You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN
Endometriosis adalah gangguan ginekologi jinak umum yang didefinisikan
sebagai adanya jaringan kelenjar endometrium dan stroma di luar lokasi normal.
Endometriosis paling sering ditemukan pada peritoneum panggul, tetapi dapat
juga ditemukan di ovarium, septum rektovaginal, ureter, namun jarang ditemukan
di vesika urinaria, perikardium, dan pleura.1, 2
Insidensi endometriosis sulit untuk diukur, sebagian besar wanita dengan
penyakit ini sering tidak bergejala, dan modalitas pencitraan memiliki kepekaan
rendah untuk diagnosis. Wanita dengan endometriosis mungkin asimtomatik,
subfertile, atau menderita berbagai tingkat nyeri panggul. Metode utama diagnosis
adalah laparoskopi, dengan atau tanpa biopsi untuk diagnosis histologis. 3, 4 . Pada
wanita tanpa gejala, prevalensi endometriosis berkisar antara 2-22 persen,
tergantung pada populasi yang diteliti.5-7 .Namun karena ada kaitan dengan
infertilitas dan nyeri panggul maka endometriosis lebih umum ditemukan pada
wanita dengan keluhan ini. Pada wanita subur, prevalensi telah dilaporkan antara
20 sampai 50 persen dan pada mereka dengan nyeri panggul, 40 sampai 50
persen.8, 9
Endometriosis

secara

signifikan

memberikan

pengaruh

terhadap

kehidupan wanita, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam produktivitas


kerja. Dari penelitian yang dilakukan pada 16 rumah sakit di 10 negara, tahun
2008 sampai 2010, pada 3 grup pasien, endometriosis, dan 2 grup kontrol yaitu
pasien yang mempunyai gejala namun tidak terdapat endometriosis, dan pasien
yang telah menjalani sterilisasi, didapatkan bahwa kesehatan fisik pasien dengan
endometriosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang memiliki gejala yang
sama namun tidak terdiagnosis endometriosis.10

Nyeri merupakan masalah utama pada endometriosis. Sekitar 83%


penderita endometriosis melaporkan adanya nyeri abdominopelvik, dismenore,
dan dispareuni.2,3 Sebaliknya, pada sekitar 33% penderita nyeri panggul kronik,
ternyata ditemukan lesi endometriosis.4 Melihat kenyataan tersebut, salah satu
aspek penting dalam penatalaksanaan endometriosis adalah pengendalian nyeri.
Walaupun demikian, masih banyak kontroversi terkait dengan mekanisme nyeri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Endometriosis didefinisikan sebagai adanya jaringan endometrium (glands
dan stroma ) diluar dari uterus. Tempat paling sering ditemukannya implantasi
jaringan endometrium ini adalah pelvic viscera dan rongga peritoneum.
Endometriosis biasanya berubah dari lesi minimal pada organ pelvis
menjadi kista endometriosis yang massive yang merubah anatomi dari
tuboovarium secara meluas yang biasanya menyertai usus, vesika urinaria dan
ureter.
Endometriosis merupakan salah satu penyakit organ reproduksi yang
paling sering terjadi. Endometriosis sering ditemukan pada wanita usia remaja
dan usia reproduksi dari segala etnis dan kelompok masyarakat (Heriansyah,
2011). Penyakit ini terjadi pada 5 10 % pada wanita usia reproduksi. 11
Epidemiologi endometriosis yang sesungguhnya telah disalahartikan oleh
observasi awal yang sering kali menyesatkan dan telah terjadi selama beberapa
dekade. Adanya observasi awal yang salah tersebut diperburuk dengan tingginya
kesalahan diagnosis visual pada saat dilakukan operasi .Menurut Jacoeb dalam
buku Berek and Novaks and gynecology, angka kejadian di Indonesia belum
dapat diperkirakan secara pasti karena belum ada studi epidemiologik, namun,
dari data temuan di rumah sakit, angka kejadiannya berkisar 13,6-69,5% pada

kelompok infertilitas. Pada pasangan

infertil dijumpai 25% diakibatkan oleh

endometriosis, sedangkan pada kasus infertilitas idiopatik penyakit ini dijumpai


80% (Evers, 1997). Di bagian Obstetri dan Ginekologi FK-UI RSCM selama
tahun 1990 tercatat 15,7% kasus endometriosis di Poliklinik Imunoendokrinologi
.11

ETIOLOGI
Walaupun tanda dan gejala endometriosis telah di jelaskan semenjak tahun
1.800 M, tapi penyakit ini diketahui secara luas pada abad ini saja. Endometriosis
adalah penyakit yang dipengaruhi oleh hormone esterogen. Terdapat EMPAT teori
yang menjelaskan histogenesis dari endometriosis :
1. Transplantasi ektopik dari jaringan endometrium
2. Coelomic metaplasia
3. Teori imunologik
4. Teori limfatik
Namun tidak ada satu teoripun yang disertai lokasi endometriosis dalam
semua kasus.
1. Teori transplantasi ektopik dari jaringan endometrium
Teori ini dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927, dijelaskan bahwa
endometriosis terjadi karena darah menstruasi mengalir balik melalui tuba ke
dalam rongga pelvis (retrograde). Darah yang berbalik ke rongga peritoneum
diketahui mampu berimplantasi pada permukaan peritoneum dan merangsang
metaplasia peritoneum yang kemudian akan merangsang angiogenesis.
Hal ini dibuktikan dengan lesi endometriosis sering dijumpai pada daerah
yang meningkat vaskularisasinya. Dewasa ini, teori ini tidak lagi menjadi
teori utama, karena teori ini tidak dapat menjelaskan keadaan endometriosis
di luar pelvis . Teori yang menguatkan bahwa teori Sampson tidak dapat laigi
diterima adalah telah ditemukan bahwa partikel endometrium

memasuki

rongga peritoneal mereka akan diserang dan dihancurkan proses imunnologi


yang masih belum dapat diteliti. Selain itu, teori menstruasi retrograde tidak
dapat menjelaskan mekanisme terjadinya endometriosis di organ-organ lain,
sehingga endometriosis dipercaya memiliki beberapa patogenesis lain

2. Teori coelomic metaplasia


Teori metaplasia ini dikemukakan oleh Robert Meyer yang menyatakan
bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang
berasal dari sel epitel selomik pluripoten dapat mempertahankan hidupnya di
daerah pelvis, sehingga terbentuk jaringan endometriosis. Teori ini didukung
oleh penelitian-penelitian yang dapat menerangkan terjadinya pertumbuhan
endometriosis di toraks, umbilikus dan vulva.

