You are on page 1of 17

ANATOMI

Kolom Vertebra (Columna Vertebralis)


Spinal tersusun atas tulang vertebral dan diskus fibrokartilago intervertebral. Ada 7

(3)

vertebral servikal, 12 torakal, dan 5 vertebral lumbar. Sakrum adalah penggabungan dari 5
vertebral sakral, dan ada sedikit tambahan yang disebut vertebral coccygeal. Spinal sebagai
kesatuan memberikan dukungan struktural untuk tubuh dan melindungi korda spinalis dan
saraf-saraf, serta memberikan kemungkinan mobilitas pada beberapa bidang spasial. Pada
tiap level vertebral, saraf spinalis berpasangan keluar dari sistem saraf pusat.
Sebuah cincin berlubang, dengan bagian depan oleh badan vertebral, lateral oleh pedikulus
dan prosesus transversus, dan posterior oleh lamina dan prosesus spinosus. (Gambar 16-1B
dan C). Lamina berada di antara prosesus transversus dan prosesus spinosus dan pedikulus di
antara

badan

vertebral

dan

prosesus

transversus.

Jika disusun vertikal, cincin berlubang akan menjadi kanalis spinalis di mana terdapat korda
spinalis dan pelindungnya. Masing-masing badan vertebra dihubungkan oleh diskus
intervertebralis. Ada empat sendi sinovial kecil pada tiap vertebra, dua mengartikulasi dengan
vertebra di atasnya, dan dua dengan vertebra di bawahyna. Ini merupakan sendi facet, yang

melekat pada prosesus transversus (Gambar 16-1C).

Korda Spinalis
Kanalis spinalis berisi korda spinalis dengan pelindungnya (meninges), jaringan lemak, dan
sebuah plexus venosus (Gambar 16-5). Menignes tersusun atas tiga lapisan: pia mater,
arachnoid mater, dan dura mater; semua bersambungan dengan pasangannya di kranium
(Gambar 16-6). Pia mater melekat sangat erat dengan korda spinalis, sedang arachnoid mater
bisanya lebih melekat pada dura mater yang lebih tebal dan padat. Cairan serebrospinal (CSF)
berada di antara pia dan arachnoid mater pada spasium sub arachnoid (lihat Bab 25).
Ruangan subdural spinal umumnya merupakan ruangan yang tidak berbatas tegas, ruangan
yang mungkin berada di antara membran dura mater dan arachnoid mater. Spasium epidural
merupakan ruangan yang lebih jelas terletak dalam kanalis spinalis yang dikelilingi oleh dura
dan ligamentum flavum.

Blokade Somatik
Dengan menginterupsi transmisi dari stimuli nyeri dan menghilangkan tonus otot
skeletal, blokade neuraxial dapat memberikan kondisi operasi yang bagus. Blokade sensori
menginterupsi stimuli nyeri baik somatik maupun viseral, sedang blokade motor
menghasilkan relaksasi otot skeletal. Efek dari anestesia lokal pada serabut saraf bervariasi
tergantung ukuran dari serabut saraf, apakah termyelinasi, dan konsentrasi yang dicapai serta
durasi kontak.

Blokade Otonomik
Interupsi dari transmisi eferen otonom pada akar saraf spinal dapat menghasilkan blokade
simpatetik dan beberapa parasimpatetik. Aliran keluar simpatetik dari korda spinalis mungkin
dapat dijelaskan sebagai torakolumbar, sementara parasimpatetik adalah kraniosakral.

Anestesi neuraksial tidak memblok nervus vagus (nervus craniales X). Oleh karena itu,
respon-respon fisiologis dari blokade neuraksial dihasilkan dari penurunana tonus
symphaticus dan/atau tidak terhambatnya tonus parasymphaticus.

