You are on page 1of 4

MORATORIUM IZIN KEHUTANAN

2015
halaman 3

WORKSHOP PENYUSUNAN
PEDOMAN PENATAAN RUANG
BERBASIS PENGURANGAN RISIKO
BENCANA
halaman 4
RESENSI BUKU:

SMART CITY : PENGENALAN DAN


POLICY DIALOGUE DI ASIAN DEVELOPMENT BANK TOKYO .... HAL 2

PENGEMBANGAN
halaman 4

NEWSLETTER

TATA RUANG PERTANAHAN


MEDIA INFORMASI BIDANG TATA RUANG DAN PERTANAHAN

EDISI 5/ MEI 2015

KILAS BALIK: DINAMIKA ISU TATA RUANG DAN PERTANAHAN

Konflik Pembebasan Lahan Proyek Pembangunan

Ilustrasi Rumah Bantaran Kali


Sumber foto: www.merdeka.com

Mei ini ramai diberitakan di media massa


tentang penolakan warga bantaran
kali atas digusurnya rumah mereka,
beberapa diantaranya terjadi di daerah
Pinangsia, Pademangan, dan Jatinegara.
Seperti warga Kelurahan Pinangsia yang
memilih mendirikan tenda di dekat lokasi
rumah mereka yang sudah dirobohkan.
Sekitar warga memilih bertahan di lokasi.
Mereka masih memperjuangkan trase
jalan 5 (lima) meter dari bibir sungai
sehingga bangunan rumah mereka
bisa kembali didirikan. Warga yang
didampingi Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta berpegang teguh pada Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang
sungai. Warga meminta pemerintah
membebaskan lahan 5 (lima) meter dari
bibir sungai supaya bangunan rumah
mereka tidak seluruhnya terpangkas.

Di Kelurahan Ancol, sebagian besar wilayah


yang terkena penertiban hanya selebar
5 (lima) meter dari bibir kali. Menurut
Kepala Suku Dinas Tata Ruang Jakarta
Utara, Monggur Siahaan, perbedaan lebar
lahan yang ditertibkan itu sesuai rencana
sebelumnya. Di wilayah lain, lebar tanah
yang terkena normalisasi kali 35 meter
atau 40 meter karena ada perencanaan
untuk jalur hijau atau jalan umum. Hal itu
diatur dalam tata ruang Jakarta, yaitu Perda
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana
Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
Lain cerita di daerah Bidaracina Kelurahan
Jatinegara, proses pembebasan lahan untuk
proyek Inlet Sodetan Kali Ciliwung masih
berjalan alot, warga menolak lahan rumah
mereka diukur Panitia Pengadaan Tanah
Jakarta Timur.
Kehadiran tim dari Panitia Pengadaan
Tanah (P2T) bersama satpol PP, TNI, dan
kepolisian langsung dihadang warga.
Kedua belah pihak terlibat adu mulut
karena warga menolak luas rumah mereka
diukur sebelum ada kesepakatan harga.
Asisten Pemerintahan Kota Jakarta Timur
Adriansyah
mengatakan,
pengukuran
yang dilaksanakan sebatas trase untuk
mengetahui jumlah RT dan RW yang
terkena proyek Inlet Sodetan Kali Ciliwung.
Setidaknya tempat tinggal 400 keluarga

di Bidara Cina harus dibebaskan untuk


pembangunan
Inlet
Sodetan
Kali
Ciliwung. Diperkirakan arealnya mencapai
3.000 meter persegi. Sejumlah warga
mengatakan, mereka tetap menginginkan
musyawarah kesepakatan harga terlebih
dahulu, kemudian dilanjutkan pengukuran
lahan rumah. Warga khawatir, jika lahan
rumah mereka diukur sekarang, data
kepemilikan lahan dan luasannya akan
digunakan sebagai dasar bagi Pemerintah
Provinsi DKI melaksanakan konsinyasi.
Menanggapi permasalahan warganya,
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama, mempersilakan warga yang
merasa keberatan mengadu ke Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia. Bagi Basuki,
para penghuni lahan negara di atas
saluran dan area terbuka hijau yang
justru melanggar hak warga DKI Jakarta.
Keberadaan bangunan liar mempersempit
saluran, menghambat aliran air, hingga
menyebabkan banjir. Pemerintah daerah
DKI Jakarta tidak bermaksud menggusur
warga dengan rumah kumuh, tetapi
menata agar jangan melanggar aturan.
Warga bantaran kali yang tergusur
dipersilahkan tinggal di rumah susun
yang sewanya lebih murah. [RA]

