You are on page 1of 14

I.

Preformulasi
1. Tinjauan Farmakologi Bahan Obat
a. Efek Utama
Mencegah atau mengobati hipokalemia/kekurangan kalium dan biasanya
digunakan sebagai tonicity agent( HPE, 572 ). Kalium merupakan kation
yang terpenting dalam cairan intraseluler dan sangat essensial untuk
mengatur keseimbangan asam basa serta isotonisitas sel. Glukosa yang ada
dalam infus berfungsi sebagai pengganti kehilangan cairan tubuh sehingga
tubuh mempunyai energi kembali untuk melakukan metabolismenya dan
juga sebagai sumber kalori.
b. Efek Samping
Terjadi hiperkalemia apabila jumlah yang digunakan melebihi yang
dibutuhkan, kelemahan otot, paralisis, aritmia, heart block, dan cardiac
arest.
c. Kontraindikasi
Obat-obat yang dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah seperti
ACE Inhibitor, ciclosporin, kerusakan ginjal yang berat, kadar plasma
kalium diatas 5 mmol/L, alergi terhadap obat, dehidrasi akut, kadar serum
kalium dalam darah tinggidan obat yang mengandung kalium ( garam
kalium dari penisilin )
2. Tinjauan Sifat Fisika Kimia Bahan Obat
a. Kelarutan
Larut dalam 2,8 bagian air, larut dalam 250 bagian etanol 95%, larut dalam
14 bagian gliserin, dan praktis tidak larut dalam bagian aseton atau eter.

(HPE, 572)
b. Stabilitas
-Terhadap suhu : Stabil pada suhu ruangan
-Terhadap pH : pH 7 untuk larutan saturated pada suhu 15oC
-Terhadap Oksigen : Stabil
Stabil, disimpan di tempat tertutup dan tempat kering (HPE, 572)
c. Cara Sterilisasi Bahan
Sterilisasi panas basah (autoklave) atau filtarasi
Dengan autoklaf dilakukan pada suhu 115oC selama 30 menit.
d. Inkompatibilitas
KCl bereaksi kuat dengan bromine triflourida dan dengan campuran asam
sulfurat dan kalium permanganat. Adanya asam hidroklorit, NaCl dan

MgCl2 menurunkan KCl di dalam air. Larutan Intravena KCl inkompatibel

II.

dengan protein hidrolisat (HPE, 573)


e. Cara Penggunaan dan Dosis
Infus dimasukkan ke vena yang besar dengan kecepatan 10-20 mEg/jam
Formulasi
1. Permasalahan dan Penyelesaian
Permasalahan
1. Sediaan tidak boleh mengandung pirogen
2. Pemberian Carbo absorben dapat menyerap bahan organik
3. Sediaan harus dibebaskan dari Carbo absorben
4. Perhitungan isotonis dengan menggunakan glukosa sebagai
pengganti NaCl
Penyelesaian
a) Menggunakan air bebas pirogen dan ditambahkan norit sebagai
pengabsorbsi pirogenik
b) Penambahan glukosa sebanyak yang diserap norit
c) Sebelum dikemas, sediaan disaring terlebih dahulu agar bebas dari
norit
d) Menggunakan metode NaCl ekivalen
2. Formulasi yang akan dibuat
R/
KCl
0,38%
Glucose
q.s
HCl 0,1 N
ad Ph 5-6
Norit
0,1%
Aqua steril bebas pirogen
ad 100 ml
3. Perhitungan Berat dan Volume
0,38 g
KCl
= 100 ml x 150 ml = 0,57 g
Norit