Manifestasi-manifestasi kardiovaskuler
Blok-blok neuraksial secara khas menghasilkan penurunan tekanan darah yang
bervariasi yang dapat disertai dengan penurunan heart rate dan kontraktilitas jantung. Efekefek ini secara umum proporsional dengan tingkat symphatectomy. Tonus vasomotor
sebagian besar ditentukan oleh serabut-serabut simpatis yang muncul dari T5 sampai L1,
mempersarafi otot polos arteri dan vena. Blok terhadap syaraf-syaraf ini menyebabkan
vasodilatasi dari pembuluh-pembuluh kapasitansi vena (venous capacitance vessels),
pembendungan darah, dan penurunan pengembalian darah vena ke jantung; pada beberapa
keadaan, vasodilasi arteri dapat menurunkan tahanan vaskuler sistemik. Efek-efek vasodilasi
arterial dapat diminimalisir dengan vasokonstriksi kompensatorik di atas level blokade. Blok
simpatis yang tinggi tidak hanya mencegah vasokonstriksi kompensatorik namun juga
memblok serabut-serabut simpatis aselerator jantung yang muncul pada T1-T4. Hypotensi
berat dapat disebabkan oleh vasodilasi yang disertai dengan bradikardia dan menurunnya
kontraktilitas. Efek-efek ini dapat menjadi lebih parah apabila pengembalian darah vena
(venous return) kemudian diperbuuk dengan posisi kepala di atas (head-up) atau dengan berat
dari uterus yang gravid. Tidak terhambatnya tonus vagal dapat menjelaskan berhentinya
jantung secara mendadak (sudden cardiac arrest) yang kadang ditemui pada anestesi spinal.
Efek-efek kardiovaskuler yang mengganggu harus diantisipasi dan langkah-langkah
harus dijalankan untuk meminimalisir derajat hypotensi. Pengisian volume dengan 1020mL/kg cairan intravena untuk pasien yang sehat dapat secara parsial mengkompensasi
pembendungan vena. Pemindahan uterus ke kiri pada trimester ketiga kehamilan dapat
membantu meminimalisir hambatan fisik terhadap pengembalian darah vena. Walaupun
dengan usaha-usaha tersebut, hypotension masih dapat terjadi dan harus ditangani secara
tepat. Administrasi cairan dapat ditingkatkan, dan autotransfusi dapat dicapai dengan
memposisikan pasien dalam posisi kepala di bawah (head-down). Bradikardia yang
berlebihan atau bradikardia yang simptomatik harus ditangani dengan atropine, dan
hypotension harus ditangani dengan vasopressor. Agonis -adrenergik langsung (seperti
phenylephrine) meningkatkan tonus vena dan menghasilkan konstriksi arteri, peningkatan
pengembalian darah vena dan peningkatan tahanan vaskuler sistemik. Ephedrine memiliki
efek-efek -adrenergik langsung yang meningkatkan heart rate dan kontraktilitas jantung dan
juga efek-efek tidak langsung yang juga menghasilkan vasokonstriksi. Jika hypotensi yang
parah dan/atau bradikardia masih tetap ada walaupun telah dilakukannya intervensi-intervensi
tersebut, epinephrine (5-10 g intravena) harus diadministrasikan secara tepat(3) .