3. Teori imunologik
Gangguan

pada

imunitas

terjadi

pada

wanita

yang

menderita

endometriosis (Hill, 1988). Dmowski dkk mendapatkan adanya kegagalan


dalam sistem pengumpulan dan pembuangan zat-zat sisa saat menstruasi oleh
makrofag dan fungsi sel NK yang menurun pada endometriosis. Beberapa
penelitian menemukan peningkatan IgA, IgG dan IgM dalam serum peritoneal
penderita endometriosis. Kadar C3 juga berfluktuasi, tetapi meningkat di
dalam serum pada endometriosis yang lebih berat. C3 merupakan komplemen
yang memegang kunci penting yang berawalnya kaskade proses imunologis
tubuh. Komplemen ini dipakai oleh antibodi untuk proses penghancuran
dinding sel sehingga merusak sel ( Jacoeb, 1990). Kadar C3 yang tinggi di
dalam serum menunjukkan komplemen tersebut tidak dikonsumsi dalam
proses imunologi dan proses sitolisis tidak berlangsung
4. Teori limfatik
Teori ini dapat menjelaskan mekanisme terjadinya endometriosis di daerah
luar pelvis. Daerah retroperitoneal memiliki banyak sirkulasi limfatik. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa pada 29 % wanita yang menderita
endometriosis ditemukan nodul limfa pada pelvis. Hal ini dapat menjadi salah

satu dasar teori akan endometriosis yang terjadi di luar pelvis, contohnya di
paru10-12
KLASIFIKASI
Penentuan klasifikasi dan stadium endometriosis sangat penting dilakukan
untuk menerapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil
pengobatan. Stadium endometriosis tidak memiliki korelasi dengan derajat nyeri
keluhan pasien maupun prediksi respon terapi terhadap nyeri atau infertilitas . Hal
ini dikarenakan endometriosis dapat dijumpai pada pasien yang asimptomatik.
Klasifikasi Endometriosis yang digunakan saat ini adalah menurut American
Society For Reproductive Medicine yang telah di revisi pada tahun 1996 yang
berbasis pada tipe, lokasi, tampilan, kedalaman invasi lesi, penyebaran penyakit
dan perlengketan.
Berdasarkan visualisasi rongga pelvis pada endometriosis, dilakukan
penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan
densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai nilai dari
skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi
endometriosis. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium I), 5-15 adalah ringan (stadium
II), 16-40 adalah sedang (stadium III) dan lebih dari 40 adalah berat (stadium
IV).13
Endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan
lokasi dan tipe lesi, yaitu :
1. Peritoneal endometrisis
Lesi

di

peritoneum

memiliki

banyak

vaskularisasi,

sehingga

menimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan menyebabkan


timbulnya perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi sehinggga tumbuh
jaringan fibrosis dan sembuh. Lesi berwarna merah dapat berubah menjadi lesi
berwarna hitam tipikal dan setelah itu lesi akan berubah menjadi lesi putih
yang memiliki sedikit vaskularisasi dan akan ditemukan debris glandular

2. Ovarian endometrial cyst


Pada endometriosis yang terjadi di ovarium, dapat timbul kista yang
berwarna coklat dan sering terjadi perlengketan dengan organ organ lain,
kemudian

membentuk

konglomerasi.

Kista

endometrium

dapat

berukuran>3cm dan multilokus, juga dapat tampak seperti kista coklat karena
penimbunan darah dandebris ke dalam rongga kista.

3. Deep nodulan endometriosis


Pada endometriosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi septum
rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti uterosakral dan
ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh hiperplasia otot polos
dan jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang menginfiltrasi. Jaringan
endometriosis akan tertutup sebagai nodul, dan tidak ada perdarahan secara
klinis yang berhubungan dengan endometriosis nodular dalam.
Ada banyak klasifikasi stadium yang digunakan untuk mengelompokkan
endometriosis dari ringan hingga berat, dan yang paling sering digunakan adalah
sistem American Fertility Society (AFS) yang telah direvisi . Klasifikasi ini
menjelaskan tentang lokasi dan kedalaman penyakit berikut jenis dan perluasan
adhesi yang dibuat dalam sistem skor. Berikutadalah skor yang digunakan untuk
mengklasifikasikan stadium:
- Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal)
- Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang)
- Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat)
- Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)

Tabel American Society for Reproductive Medicine revised classification


of endometriosis. (Property of the American Society for Reproductive Medicine,
1996.)

Gambar II.1 stadium endometriosis menurut American Society for Reproductive


Medicine revised classification of endometriosis

Gambar II.2 stadium endometriosis menurut American Society for Reproductive


Medicine revised classification of endometriosis

LOKASI ANATOMI TERJADINYA ENDOMETRIOSIS


Endometriosis dapat tumbuh dimana saja di dalam pelvis dan pada
permukaan peritoneum ekstrapelvis lainnya. Ovarium, peritoneum pelvis, cul-desac anterior dan posterior, dan ligament uterosakral merupakan area yang paling
sering terlibat pada kasus endometriosis (Gambar 2.6). Selain beberapa area
tersebut, septum retktovaginal, ureter, kandung kemih, perikardium, bekas luka

bedah, dan pleura juga dapat menjadi lokasi endometriosis. Sebuah studi
mengungkapkan bahwa endometriosis telah ditemukan pada seluruh organ,
kecuali pada limpa.14 Beberapa lokasi anatomis endometriosis adalah:
1. Endometriosis uteri interna (Adenomiosis uteri)
Adenomiosis dikarakteristik dengan ditemukannya jaringan endometriosis
tumbuh ke lapisan otot yang lebih dalam di uterus (miometrium).
Adenomiosis terdiri dari adeno (kelenjar), mio (otot) dan osis (suatu kondisi)
yang secara jelas didefinisikan sebagai adanya atau tumbuhnya kelenjar
(endometrium) di lapisan otot (miometrium). Pada keadaan normal, terdapat
lapisan pembatas antara antara endometrium dan miometrium yang berfungsi
sebagai pertahanan terhadap invasi dari jaringan endometrium.
Sekalipun belum ada patogenesis pasti dari adenomiosis, namun para
peneliti berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh lemahnya lapisan otot
pembatas pada wanita yang menderita adenomiosis dan juga dipicu oleh
meningkatnya tekanan intra uterin antara kedua sisi. Ditemukannya
konsentrasi estrogen yang cukup tinggi dan adanya sistem imun yang
terganggu pada penderita adenomiosis juga dianggap menjadi mekanisme
penting dalam terjadinya adenomiosis. Rahim yang membesar dan lunak
merupakan gejala klasik dari adenomiosis.
Tidak seperti endometriosis, beberapa peneliti percaya bahwa adenomiosis
dapat terjadi setelah kehamilan dan melahirkan, wanita berusia empat puluhan
dan lima puluhan yang telah melahirkan paling tidak satu anak lebih mungkin
untuk mengembangkan adenomiosis. Faktor genetik dan hormon dipercaya
menjadi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya adenomiosis.
Adenomiosis merupakan kelainan patologis yang sering ditemukan pada
wanita multipara usia 40 50 tahun.

Gambar II.3 endometriosis uteri interna


2. Endometriosis ovarium
Diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks ovarium setelah
penimbunan debris menstruasi dari perdarahan jaringan endometriosis. Pada
endometriosis yang terjadi di ovarium dapat terbentuk kista, namun kista yang
terbentuk disini bukan merupakkan kista sesungguhnya. Kista yang normal
berisi cairan dari lapisan sebuah struktur, sedangkan dinding dari kista
endometriosis

terdiri dari jaringan fibrosa, jaringan inflamasi, dan

endometrium tidak menghasilkan cairan.