0,1 g
100 ml

x 150 ml

= 0,15 g

Glucose
1 g KCl setara dengan 0,76 NaCl
1 g KCl
0,76 g NaCl

0,57 g KCl
x

NaCl = 0,4332 g
Isotonis 0,9 % NaCl = 0,9 g dalam 100 ml
Jika dalam 150 maka :
150 ml
100 ml

x 0,9 g = 1,35 g

Jadi NaCl yang dibutuhkan = 1,35 g 0,4332 g = 0,9168 g


1 glukosa setara dengan 0,16 NaCl

1 g glukosa
0,16 g NaCl

= 0,9168 g NaCl

Glukosa yang dibutuhkan = 5,73 g


Glukosa yang ditambahkan yaitu glukosa yang dibutuhkan + glukosa yang

diserap norit = 5,73 +

35
100

x 0,15 = 5,73g + 0,0525 g = 5,7825 g

Volume Infus = V + 50 ml= 100 ml + 50 ml = 150 ml


4. Cara sterilisasi Bahan Sediaan yang Akan Dibuat
Menggunakan metode filtrasi dan metode panas basah ( autoklave) pada suhu
115oC selama 30 menit

Cara Kerja
Ditimbang Glukosa 5,783gram

Ditimbang Kcl 0, 57 gram

Dilarutkan
beker
glas
Dilarutkan
dalamdalam
beker glas
menggunaan
aqua
menggunakan
aqua
steril
bebas
pirogen
steril bebas piorgen

Larutan glukosa dan Kcl


Dicek pH nya sampai diperoleh pH 6
jikaDiterlalu
asam
di sampai
adjust dengan
cek pH
nya
7,4 . NaOh
jika
terlalu asam di adjust dengan NaOh

Larutan pH 7,4 150 ml (a)

Ditimbang norit 0,15 gram masukkan kedalam larutan (a)


Dipanaskan pada hot plate suhu 70oC selama
10 menit
Larutan mengandung norit aktif
Disaring menggunakan kertas saring rangkap
dua
Filtrat Masukkan dalam botol infus yang
sudahdengan
dikalibrasi
sebelumnya
Sterilisasi
Disaring
dengan
menggunakan
autoclaf
115oC
membran
selama 10
Filtrat
Dipanaskan pada 70oC 10 menit, disaring
Infus Steril, beri kemasan,
label,
dan
etiket
Filtrat
menit
(102 ml) tutup botol
dengan
tutup
karet
kembali
dengan
saringan yang sama
filter
0,45m

Hasil Pengamatan
1 pH sediaan
:6
2 Penimbangan bahan :
1 KCl
: 0,57 g
2 Norit
: 0,15 g
3 Glukosa : 5,783 g
3 Waktu sterilisasi panas basah dengan autoklaf suhu 115oC selama 30 menit
Waktu pemanasan
20 menit 29 detik
Waktu pengeluaran udara
2 menit 30 detik
Waktu menaik
51 menit 20 detik
Waktu kesetimbangan
10 menit
Waktu pembinasaan
30 menit
Waktu tambahan jaminan sterilitas
5 menit
Waktu penurunan
11 menit 30 detik
Waktu pendinginan
5 menit 13 detik
TOTAL WAKTU
137 menit 13 detik
Pada pembuatan sediaan steril ini dikemas dalam bentuk vial yang mengandung
larutan steril infuse KCL 0,38% cum glukosa. Larutan KCL cum glukosa digunakan secara
intravena untuk memperbaiki kandungan elektrolit didalam tubuh. Bahan aktif yang
digunakan adalah KCL. KCL merupaan senyawa yan dgnakan unuk terapi kekurangan
kalium. Bahan ini dipilih kaena ion klorida yang ada dapat mengatasi hipochloracmic