REDAKSI:
| Penanggung Jawab : Direktur Tata Ruang dan Pertanahan |
| Tim Redaksi : Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan | Editor : Rini Aditya Dewi, Santi Yulianti, Gina Puspitasari | Desain Tata Letak : Rini Aditya Dewi dan Indra Ade |

POTRET KEGIATAN:

Policy Dialogue:
Some Issues on Inclusive Growth in Asia

Rinella Tambunan (kedua dari kanan) selaku Perencana Madya Sekretariat BKPRN menjadi salah
satu peserta policy dialogue di Kantor Asian Development Bank Institute di Tokyo (27/4).
Sumber: Dokumentasi TRP

Penyediaan tanah menjadi faktor penting


dalamTokyo,
pembangunan
infrastruktur
(27/4). Rinella
Tambunan,di
selaku Perencana
Madya Sekretariat
Indonesia.
Dengan kemunculan
konflik
Penataan
Ruang
lahanBadan
yangKoordinasi
menghambat
penyediaan
Nasional (BKPRN) menghadiri policy
tanah,dialogue
membuat yang
ide pembentukan
Bank
diselenggarakan
ADB keInstitute
(ADBI)
Tanaholeh
mencuat
permukaan.
Hal pada
itulah
(27/4)
dengan
tujuan
yang Senin
kemudian
dibahas
dalam
Focusuntuk
Group
meningkatkan pemahaman serta
Discussion
Urbankonsensus
Land Policy,terhadap
yang diadakan
mencapai
isuyang Perumahan
terkait dengan
kebijakan
oleh isu
Direktorat
dan Permukiman
perumahan,PPN/Bappenas,
keuangan inklusif
dan
Kementerian
di Hotel
investasi infrastruktur.
Bertempat di kantor Asian Development Bank Institute (ADBI) Tokyo,
dialog ini diikuti dua belas peserta,
terdiri dari perwakilan Indonesia,
Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Indonesia mengirimkan dua peserta
dari Kementerian PPN/Bappenas
dan Kementerian Perumahan Rakyat;
Peserta Filipina berasal dari Home

Development Mutual Fund, National


Home Mortgage Finance Corporation;
peserta

Thailand

berasal

dari

Government Housing Bank, Kementerian


Keuangan, dan National Housing Authority;
serta peserta Vietnam berasal dari Ministry
of Construction, State Bank of Vietnam, dan
Ministry of Planning and Investment.
Peter J. Morgan, salah satu peneliti ADB yang
menelaah faktor-faktor yang memengaruhi
kemampuan rumah tangga berpendapatan
rendah dan usaha kecil untuk mengakses
layanan
keuangan, merekomendasikan
beberapa kebijakan yang bisa dipakai
pemerintah. Salah satunya adalah tentang
persyaratan dokumentasi identitas penerima
manfaat yang dibuat lebih sederhana dan
pengembangan sistem data penerima
yang
dimanfaatkan
secara
nasional.
Dalam rangka menginisiasi inklusi keuangan,
Indonesia telah memiliki Strategi Nasional
Literasi. Tantangan yang dihadapi dalam
inisiasi tersebut adalah sistem data penerima
manfaat yang masih perlu diverifikasi,
mayoritas pekerja dan usaha mikro bergerak
pada sektor informal, serta perlunya
melengkapi regulasi, di antaranya untuk

