You are on page 1of 9

JOURNAL READING

DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF CELLULLITIS


Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Tentara Dr. Soedjono Magelang

Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Susilowati, Sp. KK

Disusun Oleh :
Twinda Rarasati

1410221021

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
Rumah Sakit Tentara Dr. Soedjono Magelang
Periode 20 April 22 Mei 2015

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

Journal dengan judul :

DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF CELLULLITIS


Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Tentara Dr. Soedjono Magelang

Disusun Oleh:
Twinda Rarasati

1410221021

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing

dr. Susilowati, Sp.KK

Tanda Tangan

.......................

Tanggal

.............................

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN SELULITIS


Selulitis adalah inflamasi piogenik akut dan menyebar dari dermis bagian bawah dan
berhubungan dengan jaringan subkutan. Selulitis merupakan infeksi kulit dan jaringan lunak
yang menyebabkan morbiditas yang tinggi dan tanggungan biaya yang berat pada penyedia
jasa kesehatan diseluruh dunia. Selulitis ditangani oleh beberapa spesialis klinis termasuk
dokter umum, dokter bedah dan dokter kulit. Kami menilai beberapa bukti terakhir dari
diagnosis dan penatalaksanaan selulitis.
Seberapa luas masalah ini?
Pada tahun 2008-9, terdapat 82113 pasien yang masuk ke rumah sakit di Inggris dan Wales,
dengan rata-rata lama rawat selama 7,2 hari; diperkirakan 133m (170m;$209m) habis
untuk perawatan itu sendiri. Selulitis dihitung sebagai 1,6% dari kasus gawat darurat selama
tahun 2008-9.
Di Australia, pasien yang masuk ke rumah sakit karena selulitis meningkat hingga 11,5 orang
per 10.000 (2001-2) dengan rata-rata lama rawat selama 5,9 hari. Di Amerika lebih dari
600.000 perawatan di rumah sakit tercatat pada tahun 2010, menggambarkan 3,7% dari
semua kasus gawat darurat. Secara keseluruhan, sebanyak 14,2 juta warga Amerika
mengunjungi rawat jalan dan layanan gawat darurat dengan infeksi kulit dan jaringan lunak
pada tahun 2005, peningkatan dari 321 hingga 481 kunjungan per 100.000 (50% peningkatan;
P= 0,003) sejak tahun 1997. Lebih dari 95% perubahan ini disebabkan oleh abses dan
selulitis. Kunjungan rumah sakit untuk abses dan selulitis telah meningkat dari 173 hingga
325 per 1000 populasi (88% peningkatan; P < 0,001).
Apa penyebab selulitis?
Selulitis disebabkan oleh berbagai macam organisme (lihat tabel 1). Mayoritas kasus
disebabkan oleh Streptococcus pyogenes atau Staphylococcus aureus. Sebuah penelitian
laboratorium prospektif dan retrospektif menunjukkan bahwa S aureus dihitung sebagai 51%
seluruh aspirasi dan kultur biopsi positif untuk selulitis dan Streptococcus dihitung sebagai
27%.
Sebuah penelitian prospektif menunjukkan bahwa mayoritas infeksi S aureus di Amerika
sekarang resisten terhadap meticillin; diantara 389 isolasi kultur darah dari S aureus,
sebanyak 63% (244) diantaranya CA-MRSA.

Sebuah penelitian multisentral di 11 rumah sakit Amerika melaporkan prevalensi dari MRSA
memiliki rentang dari 15% hingga 74% (59% keseluruhan). Sebuah laporan terbaru
menyatakan adanya peningkatan laju CA-MRSA di Eropa.
Siapa yang dapat terkena selulitis?
Tidak terdapat hubungan antara usia atau jenis kelamin yang sudah ditetapkan. Namun,
sebuah penelitian retrospektif kasus kontrol terdiri atas 150 pasien dengan selulitis dan 300
kontrol menemukan bahwa orang berkulit putih memiliki resiko yang lebih tinggi. Konsumsi
alkohol dan merokok telah disangkal sebagai faktor resiko pada penelitian kasus kontrol.
Faktor resiko yang sudah teridentifikasi dijabarkan pada kotak 1. Faktor resiko umum
sistemik termasuk insufisiensi vena, dianggap sebagai yang paling sering; limfoedema,
termasuk dalam baik faktor predisposisi maupun komplikasi dari selulitis; penyakit vaskular
perifer; diabetes melitus; dan obesitas. Faktor lokal termasuk tinea pedis, ulkus, trauma dan
gigitan serangga.
Kotak 1. Faktor Resiko Predisposisi untuk Selulitis Tungkai Bawah
Umum
Tidak dapat dimodifikasikehamilan; ras kulit putih
Dapat dimodifikasiinsufisiensi vena; linfoedema; penyakit arteri perifer; imunosupresi;
diabetes
Lokal
Tidak dapat dimodifikasitrauma; gigitan serangga dan binatang; tato
Dapat dimodifikasiulkus; eksema; kaki atlet (tinea pedis); luka bakar

Dapatkan selulitis dicegah pada orang-orang yang beresiko?