PERUBAHAN FISIOLOGI PADA SPINAL ANESTESIA


Blokade somatis
Dengan menghambat transmisi impuls nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka,
blok subarachnoid dapat menciptakan kondisi yang baik untuk pembedahan. Blok sensorik
menghambat stimulus nyeri somatik atau visceral, sementara blok motorik menyebabkan
relaksasi otot. Efek anastetik lokal pada serabut saraf bervariasi tergantung dari ukuran
serabut saraf tersebut dan apakah serabut tersebut bermielin atau tidak serta konsentrasi obat
dan lamanya kontak. (1)
Efek terhadap sistem saraf ototnom
Sistem saraf simpatis
Impuls eferea dan sistem saraf pusat sampai ke organ dan pembuluh darah yang
disuplai berjalan sepanjang saraf preganglionik dan post ganglionik. Kedua serabut saraf
dihubungkan dengan sinapsis dalam ganglion. Serabut saraf preganglion meninggalkan
medula spinalis melalui radiks saraf ventralis T1 L2, beberapa sumber juga mengatakan
mereka berasal dari saraf servikal. Pada bagian servikal kumpulan ganglia ini menyusun
ganglia servikal superior, servikal tengah dan stellat ganglia. Pada thorak, rangkaian simpatis
ini membentuk saraf splanknikus yang menembus diafragma untuk mencapai ganglia dalam
pleksus koeliak dan pleksus aortikorenal. Di dalam abdomen rangkaian simpatis ini
berhubungan dengan pleksus koeliak, pleksus aorta dan pleksus hypogastrik. Rangkaian ini
berakhir di pelvis pada permukaan anterior sakrum. (2)
Serabut-serabut saraf postganglionik yang tidak bermielin terdistribusi luas pada
seluruh organ yang menerima suplai saraf simpatis. Saraf post ganglionik dari ganglion
stellate berjalan ke atas ke pembuluh darah besar. Hanya 14 pasang saraf spinal (T1 L2)
yang membentuk saraf preganglionik, sedangkan sisanya adalah postganglionik. (2)
Daerah viscera menerima serabut postganglionik sebagian besar langsung melalui
cabang yang meninggalkan pleksus-pleksus besar.
Sistem saraf parasimpatis
Saraf eferen dan aferen dari sistem saraf parasimpatis berjalan melalui nervus kranial
atau nervus sakralis ke 2, 3, 4. Nervus vagus merupakan saraf kranial paling penting yang
membawa saraf eferen parasimpatis, tetapi mereka juga berada dalam n. okulomotororius,
fasialis, glosofaringeus dan n. asesorius. Serabut preganglioner berjalan ke berbagai organ

yang mereka layani. Sinaps terjadi pada dinding tiap organ dengan serabut postganglionik
yang sangat pendek. (2)
Nervus vagus menginervasi jantung, paru, oesofagus dan traktus gastrointestinal
bagian bawah sampai ke kolon transversum. Saraf parasimpatis sakral bersama saraf simpatis
didistribusikan pada usus besar bagian bawah kolon transversum, vesikaurinaria, sphincter
dan organ reproduksi. (2)
Saraf otonom aferen didistribusikan dengan saraf eferen dari sistem saraf simpatis dan
parasimpatis yang sel-sel sarafriya berlokasi di ganglion dorsal. Serabut ini bertanggung
jawab terhadap impuls aferen reflek viscaral. Mereka dirangsang dengan sensasi seperti lapar,
mual, distensi vesika, kontraksi uterus. Berbagai macam nyari disalurkan melalui saraf ini,
seperti kolik, nyeri melahirkan, mereka biasanya diaktifkan dengan tarikan atau kontraksi
berlebihan otot nonstriatum tetapi mungkin juga respon terhadap inflamasi seperti peritonitis
atau iskemi seperti angina. (2)
Blokade Otonom
Hambatan pada serabut efferen transmisi otonom pada akar saraf spinal menimbulkan
blokade simpatis dan beberapa blok parasimpatis. Simpatis outflow berasal dari segmen
thorakolambal sedangkan parasimpatis dari craniosacral. Serabut saraf simpatis preganglion
terdapat dari T1 sampai L2, sedangkan serabut parasimpatis preganglion keluar dari medula
spinalis melalui serabut kranial dan sakral. (1)
Perlu diperhatikan bahwa blok subarachnoid tidak memblok serabut saraf vagal.
Selain itu blok simpatis mengakibatkan ketidakseimbangan otonom, dimana parasimpatis
menjadi lebih dominan. (1)
Efek terhadap kardiovaskuler
Sub arachnoid block menimbulkan penurunan tekanan darah yang bervariasi yang
akan diikuti oleh penurunan detak jantung (HR) dan kontraktifitas jantung. Efek ini
proporsional dengan derajat simpatektomi. Tonus vasomotor dipengaruhi oleh serabut
simpatis dari T5 sampai LI, yang mensrafi otot polos arteri dan vena. Blok pada serabut saraf
ini menyebabkan vasodilatasi vena-vena kapasitan, pooling darah, dan penurunan venous
return ke jantung serta menurunkan SVR (Sistemik Vaskuler Resietauce). Efek
cardiovaskuler dari neuroxial blok ini mirip dengan efek yang dihasilkan dari kombinasi l
bloker dan bloker dimana detak jantung (HR) dan tekanan darah turun. Efek dari
vasodilatasi arterial dapat diminimalisasi oleh kompensasi vesokonstruksi di atas level dari

