
Jika kedua jalur terjadi pada tingkat yang sama, maka rasemat akan
terbentuk.
Berdasarkan hasil eksperimen reaksi dari ion hidroksida dengan 2-
bromooktana yang merupakan alkil halida yang memiliki atom C kiral
menghasilkan produk berupa 2-oktanol yang khas dengan reaksi S
N
2. Reaksinya
mengikuti hukum laju orde kedua. Ketika (R)-2-bromooktana digunakan sebagai
reaktan dalam reaksi ini, produk yang dihasilkan berupa (S)-2-oktanol.
C
H
3
C
Br
H
H
3
C(H
2
C)
5
C + HO
CH
3
H
(CH
2
)
5
CH
3
-
OH
+
Br
-
(R)-2-bromoktana
(S)-2-oktanol

Gambar 7. Reaksi (R)-2-bromooktana dengan suatu nukleofilik,
menghasilkan (S)-2-oktanol dan ion bromin.
Stereokimia untuk reaksi S
N
2 menunjukkan bahwa reaksi ini
menghasilkan inversi konfigurasi. Dengan demikian, reaksi terjadi dengan
pengganti anion hidroksida dari arah belakang pada alkil halida
Kita ingat bahwa penggantian dari arah belakang juga diamati untuk ion
bromida dan serangan nukleofil lainnya dengan zat antara ion bromonium dalam
brominasi alkana. Sekarang kita dapat mengenali bahwa reaksi ini juga
merupakan reaksi S
N
2. Stereokimia pada reaksi S
N
2 digambarkan dalam inversi
amina. Untuk reaksi S
N
2 itu, keadaan transisi mencakup suaru rehibridisasi
sementara atom karbon ujung, dari sp
2
ke sp
3
dan akhirnya kembali ke sp
3
lagi.
Efek Gugus Lepas terhadap Reaksi SN2
Gugus lepas merupakan gugus apa saja yang dapat digeser dari ikatannya
dengan suatu atom karbon sambil membawa sepasang elektron yang semula
digunakan untuk berikatan. Reaktivitas gugus lepas juga merupakan faktor
penting pada reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler. Semakin reaktif suatu
gugus lepas, maka akan semakin cepat reaksi tersebut berlasung. Di antara gugus
lepas yang ada, alkil halida merupakan gugus lepas yang baik. Laju reaksi relatif
dari alkil halida dapat dilihat pada data di bawah ini.

Data di atas menunjukkan bahwa dengan nukleofil dan gugus alkil yang
sama, perbedaan alkil halida yang diikat menunjukkan perbedaan laju reaksi yang
cukup signifikan. Ion iodida merupakan halida yang paling baik untuk digunakan
sebagai gugus lepas sedangkan ion fluorida merupakan alkil halida yang paling
buruk. Pada kenyataannya, alkil fluorida tidak mengalami reaksi dengan nukleofil.
Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Mengapa ion iodida merupakan
gugus lepas yang baik diantara halida lain pada satu golongan? Apa yang
menyebabkan gugus lepas dapat pergi dari ikatannya dan membawa sepasang
elektron?
1. Ditinjau dari polarisabilitas
Dari atas ke bawah dalam satu golongan ukuran atom semakin
bertambah besar. Besarnya ukuran atom menyebabkan bertambahnya
awan elektron yang terdapat di dalamnya sehingga awan elektron tersebut
memudahkan terjadinya polarisasi. Pada ikatan C-X, halida lebih
elektronegatif dibandingkan atom karbon sehingga terbentuklah dipol
positif dan negatif.

Muatan parsial positif yang terjadi pada atom karbon disukai oleh
sangat disukai oleh nukleofil yang menyebabkan terjadinya penyerangan
oleh nukleofil terhadap atom karbon.


2. Panjang Ikatan dan Kekuatan Ikatan
Ukuran atom yang semakin besar dari fluorin ke iodin
menyebabkan panjang ikatan meningkat dan kekuatan ikatan menurun.
Fluorometana sangat polar, memiliki ikatan C-X terpendek dan terkuat,
sedangkan iodometana kurang polar dan memiliki ikatan C-X terpanjang
dan kekuatan ikatannya terlemah. Hal ini yang menyebabkan ikatan
iodometana lebih mudah memutuskan ikatannya dan lebih reaktif
dibandingkan fluorometana. Di bawah ini merupakan ilustrasi dari
kepolaran, panjang ikatan, dan kekuatan ikatan.

3. Kekuatan basa dari gugus lepas
Basa lewis merupakan spesi yang dapat mendonorkan elektron
pada spesi lain. Semakin kuat basa lewis semakin baik kemampuan
mendonorkan elektronnya. Sebaliknya, gugus lepas merupakan gugus
penarik elektron yang akan lepas dari ikatan dengan membawa sepasang
elektron. Sehingga semakin lemah sifat basanya, maka baik
kemampuannya dalam menarik elektron. Hal ini ditunjukkan pada tabel
tingkat keasaman pada beberapa gugus lepas.