Selain penatalaksanaan limfoedema, tidak terdapat bukti yang cukup untuk mendukung
penatalaksanaan aktif faktor resiko lain termasuk diabetes melitis, penyakit vaskular perifer
dan tinea pedis.
Pada limfoedema, terapi limfatik dekongestif, terdiri atas manipulasi sistem limfatik lewat
pijatan, telah dihubungkan dengan penurunan rekurensi selulitis. Dalam penelitian prospektif
dari 299 orang yang menjalani terapi limfatik dekongestif, terdapat penurunan insidens
infeksi selulitis dari 1,10 menjadi 0,65 infeksi per orang per tahun.

Bagaimana cara mendiagnosis selulitis?


Diagnosis Klinis
Selulitis umumnya mempengaruhi ekstremitas bawah dan seringkali muncul sebagai bagian
kulit yang akut, terdapat nyeri tekan, eritematosa dan bengkak. Pada kasus yang berat, blister,
ulkus, edema, limfangitis dan limfadenopati dapat terjadi. Gejala konstitusional termasuk
demam dan malaise. Pada stadium lanjut, gejala sepsis termasuk hipotensi dan takikardi juga
dapat terjadi. Kondisi lain dapat mirip seperti selulitis. Beberapa diagnosis diferensial (lihat
tabel 2), terutama pada tungkai bawah dapat muncul dengan tanda dan gejala yang sama.
Pada sebuah penelitian prospektif dari 145 pasien, sebanyak 28% pasien mengalami salah
diagnosis dengan selulitis tungkai bawah. Diagnosis yang seringkali salah dan dianggap
sebagai selulitis adalah dermatitis statis (vena) (37%).
Melihat potensi terjadinya diagnosis yang tidak tepat pada observasi klinis sendiri,
pemeriksaan lebih lanjut kadang dibutuhkan untuk membantu menegakkan atau mencoret
diagnosis tersebut.
Pemeriksaan Darah
Pada penelitian prospektif dari 150 pasien yang masuk ke departemen gawat darurat yang
diperiksa feasibilitasnya menggunakan kadar protein C reaktif dan jumlah sel darah putih
sebagai indikator infeksi bakteri termasuk selulitis, jumlah sel darah putih memiliki spesifitas
sebesar 84,5% dan sensitivitas sebesar 43,0% dan kadar protein C reaktif memiliki
sensitivitas sebesar 67,1% dan spesifitas 94,8% (prediksi nilai positif 94,6% dan prediksi
nilai negatif 67,9%). Peningkatan kadar protein C reaktif adalah indikator yang lebih baik
dari infeksi bakteri dibandingkan dengan peningkatan jumlah sel darah putih, namun kadar
normal dari protein C reaktif tidak dapat menyingkirkan infeksi. Pemeriksaan darah tidak
dinilai berguna secara klinis untuk diagnosis.
Mikrobiologi
Penelitian prospektif telah menunjukkan laju positif asli dari kultur darah pada pasien yang
dicurigai selulitis adalah antara 2-4%. Pada penelitian retrospektif terhadap 757 pasien yang
masuk ke sentra medika dnegan selulitis, kultur darah dilakukan pada 533 pasien (73%)
hanya 11 (2%) yang positif. Delapan dari 11 pasien dengan kultur darah positif mendapat
perubahan terapi dari terapi empiris dengan cefazolin menjadi penisilin. Lebih lanjut, seluruh
pasien dalam penelitian tersebut, termasuk pasien dengan toksisitas sistemik, sembuh, dengan
atau tanpa diambil kultur darah. Biaya untuk kultur darah negatif adalah $34.950 (22.225;