blok. Efek cardiovaskuler yang merugikan ini dapat diantisipasi dengan memberikan loading
cairan kristaloid 10 12 ml/kg BB. Vasopresor efedrin yang memiliki efek langsung adrenergik dapat diberikan untuk meningkatkan denyut jantung (HR), kontraktilitas serta efek
tidak langsung dengan menyebabkan vasokontriksi. (3)
Efek terhadap Pulmoner (Respirasi)
Efek klinis pada fisiologi pulmoner biasanya jarang pada blok spinal. Walaupun pada
blok tinggi thorak tidal volume tidak berubah, tapi sedikit penurunan pada kapasitas vital,
yang terjadi karena kelemahan otot abdomiral yang berperan pada ekspirasi paksa (forced
expiration). Reflek batuk dan pembersihan sekresi sekret dengan ekspirasi maksimal
merupakan hal yang penting, terutama pada pasien dengan penyakit paru kronis. Untuk
alasan tersebut, blok spinal harus berhati-hati pada pasien dengan gangguan respirasi yang
memerlukan blok yang tinggi. Pembedahan pada thorak dan abdostinal atas berkaitan dengan
penurunan fungsi diafragma postoperatif (akibat penurunan aktifitas n phrenikus) dan
penurunan FRC (Functional Resdual Capasity) yang dapat menimbulkan atelektasis dan
hipoksia karena gangguan ventilasi perfusi. Kejadian henti nafas yang berhubungan dengan
spinal anestesia, tidak berhubungan dengan blok n. phrenicus atau disfungsi inspiratori, tetapi
lebih berhubungan dengan hipoperfusi dari pusat respirasi pada batang otak, hal ini didukung
oleh hal yang menunjukkan bahwa apnea hampir selalu hilang setelah pemberian obat
farmakologik dan terapi cairan mengembalikan cardiak output dan tekanan darah. (1)
Efek terhadap Gastrointestinal
Simpatis outflow mulai dari level T5 - L1, membantu menurunkan peristaltik,
menjaga tonus spingter dan mengoposisi tonus vagal. Blok subarachnoid menyebabkan
simpatektomi sehingga tonus vagal menjadi dominan dan menyebabkan kontraksi usus
meningkat. "Hepatik blood flow" akan menurun dengan menurunnya MAP akibat berbagai
teknik anestesia. Nausea dan vomitus mungkin berhubungan dengan blok spinal pada 20%
pasien akibat hiperperistaltik gastrointestinal karena aktivitas parasimpatis. Atropin cukup
efektif untuk mengatasi nausea pada keadaan ini. (3)
Efek pada Traktus Urinarius
Aliran darah ginjal "Renal Blood Flow" terpelihara oleh adanya mekanisme
autoregulasi dan blok spinal memiliki sedikit efek klinis terhadap fungsi ginjal. Neuroxial
anestasi pada lumbal dan sacral menghambat kontrol simpatis dan parasimpatis terhadap

fungsi vesika urinaria sehingga dapat menimbulkan retensi urin. (1)

