You are on page 1of 33

PRESENTASI KASUS

RHINOSINUSITIS

Disusun oleh :
CHRISTIANSEN W. (11-2010-151)

Pembimbing :
Dr. Swasono R., Sp.THT-KL, M.Kes

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit THT


RSPAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA
Fakultas Kedokteran UKRIDA
18 April-21 Mei 2011
JAKARTA
0

LEMBAR PENGESAHAN

Case dengan Judul :


RHINOSINUSITIS
disusun oleh
CHRISTIANSEN WAISUDA (11-2010-151)
telah diterima dan disetujui oleh pembimbing
sebagai syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit THT di RSPAU dr. Esnawan Antariksa
periode 18 April-21 Mei 2011

Disetujui & disahkan di


Jakarta, 21 Mei 2011 oleh pembimbing :

Dr. Swasono R., Sp.THT-KL, M.Kes


1

STATUS KEPANITERAAN BAGIAN THT RUSPAU


Nama

: CHRISTIANSEN WAISUDA

NIM

: 11-2010-151

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. L
Usia : 18 Tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Ngarbingan No. 28, Trikora

II.

Jenis kelamin : Pria


Agama : Islam
Pendidikan :SMA

ANAMNESIS

Autoanamnesis tanggal 05 Mei 2011 Jam 13.00 WIB


Keluhan Utama : Sakit kepala 2 minggu
Keluhan Tambahan : pilek yang terus menerus
Riwayat Penyakit Sekarang :
OS datang dengan keluhan sakit kepala sejak 2 minggu terakhir. Sakit kepala
dirasakan hilang timbul, timbul tanpa disertai pemicu tertentu, tidak berdenyut, hanya berupa
rasa nyeri tanpa disertai rasa berputar. OS juga mengeluhkan pilek yang terus menerus,
disertai dengan keluarnya ingus yang bercampur dengan sedikit darah. Ingus yang
dikeluarkan dirasakan OS sedikit berbau dan kental, berwarna kuning. OS juga mengakui
adanya batuk namun dirasakan tidak terlalu berat, yang disertai dengan dahak di
tenggorokan, tetapi OS merasa sulit untuk mengeluarkan dahak tersebut. OS tidak merasa
demam, dan merasa sedikit nyeri di daerah dahi.
OS mengaku sering bersin-bersin dipagi hari. Setelah bersin, OS mengaku
hidungnya terasa gatal dan tersumbat, disertai dengan keluarnya ingus yang encer dan
bening. Sakit kepala tidak dirasakan oleh OS pada waktu pagi hari, tetapi jika keluhan pilek
semakin memberat, maka OS mulai merasakan timbulnya sakit kepala, yang bersifat terus
menerus, tidak berdenyut dan menghilang tidak lama setelah keadaan OS membaik. OS
tidak merokok, tidak pernah mengalami kecelakaan pada daerah muka, riwayat adanya
benjolan atau tumor di hidung juga disangkal, riwayat perdarahan di hidung (mimisan)
disangkal, riwayat gigi berlubang pada rahang atas juga disangkal, serta riwayat patahnya
gigi hingga sisa akarnya saja juga disangkal oleh OS.
2

OS menyangkal adanya gangguan penciuman pada hidung, atau berkurangnya


kemampuan penglihatan pada kedua mata OS. Sakit kepala yang dirasakan oleh OS,
dirasakan menyebar ke daerah belakang kepala dan timbul jika keluhan pilek semakin
memberat. OS tidak merasakan adanya gangguan pendengaran atau berkurangnya suara
yang didengar oleh OS, tetapi OS merasa kedua telinganya penuh saat pilek, hilang jika
menelan ludah dan kembali timbul tidak lama setelah itu. Keluhan tersebut hilang timbul,
dan membaik jika pilek berkurang atau menghilang. Nyeri tenggorokan, gangguan menelan
dan saluran napas disangkal oleh OS.
Sebelumnya, OS tidak pernah berobat ke dokter atas penyakitnya tersebut. OS juga
tidak pernah berobat ke pengobatan alternatif untuk menghilangkan keluhan tersebut. OS
hanya meminum obat-obat warung seperti decolgen untuk meringankan gejala yang timbul,
dan jika merasa sudah lebih baik, maka OS berhenti memakan obat tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu:
OS mengaku keluhan bersin setiap pagi sudah dirasakan sejak SD. Keluhan tersebut
membaik jika menjelang siang, dan lebih jarang terjadi dibandingkan sekarang. Batuk
berdahak juga belum dirasakan OS pada saat itu, dan OS tidak pernah ke dokter untuk
mengobati penyakitnya.
Keadaan Umum:
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmmHg
Nadi : 72 x/menit
Suhu :37,4C
Pernapasan: 19 x/menit
Berat Badan: tidak diketahui

