You are on page 1of 3

REVOLUSI MENTAL dan KEARIFAN LOKAL

Oleh Zulfan Lubis


Dosen STBA ITMI Medan
Tulisan ini terinspirasi dari kuliah yang disampaikan oleh Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S,
dalam kuliahnya beliau menyampaikan bahwa kearifan lokal dapat mengantarkan bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang damai dan sejahtera. Mengapa tidak? Bangsa Indonesia yang
terdiri dari berbagai suku dan agama tentunya memiliki kekhasan tersendiri di antara bangsabangsa yang lain. Kemajemukan budaya menjadi warisan leluhur yang takterhingga nilainya
untuk masa depan Negara ini. Kemajemukan dan keberagaman ini telah dibingkai oleh leluhur
bangsa ini dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi alasan dan landasan mengapa
seluruh anak bangsa Indonesia harus tetap bersatu demi kemajuan negeri ini.
Lalu apa hubungan tulisan ini dengan program Revolusi Mental yang digadang-gadang
oleh presiden Indonesia yang baru, bapak Ir. H. Joko Widodo? Dalam tulisan ini penulis ingin
menyampaikan bahwa revolusi mental dapat direalisasikan dengan kearifan lokal. Ada dua poin
yang harus diperhatikan mengenai hal tersebut. Pertama, kita harus memahami definisi kearifan
lokal itu sendiri. Di dalam bukunya Kearifan lokal Prof. Dr. Robert Sibarani M.S
mendifiniskan kearifan lokal sebagai kebijaksanaan dan pengetahuan asli suatu masyarakat yang
berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Di masa
lalu kearifan lokal benar-benar dapat mengatur tatanan sosial yang penuh kedamaian dan
kesejahteraan. Ini terbukti dengan tatanan kehidupan yang berkenaan dengan interaksi manusia
dengan Tuhan, interaksi manusia dengan alam, dan interaksi manusia sesama manusia dalam
bermasyarakat. Para pemuka adat atau pemimpin suku tertentu pada zaman dahulu tidak
mengecap pendidikan formal, namum dapat memimpin rakyatnya dengan bijaksana. Mereka
juga tidak memiliki aturan dan perundangan untuk menjalankan roda pemerintahan, namun yang
mereka miliki hanyalah nilai luhur dan norma. Mereka sadar betul bahwa mereka adalah ciptaan
Mahapencipta yang harus selalu mengabdi kepada-Nya, dan mereka bersikap bijaksana agar
dapat hidup berdampingan dengan makhluk lainnya. Pemimpin yang jujur dan menjalankan
amanah rakyat merupakan bentuk ketaatannya berinteraksi dengan Tuhan. Sebagai makhluk ia
selalu merasa dibawah pengawasan Tuhan, sehingga ia malu jika melakukan perbuatan tercela