3. Endometriosis tuba
Saluran yang paling banyak mengalami endometriosis adalah saluran tuba
tertutup. Gejala yang paling sering didapatkan dari kasus ini adalah infertilitas.
Pada wanita yang mengalami endometriosis di tuba akan lebih rentan
mengalami kehamilan ektopik.

10

4. Endometriosis retroservikalis
Pada rechtal toucher sering ditemukan adanya benjolan yang nyeri pada
cavum douglas, benjolan benjolan ini melekat dengan uterus dan rektum,
akibatnya terjadi dismenore, dispareuni, nyeri saat defekasi, serta nyeri pelvis.

5. Endometriosis ekstragenitalia
Setiap anggota tubuh yang dikeluhkan mengalami nyeri setiap kali haid
perlu dicurigai mengalami endometriosis.

Gambar II.4 endometriosis ektravaginal

FAKTOR RESIKO
Resiko tinggi terjadinya endometriosis ditemukan pada :
1. Wanita yang ibu atau saudara perempuannya menderita endometriosis
2. Wanita usia produktiv (15-44 th)

11

3.
4.
5.
6.
7.

Wanita dengan siklus menstruasi 27 hari atau kurang


Usia menstruasi yang lebih awal dari normal
Lama waktu menstruasi
Adanya orgasme ketika menstruasi
Terpapar toxin dari lingkungan

Faktor risiko termasuk usia, peningkatan jumlah lemak tubuh perifer, dan
gangguan haid , kebiasaan merokok, kebiasaan hidup, dan genetik. Faktor genetik
berperan 6 9 kali lebih banyak dengan riwayat keluarga terdekat menderita
Tabel II.1 resiko endometriosis

GEJALA KLINIS
Gejala klinis pada endometriosis akan memuncak pada keadaan
premenstruasi, dan mereda setelah menstruasi selesai. Nyeri panggul adalah gejala
yang paling umum terjadi, gejala lain adalah dispareunia, dismenore, nyeri pada
kandung kemih dan nyeri punggung bawah.
Terdapat beberapa mekanisme biologis yang menyebabkan sensasi nyeri,
yaitu nociceptif, inflamasi, neuropati, psikogenik ataupun campuran. Nyeri
nociceptive dimulai adanya stimulus yang menginduksi jalur tersebut, dimana
stimulus akan ditransduksi menjadi sinyal biokimiawi yang ditransmisikan ke
susunan saraf pusat. Di SSP akan terjadi modulasi yang dapat meningkatkan atau
menurunkan intensitas nyeri tersebut. Selanjutnya di korteks serebri akan dibentuk
suatu persepsi nyeri. Nyeri nociceptif dapat bersifat nyeri somatic maupun nyeri
visceral. Beberapa hal penting mengenai nyeri viseral adalah tidak semua organ
visera dapat menjadi sumber nyeri, berbatas tidak tegas, tidak selalu berkaitan
dengan gangguan fungsi, bisa terkait juga dengan nyeri somatik dan nyeri alih.

12

Inflamasi merupakan salah satu mekanisme yang menyebabkan nyeri


viseral. Endometriosis dianggap sebagai proses inflamasi pelvik yang
menghasilkan respons inflamasi yang signifikan, sehingga banyak hipotesis nyeri
endometriosis dikaitkan berasal dari proses inflamasi. Konsentrasi TNF- di
cairan peritoneum wanita dengan endometriosis lebih tinggi dibandingkan wanita
normal. TNF akan menstimulasi ekspresi prostaglandin synthase-2 yang akan
meningkatkan produksi
PGE2 dan PGF2. Interleukin 1, 6 dan 8 juga ditemukan menigkat di
cairan peritoneal pasien endometriosis. Interleukin 1 menginduksi sintesis
prostaglandin dan juga menstimulasi proliferasi fibroblast yang dapat
berkontribusi terhadap perlektan dan fibrosis pada endometriosis. Interleukin 8
adalah sitokin yang bersifat angiogenik dan pro inflamasi.
Ekspresi nerve growth factor (NGF) juga ditemukan meningkat pada lesi
endometriosis. NGF akan meningkatkan kepadatan nosiseptor, peningkatan
neuron sensorik dan juga meningkatkan ekspresi substans P yang merupakan
neuropeptida yang terlibat dalam modulasi nyeri.11,12,13,14,15
1. Nyeri saat menstruasi
Gejala ini seringkali menjadi gejala awal dari timbulnya endometriosis.
Pasien yang mengalami dymenorrhea dan tidak memiliki respon terhadap
kontrasepsi oral ataupun dengan pemberian anti-infalamasi non-streroid
diduga kuat menderita endometriosis. Gejala yang sering terjadi pada wanita
yang menderita endometriosis adalah timbulnya nyeri yang luar biasa pada
saat menstruasi sejak umur sangat muda, sejak dari usia menarche atau bahkan
sebelumnya. Bagaimanapun, nyeri pada menstruasi tidak dapat selalu
dihubungkan dengan endometriosis karena gejala ini merupakan gejala
nonspesifik juga dapat terjadi pada keadaan fisiologis saat mentrasi.
Bertambahnya derajat keparahan nyeri dan lama waktu dismenore sebanding
dengan perjalanan stadium endometriosis.
2. Sakit saat berhubungan seksual
Ligamentum uterosakral, ligamentum broad, dan the poach of Douglas
merupakan beberapa area tersering ditemukannya endometriosis. Timbulnya
endometriosis pada beberapa area tersebut dapat menyebabkan gejala yang
spesifik dan menetap. Beberapa area yang terlibat tersebut terletak berdekatan
dengan kedua ujung vagina dan rektum, karena itu, setiap stimulasi fisik pada
area tersebut akan dapat menimbukan nyeri.

3. Nyeri pelvis
Sering ditemukan pada pasien endometriosis pada beberapa kasus nyeri
pada pasien tidak hanya dikaitkan dengan periode menstrusi atau aktifitas