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Telinga

Bentuk daun telinga


Kelainan kongenital
Tumor/ tanda peradangan
Nyeri tekan tragus
Penarikan daun telinga
Kelainan:
- pre aurikuler
- infra aurikuler
- retroaurikuler
Liang Telinga
Membran timpani

Kanan
normal
tidak ditemukan
tidak ditemukan
tidak ditemukan
tidak ditemukan nyeri

Kiri
Normal
tidak ditemukan
tidak ditemukan
tidak ditemukan
tidak ditemukan nyeri

tidak ditemukan
tidak ditemukan
tidak ditemukan
CAE lapang, serumen ada
Intak, refleks cahaya +

tidak ditemukan
tidak ditemukan
tidak ditemukan
CAE lapang, serumen ada
Intak, refleks cahaya +
3

Tes Penala:
- Rinne
Memanjang
- Weber
Tidak ada lateralisasi
- Swabach
Sama dengan pemeriksa
Kesan : pada kedua telinga tidak ditemukan kelainan

Memanjang
Tidak ada lateralisasi
Sama dengan pemeriksa

2. Hidung dan Sinus Paranasal


Bentuk
Tanda Peradangan
Vestibulum

Simetris
Tidak ditemukan tanda peradangan dari luar
- Tampak bulu hidung bilateral +/+
- Hiperemis -/-

Cavum Nasi
Konka inferior kanan/kiri

- Tonjolan -/-, nyeri pada sentuhan -/Sekret +/+, warna kuning, muko-purulen
Tampak pucat, edema ringan +/+, hipertrofi +/+,

Konka medius kanan/kiri


Meatus nasi medius kanan/kiri
Septum nasi
Pasase udara
Daerah sinus frontalis dan sinus

sekret ++/+
Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai
Deviasi (-), sisa sekret (+)
+/+
Nyeri ketok (-), nyeri tekan sinus frontalis (+),

maksilaris

nyeri tekan sinus maksilaris (-)

Nasofaring (rhinoskopi posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan


Koana
Septum nasi posterior
Muara tuba eustachius
Torus tubarius
Konka inferior dan media
Dinding posterior

Pemeriksaan transiluminasi
Sinus frontalis, grade :
Sinus maksilaris, grade :

Kanan
-

Kiri
-

3. Tenggorok
Faring
Dinding faring
Arkus faring

Hiperemis ringan, granulasi (-)


Pergerakan (+), simetris
4

Tonsil
Uvula
Gigi geligi
Lain-lain

T1-T1, kripta tidak melebar, hiperemis -/-, detritus -/-, perlengketan -/Letak ditengah, hiperemis (-)
Sisa akar (-), caries dentis (-)
(-)

Laring (laringoskopi) : tidak dilakukan pemeriksaan


Epiglotis
Plika ariepiglotika
Aritenoid
Ventrikular band
Pita suara asli
Rima glotis
Cincin trakea
Sinus piriformis

Leher
Kelenjar limfe submandibula
Kelenjar limfe servikal

Tidak teraba pembesaran kelenjar


Tidak teraba pembesaran kelenjar

Maksillo-fasial
Deformitas
Parese saraf otak

Tidak tampak deformitas


Tidak ada parese

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Belum dilakukan pemeriksaan penunjang
V.

RESUME
Dari autoanamnesis pada tanggal 05 Mei 2011 pukul 13.00 WIB didapatkan :
OS datang dengan keluhan sakit kepala yang hilang timbul sejak 2 minggu terakhir,
disertai dengan pilek terus menerus yang mengeluarkan lendir kental dan sedikit berbau
disertai darah. OS juga mengeluhkan adanya batuk berdahak, dahak tidak dapat
dikeluarkan dari tenggorokan. OS tidak demam, tidak ada nyeri menelan, tidak ada
gangguan pendengaran, tidak mimisan. Riwayat bersin setiap pagi sejak SD.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan sekret di kavum nasi +/+ berwarna kuning,
bersifat mukopurulen; konka inferior kanan/kiri tampak pucat, edema mukosa ringan +/
+, hipertrofi +/+, sekret ++/+; nyeri tekan sinus frontalis (+), nyeri tekan sinus maksilaris
(-), nyeri ketok sinus frontalis (-), nyeri ketok sinus maksilaris (-), dinding faring
hiperemis ringan, tonsil T1-T1, kripta tidak melebar, hiperemis -/-, detritus -/-,
perlengketan -/-.
5