alkalosis yang sering terjadi pada pasien kekragan kalium. Infuse merupakan sediaan larutan
yang disterilkan dan biasanya dikemas dalam dalam volume 0,5 1L.
Pada praktikum kali ini dibuat infuse KCL 0,38% cum glukosa dengan volume 100
ml,namun yang dimasukkan kedalam wadah adalah 102 ml. hal ini sesuai dengan persyaratan
FI IV untuk sediaan cairan encer dengan volume lebih dri 50 ml adalah ditambah 2% dari
sediaan yang tertera pada etiket.hal ini dilakukan untuk memerikan toleransi kehilangan
volume selamaproses pemindahan sediaan kedalam kemasan.
Yang dilakukan pertama yakni menimbang KCL 0,57 g dalam kaca arloji kemudian
larutkan dengan aqua steril dalam beaker glass. Kemudian menimbang glukosa sebanyak
5,78 g kemudian artkan dengan aqua steril dalam beaker glass. Campurkan keduanya ad
homogeny. Diukur pH, bila terllalu basa dapat ditambah HCL ad pH 6.Tambahkan norit lalu
tambahkan aqua steril ad 150 adukad homogen. Panaskan pada suhu 70-80C selama 10
menit.kemudian saring dengan kertas saring rangkap 2. Kemudian filtrate dipanaskan pada
suhu yang sama selama 10 menit. Saring dengan ketas saring yang sama.filrat di saring
kembali dengan membrane filter 0,45m, filtrate diambil 102 ml. masukkan dalam
wadah,kemudiaan sterilisasi dengan autoklaf pada suhu 115C selama 137 menit 17 detik.
Infus sebagai sediaan parenteral harus memenuhi persyaratan antara lain steril, dan
bebas dari partikel asing, bebas pirogen, stabil, tonisitas, jernih(berarti tidak ada partikel
padat) , sedapat mungkin isohidris( agar bila diinjeksikan ke badan tidak terasa sakit dan
penyerapannya obat dapat optimal, isohidris artinya pH larutan injeksi sama dengan darah
dan cairan tubuh lain),dan mempunyai pH yang sesuai.
Tonisitas larutan perlu dihitung dahulu sebelum pembuatan sediaan. Tonisitas perlu
dihitung dengan tujuan agar dapat diketahui apakah larutan tersebut sudah isotonis atau
belum atau hipertonis, karena ini berhubungan dengan tekanan osmose larutan terhadap
cairan tubuh yang akan diberi larutan infus. Larutan yang isotonis adalah larutan yang
memiliki tekanan osmose sama dengan tubuh, dan keadaan isotonis inilah yang diharapkan,
karena dalam keadaan ini, larutan yang diinjeksikan tidak akan menimbulkan rasa sakit.
Sedangkan larutan yang hipotonis,akan menimbulkan sel cairan tubuh akan pecah atau lisis,
karena tekanan diluar sel lebih rendah, maka cairan dalam sel akan menggembung dan pecah,
mengingat tekanan osmose merupakan tekanan yang berjalan dari konsentrasi rendah ke
konsentrasi tinggi. Sebaliknya pada larutan hipertonis akan mengakibatkan keadaan di luar
sel lebih tinggi dibanding didalam sel, sehingga keadaan sel mengkerut. Keadaan hipotonis