Manifestasi Metabolik dan Endokrin


Trauma pembedahan menimbulkan respon neuroendokrin melalui respon intlamatori
local dan aplikasi serabut saraf aferen somatik dan visceral. Respon ini meliputi kadar
hormon adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopresin sama seperti
aktivasi sistem rennin-augiotensin-aldosteron. Manifestasi klinis termasuk intraoperatif dan
pastoperatif, takikardi, hiperglikimia, katabolisme protein, respon supresi imun, dan
perubahan fungsi ginjal. Blokade neuroaksial secara parsial atau secara total dapat memblok
stress respon tersebut. Blok setinggi T11 dapat menghambat jalur adrenal dan menampilkan
respon hiperglikimia. Dengan menurunkan ketekolamin release. (1)
Pertimbangan klinis
Anestesi spinal biasanya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah dan traktus
genitourinary. Prosedur pada abdominal bawah seperti sectio cesarea, ligasi tuba post partum,
dan simple hysterectomy, SAB masih bisa diterapkan. Prosedur pada daerah abdomen bagian
atas lebih baik dipakai anestesi umum. Walaupun blok sesoris sesuai dengan level yang
adekuat dengan anestesi spinal, tapi traksi atau penarikan dan manipulasi peritoneum sering
menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien. (3)
Ada beberapa kontra indikasi mutlak pada blok subarachnoid di antaranya adalah
pasien menolak, pasien tidak mampu mempertahankan posisi selama penusukan jarum,
adanya resiko cidera neurologis dan peningkatan tekanan intra kranial yang secara tebris
dapat menyebabkan terjadinya herniasi otak. Hypovolumia berat, sepsis, infeksi di tempat
injeksi serta adanya kelainan katup jantung (aorta atau mitral stenosis berat) juga merupakan
kontra indikasi spinal anestesi (1)
Spinal anestesi menyebabkan penurunan yang signifikan systemic vascular resisten
(after load) dan venous return (perload). Secara fisiologis efeknya adalah hipotensi sedang
pada orang dengan fungsi jantung normal. Pasien dengan obstruksi outflow ventrikel kiri dan
mitral stenosis akan membatasi kompensasi meningkatkan cardiac output sebagai respon
terhadap hipotensi. Symphatectomy karena spinal anestesi akan mengakibatkan hipotensi
yang refrakter pada penderita ini. (1)
Anestesi spinal sebaiknya tidak digunakan pada kelainan koagulasi atau sedang
mendapatkan terapi anti koagulan, karena bisa meningkatkan resiko terjadinya epidural

hematom. Hipovolumia merupakan predisposisi terjadinya hipotensi berat dan bahkan bisa
sampai henti jantung. (4)
Kontra indikasi relatif dan mutlak dapat dilihat pada tabel di bawah. Pemeriksaan
fisik yang baik akan memberikan informasi yang penting, seperti adanya bekas operasi,
skoliosis, lesi kulit, dan apakah processus spinosus teraba atau tidak, walaupun pada pasien
yang sehat pemeriksaan studi koogulasi dan penghitungan jumlah trombosit harus dilakukan,
spinal anestesia pada keadaan sepsis harus hati-hati akan terjadinya penyebaran secara
hematogen pada ruang epidural atau subarakhnoid.
Kontra indikasi spinal anesthesia
Absolut
Infeksi pada tempat suntikan Pasien menolak
Gangguan koagulasi dan diathesis Hypovolemia berat
Peningkatan tekanan intra cranial Stenosis aorta berat
Mitral stenosis berat
Relatif
Sepsis
Pasien tidak kooperatif
Adanya deficit neurologist
Lesi demyelinisasi
Deformitas spinal berat
Kontroversial
Bekas pembedahan pada tempat suntikan
Tidak dapat komunikasi dengan pasien
Komplikasi pembedahan :
Operasi lama
Kehilangan darah yang banyak
Manuver yang mengganggu pernafasan
Ketinggian blok
Ada banyak faktor yang mempengaruhi ketinggian blok spinal. Faktorfaktor tersebut
bisa dan segi pasien sendiri, tehnik injeksi, karakteristik LCS dan karakteristik obat local
anestesi yang dipakai. (3)
Karakteristik pasien : Umur, tinggi badan, berat badan
Gender, tekanan intra abdomen, posisi
Tehnik injeksi

: Tempat injeksi, arah bevel (Urmey, 1997)


Barbotage

Karakteristik larutan obat


: Densitas (Van Gessel, 1991)
Jumlah, konsentrasi, volume
Temperatur (Steinstra R, 1988, Steinstra R, 1989)
Karakteristik LCS

: Volume, tekanan (batuk, valsava)


Densitas (Schiffer, 2002)

Teknik
Untuk melakukan anestesi spinal, anatomi yang berkaitan dengan spinal harus terus diingat

(1)

ketika memasukkan jarum spinal. Untuk lebih mudah memahaminya, teknik ini dibagi
kedalam beberapa tahapan (empat P): persiapan, posisi, proyeksi, dan puncture.