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Rhinosinusitis akut
2. Sinusitis frontalis ec rhinitis alergika
3. Sinusitis frontalis ec polip nasi
VII. DIAGNOSIS KERJA
Rhinosinusitis akut
VIII. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto rontgen sinus paranasal posisi AP, lateral, dan posisi Waters
2. Pemeriksaan naso-endoskopi dan sinuskopi
3. Pemeriksaan mikrobiologi kultur swab sekret hidung tenggorok dan uji resistensi
kuman terhadap antibiotik
IX. PENANGANAN
Pengobatan :
1. Antibiotik : Ciprofloxacin tablet 500 mg 2x/hari selama 5 hari
2. Mukolitik : Ambroxol tablet 3x/hari selama 5 hari
3. Dekongestan : Rhinos SR tablet 2x/hari selama 5 hari
4. Analgetik : Paracetamol 500 mg tablet 3x/hari selama 5 hari
Edukasi :
1. Hindari paparan alergen secara langsung, seperti asap rokok dan debu
2. Bersihkan kamar dari debu, dan ganti bantal dan kasur agar tidak menggunakan
kapuk, karena dapat memicu timbulnya reaksi alergi pada pasien.
3. Hindari suhu dingin, terutama yang berasal dari AC sehingga tidak memperparah
gejala alergi.
4. Jauhkan binatang peliharaan dari lingkungan kamar dan rumah, jangan mencium
binatang peliharaan.
5. Perbanyak ventilasi dan jendela, sehingga pertukaran udara dapat berlangsung
dengan baik dan sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah
6. Jangan mengeluarkan ingus secara paksa.
7. Habiskan obat yang diberikan, dan kontrol kembali ke dokter seminggu kemudian,
terlebih jika gejala dirasakan tidak membaik atau bertambah parah

Diperlukan konsultasi atau penanganan lebih lanjut dari bidang THT atau bidang lainnya
apabila :
1. Keluhan tidak membaik dengan pengobatan yang adekuat, sehingga diperlukan
tindakan lain seperti pembedahan oleh dokter spesialis THT.
2. Dicurigai timbulnya komplikasi yang membahayakan pasien
3. Terdapat reaksi alergi yang tidak diketahui sebelumnya atau kontraindikasi yang
belum diketahui oleh dokter sehingga memerlukan tindakan penanganan spesialistik
lainnya.
4. Setelah diobati dengan adekuat, penyakit sering kambuh dan mengganggu kualitas
hidup dari pasien.
X.

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: ad bonam

HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


1.

Anatomi Hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar dapat
dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan,
dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah
adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :


a. Batang hidung (Dorsum nasi) : agak keatas dan belakang dari apeks, berlanjut
sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi
8

b. Puncak hidung (apeks)


c. Ala nasi
d. Kolumela membranosa, mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan
terletak sebelah distal dari kartilago septum.
e. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis parstransversa dan M. Nasalis pars
allaris. Kerja otot-otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas
atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai
apeks (puncak) disebut dorsum nasi.
Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
-

Superior : os frontal, os nasal, os maksil

Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor.

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.
Hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah
anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum
nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambutrambut panjang yang disebut dengan vibrise. Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus
frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu


dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial
hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha
superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar
dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian
yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi
konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka
suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah
antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan
meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan
inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan
belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan
sinus sfenoid. Kadang-kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di
bagian ini.
Batas-batas kavum nasi
Posterior : berhubungan dengan nasofaring
Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale,
korpus sfenoidale dan sebagian os vomer

Gambar 2. Konka nasalis

Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya konkaf
dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahkan dengan kavum
oris oleh palatum durum.
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan sinistra),
pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan
kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai
septum pars membranosa = kolumna = kolumela.
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, osetmoid, konka
nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus
10

maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk
bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk
seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal
terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke
fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.
Perdarahan Hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
a. Arteri Etmoidalis anterior
b. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
c. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri
karotis eksterna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung

11

dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang
disebut pleksus Kieesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis
dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.

Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari
nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan
cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi
nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus
etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung
bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi
menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral.
12

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi

persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut
parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang
dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
2.

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan rongga-rongga yang terdapat di dalam maxilla os

frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale. Dindingnya terdiri atas tulang kompakta


dengan dilapisi muko-endosteum yang berhubungan dengan mukosa respiratoria pada
kavitas nasi. Sinus paranasal dipersarafi oleh cabang-cabang N. oftalmikus dan N.
maxillaris. Sinus merupakan penonjolan/evaginasi dari kavitas nasi sehinga drainase keluar
dari cairannya menuju cavitas nasi secara langsung atau tidak langsung. Dengan adanya
hubungan ini maka rhinitis atau radang pada kavitas nasi dapat menjalar ke sinus
menyebabkan sinusitis.

