Professional Documents
Culture Documents
Nama
: Ny. Y S
Tanggal Lahir
: 03/03/15
Umur
: 24 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah
Alamat
Tgl Masuk RS
: 20/05/2015
Anamnesis
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
: Demam
1 tahun sebelum masuk rumah sakit (SMRS), pasien merasakan bola mata pasien
menjadi lebih menonjol dibandingkan sebelumnya. Pasien menyangkal adanya demam,
gemetaran, jantung berdebar dan lemas badan, BAB dan BAK normal.
7 bulan SMRS
benjolan pada leher sebesar telur, menurut pasien benjolan tersebut tidak nyeri dan tidak
dapat digerakkan benjolan tersebut sangat mengganggu pekerjaan pasien sebagai kasir
swalayan.
1 bulan SMRS keluhan tetap sama namun benjolan pada pasien mulai berkurang,
pasien mengeluh mudah lemas, jantung berdebar, suami pasien mengatakan istrinya
belakangan ini mudah tersinggung dan marah serta gemetaran pada kedua tangan pasien,
siklus haid pasien teratur, penurunan berat badan pada pasien disangkal BAK dan BAB
lancar. Sehingga pasien datang ke RSIJ Pondok Kopi.
Pasien datang ke RSIJ Pondok Kopi atas konsulan dari dr. Tanggo Meri, Sp.PD, KR
dengan keluhan tambahan demam 1 hari SMRS demam dirasakan mendadak dan
berangsur turun tanpa penurun panas.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
Riwayat merokok oleh pasien disangkal
Riwayat konsumsi alcohol sebelumnya disangkal
Riwayat konsumsi garam berlebihan disangkal
Riwayat Pengobatan
Riwayat Psikososial
:
Pasien
sudah
berobat
ke
RSIJ
Pondok
Kopi
diberikan
Riwayat Alergi
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran
: composmentis
Tanda vital
Suhu
Nadi
RR
TD
: 36.8 oC
: 80 x/menit
: 18 x/menit
: 130/80 mmHg
BB
TB
: 47 kg
: 150 cm
Status Generalis
o Kepala
o Rambut
o Mata
: Norrmochepal
: Hitam, tersebar merata, tidak mudah di cabut
: Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Refleks
Cahaya
Hidung
o
o
konka normal
Telinga
Mulut
Midclavicula sinistra
Perkusi
parasternal dextra
Batas kiri jantung relatif di ICS V linea
midclavicula sinistra
: Bunyi Jantung I dan II Murni (+), Mur-mur (-),
Auskultasi
Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Hepatosplenomegali (-)
Perkusi
: Timpani pada keempat kuadran Abdomen
Ekstremitas Atas
Akral
CRT
edema
Ptekie
Tremor
:
: Hangat
: <2 detik
: -/: +/+
: +/+
Ekstremitas Bawah
Akral
CRT
edema
Ptekie
:
: hangat
: <2 detik
: -/; +/+
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 13/03/2015
Pemeriksaan
Hasil
SGOT
27.6
SGPT
25.3
Elektrolit
Na
143
4.01
Nilai Normal
Cl
112
Tanggal 20/03/2015
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
FT 4
7.77
0.71- 1.85
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
TSH
0.027 uu/ml
0.047-4.640
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
FT 4
0.82
0.71- 1.85
Tanggal 27/03/2015
Tanggal 29/03/2015
RESUME
1 tahun sebelum masuk rumah sakit (SMRS), pasien merasakan bola mata pasien
menjadi lebih menonjol dibandingkan sebelumnya.
7 bulan SMRS
benjolan pada leher sebesar telur, menurut pasien benjolan tersebut tidak nyeri dan tidak
dapat digerakkan benjolan tersebut sangat mengganggu pekerjaan pasien sebagai kasir
swalayan.
1 bulan SMRS keluhan tetap sama namun benjolan pada pasien mulai berkurang,
pasien mengeluh mudah lemas, jantung berdebar, suami pasien mengatakan istrinya
belakangan ini mudah tersinggung dan marah serta gemetaran pada kedua tangan pasien.
Sehingga pasien datang ke RSIJ Pondok Kopi.
Pasien datang ke RSIJ Pondok Kopi atas konsulan dari dr. Tanggo Meri, Sp.PD, KR
dengan keluhan tambahan demam 1 hari SMRS demam dirasakan mendadak dan
berangsur turun tanpa penurun panas.