28.560) dan biaya untuk 11 kultur positif adalah $1100, dengan total $36.050. Penulis
menyimpulkan bahwa kultur darah tidak efektif baik secara klinis maupun biaya. Panduan
nasional termasuk Northern Irelan Clinical Resource Efficiency Support Team (CREST) 2005
panduan penatalaksanaan selulitis pada orang dewasa, merekomendasikan mengambil kultur
darah hanya pada pasien yang memiliki gejala sistemik signifikan termasuk pireksia (>38C).
Pada penelitian prospektif terhadap 50 pasien dengan selulitis, kultur dari biopsi kulit dan
aspirasi menujukkan hasil positif asli pada 20% dan 10% secara berurutan. Panduan CREST
menyarankan penggunaan biopsi kulit dan aspirasi hanya pada pasien-pasien tertentu, dimana
diagnosis selulitis masih meragukan.
Dalam hal apusan luka, sebuah penelitian prospektif multisentral dari Perancis yang
menganalisa sampel apusan luka dari 241 pasien dengan selulitis tungkai bawah
mengidentifikasi sebanyak 183 (85,5%) dengan hasil kultur positif; S aureus

dan

Streptococcus adalah mikroorganisme yang paling sering diisolasi (56% dan 21% secara
berurutan). Sensitifitas apusan menunjukkan resistensi terhadap antibiotik empiris yang
awalnya digunakan, menyebabkan perubahan dalam penggunaan antibiotik. Panduan CREST
menyarankan penggunaan apusan luka pada selulitis dengan luka terbuka.
Imaji
Teknik imaji berguna ketika ada kecurigaan terhadap abses yang berhubungan dengan
selulitis, fasciitis yang nekrosis atau ketika diagnosis selulitis belum pasti. Dalam penelitian
retrospektif terhadap 542 pasien departemen gawat darurat yang diagnosis klinis selulitisnya
masih diragukan, sebanyak 109 (17%) pasien ditemukan memiliki trombosis vena dalam
pada ultrasound Doppler.
Pada penelitian observasi prospektif terhadap 216 pasien dewasa di departemen gawat darurat
dengan diagnosis klinis selulitis tungkai bawah, scan USG merubah penatalaksanaan pada 71
pasien (56%) akibat kebutuhan drainase terhadap abses. Pada grup pre-test yang dipercaya
tidak memerlukan drainase abses, USG menyebabkan perubahan penatalaksanaan pada 32
dari 44 pasien (73%), termasuk 16 pasien yang tidak memerlukan drainase. Pada grup pretest juga dipercaya tidak memerlukan drainase lebih lanjut, USG merubah penatalaksanaan
39 dari 82 (48%) pasien dengan 33 pasien menjalani drainase dan 6 membutuhkan imagi
diagnosis lebih lanjut. Maka, USG digunakan sebagai panduan penatalaksanaan selulitis
dengan mendeteksi adanya abses yang tersembunyi, pencegahan prosedur invasif dan
memberikan panduan untuk imaji lebih lanjut atau konsultasi.

Pemeriksaan imaji lainnya, seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat berguna pada
pasien dengan diagnosis selulitis yang tidak terlalu jelas atau dengan adanya kecurigaan
fasciitis nekrotik. Menurut panduan CREST, dokter harus waspada terhadap kemungkinan
terjadinya fascitis nekrotik jika terdapat edema yang besar, nekrosis kulit, krepitasi, paraestesi
dengan peningkatan jumlah sel darah putih lebih dari 14 x 10 9/L, dan pada pasien dengan
hemodinamik yang stabil, hasil MRI menjamin. Pada penelitian prospektif terhadap 36 pasien
dengan diagnosis klinis selulitis infektif akut, semuanya menjalani bedah debridemen. Hasil
MRI yang jelas ditemukan pada pasien dengan infeksi jaringan lunak dengan nekrosis,
termasuk hyper-attenuating pada gambaran T2-weighted pada fascia bagian dalam dan
gambaran yang kurang jelas pada area sinyal hyper-intense pada gambaran T2-weighted di
dalam otot. Pada selulitis abnormalitas intensitas sinyal hanya terdapat pada lemak subkutan.
Apa pengobatan untuk selulitis?
Penatalaksanaan umum termasuk istirahat, elevasi tungkai yang terkena dan analgetik. Area
yang terkena selulitis sebaiknya ditandai dan dilihat setiap hari perbaikan dan perburukannya
untuk menilai kemanjuran regimen antibiotik.
Namun, masih ada keraguan mengenai pilihan antibiotik yang optimal, durasi dan cara
pemberian terapi antibiotik, dan penggunaan kortikosteroid. Sebuah tinjauan Cochrane
terbaru tidak dapat memberikan kesimpulan yang definitif terhadap penggunaan antibiotik
yang optimal, durasi atau cara pemberian dari analisa sebanyak 25 percobaan acak terkontrol,
sebagaimana tidak ada dua percobaan yang telah membandingkan antibiotik yang sama.
Kesimpulan dari antibiotik utama yang saat ini direkomendasikan di panduan nasional
Amerika dan Inggris, serta pada penelitian prospektif yang besar, disediakan pada tabel 1.
Panduan CREST masih merekomendasikan amoksisilin atau flucloxacillin pada kasus
mayoritas yang disebabkan oleh S aureus, Streptococcus, atau ketika organismenya belum
diidentifikasi, namun klinisi harus mempertimbangkan terjadinya CA-MRSA. Panduan
nasional Infectious Disease Society of America tahun 2011 telah merekomendasi pasien
dengan selulitis bernanah sebaiknya diobati menggunakan antibiotik yang memiliki target
CA- MRSA.
Kemanjuran obat lain terhadap CA-MRSA telah dipelajari. Kumpulan penelitian retrospektif
telah menunjukkan bahwa doksisiklin atau minosiklin efektif pada 95% (n=276) dengan CAMRSA. Clindamycin juga memiliki efek terapetik dengan kepekaan pada isolasi sebesar
93%. Namun, kejadian resistensi umum terjadi dan karena biasanya dihubungkan dengan
kasus Clostridium difficile, penggunaan clindamycin harus dihentikan bila ada diare. Pada