lebih berbahaya dibanding keadaan hipertonis, karena sifat larutan hipotonis irreversibel (sel
sudah pecah ),sedangkan sifat hipertonis reversibel ( sel dapat kembali normal ). kelarutan
dari bahan bahan obatnya, kondisi panas juga dapat mensterilkan bahan dari mikroba.
Setelah semua bahan dilarutkan, maka pH dicek 6, hal ini dikarenakan agar larutan
yang akan digunakan sebagai sediaan injeksi parenteral memiliki pH yang mendekati dengan
pH tubuh manusia. Tujuan utama pengaturan pH dalam sediaan infus ini adalah untuk
mempertinggi stabilitas obat, misalnya efek terapi optimal obat, menghindari kemungkinan
terjadinya reaksi dari obat tersebut, sehingga obat tersebut mempunyai aktivitas dan potensi.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya rangsangan atau rasa sakit sewaktu disuntikkan. pH
yang terlalu tinggi akan menyebabkan nekrosis jaringan sedangkan pH yang terlalu rendah
menyebabkan rasa sakit jika disuntikkan.
Pirogen adalah senyawa kompleks polisakarida yang mengandung radikal dengan
unsur N.P, selama radikal tersebut masih terikat, maka selama itu pula akan menimbulkan
demam dan bersifat termostabil, jika terlalu banyak dapat membahayakan pasien. Untuk
mengatasi hal tersebut, digunakan metode sterilisasi filtrasi dimana dilakukan 3 kali
penyaringan. Dua kali penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring rangkap dua dan
satu kali penyaringan dengan membrane filter 0,45 m. penyaringan dengan kertas saring
rangkap dua menggunakan kertas saring yang sama dengan tujuan untuk menahan norit yang
mengabsorbsi pirogen sehingga sediaan berkurang jumlah pirogennya.tujuan penyaringan
yang ketiga dengan menggunakan membrane filter 0,45 m adalah untuk menghilangkan
norit total sehingga sediaan terbebas dari norit. Oleh karena mengalami proses penyaringan ,
volume sediaan dibuat dilebihkan 50 ml yang sesuai dengan persyaratansediaan infuse yaitu
volume dibuat lebih (ditambahkan 50 ml).
Selain itu juga dilakukan sterilisasi dengan autoclave pada suhu 115C selama 137
menit 17 detik. Sterilisasi yang efektif dan dilakukan dalam percobaan ini adalah sterilisasi
dengan uap bertekanan menggunakan autoclave dengan suhu 115C selama 137 menit 17
detik. Jadi harus diusahakan agar pembuatan larutan injeksi dan infus harus dikondisikan
bebas pirogen dan harus dipastikan pula bahwa kondisi ini dapat dipertahankan sampai saat
pemakaiannya. Pemilihan wadah pada formula ini menggunakan vial, karena dapat
digunakan untuk berulang kali dan tutup terbuat dari karet yang bersifat elastis dan dapat
ditutup kembali.

Glukosa tidak stabil pada pemanasan suhu tinggi dalam waktu yang lama karena
terjadi penurunan pH dan karamelisasi sehingga sterilisasi tidak dilakukan pada suhu yang
tinggi dan dalam waktu yang lama. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah hasil
degradasi pada pemanasan glukosa yaitu 5-hidroksi metil furfural ( 5-HMF ) harus tidak
melebihi batas tertentu seperti yang tertera dalam Farmakope Indonesia karena bersifat
alergenik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membatasi produksi 5-hidroksi metil
furfural adalah suhu karena semakin tinggi suhu maka semakin banyak produksi 5-HMF, pH
karena semakin tinggi pH maka semakin mudah terbentuk 5-HMF, serta konsentrasi
glukosa karena

semakin

besar

konsentrasi

maka

pembentukan

5-HMF

semakin

mudah. Berdasarkan FI IV sejumlah volume yang diukur seksama setara dengan 1,0 g
glucose yang diencerkan dengan air hingga 250 ml. Ukur serapan pada panjang gelombang
maksimum lebih kurang 284 nm menggunakan air sebagai blanko : serapan tidak lebih dari
0,25.

Infus sebagai sediaan parenteral harus memenuhi persyaratan antara lain steril, dan
bebas dari partikel asing, bebas pirogen, stabil, tonisitas, jernih, sedapat mungkin

isohidris,dan mempunyai pH yang sesuai.


Larutan yang isotonis adalah larutan yang memiliki tekanan osmose sama dengan
tubuh, dan keadaan isotonis inilah yang diharapkan, karena dalam keadaan ini, larutan

yang diinjeksikan tidak akan menimbulkan rasa sakit


Untuk menghilangkan pirogen, digunakan metode sterilisasi filtrasi dimana dilakukan
3 kali penyaringan. Dua kali penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring
rangkap dua dan satu kali penyaringan dengan membrane filter 0,45 m.