13

GAMBAR 6. Anatomi sinus


paranasal

1. Sinus Maxillaris
Merupakan sinus paranasal yang terbesar, terdapat dalam korpus maxilla, berbentuk
piramid berbaring dengan basis di sebelah medial sedangkan apex di processus
zygomaticus maxillae. Dinding medialnya merupakan dinding lateral cavitas nasi.
Atapnya merupakan lantai orbita, sedangkan alasnya merupakan processus alveolaris.
Muara sinus maxillaris pada meatus nasi medius yaitu pada hiatus semilunaris. Saluran
ini terdapat pada dinding medial sebelah anterosuperior. Innervasi oleh N. Alveolaris
Superior dan N. Infraorbitalis, vaskularisasi oleh A. Maxillaris Interna, A. Infraorbitalis, A.
Palatina Mayor.
2. Sinus Ethmoidalis
Terdiri atas beberapa ruangan (4-17 pada tiap sisi), terletak di dalam labyrinthus
ethmoidalis di antara orbita dan cavitas nasi. Bagian-bagian dari sinus ethmoidalis
disebut cellulae ethmoidales. Dindingnya dibentuk oleh os frontale, os maxilla, os
lacrimale, os sphenoidale, dan os palatina. Berdasarkan muaranya, cellulae
ethmoidales digolongkan menjadi :
a. Cellulae ethmoidales anterior yang bermuara di meatus nasi medius
b. Cellulae ethmoidales posterior yang bermuara di meatus nasi superior dan
suprema.
Inervasi oleh N. Ethmoidalis posterior dan N. Ethmoidalis anterior. Vaskularisasi oleh A.
Ethmoidalis posterior dan A. Ethmoidalis anterior.
3. Sinus Frontalis
Dapat dianggap sebagai akibat meluasnya cellulae ethmoidalis anterior ke os frontale.
Kanan dan kiri tidak sama besar dan dipisahkan oleh keping tulang yang terdapat di
linea mediana. Sinus ini sering meluas sampai atap orbita. Sinus frontalis bermuara ke
meatus nasi medius secara langsung atau melalui saluran yang disebut duktus
frontonasalis. Inervasi: N. Supraorbitalis cabang dari N. Oftalmikus. Vaskularisasi:
a.supraorbitalis.
4. Sinus Sphenoidalis
Terdapat di dalam corpus sphenoidale dan dapat meluas ke osoccipitale. Bermuara
pada recessus sphenoethmoidalis. Sinus sphenoidalis terbagi menjadi belahan kanan
dan kiri oleh septum tulang yang biasanya mengalami deviasi ke salah satu pihak.

14

Dinding depannya merupakan dua keping tulang tipis disebut conchae sphenoidale.
Inervasi n.ethmoidalis posterior. Vaskularisasi a.maxillaris.

3.

Fisiologi Hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat

digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel
olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel
syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan
melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan.
Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung
dengan bantuan TMS.
Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara
memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan
aliran dari nasofaring.
Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan
masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan darilapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadisebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknyapembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka danseptum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal.Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37C.
Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu danbakteri dan dilakukan
oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia

15

c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat padapalut lendir dan
partikel partikel yang besar akan dikeluarkandengan refleks bersin. Palut lendir ini
akan dialirkan ke nasofaringoleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat.
Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin
dan nafas terhenti. Rangsang bauter tentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.
4.

Mukosa Hidung
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm 2 dan total volumenya sekitar 15

ml. Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian
besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang
mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia menjadi sel epitel
skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket ) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan
oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.
Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel
kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan
subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.

16

Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada
vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar
berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar
memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar
berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel
yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang
menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel
bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,
menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan
kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm 2 dan
terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai
permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan
memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke belakang epitel bersilia
menutupi 2/3 posterior kavum nasi.
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah
pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3 m. Struktur silia terbentuk
dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar.
Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut
neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah
permukaan sel.
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke)
dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini. Kemudian
silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery
stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1:3. Dengan demikian gerakan silia seolaholah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak,
tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan
pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.

17

Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber
energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh
ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam
pasangannya. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan
dengan bahan elastis yang diduga neksin.
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 m dan diameternya
0,1 m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar
bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai
300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia.
Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel.
Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan
demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih
baik dibanding dengan sel epitel gepeng
Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua
lapisan yaitu lapisan pertama yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang
disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan
superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak
sepenuhnya.

Lapisan

superfisial

ini

merupakan

gumpalan

lendir

yang

tidak

berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya.


Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi
dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia,
karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia
terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung
mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan
oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung
pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta
menginaktifkan virus yang terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan
palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang
perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan
mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas
atau terhenti sama sekali.
18

Membrana basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah
lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril
retikulin.
Lamina propria
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas
empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial,
lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina
propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar,
pembuluh darah dan saraf. Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa
hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu
bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat
dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan
mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing.
Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada
palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung.
Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar. Transportasi mukosiliar terdiri dari
dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara
simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus.
Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat
merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (IgA),
dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G
(IgG) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi
virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus
kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap
didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh
aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti.
Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan
tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh
palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena pergerakan silia
lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke
belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam
celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat
19

yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai
ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20
mm/menit.
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada
segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior,
sekitar 1 hingga 20 mm/menit.
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan
sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid,
kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.
Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus
sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring.
Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.