Pada PF : TD
Nadi
RR
Suhu
: 130/80 mmHg
: 80x/menit
: 18x/menit
: 36,8 oC
Status generalis
Mata : Eksoftalmus (+)
Leher : Pembesaran KGB jugularis (+), kelenjar tiroid (+)
Ekstremitas Atas : Tremor (+)
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
FT 4
7.77
0.71- 1.85
Diagnosis Kerja
Graves Disease
Daftar Masalah
Hipertiroid
S:
Ny. Y S usia 24 tahun, datang dengan keluhan mata terasa lebih menonjol, ,
leher terdapat benjolan yang semakin membesar, jantung berdebar, tangan
sering gemetaran, dan mudah tersinggung dan 2 hari SRMS pasien mengeluh
demam .
O:
mata eksoftalmus, pembesaran KGB (+), pem kelenjar tiroid (+), ekstremitas
A:
tremor (+)
FT 4 :7.77 mU/l
WD : Graves Disease
P:
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya
memiliki berat 15 - 20 gram. Tiroid mengsekresikan tiga macam hormon, yaitu
tiroksin (T4), triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid merupakan
kelenjar endokrin (tidak mempunyai ductus) dan bilobular (kanan dan kiri),
dihubungkan oleh isthmus (jembatan) yang terletak di depan trachea tepat di
bawah cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus tambahan yang
membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida.
T4
(tiroksin,
(monoiodotirosin)
dan
tetraiodotirosin)
DIT menjadi T3
atau
perangkaian
(triiodotirosin).
reaksi
MIT
ini
10
11
12
13
14
berasal dari hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan transfer
pasif ini mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal,
tetapi hanya berlangsung selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi.
Biasanya pengaruhnya akan hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan.
Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya
TSAb dapat disebabkan oleh:
a. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi
yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan
yang banyak diteliti adalah organisme Yersinia enterocolica. Beberapa
subtipe organisme ini mempunyai binding sites untuk TSH, dan
beberapa pasien dengan penyakit graves juga menunjukkan antibodi
terhadap anti-Yersinia.
b. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal
komponen tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi
antigenik, sehingga bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan
TSAb.
c. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama
dirahim tidak deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb
harus dirangsang dan mengalami diferensiasi menjadi antibodysecreting cells yang secara terus-menerus distimulasi. Aktivasi,
pengembangan dan kelanjutannya mungkin terjadi karena rangsangan
interleukin atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper inducer.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves adalah kondisi
autoimmun dimana terbentuk antibody terhadap reseptor TSH. Penyakit
graves adalah gangguan multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi
dengan faktor endogen dan faktor lingkungan untuk menjadi penyakit.
Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga gen non HLA seperti
TNF-, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen reseptor
TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa
faktor infeksi.
2. Trauma Psikis
15
kasus
eksoftalmus
dan
tirotoksikosis
sesudah
16
membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel
tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi
darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan
penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam
patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada
penyakit Graves (Shahab, 2002).
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid
yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSHR). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam
proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita
penyakit Graves (Shahab, 2002).
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas
dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan
mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II,
seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer
cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola
mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan
menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan
pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi
sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan
terjadinya akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan
katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya
hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena
terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung (Shahab,
2002).
17
sekresi
hormon
tiroid
yang
berlebihan.
Gejala-gejala
18
dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai
dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan
kegagalan konvergensi (Price dan Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik
dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter
difus dan eksoftalmus (Stein, 2000).
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American
Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan
singkatan NOSPECS):
a. Tidak ada gejala dan tanda
b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
c. Perubahan jaringan lunak orbita
d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
f. Perubahan pada kornea (keratitis)
g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai
keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila
keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi
proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2, ditandai
dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3,
ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata
berupa proses infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan
menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai
musculus
rectus
medialis,
maka
akan
terjadi
kesukaran
dalam
19
lain palpitasi,
hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang
cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat
berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang (Shahab, 2002).
Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis
yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan
miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea deffort, tremor,
nervous dan penurunan berat badan (Shahab, 2002).
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang
relatif jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000
kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita
penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan
hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi
iodine radioaktif atau karena pembedahan (Mansjoer et all., 1999).