13

seksual, tetapi seringkali nyeri yang dirasakan merupakan nyeri yang kronik
dan rasa tidak nyaman pada bagian bawah pelvis disertai nyeri yang terusmenerus. Nyeri pada pelvis dihubungkan dengan adanya adhesi dan
ditemukannya jaringan parut pada pelvis. Penyebab yang pasti pada nyeri
masih belum jelas, namun, adaanya substansi sitokin dan prostaglandin yang
dihasilkan oleh implan endometriotik ke cairan peritoneal merupakan salah
satu penyebab (Giudice, 2010).
4. Nyeri panggul bawah
Endometriosis yang terjadi pada ligamen oterosakral dapat menghasilkan
nyeri yang menjalar hingga ke punggung bagian belakang. Nyeri dari uterus
juga dapat menjalar ke area tersebut.
5. Infertilitas
Terdapat hubungan antara endometriosis dan infertilitas. Ditemukan fakta
bahwa satu dari tiga wanita infertil didiagnosis menderita endometriosis. Data
retrospektif menunjukkan bahwa 30 50 % wanita dengan endometriosis akan
menjadi infertil (Alvero, 2007). Adanya adhesi, kerusakan ovarium dan tuba,
juga distorsi yang ditimbulkan sebagai efek dari bertambah parahnya
perjalanan endometriosis juga menjadi faktor lain yang menyebabkan
infertilitas. Selain kerusakan yang terjadi pada organ terkait, dihasilkannnya
beberapa substansi oleh endometrium yang tumbuh secara ektopik seperti
prostaglandin dan sitokin juga dipercaya menjadi salah satu faktor infertilitas
lainnya.
6. Nyeri pada kandung kemih dan dysuria
Lesi superfisial pada kandung kemih biasanya asimtomatik. Lesi dapat
menyerang otot dan menimbulkan nyeri saat berkemih, dan dysuria. Meskipun
keluhan ini tidak selalu muncul pada penderita endometriosis, namun keluhan
nyeri pada kandung kemih, dysuria, dan urgensi pada wanita tetap menjadi
gejala pada wantia yang terkena endometriosis, terutama jika keluhan ini
disertai hasil kultur urin yang negatif.
7. Nyeri saat defekasi
Nyeri defekasi merupakan gejala yang paling jarang muncul dibandingkan
dengaan gejala lain pada endometriosis dan biasanya hal ini mencerminkan
adanya keterlibatan rektosigmoid dengan implan endometriotik . Gejala ini
dapat terjadi secara kronik, siklik, dan sering berhubungan dengan konstipasi,
diare, atauapun hematokezia.

DIAGNOSIS

14

Prosedur yang paling akurat untuk diagnosis endometriosis adalah


laparoskopi, metode bedah invasif. Diagnosis definitif didasarkan pada visualisasi
dari lesi karakteristik dan pada konfirmasi histologis. Beberapa penelitian telah
melaporkan bahwa CA-125, glikoprotein asal epitel ditemukan pada sel normal,
memiliki konsentrasi serum tinggi pada pasien dengan endometriosis, terutama
ketika dievaluasi selama menstruasi flow1- 3. Biomarker lain yang menarik untuk
penelitian ini adalah larut CD-23, sebuah protein yang diekspresikan pada
permukaan membran sel, biasanya diidentifikasi sebagai reseptor IgE afinitas
rendah pada sel B, eosinofil, monosit, sel dendritik, epitel sel Langerhans dan
trombosit. Beberapa langkah dalam menegakkan diagnosis endometriosis antara
lain :
A. Anamnesis
Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvis kronis
yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada
endometriosis. Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek
yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat
diduga. Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena
penyakit ini bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali
lebih besar untuk mengalami hal serupa. Endometriosis juga lebih mungkin
berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada dizigot.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum jarang dilakukan kecuali penderita
menunjukkan adanya gejala fokal siklik pada daerah organ non ginekologi.
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari penyebab nyeri yang letaknya kurang
tegas dan dalam. Endometrioma pada parut pembedahan dapat berupa
pembengkakan yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai lesi lain seperti
granuloma, abses dan hematom.
C. Pemeriksaan Ginekologi
Pada genitalia eksterna dan permukaan vagina biasanya tidak ada
kelainan. Lesi endometriosis terlihat hanya 14,4% pada pemeriksaan
inspekulo, sedangkan pada pemeriksaan manual lesi ini teraba pada 43,1%
penderita. Ada keterkaitan antara stenosis pelvik dan endometriosis pada
penderita nyeri pelvik.
D. Diagnosis laparoskopi
Pemeriksaan ini merupakan baku emas yag harus dilakukan untuk
menegakkan diagnosis endometriosis, dengan pemeriksaan visualisasi

15

langsung ke rongga abdomen, yang mana pada banyak kasus sering dijumpai
jaringan endometriosis tanpa adanya gejala klinis. Invasi jaringan
endometrium paling sering dijumpai pada ligamentum sakrouterina, kavum
douglas, kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding samping pelvis yang
berdekatan. Selain itu juga dapat ditemukan di daerah abdomen atas,
permukaan kandung kemih dan usus. Penampakan klasik dapat berupa jelaga
biru-hitam dengan keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis di sekelilingnya.
Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari serpih haid yang
terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi atipikal tak
berpigmen berwarna merah atau putih. Diagnosis endometriosis secara visual
pada laparoskopi tidak selalu sesuai dengan pemastian histopatologi meski
penderitanya mengalami nyeri pelvis kronik. Endometriosis yang didapat dari
laparoskopi sebesar 36%, ternyata secara histopatologi hanya terbukti 18%
dari pemeriksaan histopatologi ( Jacoeb TZ, 2009)

Gambar II.5 laparoskopi endometriosis

PENATALAKSANAAN ENDOMETRIOSIS
Endometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada estrogen,
sehingga salah satu pilihan pengobatan adalah dengan menekan hormon
menggunakan obat-obatan untuk mengobatinya.
Saat ini, pil kontrasepsi, progestin, GnRH agonis dan aromatase inhibitor
adalah jenis obat-obatan yang sering dipakai dalam tatalaksana medikamentosa
endometriosis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masing-masing obat
tersebut setara dalam pengobatan endometriosis, sehingga jenis obat yang
digunakan harus mempertimbangkan preferensi pasien, efek samping ,biaya dan
ketersediaan obat tersebut.18-27
1. Pil Kontrasepsi Kombinasi
Cara Kerja
Pil kontrasepsi kombinasi bekerja pada kelainan endometriosis dengan
cara menekan LH dan FSH serta mencegah terjadinya ovulasi dengan cara

16

menginduksi munculnya keadaan pseudo-pregnancy. Selain itu penggunaan pil


kontrasepsi kombinasi juga akan mengurangi aliran menstruasi, desidualisasi
implant endometriosis, dan meningkatkan apoptosis pada endometrium eutopik
pada wanita dengan endometriosis.
Pemilihan Jenis Pil Kontrasepsi
Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi merupakan pilihan yang efektif
untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan oleh endometriosis. Terapi ini juga
aman dan dapat digunakan jangka panjang pada wanita yang tidak ingin memiliki
anak dan membutuhkan kontrasepsi.
Efektifitas
Cochrane review 2009 menilai pemberian pil kontrasepsi kombinasi dalam
pengobatan nyeri terkait endometriosis. Didapatkan hasil dalam follow up 6 bulan
tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok PKK dengan kelompok GnRH
analog mengenai efektifitas dalam mengobati dismenorea (OR 0.48; IK 0.08
2.90) . Hasil yang sama juga didapatkan untuk nyeri yang tidak terkait menstruasi
(OR 0.93; IK 0.25-3.53) dan dyspareunia (OR 4.87; IK 0.96-24.65).
Evidence Based
Klinisi dapat memberikan kontrasepsi oral kombinasi karena mengurangi
dyspareunia, dismenore dan nyeri tidak terkait menstruasi
(Rekomendasi B)

2. Progestin
Cara kerja
Tidak seperti estrogen, progesteron memilik efek antimitotik terhadap sel
endometrium, sehingga memiliki potensi dalam pengobatan endometriosis.
Progestin turunan 19-nortestosteron seperti dienogest memiliki kemampuan utnuk
menghambat enzim aromatase dan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 pada
kultur sel endometriosis. Biopsi percontoh jaringan endometrium dari wanita yang
diobati dengan LNG IUS selama 6 bulan menunjukkan ekspresi reseptor estrogen
yang berkurang, menurunnya indeks proliferasi sel dan peningkatan ekspresi Fas.

