Professional Documents
Culture Documents
Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase
aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang
semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut
alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel
pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses
dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE
(Langerhans Epidermal).
Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan
terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul CD4+
(Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3. Selanjutnya
sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1
(interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk
mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan
proliferasi sel T sehingga terbentuk primed memory T cells,
yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan
limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak
berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia
berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam
pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi
yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis
kontak alergik.4
Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul
pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah
tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis.
Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang
sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan
merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma
akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1
(intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi
dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid.
Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk
melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan
permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai
macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis.4
4. Diagnosis Kerja
Work Diagnosis atau diagnosis kerja merupakan suatu kesimpulan berupa
hipotesis tentang kemungkinan penyakit yang ada pada pasien. Setiap diagnosis
kerja haruslah diiringi dengan diagnosis banding.5
Berdasarkan gejala-gejala yang timbul dapat diduga kalau pasien anak lakilaki tersebut menderita Dermatitis Atopik. Dermatitis Atopik merupakan keadaan
peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi
4
selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan IgE
dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita.
5. Etiologi
Penyebab DA belum diketahui, terdapat 2 teori yang menjelaskan etiologi DA.
Teori pertama menyatakan DA merupakan akibat defisiensi imunologik yang
didasarkan pada kadar Imunoglobulin E (Ig E) yang meningkat dan indikasi sel T
yang berfungsi kurang baik. Sedangkan teori kedua menyatakan adanya blokade
reseptor beta adrenegik pada kulit. Namun, kedua teori tersebut tidak adekuat untuk
menjelaskan semua aspek penyakit DA.6
6. Epidemiologi
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk
menginpretasi hasil penelitian epidemiologik harus berhati-hati. Di Amerika
Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain, pravelensi Dermatitis
Atopik pada anak mencapai 10-20%, sedangkan pada dewasa kira-kira 1-3%. Di
negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, pravelensi DA jauh lebih
rendah. Wanita lebih banyak menderita DA, daripada pria dengan rasio 1,3:1.7
DA cenderung diturunkan. Lebih lagi dari seperempat anak dari seorang ibu
yang menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan 3 bulan pertama.
Bila salah satu orangtua menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan
mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun dan akan meningkat sampai 79% bila
kedua orangtua menderita atopi. Resiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang
menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami berlanjut
hingga masa dewasa, maka resiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja
yaitu kira-kira 50%.7
7. Patofisiologi
Sampai saat ini patologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya
diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis DA tidak
dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut
dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal
sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara
imunologik dan nonimunologik.7
Multifaktor: DA mempunyai penyebab multi faktorial antara lain faktor
genetik, emosi, trauma, keringat, imunologik.
Respon Imun Sistemik: Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik
alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE.
Imunopatologi Kulit: Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah
CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk
mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah
perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan
petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+,
5
HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang
menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis
karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM).
Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada
keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit.
Apoptosis keratinocyte diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan
sel-sel T atau yang berada di microenvironment.
Respon imun kulit: Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang
diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer,
terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi
ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE.
Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik
didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi
makrofag dan eosinofil.
Genetik: Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33,
kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang
independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan
HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma
dan rhinitis. Resiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya
menderita DA adalah 86%
Faktor non imunologis: faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal
pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering
(xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas,
banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang
kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan
rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal
akan mengakibatkan rasa gatal.
8. Manifestasi Klinik
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di
epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat, jaritangan
teraba dingin. Penderita dermatitis atopik cenderung tipe astenik, dengan
inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau
merasa tertekan.
Gejala klinis yang spesifik yaitu rasa gatal yang khas dengan predileksi yang
khas, berlangsung kronis dan residif. penderita dermatitis atopik mempunyai tingkat
ambang rasa gatal yang rendah, gatal dapat hilang timbulsepanjang hari tetapi
umunya lebih hebat pada malam hari serta adanya stigmataatopik pada pasien
maupun keluarga yang lain.Tempat predileksi adalah hal yang paling penting untuk
diketahui dari pasien dermatitis atopik. Manifestasi klinis dermatitis atopik berbeda
pada setiap tahapan atau fase perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga
saat dewasa. Pada setiap anak didapatkan derajat keparahan yang bervariasi, tetapi
secara umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang serupa.8
Dermatitis atopik dikelompokkan dalam 3 fase yaitu:7
6
2) Kriteria Minor
Tanda Dennie-Morgan
Keratokonus
Konjungtivitis rekuren
Awitan dini
Peningkatan Ig E serum
White dermatographisme
Kemudahan
Pitiriasis Alba
mendapat
infeksi
Facial pallor
Hiperliniar palmaris
Keratosis palmaris
Papul perifokular hiperkeratosis
Xerotic
a) Medica Mentosa
Pengobatan DA tidak bersifat menghilangkan penyakit tapi untuk
menghilangkan gejala dan mencegah kekambuhan. Secara
konvensional pengobatan DA pada umumnya menurut Boguniewicz &
Leung tahun 1996 adalah sebagai berikut:
1) Antibiotik : ditujukan pada DA dengan infeksi sekunder
2) Antihistamin : Antihistamin digunakan sebagai antipruritus
yang cukup memuaskan dan banyak digunakan untuk terapi
DA.
I.
Pengobatan Topikal:8
1) Hidrasi kulit: pada kulit diberikan pelembab misalnya
krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan
hidrokortison 1% didalamnya.
2) Kortikosteroid topikal: pengobatan yang paling sering
digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Pada bayi
dapat digunakan salap steroid berpotensi rendah misalnya
hidrokortison 1-2,5%.
II.
Pengobatan Sistemik:8
1) Kortikosteroid: hanya digunakan untuk mengendalikan
eksaserbasi akut dalam jangka pendek dan dosis rendah
diberikan berselang seling atau dosis diturunkan secara
bertahap,
kemudian
diganti
dengan
pemberian
kortikosteroid topikal.
2) Antihistamin: untuk mengurangi rasa gatal yang hebat
terutama malam hari, sehingga menggangu tidur.
3) Anti-infeksi: bagi yang belum resisten dapat diberikan
eritromisis, asitromisin, atau klaritromisin, sedang yang
telah resisten dapat diberikan dikloksasin,oksasilin, atau
generasi pertama sefalosporin.
4) Interferon: menekan respon IgE dan menurunkan fungsi
dan proliferasi sel TH2.
5) Siklosporin: untuk DA yang sulit diatasi dengan
pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan
dengan siklosporin dalam jangka pendek.
6) Terapi sinar: dapat digunakan PUVA untuk DA yang berat
dan luas. Terapi UVB atau Goeckerman dengan UVB dan
ter juga efektif.
b) Non-Medica Mentosa
1) Menghindari bahan iritan : bahan seperti sabun, detergen,
bahan kimiawi karena penderita DA mempunyai nilai ambang
rendah dalam merespon berbagai iritan.
2) Mengeliminasi alergen yang telah terbukti : pemicu
kekambuhan yang telah terbukti misal makanan, debu rumah,
bulu binatang dan sebagainya harus disingkirkan.
9
10