HI memiliki keasaman terkuat dengan pH yang sangat kecil sehingga sifat
basanya paling lemah diantara yang lainnya. Ion iodida merupakan gugus lepas
yang paling baik dibandingkan halida lainnya.
Sifat basa yang lemah ini menjadikan gugus lepas stabil ketika terlepas
menjadi ion. Gugus lepas tidak stabil dapat menyebabkan reaksi dapat balik atau
reversibel. Jika perbedaan kebasaan antara nukleofil dan gugus lepas kecil, maka
reaksi dapat berlangsung kebalikannya, gugus lepas dapat menyerang kembali
nukleofil. Contohnya jika nukleofil adalah Br
-
dan gugus lepas adalah I
-
maka
reaksi tersebut dapat balik karena selisih pKa yang sangat kecil.

Lain halnya jika nukelofil berupa H
2
O dan gugus lepas berupa Cl
-
. HCl
jauh lebih asam daripada H
2
O sehinga sifat basa jauh lebih kecil. Akibatya, OH
-
dapat mengusir Cl
-
sedangkan Cl
-
tidak dapat melakukan hal sebaliknya. Oleh
karena itu, semakin lemah sifat basa akan menjadi gugus lepas yang paling baik
karena ia idak akan menyerang kembali ikatan antara nukleofil dengan substrat.

Efek Pelarut terhadap Reaksi SN2
Pelarut yang digunakan dalam reaksi subtitusi kita ketahui ada dua yaitu,
pelarut polar protik dan pelarut polar aprotik. Pelarut polar protik adalah pelarut
yang dapat mendonorkan ikatan hidrogen. Molekul-molekul pelarut mengatur diri
mereka sendiri sehingga hidrogen bermuatan positif mengarah ke spesies
bermuatan negatif. Interaksi antara ion dan dipol pelarut protik disebut interaksi
ion-dipol.

Gambar 9. Interaksi antara ion dan dipol pelarut protik
Dapat dilihat dari gambar diatas, bahwa hydrogen bermuatan positif pada pelarut
polar protik mengelilingi nukleofil sehingga nukleofil tidak bebas bergerak. Hal
ini sangat cocok untuk reaksi SN1 yang membutuhkan waktu pembentukan
karbokation sehingga nukleofil tidak dapat langsung menyerang pada subtract
karena disolvasi terlebih dahulu oleh pelarut polar protik.
Pelarut polar aprotik bukan pendonor ikatan hidrogen karena tidak memiliki
hidrogen yang terikat pada oksigen atau nitrogen, jadi tidak ada hidrogen
bermuatan positif untuk membentuk interaksi ion-dipol untuk mensolvasi
anion/nukleofil.

Gambar 10. Contoh pelarut polar aprotik


Gambar 11. .
Hasilnya, sehubungan dengan solvasi, adalah interaksi relatif lemah antara pelarut
aprotik dan nukleofil tersebut. Lemahnya interaksi antara pelarut polar aprotik
dengan nukloefil ini menyebabkan semakin cepat pula nukleofil untuk menyerang
subtract. Hal ini menyebabkan pelarut polar aprotik lebih baik untuk reaksi SN2,
karena pelarut tersebut tidak menghambat nukleofil untuk menyerang subtract.
Semakin kuat nukleofilik, maka akan semakin cepat pula reaksi berlangsung.

Gambar 12.

BAB III
KESIMPULAN

1. Mekanisme reaksi SN
2
terjadi satu tahap dan berlangsung cepat.
2. Laju reaksi ditentukan oleh konsentrasi substrat dan nukleofilik
V= k [RX][Nu
-
]
3. Streokimia yang dihasilkan pada reaksi SN
2
merupakan inversi konfigurasi
4. Pelarut yang digunakan adalah pelarut aprotik.
5. Pada alkil halida gugus lepas yang paling baik adalah iodin sedangkan flourin
merupakan gugus lepas yang paling buruk.


DAFTAR PUSTAKA

Bruice, Paula Yurkanis. Organic Chemistry Fourth Edition.
Fessenden, Ralp J dan Fessenden, Joan S.1986. Kimia Organik Edisi
Ketiga.Erlangga: Jakarta.
Jr, Wade L.G. 2006. Organic Chemistry Sixth Edition. Pearson Prentice HaW:
United State of America
Loudon, Marc. 2008. Organic Chemistry Seventh Edition. Robert A D Compa Y
Publishers: Colorado.
Murry, Jhon Mc. 2008. Organic Chemistry Seventh Edition. Thomson Learning
Academic Resource Center: United State of America.
Solomon, Graham T.W. 2008. Organic Chemistry Seventh Edition. John Wiley &
Sons, Inc: United State of America.
http://en.wikipedia.org/wiki/SN2_reaction diakses pada tanggal 10 september
2014
http://chemwiki.ucdavis.edu/Organic_Chemistry/Reactions/SN2_Reaction diakses
pada tanggal 10 september 2014

You might also like