Glukosa tidak stabil pada pemanasan suhu tinggi dalam waktu yang lama karena
terjadi penurunan pH dan karamelisasi, hasil degradasi pada pemanasan glukosa yaitu
5-hidroksi metil furfural ( 5-HMF ).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995.Farmakope Indonesia. Edisi


IV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
LAL test dan Rabbit test merupakan suatu uji yang dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui ada tidaknya kandungan pirogen dalam suatu sediaan, khususnya sediaan steril.
1 LAL Test
Uji LAL (Limulus Amebocyte Lysate)adalahuji in vitro yang digunakan untuk
mendeteksi atau mengukur keberadaan dan konsentrasi bakteri endotoksin dalam produk
obat dan biologi dengan menggunakan Limulus Amebocyte Lysate yang diperoleh dari
ekstrak air amebocytes kepiting tapal kuda (Limulus Polyphemus atau Tachypleus
tridentatus) sebai reagen LAL (USP 32 - NF 27, 2009).
Endotoksin merupakan jenis pirogen, tetapi tidak semua senyawa pirogen
merupakan endotoksin. Sedangkan uji LAL merupakan metode spesifik untuk bakteri
endotoksingram negatif, hanya untuk pirogen yang signifikan pada kebanyakan pabrik
farmasetikal dan peralatan medis.
Prosedur ini lebih akurat dan praktis dibanding menggunakan metode kelinci.Ada
dua metode pada tes ini yaitu metode gel-clot yang didasarkan pada pembentukan gel
dan metode fotometri.Ada pula metode turbidimetri yang didasarkan pada kekeruhan
yang terjadi setelah pembelahan substrat endogen dan metode kromogenik yang
didasarkan pada timbulnya warna setelah pembelahan kompleks kromogen-peptida
sintetis. Hasil akhir didasarkan pada teknik gel-clot, kecuali dinyatakan lain dalam
monografi (USP 32 - NF 27, 2009).
Karena reagen LAL telah diformulasi untuk digunakan dalam metode turbidimetri
atau kolorimetri, maka metode tersebut dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan.
Dibutuhkan kurva regresi standart untuk menentukan kandungan endotoksin dengan cara
mengintrapolasi kurva. Prosedur yang dilakukan mencakup inkubasi dengan waktu yang
sesuai untuk bereaksinya endotoksin dan larutan kontrol dengan reagen LAL dan
absorbansi dibaca dengan teknik spektrofotometri pada panjang gelombang tertentu.
Titik akhir dari metode turbidimetri adalah setelah proses inkubasi. Sedangkan titik akhir
metode kolorimetri adalah setelah penambahan enzim pada saat proses reaksi hingga
proses terminasi. Pada metode turbidimetri dan kolorimetri kinetic, absorbansi diukur

selama proses reaksi dan lajunya ditentukan berdasarkan hasil pembacaan (USP 32 - NF
27, 2009).
a

Metode gel-clot
Metode ini digunakan untuk mendeteksi atau mengukur endotoksin berdasarkan
pembekuan reagen LAL dengan endotoksin.Konsentrasi endotoksin yang diperlukan
untuk menggumpalkan lisat dalam kondisi standar menunjukkan sensitifitas reagen
LAL (USP 32 - NF 27, 2009).
LAL test didasarkan pada observasi pembentukan gel beku sewaktu endotoksin
bersentuhan dengan protein pembeku dari amoebocytes Limulus yang bersikulasi.
Perangkat uji ini terdiri dari kalsium, enzim propembekuan (proclotting) dan
senyawa propenggumpalan/prokoagulan (procoagulan) (Blechova, 2001).
Enzim proclotting akan teraktivasi oleh endotoksin dan kalsium untuk
membentuk enzim pembeku (clotting enzyme) yang akan memotong prokoagulan
menjadi subunit polipeptida (koagulogen). Subunit-subunit tersebut akan bergabung
membentuk ikatan disulfida membentuk gel beku. Jika diperlukan, bisa dilakukan
metode spektrofotometri untuk mengukur jumlah protein yang tergumpalkan pada
lisat tersebut yang mana bisa terdeteksi hingga 10pg/ml lipopolisakarida (Blechova,
2001).
Endotoksin bakteri gram negatif mengkatalisis aktivasi proenzim pada lisat
LA.Laju aktivasi awal ditentukan oleh konsentrasi endotoksin.Enzim coagolase
menghidrolisis ikatan spesifik pada suatu protein penggumpal (coagulogen) yang
juga