semisal korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai pemimpin ia juga merasa bertanggung jawab
dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya. Oleh karena itu dia membuat sebuah keputusan
yang bijaksana bahwa sebagian sungai, hutan, danau, dan laut dimiliki oleh adat seperti yang kita
kenal sekarang dengan tanah adat, hutan rakyat dan sebagainya. Sehingga tidak ada diantara
rakyatnya yang berani untuk mengeksplorasi alam dengan serakah dan sembarangan. Untuk
berinteraksi dengan sesama manusia ia menjalankan prinsip kesopan-santunan yang terdiri dari
kesopan-santunan dalam bersikap, berbicara dan berpakaian. Singkatnya, jika seorang pemimpin
mengerti dan memahami jati dirinya sebagai bagian dari bangsa ini maka ia harus memiliki sikap
yang luhur dan bijaksana dalam mengambil keputusan yang berdasarkan nilai budaya bangsa ini.
Seperti yang diketahui Negara Tiongkok dan Jepang menjadi negara maju karena memulai
pembangunan berdasarkan kebudayaan rakyatnya.
Kedua, aplikasi kearifan lokal sebagai pembentuk dan pembangun karakter. Revolusi
mental yang menjadi program presiden Jokowi tentunya untuk pembentukan karakter yang baik
dan positif. Dalam hal ini kearifan lokal menjadi sumber penting untuk malakukan revolusi
mental. Jika kita perhatikan pidato perdana Jokowi sesaat setelah dilantik di hadapan seluruh
peserta sidang paripurna MPR RI dan ketika memberikan sambutan pada pagelaran pesta rakyat
di lapangan Monas, Jokowi selalu mengucapkan gotong-royong, kerja keras dan kerja sama.
Perlu diketahui bahwa ketiga hal tersebut merupakan jenis kearifan lokal dari kebudayaan bangsa
Indonesia yang mejemuk. Menurut penulis, Jokowi ingin memberikan pesan bahwa kemajuan
pembangunan negara ini bukan hanya berlandaskan dan bergantung kepada keputusan dan
bergaining politik melulu, namun dapat dicapai dengan gotong-royong, kerja sama dan kerja
keras yang tidak lain adalah kearifan lokal.
Perlu ditegaskan bahwa revolusi mental haruslah dimulai oleh pemimpin itu sendiri.
Sehingga ia menjadi panutan bagi rakyatnya. Jika mengingat dan memahami masa lalu para
pemimpin adat atau sukulah yang terlebih dahulu menerapkan hidup sederhana dan bersahaja,
sampai-sampai mereka dijuluki pemimpin yang arif dan bijakasana. Saat ini keadaan seperti itu
sudah sulit untuk kita temukan. Sekarang ini kita selalu melihat dan mendengar di berbagai
media massa bahwa segelintir pemimpin dan elit politik negeri ini terlibat tindak pidana korupsi
dan bentuk pelanggaran hukum lainnya. Bukan itu saja, sebuah contoh sederhana yang selalu
kita lihat dipersimpangan jalan, jarang sekali ada pemimpin daerah yang menghentikan
kendaraannya ketika travel light menandakan untuk berhenti, mereka selalu saja menerobos

lampu merah dengan pengawalan polisi. Mereka melakukan hal tersebut dengan dalih agar cepat
sampai ke tujuan karena ingin mengadakan rapat atau pertemuan untuk membahas permasalahan
rakyat. Benar tidaknya dalih mereka, tetap saja mencerminkan pemimpin yang eksklusif dan
bukan pemimpin yang inklusif. Padahal yang dibutuhkan dan yang dirindukan rakyat Indonesia
adalah pemimpin yang inklusif dan sederhana. Ini dapat dilihat ketika Ir. H. Joko Widodo selesai
dilantik menjadi presiden Republik Indonesia yang ketujuh, begitu ia sangat dielu-elukan saat
diarak menuju Istana Negara. Blusukan yang merupakan gaya kepemimpinan Jokowi
merepresentasikannya sebagai pemimpin yang inklusif. Tidak salah jika rakyat Indonesia
memberikan ekspektasi dan apresiasi yang besar kepada presiden Indonesia yang ketujuh ini.
Kita berharap gaya blusukan yang menjadi ciri khas Jokowi bukan hanya sebuah pencitraan
sesaat, melainkan sebagai langkah awal untuk melakukan gerakan revolusi mental berbasis
kearifan lokal demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Sekali lagi, revolusi mental dapat direalisasikan melalui penanaman kearifan lokal
kepada seluruh lapisan masyarakat di negeri ini. Terlebih kepada generasi muda sebagai penerus
peradaban bangsa Indonesia. Pada hakikatnya penanaman kearifan lokal pada generasi muda
adalah untuk pembentukan dan pembangunan karakter yang baik. Memakai istilah Prof. Robert
Sibarani yaitu remembering the past, understanding the present, and preparing the future
mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan. Mengingat masa
lalu berarti memperhatikan dan mengambil nilai luhur budaya masa lalu. Memahami masa kini
berarti mampu menguraikan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini dan
memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut dengan mengaplikasikan nilai luhur dari
masa lalu itu. Mempersiapkan masa depan berarti merencanakan dan melakukan sesuatu yang
bermanfaat bagi generasi sekarang sebagai persiapan untuk pembentukan dan pembangunan
karakter bangsa yang bermartabat di masa yang akan datang. Dan yang tak kalah penting adalah
demi kedamaian, kemakmuran, keadilan dan kesejahteran seluruh bangsa Indonesia.

You might also like