Persiapan
Jarum spinal dibagi menjadi dua kategori: jarum yang memotong dura dan jarum yang
didesain untuk menyebarkan serat-serat dural. Jarum pertama termasuk jarum spinal sekali
pakai tradisional, jarum Quincke-Babcock, dan jarum yang kedua termasuk jarum Whitacre
dan Sprotte (gambar 43-8). Jika memilih teknik spinal berkelanjutan, penggunaan jarum
Tuohy atau jarum lain yang tipis dapat mempermudah aliran catheter. Penggunaan jarum
kecil mengurangi terjadinya postdural puncture headache, sedangkan penggunaan jarum yang
lebih besar meningkatkan tactile sense (indra senttuh) penempatan jarum. Banyaknya tusukan
dapat meningkatkan terjadinya sakit kepala. Jika penggunaan jarum yang lebih kecil
meningkatkan jumlah tusukan, perbedaan antara jarum kecil dan besar dalam menghasilkan
sakit kepala dapat dikurangi. Terdapat juga penurunan kejadian postdural puncture headache
ketika jarum dengan ujung mirip cone digunakan, bahkan ketika ukuran jarum sama. Akan
tetapi, setelah bantuan dengan anestesi spinal meningkat, penggunaan jarum berujung sama
yang lebih kecil dapat menurunkan kejadian sakit kepala jika jumlah tusukan dural tidak
meningkat.

Posisi
Posisi lateral decubitus paling sering digunakan karena membuat pemberian lebih
banyak penenang menjadi lebih mudah dan tidak terlalu bergantung pada asisten yang
berpengalaman daripada dengan posisi sitting. Pasien ditempatkan dengan punggung sejajar
dengan tepi meja operasi yang terdekat dengan anestesiologis, dengan paha ditekuk ke
abdomen dan leher ditekuk supaya dahi bisa sedekat mungkin dengan lutut. Asisten bisa
sangat berguna selama pemposisian ini dengan menginstruksikan dan membantu pasien untuk
mendapatkan posisi lateral decubitus yang ideal (gambar 43-9). Pasien harus diposisikan
sehingga penyebaran hypobaric, isobaric, atau larutan hyperbaric bisa optimal pada titik
operasi.

Posisi sitting harus dipilih ketika rendahnya tingkat sacral dan lumbar anestesi
sensory cukup untuk prosedur operasi (misalnya operasi perineal dan urologic) atau ketika
obesitas atau scoliosis membuat identifikasi anatomy midline sulit dengan posisi lateral.
Ketika menempatkan pasien dengan posisi ini, bisa disediakan bangku sebagai sandaran kaki,
dan bantal ditempatkan di pangkuan. Asisten kemudian mempertahankan posisi vertikal
pasien sambil menekuk leher dan lengan pasien ke bantal untuk membuka space lumbar
vertebral (gambar 43-10). Jika alasan memilih posisi sitting untuk mempertahankan
rendahnya tingkat sensory, pasien harus ditahan untuk duduk selama 5 menit; jika alasannya

karena obesitas atau scoliosis dan diperlukan tingkat sensory yang lebih tinggi, pasien harus
diposisikan terlentang segera setelah injeksi subarachnoid dengan meja yang dirubah
seperlunya. Eror yang sering terjadi dalam pemposisian pasien jenis ini adalah membiarkan
pasien merosost, sehingga mengurangi manfaat meningkatnya identifikasi midline.
Posisi prone harus dipilih ketika pasien akan dipertahankan pada posisi tersebut
(sering dengan modifikasi posisi jackknife) selama prosedur pembedahan. Posisi ini cocok
untuk prosedur rectal, perineal, atau lumbar. Manfaat dari teknik hypobaric adalah bahwa
pasien dapat membantu pemposisian mereka sendiri dan meminimalkan kemungkinan
terjadinya luka karena pemposisian. Setelah posisi pasien prone, lumbar lordosis harus
diminimalkan, dan yang paling sering, teknik paramedian harus digunakan. Pada posisi ini,
anestesiologis harus mengaspirasikan CSF karena tekanan CSF diminimalkan ketika jarum
lumbar dimasukkan.