RHINOSINUSITIS
DEFINISI
Rhinosinusitis adalah kombinasi dari rinitis dan sinusitis, dimana terjadi peradangan
mukosa daerah hidung dan mukosa daerah sinus. Karena keduanya merupakan bagian dari
saluran napas atas yang dialiri udara dan keduanya sama-sama dilapisi oleh mukosa, maka
hidung dan sinus memiliki masalah yang sama. Rinitis lebih sering terjadi dibandingkan
sinusitis, dan seringkali menimbulkan gejala yang sama. Sebagian besar kasus sinusitis
bermula dari rinitis, dan hampir seluruh kasus sinusitis sebenarnya adalah rinosinusitis.
KLASIFIKASI
Rinosinusitis secara klinis terbagi atas :
1. Rinosinusitis akut (terjadi dalam jangka waktu kurang dari 4 minggu, dari permulaan
sampai timbulnya gejala)
2. Rinosinusitis subakut (terjadi dalam jangka waktu lebih dari 4 minggu, tetapi kurang
dari 12 minggu)
3. Rinosinusitis akut rekuren (terjadi 4 kali atau lebih dalam setahun, dimana
diantaranya serangan yang satu dengan yang lain terjadi resolusi)
4. Rinosinusitis kronik (terjadi dalam jangka waktu lebih dari 12 minggu sampai timbul
gejala)
ETIOLOGI & FAKTOR PREDISPOSISI

20

Berdasarkan penyebabnya, rinosinusitis dapat terjadi akibat perluasan infeksi dari


rhinogenik (penyebab dari hidung) dan dentogenik (penyebab dari gigi dan akar gigi). Selain
2 penyebab diatas, dapat pula terjadi akibat infeksi di daerah faring, tonsil dan penyebaran
secara hematogen (jarang). Selain itu, beberapa faktor lain seperti ISPA akibat virus, rhinitis
terutama rhinitis alergi, polip hidung, diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener dan
penyakit bawaan seperti kistik fibrosis dapat menyebabkan timbulnya rinosinusitis. Pada
anak hipertrofi adenoid merupakan faktor penyebab yang penting sehingga perlu dilakukan
adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Faktor
lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin, serta kebiasaan
merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.
Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya rhinosinusitis adalah kelainan
anatomis di rongga hidung, atau kelainan yang didapat seperti polip dan hipertrofi konka
yang menyebabkan penyumbatan di daerah muara ostium sinus. Infeksi merupakan salah
satu penyebab utama yang paling sering menimbulkan gejala dari rinosinusitis, dan
beberapa hal yang lebih jarang seperti tumor. Infeksi merupakan faktor penyerta yang
penting pada penyakit ini, karena biasanya kejadian rhinitis alergi dapat disertai dengan
infeksi bakteri, sehingga bakteri bersarang di lokasi lendir dan menjadi sumber infeksi.
PATOFISIOLOGI
Penyebab tersering timbulnya rinosinusitis adalah infeksi dari virus. Infeksi ini dapat
melumpuhkan gerakan silia yang terdapat di daerah permukaan sinus dan bahkan
menghancurkan silia tersebut. Dengan menghilangnya gerakan silia, maka lendir yang
seharusnya terbuang menjadi mengendap dan menjadi media yang baik untuk
berkembangnya bakteri yang menjadi flora normal daerah hidung.
Kesehatan sinus juga dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar didalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimicrobial dan zatzat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernapasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan
bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus
yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap
sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan. Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagi rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil,
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin
membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar. Sampai akhirnya
21

perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka
terjadi gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif
dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga
timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi
hipertrofi, polipoid dan pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinis dari
penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh
cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus
berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam
rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti di bawah ini, yang
menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan :
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum. Sedangkan permukaannya kering.
Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan
epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui epitel
yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris, epitel, dan
mucus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan darah bercampur dengn
sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit kemudian menjadi kental dan
banyak karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorbsi eksudat dan berhentinya
pengeluaran lekosit memakan waktu 10 - 14 hari.
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe
purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih
mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum menetap,
kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan menjadi permanen, maka
terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya dapat memperlihatkan tanda osteitis
dan akan diganti dengan nekrosis tulang.
Perluasan infeksi dari sinus ke bagian lain dapat terjadi: (1) Melalui suatu
thromboflebitis dari vena yang perforasi, (2) Perluasan langsung melalui bagian dinding
22