pengaturan aliran dana dari pemerintah ke


Ambhara, Jakarta (8/7).
perorangan.
Tema
Housing
Policies
for Emerging
FGD Urban
Land Policy
dilaksanakan
dalam rangka
Asia
disampaikan
oleh Housing
MatthiasPolicy
Helbe.
penyusunan
Roadmap
Reform
Pesatnya laju urbanisasi berimplikasi pada
sebagai
masukan
bagi
penyusunan
RPJMN
peningkatan kebutuhan rumah. Dalam 2015presentasinya,
disinggung
mengenai Pada
2019 Bidang Perumahan
dan Permukiman.
pengurangan
tingkat
Pemilikan
FGD ini turut
hadirbunga
pula Kredit
Direktorat
Tata Ruang
Rumah (KPR). Pada konteks Indonesia,
dan
Pertanahan
Bappenas,
Badan
kebijakan pengurangan tingkat bungaPertanahan
KPR
masih
perlu
dicermati lebih
lanjut Rakyat,
sejauh HUD,
Nasional,
Kementerian
Perumahan
mana
kelayakan implementasinya. Masalah
dan Perumnas.
yang sering dihadapi dalam penyediaan
rumah
di Indonesia
adalah:
Direktur
Perumahan
dani) Keterbatasan
Permukiman, Ir.
lahan; ii) Alih kepemilikan, terutama pada
Nugroho
Tri Utomo,
MRP, mengungkapkan
rumah
masyarakat
berpenghasilan
rendah
(setelah
rumah yang
disubsidi
bahwa mendapatkan
FGD ini dilaksanakan
untuk
menyepakati
atau
perbaikan
rumah).
teknik
penyediaan
tanah yang paling efektif dan
Hasil
penelitian
laindan
yang
disampaikan
menyepakati
model
tahapan
pembentukan
dalam
dialog ini adalah tentang Microbank tanah.

Impact Evaluation of Infrastructure


Projects:
Case Studies
in the
Philippines untuk
Pembentukan
bank tanah
dimaksudkan
and Uzbekistan yang dipaparkan oleh Victor

memperkuat
No. 2 Tahun
2013
tentang
Pontines.
TujuanUU
penelitiannya
adalah
untuk
mengevaluasi
pengaruh
pembangunan untuk
Penyediaan Tanah
Bagi Pembangunan
highway
terhadap
penerimaan
dan bank
kepentingan
umum.
Dengan pajak
adanya
non pajak.
tanah dapat mempercepat proses akuisisi
Penelitian
Filipina dilakukan
terhadap
lahan olehdipemerintah,
khususnya
bagi tanahwilayah
yang
langsung
dilintasi
tanah
terlantar
serta
penyediaan
pembangunan highway (affected) tanah
dan bagi
wilayah sekitar yang berbatasan (non
affected). Berdasarkan hasil penelitian,
pembangunan highway meningkatkan
penerimaan dari pajak bisnis, pajak properti,
dan non pajak, baik bagi wilayah yang
dilintasi maupun wilayah sekitarnya.
Sementara itu dari penelitian di Uzbekistan,
pembangunan jalan kereta api menghasilkan
peningkatan laju pertumbuhan GDP sebesar
2%. Berdasarkan dua studi kasus tersebut,
pembangunan infrastruktur memiliki dampak ekonomi yang sangat luas. [RT,RA]

Seminar Nasional Sinergi Tata Ruang dan Pertanahan


Jakarta, (6/5). Salah satu tindakan
antisipasi akan kebutuhan ruang
yang semakin meningkat karena
penambahan jumlah populasi adalah
pengelolaan ruang dan pemanfaatan
sumber daya alam. Pengelolaan
ruang dan pemanfaatan ini harus
dilaksanakan secara komprehensif
dan terintegrasi dengan hal-hal
yang dituangkan dalam bentuk
penyelenggaraan penataan ruang.
Seminar ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai aspek
hukum tata ruang dan pertanahan
serta sinergi antara tata ruang dan
pertanahan
dalam
pengelolaan
tata guna tanah dan pembangunan
berkelanjutan.
Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) merupakan acuan dalam
pemanfaatan ruang serta dalam
administrasi
pertanahan
dengan
jangka waktu 20 tahun dan dapat
ditinjau kembali satu kali dalam 5
(lima) tahun.
Keterkaitan antara RTRW dengan
penatagunaan tanah adalah penatagunaan tanah merupakan ujung
2 tombak dalam implementasi RTRW