terdapat

pada

lisat

LA menghasilkan

koagulin

untuk

pembekuan

protein.Endapan dan gel yang terbentuk dapat terjadi setelah mencampurkan


endotoksin bakteri dengan lisat LA, namun hanya pembentukan gel yang dianggap
sebagai titik akhir (Blechova, 2001).
b

Metode Fotometri
Metode turbidimetri mengukur peningkatan turbiditas.Berdasarkan prinsip uji,
metode

ini

diklasifikasikan

kedalam

endpoint-turbidimetri

atau

kinetic-

turbidimetri.Endpoint-turbidimetri didasarkan pada hubungan kuantitatif antara


konsentrasi endotoksin dan turbiditas (absorbansi atau transmisi) dari reaksi
campuran pada akhir inkubasi.Kinetic-turbidimetri merupakan metode yang
digunakan untuk mengukur waktu onset yang dibutuhkan untuk mencapai
absorbansi dari campuran reaksi atau laju turbiditas.

Metode kromogenik digunakan untuk mengukur pelepasan kromofor dari


peptide kromogenik pada reaksi endotoksin dengan reagen LAL.Berdasarkan
prinsipnya, metode ini diklasifikasikan kedalam endpoint-kromogenik atau kinetickromogenik.Endpoint-kromogenik berdasarkan pada hubungan kuantitatif antara
konsentrasi endotoksin dan pelepasan kromofor pada akhir inkubasi.Kinetickromogenik digunakan untuk mengukur waktu onset yang dibutuhkan untuk
mencapai absorbansi dari campuran reaksi atau laju timbulnya warna.
Proses inkubasi pada semua metode fotometri dilakukan pada suhu 371C
2

(USP 32 - NF 27, 2009).


Rabbit Test
Uji pirogen dimaksudkan untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang
dapat diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi. Pengujian meliputi
pengukran kenaikan suhu kelinci setelah penyuntikan larutan uji secara i.v dan
ditunjukkan untuk sediaan yang perlu penyiapan pendahuluan atau cara pemberiannya
perlu kondisi khusus ikuti petunjuk tambahan yang tertera pada masing-masing
monografi (Departemen Kesehatan, 1995).
Uji pirogen menggunakan kelinci sehat yang telah dijaga dalam keadaan lingkungan
dan makanan yang tepat sebelum dilakukan uji. Temperatur normal atau temperatur
kontrol diukur untuk tiap hewan yang akan digunakan(Musdalifah, 2014).Gunakan alat
pengukur suhu yang teliti seperti termometer klinik atau termistor atau alat sejenis yang
telah dikalibrasi. Tempatkan satu ekor kelinci dalam kandang dalam ruang dengan suhu
yang seragam antara 20-23C, dengan perbedaan suhu kurang lebih 3C dari suhu yang
telah ditetapkan (Departemen Kesehatan, 1995). Temperatur ini digunakan sebagai dasar
penentuan setiap kenaikan temperatur yang ditimbulkan akibat dari penyuntikan larutan
yang akan diuji(Musdalifah, 2014).
Adapun prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut.
Lakukan pengujian dalam ruang terpisah yang khusus untuk uji pirogen dan dengan
kondisi lingkungan yang sama dengan ruang pemeliharaan, bebas dari keributan yang
menyebabkan kegelisahan. Kelinci tidak diberi makan selama waktu pengujian. Minum
dibolehkan pada tiap saat, tetapi dibatasi pada saat pengujian. Apabila pengujian
menggunakan termistor, masukkan kelinci kedalam kotak penyekap sedemikian rupa
sehingga kelinci tertahan dengan letak leher yang longgar sehingga dapat duduk dengan
bebas. Tidak lebih dari 30 menit sebelum penyuntikan larutan uji, tentukan suhu awal
masing-masing kelinci yang merupakan dasar untuk menentukan kenaikan suhu. Beda