Proyeksi dan Puncture


Setelah peralatan, obat anestesi local dan beberapa tambahan, serta pasien yang telah
disiapkan dengan baik, puncture midline atau paramedian spinal dapat dilakukan. Teknik
midline tergantung pada kemampuan pasien dan asisten dalam meminimalkan lumbar
lordosis dan membuat akses ke space subarachnoid antara proses-proses spinous yang
berdekatan, biasanya pada L2-3, L3-4, atau kadang-kadang space L4-5. Jari yang menyentuh
(biasanya telunjuk dan jari tengah) harus menemukan area interspinous dengan menemukan
caudad spine yang lebih cephalad dan midline dengan memutar jari medial ke lateral. Wheal
kulit subcutaneous berkembang menutupi space ini, dan introducer dimasukan ke ligament
interspinous. Introducer dipegang dengan jari yang menyentuh dan di tahan ketika tangan lain
digunakan memegang jarum spinal seperti anak panah, dan jari kelima digunakan sebagai
tripod penahan punggung pasien untuk mencegah munculnya gerakan pasien yang secara
tidak sengaja bisa menyebabkan masuknya jarum ke level yang lebih dalam dari yang
diinginkan. Jarumnya, dengan bevel yang sejajar dengan serat-serat dural longitudinal,
didiorong perlahan-lahan untuk mempertinggi sense tissue yang melewatinya dan untuk
mencegah supaya nerve root tidak miring sampai perubahan karakteristik penolakan terlihat
setelah jarum lewat melalui legamentum dan dura. Stylet kemudian diambil, dan CSF harus
tampak pada hub jarum.

Teknik midline merupakan teknik pilihan pertama karena ini memerlukan proyeksi
anatomic dengan hanya dua bidang dan memberikan bidang yang relatif avascular. Ketika
sulit untuk memasukkan jarum dengan teknik midline, opsi lain adalah dengan menggunakan
teknik paramedian yang tidak memerlukan tingkat kesuksesan kerjasama pasien dan reversal
lumbar lordosis yang sama dengan teknik midline.
Pada teknik paramedian, jari yang menyentuh harus menemukan lagi tepi caudad
proses spinous cephalad dan wheal kulit meningkat 1 cm lateral dan 1 cm caudad terhadap
titik ini. Jarum yang lebih panjang (misalnya 1.5 hingga 2 inci) kemudian digunakan untuk
masuk ke tissue yang lebih dalam pada bidang cephalomedial. Introducer spinal dan jarum
kemudian dimasukkan 10 hingga 15 derajat dari bidang sagittal yang terletak didalam bidang
cephalomedial

Farmakologi
Obat-Obat Yang Bermanfaat

Ketika dibutuhkan obat-obat yang dengan kerja panjang untuk anestesi spinal, ada
empat obat yang bisa digunakan: tetracaine, bupivacaine, ropivacaine, dan levobupivacaine.

Anestesi spinal bupivacaine adalah obat yang umum dan sering digunakan saat ini.
Bupivacaine cocok untuk prosedur yang berakhir sampai 2 hingga 2.5 jam.
Komplikasi-Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang terjadi adalah perubahan neurologis, postdural puncture
headache, sakit punggung ketika 25% prosedur dilakukan dengan anastesi spinal, dan cardiac
arrest.
Beberapa penelitian dan laporan kasus yang mencatat adanya jejas neurologis setelah
anestesi spinal jangan memberikan keterangan yang salah. Perubahan-perubahan neurologis
memang dapat terjadi; tapi perubahan neurologis yang parah dapat juga terjadi setelah
anestesi general. Persamaan resiko-manfaat anestesi dan luka neurologis harus memasukkan
juga kasus-kasus luka neurologis (seperti jejas hypoxic CNS) yang mungkin terjadi selama
anestesi general jika ingin mendapatkan hasil valid berdasaran outcome neurology.
Komplikasi anestesi spinal yang lebih sering terjadi adalah pusing pasca operasi.
Postdural puncture headache tidak slelau berhubungan dengan anestesi spinal; ini juga bisa
terjadi setelah myelography dan diagnostic lumbar puncture(3).

You might also like