di lapangan yang berisikan pengaturan dan


penyelenggaraan, peruntukan, persediaan
dan penggunaan tanah.
Dalam siklus penyelenggaraan penataan
ruang, penatagunaan tanah ada dalam
siklus pemanfaatan yang digunakan untuk
dasar perijinan sebagai upaya pengendalian
pemanfaatan ruang. Hal ini tertuang dalam
UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 35. Selain itu,
ijin pemanfaatan ruang diberikan atau
dikeluarkan oleh Kepala Daerah.
Ijin pemanfaatan ruang terdiri dari: (i) ijin
prinsip; (ii) ijin lokasi; (iii) ijin penggunaan
pemanfaatan tanah; dan (iv) ijin mendirikan
bangunan. Dengan demikian Kepala Daerah
bertanggungjawab penuh atas pemanfaatan
ruang yang ada di wilayahnya.
Pemberian ijin oleh Kepala Daerah didasarkan
pada rekomendasi yang diberikan oleh Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD)
dan pertimbangan teknis pertanahan dari
BPN (Kanwil/Kantah).
Untuk mendukung ketersediaan tanah bagi
pembangunan kepentingan umum, perlu
dibentuk lembaga penyediaan tanah (bank
tanah) sebagai bagian dari pelaksanaan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum.
Dalam diskusi para peserta menyampaikan
beberapa hal, diantaranya terkait dengan
penilaian ganti rugi, yaitu penilaian yang
digunakan adalah penilaian yang dilakukan
oleh tim penilai independen sesuai
ketentuan dalam Undang-Undang No.2
Tahun 2012, perlunya penyederhanaan
peraturan yang mengatur tentang tanah,
serta kesediaan Kementerian PPN/Bappenas
menjadi saksi ahli terkait permasalahan
yang ada.
kesimpulan akhir dari seminar ini diantaranya
adalah adanya kesepakatan perlunya
pengaturan
mengenai
pemanfaatan
tanah/ruang yang sudah diatur dalam
RTRW yang dalam penyusunannya sudah
mengakomodasi penatagunaan tanah.
RTRW dan penatagunaan tanah ini
merupakan dasar dalam pemberian ijin
oleh Kepala Daerah. Dengan demikian
diharapkan semua pihak memperhatikan
Perda RTRW dalam pengurusan ijin tersebut.
[RN,SY]

MORATORIUM IZIN KEHUTANAN 2015

WAWASAN

Instruksi Presiden No.8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Ilustrasi Hutan Alam


Sumber foto: Dokumentasi Greenpeace

Pada 13 Mei 2015, Presiden Joko Widodo


menandatangani
Instruksi
Presiden
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan
Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut. Kebijakan ini adalah kali kedua
sejak pertama kali diluncurkan pada
2011. Menurut Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Siti Nurbaya, moratorium
ini masih bersifat perpanjangan dari
moratorium
sebelumnya
(Inpres
No.10/2011 dan Inpres No.6/2013).
Secara ringkas, isi kebijakan moratorium
hutan
adalah
bahwa
pemerintah
berkomitmen tidak lagi mengeluarkan
izin baru penebangan hutan alam
primer dan lahan gambut selama masa
pelaksanaan moratorium. Jeda tebang
ini dimaksudkan untuk memberi waktu
bagi pemerintah menata ulang kebijakan
kehutanan
dengan
mengidentifikasi
berapa luas hutan dan lahan gambut yang
harus dilindungi. Selain itu, moratorium
ini sesuai dengan komitmen pemerintah
Indonesia untuk mendukung perbaikan
tata kelola hutan dan janji Indonesia
menurunkan emisi 26 persen pada 2020.
Selama tiga kali sejak moratorium
ditetapkan, kawasan hutan yang harus
dilindungi justru tergerus secara masif.
Hilangnya lahan gambut merupakan
salah satu yang paling mengkhawatirkan.
Dari hasil riset Kemitraan dan Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI), tercatat
lebih dari 914 ribu hektar lahan gambut
di 4 (empat) provinsi telah lenyap.
Area itu hampir seluas Hong Kong.
Sedangkan luas hutan alam primer yang
menghilang mencapai 663 kilometer
persegi atau seluas DKI Jakarta.

Dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2015,


pengecualian bagi permohonan yang telah
mendapatkan izin prinsip. Pengecualian
ini jelas semakin tak menjamin kawasan
hutan yang masuk wilayah moratorium
akan selamat dari proses deforestasi
dan degradasi. Semestinya wilayah
yang baru mendapat izin prinsip dapat
dicegah kerusakannya dengan tidak
mengeluarkan izin produksi. Ini semua
demi memperbaiki tata kelola hutan.
Kemitraan
bersama
WALHI
dan
beberapa pakar kehutanan IPB baru saja
menyelesaikan kajian berjudul Analisis
Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan
Alam Primer dan Lahan Gambut. Kajian
menemukan bahwa Inpres Moratorium
yang dikeluarkan tahun 2011 oleh Presiden
SBY belum efektif dalam mengurangi
kerusakan hutan primer dan lahan gambut.
Kajian ini menyimpulkan:
(1) Sejak keluarnya Inpres No 10/2011
hingga Inpres No 6/2013, areal yang
dimoratorium terus menurun dari waktu
ke waktu. Hasil kajian di 4 (empat) provinsi
(Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan
Kalimantan Tengah) menunjukkan, areal
yang dimoratorium berkurang hingga
968.891 hektar atau sebanding dengan
wilayah Hongkong.
(2) Berdasarkan analisis terhadap Peta
Indikatif Penundaan Pemberian Izin
Baru (PIPPIB) revisi 1 hingga 7, hutan
alam primer dan lahan gambut yang
dimoratorium secara aktual sangat
kecil karena sebagian besar areal yang
dimoratorium justru berada di wilayah yang
tak terancam penerbitan izin baru, seperti
LINK TERKAIT
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan,
Bappenas
Portal Tata Ruang dan Pertanahan
Sekretariat BKPRN

di hutan lindung dan kawasan konservasi.


Di Kalimantan Tengah, misalnya, pada
PIPPIB revisi 5, dari 3.781.090 hektar
yang dimoratorium, 2.976.894 hektar
(79 persen) hutan lindung dan kawasan
konservasi.
(3) Masih ada perbedaan tafsir mengenai
kategori lahan gambut antara pemda
dan unit pelaksana teknis KLHK. Hal ini
mengakibatkan areal yang seharusnya
dimoratorium justru dikeluarkan pada
revisi PIPPIB berikutnya, seperti terjadi
di kabupaten Indragiri Hilir (Riau) dan
kabupaten Pulang Pisau (Kalimantan
Tengah).
(4) Pengurusan izin untuk perhutanan
sosial
(hutan
desa
dan
hutan
kemasyarakatan) menjadi terhambat
karena areal kerja yang diusulkan masuk
wilayah yang dimoratorium. Hal ini
ditemukan di Teluk Meranti, kabupaten
Pelalawan, Riau, dan di kabupaten Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan (Data
Kemitraan dan Walhi, 2015).
Inpres Moratorium yang baru harus
memerintahkan dengan tegas kepada
gubernur dan bupati untuk membangun
basis data transparan tentang semua
perizinan atau titel hak yang telah
diterbitkan dan yang sedang dalam proses
perizinan agar tak terjadi kesimpangsiuran
data perizinan dan alih fungsi hutan di
setiap daerah. [RA]
Sumber:
INPRES NO. 8 TAHUN 2015 TENTANG PENUNDAAN
PEMBERIAN IZIN BARU DAN PENYEMPURNAAN TATA
KELOLA HUTAN ALAM PRIMER DAN LAHAN GAMBUT
KAJIAN WALHI Analisis Kebijakan Inpres No.8 Tahun 2015

Potret Kegiatan TRP


Policy Dialogue: Some Issues on Inclusive
Growth in Asia
Seminar Nasional Sinergi Tata Ruang dan
Pertanahan
3
Workshop Penyusunan Pedoman Penataan
Ruang Berbasis PRB

Workshop Penyusunan Pedoman Penataan Ruang


The Awesome and Advanced Indonesia
Berbasis
Pengurangan Risiko Bencana
pemerintah dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap kehidupan dan
penghidupan masyarakat serta berpihak pada
upaya pelestarian lingkungan hidup.
Selanjutnya hasil kegiatan integrasi ini
akan diujicobakan pada lokasi pilot project
yang memiliki indeks kerentanan terhadap
bencana yang tinggi.
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, Oswar
Mungkasa, (kedua dari kanan) menjadi salah satu pembicara.
Sumber: Dokumentasi TRP