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak
juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks
newcastle yaitu sebagai berikut:
Tabel 1: Indeks Wayne
No
1
2
3
4
Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan
Atau Bertambah Berat
Sesak saat kerja
Berdebar
Kelelahan
Suka udara panas
Nilai
+1
+2
+2
-5
20
5
6
7
8
9
10
11
+5
+3
+2
+3
-3
-3
+3
21
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tanda
Tyroid teraba
Bising tyroid
Exoptalmus
Kelopak mata tertinggal gerak bola mata
Hiperkinetik
Tremor jari
Tangan panas
Tangan basah
Fibrilasi atrial
Nadi teratur
Ada
+3
+2
+2
+1
+4
+1
+2
+1
+4
Tidak Ada
-3
-2
-2
-2
-1
-
-3
+3
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada
skema dibawah ini:
22
terdeteksi.
Pemeriksaan
TSH
generasi
kedua
merupakan
23
tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut,
penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.
c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,
pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal,
lebih-lebih di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena
pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s mudah dan dijalankan dimana-mana
maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini dianjurkan pada :
kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam
jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat
keluarga, dan test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat
dibedakan etiologi tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab lain
d. Sidik tiroid
jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba
atau teraba nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom
marine-lenhardt ditemukan waktu melakukan sidik tiroid, yang
ditanndai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul) atas dasar kelenjar
toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok non
toksik.
Meskipun
demikian
tidak
boleh
dilupakan
untuk
24
25
3. Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas
sehingga diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas
dapat ditemukan pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus
dibedakan dengan kelainan neurologik primer (Shahab, 2002).
Pada sindrom yang dikenal dengan familial dysalbuminemic
hyperthyroxinemia dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin
(albumin-like protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan T4
tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar
T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak
ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH
serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan
penyakit Graves (Shahab, 2002).
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita
laki-laki etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid
disertai hipokalemi. Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat
dicegah dengan pemberian suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan
ini dapat disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat
(Shahab, 2002).
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan
gejala-gejala kelainan jantung, dapat berupa:
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
- High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit
jantung sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki
dengan pengobatan terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua
dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma yang
kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis
dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini
dikenal dengan apathetic hyperthyroidism (Shahab, 2002).
4.
Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
26
Selain
itu
hipertiroidisme
dapat
juga
menimbulkan
27
28
mempunyai
kelebihan
dibandingkan
29
T3
toksikosis),
karena
hormon-hormon
itulah
yang
30
bermanfaat
untuk
mengendalikan
manifestasi
klinis
iodida
inorganik,
preparat
iodinated
31
32
setelah
mengalami
tiroidektomi
pada
penyakit
Graves.
33
anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh
dengan OAT (Shahab, 2002).
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat
jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah
terjadi karena massa yodium dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil,
hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 12 minggu,
dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium
radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau OAT. Respons
terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh
besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis
kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari (Shahab,
2002).
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif
adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh
besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin
tinggi angka kejadian hipotiroidisme (Shahab, 2002).
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat
jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10%
dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek
samping lain yang perlu diwaspadai adalah:
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya
antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH),
dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian
I131
2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya
sangat jarang terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara
mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk
mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT
terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi
jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau
selama 3 sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi
34
tiroid
meliputi
pengobatan
terhadap
dan
kortikosteroid,
menghambat
penyekat
dan
plasmafaresis),
pemberian
normalisasi
35
BAB III
36
KESIMPULAN
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) yang merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai
predisposisi genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita
dibanding pria, terutama pada usia 20 40 tahun.
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal
hipertiroidisme, goiter difus dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua
(>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi
kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea deffort,
tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH.
Bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya
ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) jarang
dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut yang
dapat mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves,
yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dengan Tiroidektomi dan Terapi Yodium
Radioaktif dengan (I131). Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap
hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon
dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat
beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi cairan,
elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.
37
DAFTAR PUSTAKA
Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 265
Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi
1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281
Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H.
Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 2151
Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Graves Disease,
Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 64
Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 598
Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 778
Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa
Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 1058, 1070 1080
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi
Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 18
Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.
Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3,
EGC, Jakarta, 2000: hal 606 630
Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 5
Weetman P. A., Graves Disease. The New England Journal of Medicine.
Massachusetts Medical Society. 2000.