Pemilihan jenis progestin


Preparat progestin terdapat dalam bentuk preparat oral, injeksi dan LNGIUS. Selain bentuk, preparat progestin juga dapat dibagi menjadi turunan
progesteron alami (didrogesteron, medroksiprogesteron asetat) dan turunan C-19nortestosteron (noretisteron, linestrenol, desogestrel).

17

Noretindron asetat, 5 sampai 20 mg per hari, efektif pada sebagian besar


pasien dalam meredakan dismenorea dan nyeri panggul menahun. Efek samping
yang ditimbulkan termasuk nyeri payudara dan perdarahan luruh.40 Progestin
intramuskular dan subkutan yang diberikan setiap 3 bulan diketahui efektif dalam
menekan gejala endometriosis.39 Levonorgestrel 20 mg per hari yang terkandung
dalam LNG-IUS akan berefek pada atrofi endometrium dan amenorea pada 60%
pasien tanpa menghambat ovulasi.40 Didrogesteron 5-10 mg per hari sampai
dengan 4 bulan telah diteliti efektif untuk meredakan gejala endometriosis.
Penelitian desogestrel 75 mg per hari diketahui efektif menurunkan skala nyeri
panggul (VAS) dibandingkan dengan kontrasepsi oral.41 Dienogest merupakan
progestin selektif yang mengkombinasikan 19-norprogestin dan turunan
progesteron sehingga hanya memberikan efek lokal pada jaringan endometrium.
Tidak seperti agen 19-norprogestin lainnya, dienogest memiliki efek androgenik
yang rendah, bahkan memiliki efek antiandrogenik yang menguntungkan
sehingga hanya memberikan efek yang minimal terhadap perubahan kadar lemak
dan karbohidrat.
Tabel II.2 pemilihan jenis progestin

18

Pemilihan jenis progestin yang digunakan harus mempertimbangkan efek


androgenik, efek antimineralokortikoid dan efek glukokortikoid.

Efektifitas
Review sistematis Cochrane melakukan kajian mengenai efektifitas
progestin atau anti progestin dalam pengobatan nyeri akibat endometriosis. Kajian
ini meliputi 2 RCT yang membandingkan progestin dengan placebo dan 8
penelitian yang membandingkan dengan pengobatan lainnya. Dari penelitian yang
membandingkan dengan placebo, satu penelitan memberikan hasil yang bermakna
namun penelitian kedua tidak memberikan hasil yang bermakna.
Dienogest dengan dosis harian 2mg telah dibuktikan bermakna dalam
mengurangi nyeri pelvik dan nyeri haid yang terkait endometriosis. Dienogest
juga setara dengan GnRH agonis dalam pengobatan nyeri endometriosis.
Terdapat tiga penelitian yang menilai efek penggunaan LNG IUS terhadap
gejala terkait endometriosis. Penelitian pertama oleh Petta dkk membandingkan
LNG IUS dengan leuprolide asetat. Didapatkan penurunan bermakna skor VAS
setelah 6 bulan pada kedua kelompok dan tidak ada perbedaan antar kelompok
tersebut. Penelitian kedua oleh Gomes dkk menilai efek LNG IUS pada stadium
ASRM yang menemukan penurunan yang bermakna skor nyeri pelvik setelah 6
bulan dan tidak ada perbedaan antara LNG IUS dengan leuprolide asetat. Fereira

19

dkk pada 2010 juga mendapatkan penurunan skor nyeri dan tidak ada perbedaan
antar LNG IUS dengan GnRH analog.

Evidence Based
Klinisi direkomendasikan menggunakan progestin (DMPA, MPA,
dienogest, cyproterone asetat) sebagai salah satu pilihan untuk mengurangi nyeri
akibat endometriosis
(Rekomendasi A).
LNG IUS juga dapat menjadi pilihan dalam mengurangi nyeri terkait
endometriosis
(Rekomendasi A)
Dalam pemilihan preparat progestin, klinisi harus mempertimbangkan
profil efek samping masing-masing preparat tersebut

3. Agonis GnRH
Cara kerja
Pajanan GnRH yang terus menerus ke hipofisis akan mengakibatkan
down-regulation reseptor GnRH yang akan mengakibatkan berkurangnya
sensitifitas kelenjar hipofisis. Kondisi ini akan mengakibatkan keadaan
hipogonadotropin hipogonadisme yang akan mempengaruhi lesi endometriosis
yang sudah ada. Amenore yang timbul akibat kondisi tersebut akan mencegah
pembentukan lesi baru. GnRH juga akan meningkatkan apoptosis susukan
endometriosis. Selain itu GnRH bekerja langsung pada jaringan endometriosis.
Hal ini dibuktikan dengan adanya reseptor GnRH pada endometrium ektopik.
Kadar mRNA reseptor estrogen (ER) menurun pada endometriosis setelah terapi
jangka panjang. GnRH juga menurunkan VEGF yang merupakan faktor
angiogenik yang berperan untuk mempertahankan pertumbuhan endometriosis.
Interleukin 1A (IL-1A) merupakan faktor imunologi yang berperan melindungi sel
dari apoptosis.

Efektifitas
Review Cochrane tahun 2010 membandingkan pemberian GnRH analog
dalam mengobati nyeri yang terkait endometriosis. Hasil menunjukkan bahwa
GnRH analog lebih efektif dibandingkan placebo, namun tidak lebih baik bila
dibandingkan dengan LNG-IUS atau danazol oral. Tidak ada perbedaan efektifitas
bila GnRH analog diberikan intramuskuler, sub kutan atau intranasal.

20

Karena efek pemberian GnRH analog adalah efek hipoestrogenik, maka


diperlukan pemberian estrogen sebagai terapi add back. Hal ini didasari bahwa
kadar estrogen yang diperlukan untuk melindungi tulang, fungsi kognitif dan
mengatasi gejala defisiensi estrogen lainnya lebih rendah dibandingkan kadar
yang akan mengaktifasi jaringan endometriosis. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa terapi add back ini tidak mengurangi efektifitas GnRH
analog.11 Pada pemberian GnRH analog dengan terapi add back estrogen dan
progestogen selama 6 bulan, densitas mineral tulang lebih tinggi dibandingkan
dengan pemberian GnRH saja.
Evidence Based
Klinisi dapat menggunakan GnRH analog (nafarelin, leuprolid, buserelin,
goserelin atau triptorelin) sebagai salah satu pilihan dalam mengurangi nyeri
akibat endometriosis.
(Rekomendasi A)
Klinisi dapat memberikan terapi hormone add-back saat memulai terapi
GnRH analog untuk mencegah hilangnya massa tulang dan timbulnya gejala
hipoestrogenik. Pemberian terapi add back tidak mengurangi efek pengobatan
nyeri.
(Rekomendasi A)
Tabel II.3 merk obat GnRH