suhu tiap kelinci dalam satu kelompok tidak boleh lebih 1o dan suhu awal setiap kelinci
tidak boleh lebih dari 39,8o
Kecuali dinyatakan lain pada masing-masing monografi, suntikkan 10 ml/kg bb,
melalui vena tepi telinga 3 ekor kelinci dan penyuntikan dilakukan waktu 10 menit.
Larutan uji berupa sediaan yang bila perlu yang dikonstitusi seperti yang tertera pada
masing-masing monografi dan disuntikkan dengan dosis seperti yang tertera. Untuk uji
pirogen alat atau perangkat injeksi, gunakan sebagai larutan uji hasil cucian atau bilsan
dari permukaan alat yang berhubungan langsung dengan sediaan parenteral, tempat
penyuntikan atau jaringan tubuh pasien. Semua larutan harus bebas dari kontaminasi.
Hangatkan larutan pada suhu 37o + 2o sebelum penyuntikan. Rekam suhu berturut-turut
antara jam ke-1 dan jam ke-3 setelah penyuntikan dengan selang waktu.
Interpretasi hasil
Setiap penurunan suhu dengan nol. Sediaan memenuhi syarat apabila tak seekor
kelinci pun menunjukkan kenaikan suhu 0,5o atau lebih. Jika ada kelinci yang
menunjukkan kenaikan suhu 0,5o atau lebih. Lanjutkan pengujian dengan menggunakan
lima ekor kelinci. Jika tidak lebih dari tiga ekor dari 8 ekor kelinci masing-masing
menunjukkan kenaikan suhu 0,5o atau lebih dan jumlah kenaikan suhu maksimal 8 ekor
kelinci tidak lebih dari 3,3o sediaan dinyatakan memenuhi syarat bebas pirogen
(Departemen Kesehatan, 1995).

Pirogen jauh lebih baik dicegah pembentukannya daripada penghancurannya. Namun,


pirogen dapat dihilangkan dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan adsorbsi pada
penyaring asbestos aktif atau pada arang aktif. Kedua metode ini digunakan, khususnya bila
diperkirakan bahwa bahan kimia terkontaminasi dengan pirogen. Metode penyaring asbes
aktif terdiri dari sediaan larutan yang dilewatkan melalui penyaring asbes kompresi dari
serum seitz no 3. Pirogen diabsorbsi pada permukaan dari asbes dan dihilangkan dari larutan.
Arang aktif juga dapat menghilangkan pirogen dari larutan dengan absorbsi. Arang aktif
atau karbon aktif merupakan bahan kimia yang saat ini banyak digunakan dalam industri
yang menggunakan proses absorbsi dan purifikasi. Karbon aktif berdasarkan pada pola
strukturnya adalah suatu bahan yang berupa karbon amorf yang sebagian besar terdiri dari
karbon bebas serta memiliki permukaan dalam, sehingga memiliki daya serap yang tinggi.