sinus yang ulserasi atau nekrotik, (3) Dengan terjadinya defek dan (4) Melalui jalur vaskuler
dalam bentuk bakterimia. Maih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus
secara limfatik.
Pada rinosinusitis kronik perubahan permukaan mirip dengan peradangan akut
supuratif yang mengenai mukosa dan jaringan tulang laainnya. Bentuk permukaan mukosa
dapat granular, berjonjot-jonjot, penonjolan seperti jamur, penebalan seperti bantal dan lainlain. Pada kasus lama terdapat penebalan hiperplastik. Mukosa dapat rusak pada beberapa
tempat akibat ulserasi, sehingga tampak tulang yang licin dan telanjang, atau dapat menjadi
lunak atau kasar akibat kaaries. Pada beberapa kasus didapati nekrosis dan sekuestrasi
tulang, atau mungkin ini telaah diabsorbsi.
Pemeriksaan mikroskopik pada bagian mukosa kadang-kadang memperlihatkan
hilangnya epitel dan kelenjar yang digantikan oleh jaringan ikat. Ulserasi pada mukosa
sering dikelilingi oleh jaringan granulasi, terutaamaa jika ada nekrosis tulang. Jaringan
granulasi dapat meluas ke periosteum, sehingga mempersatukan tulang dengan mukosa.
Jika hal ini terjadi, bagian superfisial tulang diabsorbsi sehingga menjadi kasar. Osteofit atau
kepingan atau lempengan tulang yang terjadi akibat eksudasi plastik, kadang-kadang
terbentuk di permukaan tulang.
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan utama sinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa tekanan pada
muka dan ingus purulen yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai
gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan didaerah sinus
yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta nyeri juga terasa ditempat lain.

Sinusitis maksila nyeri pada pipi


Sinusitis etmoid nyeri diantara atau dibelakang kedua bola mata
Sinusitis frontal nyeri didahi atau seluruh kepala

Sinusitis sfenoid nyeri di verteks, oksipital, belakang bola mata, daerah mastoid
Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang

menyebabkan batuk dan sesak pada anak.


Keluhan sinusitis kronik tidak khas, kadang-kadang hanya satu atau 2 dari gejala
berikut seperti sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustasius, gangguan ke paru seperti
bronkhitis dan serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang
tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
Gejala subjektif

Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal.
23

Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok


Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu
Nyeri/sakit kepala
Gejala mata karena penjalaran infeksi melalui duktus naso-lakrimalis
Gejala saluran napas, berupa batuk dan kadang terdapat komplikasi di paru

Gejala saluran cerna,karena mukopus yang tertelan.

Gejala objektif

Gejala objektifberupa pembengkakan di daerah muka.


- Sinusitis maksilarisdi pipi dan kelopak mata bawah
- Sinusitis frontaldi dahi dan kelopak mata atas
- Sinusitis etmoidjarang bengkak,kecuali bila ada komplikasi
Pada rinoskopi anterior tampak konka hiperemis dan edema
- Sinusitis maksila,frontal dan etmoid anterior tampak mukopus dimeatus medius
- Sinusitis etmoid poterior dan sfenoid tampak nanah keluar dari meatus

superior
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip)

Gejala Rinosinusitis termasuk

hidung tersumbat
besar jumlah hijau (bernanah) lendir yang dapat ditiup dari hidung, atau turun ke

bagian belakang tenggorokan


batuk
sensasi rasa sakit dan kepenuhan selama sinus yang terkena
demam

Lendir hidung adalah campuran kompleks dari protein seperti lisozim yang membunuh
bakteri yang berpotensi membahayakan. Lendir ini juga mengandung antibodi yang
disekresikan oleh kelenjar yang memproduksi lendir yang membunuh virus dan bakteri.
Lendir dibuat setiap hari oleh hidung dan sinus. Normal lendir berwarna kuning jernih atau
bening. Infeksi dapat menyebabkan lendir menebal dan gelap. Dengan infeksi bakteri, yang
terjadi di rinosinusitis, lendir menjadi hijau atau abu-abu gelap. Warna ini mencerminkan
adanya banyak neutrofil serta bakteri tumbuh di lendir. Bakteri tumbuh di lendir dapat
menyebabkan timbulnya bau, yang mungkin menunjukkan adanya bakteri gram negatif
seperti E. coli atau Pseudomonas, dan memerlukan pengobatan dengan antibiotik yang
sesuai.

DIAGNOSIS
Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak berdasarkan
gambaran klinik dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Kriteria Rinosinusitis Akut dan Kronik pada Anak dan Dewasa Menurut
International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004.
24

KRITERIA

RINOSINUSITIS AKUT
Dewasa

1. Lama Gejala dan Tanda


2. Jumlah episode
serangan akut, masingmasing berlangsung
minimal 10 hari
3. Reversibilitas mukosa

RINOSINUSITIS KRONIK

Anak

Dewasa

Anak

< 12 minggu

< 12 minggu

> 12 minggu

> 12 minggu

< 4 kali / tahun

< 6 kali / tahun

> 4 kali / tahun

> 6 kali / tahun

Dapat sembuh sempurna dengan


pengobatan medikamentosa

Tidak dapat sembuh sempurna


dengan pengobatan
medikamentosa

Diagnosis Rinosinusitis Akut Pada Dewasa


Ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:
1.

Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan yang
paling sering dan paling menonjol pada rinosinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai
keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala,
demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi,
nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang meningkat pada penderita asma.

2.

Rinoskopi Anterior
Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda patognomonis,
yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi posterior
tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip).

3.

Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi hingga
ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan dinding
lateral hidung.

4.

Foto polos sinus paranasal


Pemeriksaan foto polos sinus bukan prosedur rutin, hanya dianjurkan pada kasus
tertentu, misalnya:

5.

Rinosinusitis akut dengan tanda dan gejala berat.

Tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa optimal

Diduga ada cairan dalam sinus maksila yang memerlukan tindakan irigasi
-

Evaluasi terapi

Alasan medikolegal.

Tomografi Komputer dan MRI


Pemeriksaan tomografi komputer tidak dianjurkan pada rinosinusitis akut, kecuali ada
kecurigaan komplikasi orbita atau intrakranial.
25

Pemeriksaan MRI hanya dilakukan pada kecurigaan komplikasi intrakranial.


Diagnosis Rinosinusitis Kronis Pada Dewasa
Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:
1.

Anamnesis
Riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria
mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda
menurut International Consensus on Sinus Disease, 1993. dan 200414,15 (Lihat Tabel
2). Kriteria mayor terdiri dari: sumbatan atau kongesti hidung, sekret hidung purulen,
sakit kepala, nyeri atau rasa tertekan pada wajah dan gangguan penghidu. Kriteria
minornya adalah demam dan halitosis. Keluhan rinosinusitis kronik seringkali tidak khas
dan ringan bahkan kadangkala tanpa keluhan dan baru diketahui karena mengalami
beberapa episode serangan akut.

2.

Rinoskopi anterior
Terlihat adanya sekret purulen di meatus medius atau meatus superior. Mungkin
terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik.

3.

Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak
dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus
medius atau superior, polip kecil, ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka
bulosa, konka paradoksikal, spina septum dan lain-lain.

4.

Pemeriksaan foto polos sinus


Dapat dilakukan mengingat biayanya murah, cepat dan tidak invasif, meskipun hanya
dapat mengevaluasi kelainan di sinus paranasal yang besar.

5.

Pemeriksaan CT Scan
Dianjurkan dibuat untuk pasien rinosinusitis kronik yang tidak ada perbaikan dengan
terapi medikamentosa. Untuk menghemat biaya, cukup potongan koronal tanpa kontras.
Dengan potongan ini sudah dapat diketahui dengan jelas perluasan penyakit di dalam
rongga sinus dan adanya kelainan di KOM (kompleks ostiomeatal). Sebaiknya
pemeriksaan CT scan dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar
proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomis dapat terlihat
dengan jelas.

6.

Pungsi sinus maksila


Tindakan pungsi sinus maksila dapat dianjurkan sebagai alat diagnostik untuk
mengetahui adanya sekret di dalam sinus maksila dan jika diperlukan untuk
pemeriksaan kultur dan resistensi.
26

7.

Sinoskopi
Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila serta. Pemeriksaan ini
menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau fosa
kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga sinus
maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan kelainannya
masih reversibel atau sudah ireversibel.

Tabel 2. Gejala dan Tanda Rinosinusitis Kronik


Gejala dan Tanda
Penderita
Mayor
Dewasa dan Anak
Kongesti hidung atau sumbatan
Demam
Sekret hidung purulen
Halitosis
Sakit kepala
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah
Gangguan penghidu
Anak
Batuk
Iritabilitas/Rewel

Minor

Diagnosis rinosinusitis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
ditambah 2 kriteria minor.
Diagnosis Banding
Gejala

Rhinosinusitis
Kongesti

Rinitis Viral
Hidung meler dengan
cairan berwarna kuning
kental
Demam ringan

Rinitis Alergika
Kongesti

Postnasal drip

Bersin

Bersin

Tekanan pada wajah

Lemah dan Lelah

Mengi

Nasal discharge
hijau atau abu-abu

Sakit kepala
Onset

Tipe Durasi

Batuk
Berkembang sebagai
komplikasi setelah
flu. Dapat dipicu oleh
alergi
Bisa minggu terakhir,
bulan dan bahkan
bertahun-tahun jika
diabaikan.