4. Danazol
Cara kerja
Danazol adalah androgen sintetik dan merupakan derivate 17-ethynyl
testosterone. Danazol mempunyai beberapa mekanisme kerja diantaranya
menginduksi amenorea melalui supresi terhadap aksis Hipotalamus-PituitariOvarium (HPO), inhibisi steroidogenesis ovarium dan mencegah proliferasi
endometrium dengan mengikat reseptor androgen dan progesteron pada
endometrium dan implan endometriosis. Cara kerja lainnya termasuk menurunkan
produksi High Density Lipoprotein (HDL), penurunan produksi Steroid Hormone
Binding Globulin (SHBG) di hati, dan menggeser posisi testosteron dari SHBG
menyebabkan peningkatan konsentrasi testosteron bebas. Atrofi dari endometrium

21

dan implan endometriosis terjadi sebagai konsekuensi dari kadar estrogen yang
rendah dan androgen yang tinggi.
Efektifitas
Pemberian danazol mempunyai efek yang sebanding dengan GnRH analog
dalam mengurangi nyeri setelah pembedahan endometriosis stadium III dan IV.38
Cochrane Review tahun 2009 melakukan kajian terhadap 5 penelitian yang
membandingkan danazol 3x200 mg dengan MPA oral 100 mg/hari dan plasebo.
Didapatkan perbaikan nyeri pasca pengobatan 6 bulan (weighted mean difference
-5,7) dan efek tersebut menetap hingga 6 bulan pasca penghentian pengobatan
(weighted mean difference -7,5).
Peningkatan berat badan, jerawat, nyeri kepala, perubahan distribusi
kolesterol, gangguan fungsi hati, atrofi vagina, perubahan endometrium dan siklus
haid merupakan efek samping yang dapat timbul pada penggunaan oral.38
Bhattacharya melakukan penelitian prospektif yang menilai pemberian danazol
vaginal untuk mengobati nyeri terkait endometriosis. Follow up 6 bulan pasca
pengobatan didapatkan penurunan bermakna dismenorea, dyspareunia dan nyeri
pelvik (p<0,001). Tidak didapatkan perubahan pada profil lipid dan fungsi hati
pasca pengobatan 6 bulan.

Evidence Based (Rekomendasi)


Danazol dan gestrinon sebaiknya tidak digunakan, kecuali pada wanita yang
sudah dalam pengobatan dan tidak timbul efek samping terhadapnya atau apabila
terapi lain sudah terbukti tidak efektif (Rekomendasi kuat)
5. Aromatase inhibitor
Cara Kerja
Beberapa penelitian menunjukkan potensi mitogenik estradiol yang
mendorong pertumbuhan dan proses inflamasi di lesi endometriosis. Estrogen
lokal dari lesi endometriosis berkaitan erat dengan ekspresi enzim aromatase
sitokrom P450. Kadar mRNA aromatase yang meningkat ditemukan pada lesi
endometriosis dan endometrioma ovarium. Karena peran penting enzim aromatase
dan estrogen lokal pada endometriosis, maka aromatase inhibitor dipikirkan
menjadi pilihan terapi yang potensial pada pasien dengan endometriosis.
Efek Samping
Efek samping relatif ringan seperti nyeri kepala ringan, nyeri sendi, mual
dan diare. Dibandingkan dengan penggunaan GnRH analog, keluhan hot flushes
lebih ringan dan lebih jarang. Penggunaan jangka panjang dapat meningkatkan
risiko osteopenia, osteoporosis dan fraktur. Data jangka panjang didapat dari

22

wanita yang diobati karena kanker payudara, dimana ditemukan kejadian fraktur
berkisar dari 2,5 hingga 11 persen.

Efektifitas
Dua kajian sistematis menilai potensi menggunakan aromatase inhibitor
pada nyeri akibat endometriosis. Kajian pertama oleh Patwardhan dkk pada tahun
2008 menilai 5 penelitian dimana 4 penelitian menunjukkan efek yang signifikan
pemberian aromatase inhibitor terhadap nyeri terkait endometriosis. Namun kajian
ini hanya mendapatkan penelitian dengan jumlah kasus yang sedikit dan hanya
satu uji klinis acak.11 Ferero dkk pada 2010 melakukan kajian sistematis yang
menilai 7 penelitian pengobatan danazol pada endometriosis. Didapatkan hasil
letrozol oral yang dikombinasi dengan noretisteron asetat atau desogestrel,
anastrozol vaginal suposituria 250 ug/hari atau oral 1mg/hari dengan kombinasi
pil kontrasepsi kombinasi memberikan hasil penurunan bermakna nyeri terkait
endometriosis pada wanita pra-menopause.
Evidence Based (Rekomendasi)
Pada wanita dengan endometriosis rektovagina yang tidak berhasil dengan
terapi medis lain atau pembedahan, klinisi dapat mempertimbangkan pemberian
aromatase inhibitor yamg dikombinasikan dengan progestin, pil kontrasepsi
kombinasi atau GnRH analog.
(Rekomendasi B)

6. Anti prostaglandin
Cara kerja
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar prostaglandin di
cairan peritoneum dan lesi endometriosis pada wanita dengan endometriosis.
Sehingga di obat anti inflamasi non steroid banyak digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri terkait endometriosis.
Efektifitas
Cobelis dkk melakukan uji klinis penggunaan penghambat COX-2
(rofecoxib) dibandingkan dengan kontrol selama 6 bulan pada 28 pasien.
Didapatkan penurunan yang bermakna pada dismenore, dyspareunia dan nyeri
pelvik kronik setelah pengobatan 6 bulan dibandingkan dengan placebo (p <
0.001).
Allen dkk melakukan review sistematis mengenai peran antiinflamasi non
steroid dalam mengurangi nyeri terkait endometriosis. Disimpulkan bahwa masih
belum cukup bukti yang menunjukkan OAINS efektif dalam pengobatan nyeri
terkait endometriosis.11

23

Evidence Based (Rekomendasi)


Klinisi dapat mempertimbangkan penggunaan obat antiinflamasi non
steroid atau analgetik lain untuk mengurangi nyeri terkait endometriosis
TATALAKSANA BEDAH NYERI ENDOMETRIOSIS
1. LUNA pada nyeri karena endometriosis
Prosedur LUNA pada laparoskopi
Prosedur ini adalah prosedur melakukan ablasi atau eksisi sekitar 1,5-2 cm
bagian ligamentum sakrouterina di insersi serviks. Prosedur ini dimulai dengan
memposisikan
uterus
anteversi
menggunakan
manipulator
uterus,
mengidentifikasi ligamentum uterosakral yang kemudian salah satu atau keduanya
dipotong dekat dengan insersinya di serviks. Sebagian kecil ligamen diambil
untuk pemeriksaan histologi dan konfirmasi adanya serabut saraf didalamnya.
Mekanisme LUNA dalam menekan nyeri karena endometriosis
Dengan pembedahan ini diharapkan terputusnya saraf sensoris sehingga
nyeri akan berkurang.
Efektivitas LUNA dalam menekan nyeri karena endometriosis
Cochrane review tahun 2010 menilai efektifitas pembedahan jalur saraf
pelvik dalam penatalaksanaan dismenore primer dan sekunder. Terdapat 4 uji
klinis acak pada pasien endometriosis yang membandingkan LUNA dengan
pembedahan laparoskopi konservatif. Setelah follow up 6 bulan tidak ada
perbedaan bermakna antar kedua kelompok dalam keluhan nyeri(OR 1.03, IK
95% 0.52-2.02). Dalam penilaian jangka panjang juga tidak menunjukkan
perbedaan (OR 0.77, IK 95% 0.43-1.39).