Larutan dikocok dengan 0,1 % arang aktif serbuk halus selama 5-10 menit. Arang
dibiarkan mengendap dan cairan supernatan didekantasiatau arang dapat dihilangkan dengan
penyaringan kertas saring yang keras karena serbuk halus arang sulit dihilangkan dengan
kertas saring. Arang yang tergranulasi tidak efektif menghilangkan pirogen. Arang umumnya
mempunyai daya adsorbsi yang rendah dan daya adsorbsi itu dapat diperbesar dengan cara
mengaktifkan arang menggunakan uap atau bahan kimia. Aktivasi karbon bertujuan untuk
memperbesar luas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup tar,
hidrokarbon, dan zat-zat organic lainnya, sehingga memperbesar kapasitas adsorbsi.Arang
aktif dapat digunakan sebagai adsorben untuk memucatkan minyak, dapat juga menyerap
suspensi koloid.
Pengaktifan arang dapat dilakukan secara fisika maupun secara kimia. Pengaktifan
secara fisika dilakukan dengan cara memanaskan bahan baku pada suhu yang cukup tinggi
(600-900C) pada kondisi miskin udara (oksigen), kemudian pada suhu tinggi tersebut
dialirkan media pengaktif seperti uap air dan CO 2. Sedangkan pengaktifan secara kimia,
bahan baku sebelum dipanaskan, dicampur terlebih dahulu dengan bahan kimia tertentu
seperti KOH, NaOH, K2CO3 dan lain sebagainya. Biasanya pengaktifan secara kimia
tidakmembutuhkan suhu tinggi seperti pengaktifan secara fisika, namun diperlukan tahap
pencucian setelah diaktifkan untuk membuang sisa-sisa bahan kimia yang dipakai.
Selain dengan karbon aktif, pirogen juga dapat dihilangkan dengan cara destilasi.Hal ini
didasarkan pada salah satu sifat pirogen yaitu tidak menguap. Oleh karena itu dengan
dilakukan pemanasan sediaan pada suhu tertentu, diharapkan pirogen akan tertinggal didasar
labu dan akan terpisah dari sediaan. Sehingga diperoleh sediaan yang bebas pirogen.
Wadah sediaan parenteral termasuk tutupnya harus tidak berinteraksi dengan sediaan,
baik secara fisik maupun kimia sehingga akan mengubah kekuatan dan efektifitasnya. Bila
wadah terbuat dari gelas, maka gelas harus jernih dan tidak berwarna atau berwarna
kekuningan untuk memungkinkan pemeriksaan isinya.Jenis gelas yang sesuai dan dipilih tiap
sediaan parenteral biasanya dinyatakan dalam masing-masing monograf.
Sediaan infus KCl dibuat dalam larutan hipertonis, Hal ini dikarenakan apabila larutan
hipotonik mengalami kontak dengan sel maka cairan akan masuk kedalam sel karena
perbedaan tekanan larutan. Pada sisi lain membran plasma sel merupakan unit yang tertutup
sehingga pemasukan air dalam jumlah yang banyak kedalam sel akan menghasilkan
pembengkakan dan selanjutnya dapat menimbulkan rasa sakit. Sebagai tambahan, hal ini
sangat mungkin menghasilkan atau menyebabkan terjadinya pemisahan sel (hemolisis) yang

menyebabkan kerusakan permanen. Jika larutan hipertonik yang digunakan, cairan akan
tertarik dari sel dan sel akan menjadi berkerut atau keriput dan tidak berfungsi secara normal.
Ketika menimbulkan rasa nyeri, kerusakannya tidak permanen. Sel akan kembali normal
dengan segera setelah larutan hipertonis masuk kedalam cairan tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Blechova, R., dan D. Pivodova. 2001. Limulus Amoebocyte Lysate (LAL) Test An
Alternative Methode for Detection of Bacterial Endotoxins.Acta Vet. Brno. Czesh
Republic: Department of Pharmacology and Toxicology, Faculty of Pharmacy. (70) :
291-296.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.

Musdalifah,

dkk.

2014.

Makalah

Kelompok

Farmasetika

Sediaan

Steril

Pirogen.Makassar : Fakultas Farmasi Universitas Islam Negeri Alauddin


Makassar.
USP 32 NF 27. 2009. United States Pharmacopeia and The National Formulatory.
Rockville (MD): The United States Pharmacopeial Convention.

You might also like