Bandung, (18/5). Rencana tata ruang saat ini


tidak hanya membutuhkan data lokasi rawan
bencana, tetapi juga perlu memasukkan
kajian risiko bencana untuk mengidentifikasi
kerawanan, tingkat ancaman, tingkat
kerentanan dan tingkat kapasitas di suatu
wilayah. Oleh karenanya, memasukkan
upaya pengurangan risiko bencana kedalam
penataan ruang harus menjadi prioritas

Pedoman yang diintegrasikan antara lain (1)


Draf Standar Penataan Ruang di Kawasan
Rawan Bencana/Pedoman Penataan Ruang
Berbasis Mitigasi Bencana; (2) Draf Pedoman
Penyediaan Ruang Evakuasi Bencana; (3) Draf
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan
Banjir; dan (4) Materi Teknis Revisi Pedoman
Penyusunan RTR berdasarkan Perspektif
Pengurangan Risiko Bencana.

Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan


Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif
Pengurangan Risiko Bencana dapat digunakan
sebagai salah satu masukan bagi revisi standar
atau pedoman penataan ruang yang berbasis
pengurangan risiko bencana.
Agenda kegiatan dilaksanakan dalam 2
(dua) hari didahului paparan dari Direktur
Pengurangan Risiko Bencana, BNPB, Liliek
Kurniawan; dan Direktur Tata Ruang dan
Pertanahan Bappenas, Oswar Mungkasa.
Berbagai
masukan
dan
saran
akan
ditindaklanjuti oleh Pihak SCDRR Phase II
menjadi satu pedoman terintegrasi terkait
penataan ruang berbasis pengurangan risiko
bencana. [SY]

yang didukung oleh Safer


Communities Disaster Risk ReductionUnited Nation Development Programme
(SCDRR-UNDP) Phase II ini bertujuan agar
Kegiatan

RESENSI BUKU:

SMART CITY, Pengenalan dan Pengembangan


Sejak 2008, tercatat 50% penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan. Angka tersebut akan
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kemudahan yang dapat diperoleh oleh
penduduk yang tinggal di wilayah kota. Hal ini tentunya menimbulkan banyak permasalahan
seiring bertambahnya jumlah penduduk. Sebut saja di antaranya kemacetan yang telah
menjadi gejala umum di kota-kota besar di Indonesia, dan permasalahan drainase yang
kurang baik berakibat banjir tiap musim
hujan. Pelayanan pendidikan, kesehatan,
bahkan kependudukan pun masih belum
memadai.
Untuk menjawab pertanyaan ini,
lahirlah konsep Smart City. Konsep ini
menawarkan alternatif solusi, utamanya
bagi kota besar yang telah mengalami
gejala kelebihan penduduk.
Dengan
memperkuat
teknologi
informasi, kebijakan, dan masyarakat
yang berada di dalam wilayah suatu
kota, diperoleh inovasi yang dapat
menjadi solusi jangka panjang bagi suatu
kota. Dengan demikian, pembangunan
dan pengembangan suatu kota dapat
diarahkan menjadi suatu kota yang bersifat
berkesinambungan (sustainable) dan juga

ramah lingkungan (green).


Melalui buku ini disampaikan
beberapa konsep layanan dalam suatu
Smart City yang dapat menjadi solusi dan
inspirasi bagi pengembangan suatu kota
yang berwawasan jangka panjang.
Smart City adalah kota yang cergas
(cerdas dan gegas). Cerdas dalam
bertindak dan segera mengekseskusi
hingga suatu permasalahan terselesaikan
dengan baik.
Dalam perkembangannya beberapa
kota telah mencoba dan menerapkan
konsep Smart City, antara lain Amsterdam,
Viena, Barcelona, Lyon, Seoul, Bengalore,
Kyoto, Song Do, dan lainnya. [RA]

SMART CITY, Pengenalan dan


Pengembangan

Penyusun: Prof. Dr. Suhono H.


Supangkat, dkk
Penerbit : LPIK ITB dan SII Smart City

Initiatives Forum

Jumlah halaman: 142

Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi kami:


DIREKTORAT TATA RUANG DAN
PERTANAHAN,
BAPPENAS
Jalan Taman Suropati No. 2A
Gedung Madiun Lt. 3

Judul Buku:

T : 021 392 7412


F : 021 392 6601
E : trp@bappenas.go.id
W: www.trp.or.id
Portal : www.tataruangpertanahan.com

You might also like