Evidence based penggunaan LUNA dalam menekan nyeri karena


endometriosis
Klinisi sebaiknya tidak melakukan LUNA sebagai prosedur tambahan
pembedahan konservatif dalam menangani nyeri terkait endometriosis
(Rekomendasi A)
2. Laparoskopi pre-sacral neurectomy pada nyeri karena endometriosis
Prosedur pre-sacral neurectomy pada laparoskopi
Saraf presakral merupakan bagian retroperitoneal superior dari pleksus
hipogastrika, berada di bawah bifurkasio aorta kurang lebih 3-4 cm mengarah ke
sacrum. Prosedur bedah PSN adalah melakukan eksisi jaringan saraf antara
peritoneum dan periosteum sebanyak paling tidak 2 cm.

24

Mekanisme pre-sacral neurectomy dalam menekan nyeri karena


endometriosis
PSN akan memutus saraf sensorik, dan melibatkan pemutusan jalur
persarafan yang lebih banyak dibandingkan LUNA.
Efektivitas pre-sacral neurectomy dalam menekan nyeri karena endometriosis
Cochrane review 2010 oleh Proctor menilai presacral neurectomy (PSN)
dalam terapi pembedahan endometriosis dibandingkan dengan pembedahan
konservatif. Dalam follow up 6 bulan didapatkan perubahan nyeri yang signifikan
pada kelompok PSN (OR 4.52, IK 95% 1.84-11.09). Pada follow up 12 bulan juga
didapatkan perbedaan bermakna (OR 3.14, IK 95% 1.59-6.21).
Pembedahan dengan PSN memiliki risiko efek samping yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pembedahan konservatif. Pada kelompok pembedahan
konservatif tidak dilaporkan adanya efek samping , namun pada kelompok PSN
dilaporkan 13 wanita dengan keluhan konstipasi, 3 wanita dengan urgency dan
dua wanita tidak merasakan nyeri pada persalinan (OR 14.6, IK 95% 5.0-42.2).
Evidence based penggunaan pre-sacral neurectomy dalam menekan nyeri
karena endometriosis
Pre-sacral neurectomy merupakan prosedur tambahan yang efektif untuk
mengurangi nyeri terkait endometriosis, namun membutuhkan keterampilan yang
khusus dan mempunyai risiko yang besar (center of excellence)
(Rekomendasi A)
3. Laparoskopi eksisi lesi endometriosis susukan dalam
Prosedur eksisi lesi endometriosis susukan dalam
Endometriosis susukan dalam didefinisikan sebagai massa padat yang
terletak lebih dari 5 mm di dalam peritoneum.55 Endometriosis susukan dalam
dapat mengenai ligamentum sakrouterina, dinding pelvis, septum rektovagina,
vagina, usus, kandung kemih atau ureter.
Letak dari lesi endometriosis susukan dalam akan mempengaruhi langkah
pembedahan yang dilakukan. Ligamentum sakroterina merupakan lokasi paling
sering, didapatkan pada 83 persen kasus. Bila ditemukan lesi tindakan eksisi
sudah mencukupi. Namun apabila lesi didapatkan pada kedua sisi ligamentum
sakrouterina, eksisi nodul bilateral mempunyai risiko cidera saraf hipogastrika
dengan komplikasi kesulitan berkemih. Pada kasus endometriosis pada septum
rektovagina, pembedahan dimulai melalu fossa pararektal yang avaskuler.
Dilakukan diseksi dari daerah ini mengarah ke kaudal dengan tujuan mencari
jaringan yang masih sehat, setelah itu baru dilakukan diseksi mengarah ke dinding
anterior rektum. Setelah rektum dilepaskan, nodul endometriosis dapat dieksisi
dari dinding posterior vagina. Apabila endometriosis melibatkan traktus
gastrointestinal, terapi pembedahan harus dilaksanakan oleh tim multidisiplin.
Pendekatan pembedahan dapat bersifat radikal (reseksi komplit lesi untuk

25

mencegah kekambuhan) atau pendekatan konservatif. Teknik shaving bertujuan


untuk melakukan reseksi lesi pada serosa atau hingga tunika muskularis.
Mekanisme eksisi lesi endometriosis susukan dalam dalam menekan nyeri
karena endometriosis
Lesi endometriosis susukan dalam dan serat saraf yang menginervasi
pembuluh darah disekitar lesi berpengaruh pada rasa nyeri. Serat saraf menjadi
lebih sensitif dan tersensitisasi dan selanjutnya memodulasi otak.
Tindakan pembedahan eksisi lesi endometriosis susukan dalam akan
menghilangkan lesi endometriosis dan pada gilirannya akan menurunkan
intensitas nyeri.
Efektivitas eksisi lesi endometriosis susukan dalam dalam menekan nyeri
karena endometriosis
Kajian sistematis Meuleman dkk menilai 49 artikel mengenai pembedahan
endometriosis susukan dalam. Didapatkan perbaikan nyeri dan kualitas hidup,
angka komplikasi sekitar 5-25 persen dan angka rekurensi 5-25 persen. Namun
sebagian besar data didapatkan secara retrospektif dengan disain penelitian yang
tidak seragam.11 De Cicco dkk melakukan kajian sistematis pada 34 artikel
mengenai reseksi usus segmental pada kasus endometriosis susukan dalam. Hasil
follow up setelah satu tahun didapatkan nyeri berkurang antara 71,4 93,6%
wanita. Rekurensi gejala dalam periode follow up 2-5 tahun bervariasi antara 454%.
Pembedahan untuk endometriosis susukan dalam cukup efektif namun
berkaitan dengan angka komplikasi yang signifikan. Angka komplikasi
intraoperatif adalah 2,1 % dan angka total komplikasi pasca operasi 13,9%.11
Evidence based eksisi lesi endometriosis susukan dalam dalam menekan
nyeri karena endometriosis
Klinisi dapat mempertimbangkan pembedahan untuk mengangkat
endometriosis susukan dalam, karena mengurangi nyeri dan memperbaiki kualitas
hidup
(Rekomendasi B)
Direkomendasikan untuk merujuk wanita dengan kemungkinan
endometriosis susukan dalam ke pusat yang dapat memberikan seluruh
pengobatan dalam konteks multidisiplin, baik melalui operasi laparoskopi atau
laparotomy.