Sekret sedikit dengan watery


discharge

Hidung, tenggorokan, dan


mata gatal
Gejala berkembang
dalam 1-3 hari setelah
pilek

5-7 hari

Gejala segera dimulai setelah


terpapar alergen. Jika alergi
musiman, gejala-gejala muncul
pada waktu yang sama setiap
tahun. Jika alergi abadi, gejala
sepanjang tahun.
Gejala terakhir selama terkena
alergi. Jika alergen adalah
sepanjang tahun ini, mungkin
gejala-gejala kronis.

Sumber : American Academy of Allergy Asthma and Immunology


TERAPI
27

Terapi

yang

diberikan

pada

rinosinusitis

pada

prinsipnya

adalah

untuk

menghilangkan gejala yang timbul dan untuk menghilangkan sumber penyakitnya. Jika
sudah terjadi infeksi, maka diperlukan pemberian antibiotik yang sesuai dengan pola
resistensi kuman yang menginfeksi tersebut. Pada umumnya, antibiotik golongan
fluorokuinolon dan sefalosporin generasi ke-4 dapat digunakan untuk mengobati rinosinusitis
akut yang terinfeksi bakteri. Jika terdapat kuman anaerob, maka dapat ditambahkan
metronidazol.

GAMBAR 6. Daftar antibiotik untuk menangani rinosinusitis

Selain itu, drainase sinus dapat dilancarkan dengan memberikan obat-obat mukolitik
seperti guafenesin dan bromheksin. Sumbatan akibat edema mukosa di hidung dapat
diatasi dengan memberikan obat dekongestan seperti pseudoefedrin dan fenilpropanolamin,
dua kali sehari selama 3-7 hari, diberikan topikal ke dalam hidung atau per oral, untuk
membuka sumbatan ostium dan mengeringkan sinus. Untuk pasien dengan rhinitis alergi,
antihistamin generasi kedua dapat diberikan untuk mengurangi gejala seperti loratadin.
Selain dengan menggunakan obat-obatan, rinosinusitis juga dapat diatasi dengan
tindakan seperti irigasi sinus dengan menggunakan NaCl 0,9 %, maupun pembedahan yang
bersifat non-radikal seperti Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
KOMPLIKASI
1.

Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan
infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan :
28

a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi
sinus ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena
lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis seringkali merekah
pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih
serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis
konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin
bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran
vena ke dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
-

Oftalmoplegia

Kemosis Konjungtiva

Gangguan penglihatan yang berat

Kelemahan pasien

Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan


dengan saraf kranial II, III, IV, dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

2.

Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinu, kista ini
paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi
mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan
sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur
sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkkan pada dahi atau
fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kita
dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan syaraf
didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun
lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk
mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau
obliterasi sinus.

3.

Komplikasi Intra Kranial


29

a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung
dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau
melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien
hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intrakranial. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara
duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan
abses dura.
c. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra
kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang
mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah
infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa
malaise, demam dan menggigil.
PENCEGAHAN
Pencegahan yang harus dilakukan pada pasien dengan rinosinusitis adalah dengan
menghindarkan penyebab terjadinya penyakit penyerta. Jika pasien memiliki riwayat alergi
seperti pada rinitis alergi, maka pasien dianjurkan untuk menghindari bahan-bahan yang
menimbulkan reaksi alergi seperti asap rokok, bulu binatang, debu, dan sebagainya. Jika
pasien memiliki riwayat pembusukan akar gigi, maka pasien perlu ke dokter gigi untuk
mengobati keadaan gigi tersebut. Jika pasien memiliki riwayat ISPA, maka pasien perlu
mengobati infeksi yang terjadi dengan terapi yang adekuat. Disamping itu, gaya hidup sehat,
olahraga yang teratur dan kontrol rajin ke dokter dapat meningkatkan pemahaman pasien
akan penyakitnya dan dapat mengurangi angka kekambuhan penyakit.
PROGNOSIS
Prognosis rinosinusitis bergantung dari seberapa cepat pasien mendapatkan
pengobatan. Secara umum, prognosis dari penyakit ini baik, tentu dengan terapi yang
intensif dan perbaikan gaya hidup sesuai dengan edukasi yang diberikan oleh dokter.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Sistem saraf periferdivisi aferen indera. Fisiologi manusia dari sel
ke sistem. Jakarta: EGC; 2001.h.149-195.
2. Hilger AP. Penyakit sinus paranasalis. Dalam: Adams GL, Boies LR, Higler AP,
editor. Boies buku ajar penyakit tht. Jakarta: EGC;2003.h.240-62.

31

3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Sinusitis. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010.h.150-4.
4. Bull TR. The nose. Color atlas of ENT diagnosis. 4th ed. London: Thieme;
2003.p.99-164.
5. Dhillon RS, East CA. Nose and paranasal sinuses. An illustrated colour text ear
nose and throat and head and neck surgery. 2nd ed. London: Churchill
Livingstone; 2000.p.30-55.

32

You might also like