26

Tabel II.4 pengobatan endometriosis

27

Gambar II.6 algoritma penatalaksanaan endometriosis

28

Komplikasi
Komplikasi dari endometriosis sering berhubungan dengan adanya fibrosis
dan jaringan parut yang tidak hanya berefek pada organ yang terkena, namun juga
dapat menyebabkan obstruksi kolon dan ureter. Ruptur dari endemetrioma dan
juga dihasilkannya zat berwarna coklat yang sangat iritan juga dapat
menyebabkan peritonitis. Meskipun jarang, lesi endometrium dapat berubah
menjadi malignan dan paling sering terjadi pada kasus endometriosis yang
berlokasi di ovarium.
Prognosis
Pada kasus endometriosis, salah satu yang terpenting adalah penderita
harus diberikan konseling dan pengertian tentang penyakit yang dideritanya secara
tepat. Pasien harus diberi pengertian bahwa pengobatan yang diberikan belum
tentu dapat menyembuhkan. Operasi definitif tidak dapat memberikan
kesembuhan total, sekalipun resiko kambuh sangat rendah resikonya ( 3 %).
Resiko kekambuhan lebih rendah dengan diberikannya terapi sulih hormone
estrogen. Setelah dilakukan operasi konservatif, tingkat kekambuhan yang
dilaporkan sangat bervariasi. Jumlah kasus yang terjadi rata - rata melebihi 10%
dalam tiga tahun dan 35 % dalam lima tahun.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Walaupun endometriosis dipandang amat rumit dalam hal patofisiologinya
maupun penanganannya, terdapat beberapa prinsip pemahaman yang dapat
digunakan untuk mempermudah arah diagnosis dan penanganan. Hubungannya
dengan serabut saraf, pengaruh estrogen, dan meningkatnya inflamasi merupakan
hal-hal yang telah disepakati sebagai aspek penting dalam endometriosis.
Diharapkan penanganan nyeri pada endometriosis makin terarah seiring dengan
makin baiknya pemahaman dasardasar penyakit ini.

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Giudice L, Kao L. Endometriosis. Lancet. 2004;364(1789).
2. Comiter C. Endometriosis of the urinary tract. Urol Clin North Am.
2002;29(625).
3. Marchino G, Gennarelli G, Enria R, al e. Laparoscopic visualization with
histologic confirmation represents the best available option to date in the
diagnosis of endometriosis. Fertil Steril. 2005;84:38,.
4. Kennedy S, Bergqvist A, Chapron C, et.al. ESHRE guideline for the
diagnosis

and

treatment

of

endometriosis.

Hum

Reprod.

2005

20(10):2698.
5. Eskenazi B, Warner ML. Epidemiology of endometriosis. Obstetrics and
gynecology

clinics

of

North America.

1997;24(2):235-58.

Epub

1997/06/01.
6. Mahmood TA, Templeton A. Prevalence and genesis of endometriosis.
Hum Reprod. 1991;6(4):544-9. Epub 1991/04/01.
7. Moen MH, Schei B. Epidemiology of endometriosis in a Norwegian
county. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica. 1997;76(6):559-62.
Epub 1997/07/01.
8. Eskenazi B, Warner M, Bonsignore L, Olive D, Samuels S, Vercellini P.
Validation study of nonsurgical diagnosis of endometriosis. Fertil Steril.
2001;76(5):929-35. Epub 2001/11/13.
9. Balasch J, Creus M, Fabregues F, Carmona F, Ordi J, Martinez-Roman S,
et al. Visible and non-visible endometriosis at laparoscopy in fertile and
infertile women and in patients with chronic pelvic pain: a prospective
study. Hum Reprod. 1996;11(2):387-91. Epub 1996/02/01.
10. Nnoaham KE, Hummelshoj L, Webster P, d'Hooghe T, de Cicco Nardone
F, de Cicco Nardone C, et al. Impact of endometriosis on quality of life
and work productivity: a multicenter study across ten countries. Fertil
Steril. 2011;96(2):366-73 e8. Epub 2011/07/02.

30

11. Berek JS. Berek and novak's Gynecology: Lippincott Williams and
Wilkins; 2007.
12. Tokushige N, Markham R, Russell P, Fraser IS. Nerve fibres in peritoneal
endometriosis. Hum Reprod. 2006;21(11):3001-7. Epub 2006/09/05.
13. Haas D, Chvatal R, Habelsberger A, Wurm P, Schimetta W, Oppelt P.
Comparison of revised American Fertility Society and ENZIAN staging: a
critical evaluation of classifications of endometriosis on the basis of our
patient population. Fertil Steril. 2011;95(5):1574.
14. Tokushige N, Markham R, Russell P, Fraser IS. Nerve fibres in peritoneal
endometriosis. Hum Reprod. 2006;21(11):3001-7. Epub 2006/09/05.
15. ESHRE. Management of women with endometriosis. 2013.
16. Bellelis P, Dias JA, Jr., Podgaec S, Gonzales M, Baracat EC, Abrao MS.
Epidemiological and clinical aspects of pelvic endometriosis-a case series.
Revista da Associacao Medica Brasileira (1992). 2010;56(4):467-71. Epub
2010/09/14.
17. Chandramouleeswari K, Anita S, Shivali B. Endometriosis of sigmoid
Colon mimicking colon cancer: A case report. Journal of clinical and
diagnostic research. 2012;6(7):1308.
18. Katsikogiannis N, Tsaroucha A, Dimakis K, Sivridis E, Simopoulos C.
Rectal endometriosis causing clolonic obstruction and concurrent
endometriosis of the appendix: a case report. Journal of medical case
reports. 2011;5.
19. RCOG. The investigation and management of endometriosis. Green-top
Guideline. 2008;24:1-14.
20. Tulandi T, Felemban A, Chen M. Nerve fibers and histopathology of
endometriosis-harboring peritoneum. J Am Assoc Gynecol Laparosc.
2001;8(1):95-8.
21. Anaf V, Chapron C, El Nakadi I, De Moor V, Simonart T, Noel JC. Pain,
mast cells, and nerves in peritoneal, ovarian, and deep infiltrating
endometriosis. Fertil Steril. 2006;86(5):1336-43. Epub 2006/09/30.

31

22. Bajaj P, Bajaj P, Madsen H, Arendt-Nielsen L. Endometriosis is associated


with central sensitization: a psychophysical controlled study. The journal
of pain : official journal of the American Pain Society. 2003;4(7):372-80.
Epub 2003/11/19.
23. As-Sanie S, Harris RE, Napadow V, Kim J, Neshewat G, Kairys A, et al.
Changes in regional gray matter volume in women with chronic pelvic
pain: a voxel-based morphometry study. Pain. 2012;153(5):1006-14. Epub
2012/03/06.
24. Karen Ballard PD, Hazel Lane BS, Gernot Hudelist MDS, Saikat Banerjee
MBBS, Jeremy Wright MBBS. Can spesific pain symtoms help in the
diagnosis of endometriosis? A cohort study of women with chronic pelvic
pain. Fertility and Sterility. 2010;94:20-7.
25. Relationship between stage, site and morphological characteristics of
pelvic endometriosis and pain. Hum Reprod. 2001;16(12):2668-71. Epub
2001/12/01.
26. Chapron C, al e. Deep infiltrating endometriosis: relation between severity
of

dysmenorrhoea

and

extent

of

the

disease.

Hum

Reprod.

2007;18(4):760-6.
27. Tairney R, Prentice A. The medical management of endometriosis. Review
in Gynaecological Practice. 2002;2:91-8.

32

You might also like