pasien dengan selulitis berat membutuhkan perawatan rumah sakit, linezoid dan vancomycin
dinyatakan manjur.
Kapan seseorang perlu mendapatkan antibiotik intravena?
Tinjauan Cohrane tahun 2010 juga menyatakan tentang perlunya evaluasi lebih lanjut dari
antibiotik oral versus antibiotik intravena serta kemanjuran pada pasien rawat jalan dengan
terapi antibiotik parenteral (OPAT).
Pada penelitian prospektif terhadap 205 pasien dewasa di rumah sakit Scottish dengan
diagnosis selulitis yang dikumpulkan secara konsekutif, sebnayak 43% menjalani pengobatan
yang berlebihan menurut panduan CREST. Penelitian tersebut menyarankan bahwa
seharusnya pasien-pasien tersebut dirawat menggunakan antibiotik oral. Panduan CREST
menentukan cara pemberian obat berdasarkan sistem klasifikasi klinis Eron, melihat
pertimbangan kemungkinan toksisitas sistemik dan komorbiditas.
Klasifikasi Eron vs. Klasifikasi Dundee
Klasifikasi Eron adalah klasifikasi berdasarkan opini dari ahli dan merupakan klasifikasi
yang paling sering digunakan untuk diagnosis dan penatalaksanaan selulitis. Klasifikasi eron
dijabarkan pada tabel 3.
Namun, kriteria baru seperti klasifikasi Dundee tahun 2011 juga dapat digunakansebuah
perbandingan antara keduanya dijabarkan di tabel 4. Tujuh puluh persen pasien, berdasarkan
rekomendasi Eron, dirawat inap dengan antibiotik intravena memenuhi kriteria untuk
penanganan rawat jalan berdasarkan kriteria Dundee.Validasi lebih lanjut dari kriteria Dundee
dibutuhkan.
Terapi Antibiotik Parenteral Pada Pasien Rawat Jalan
Sebuah penelitian prospektif pada 344 episode pengobatan dengan OPAT di Inggris
menunjukkan bahwa 87% pasien sembuh dan laju kekambuhan sebesar 6,3% dan kepuasan
pasien sangat tinggi. OPAT menghabiskan sebesar 41% biaya rawat inap ketika dihitung
menggunakan ukuran biaya konservatif. Penulis penelitian menyimpulkan bahwa klinisi
sebaiknya menggunakan OPAT ketika tersedia, hal ini didukung oleh panduan CREST.
Kapan sebaiknya antibiotik intravena diganti dengan antibiotik oral?

Panduan CREST menyarankan indikasi untuk pemberian antibiotik oral lanjutan adalah
apireksia (<37,8C) selama 48 jam, adanya perbaikan pada selulitis dari area yang ditandai
(pada penilaian harian), dan adanya penurunan kadar protein C reaktif.
Kapan perlu meminta konsul?
Panduan CREST dan NHS Clinical Knowledge Summaries menyarankan apabila terdapat
keraguan dalam mendiagnosis, gejala dan tanda yang tidak khas atau tidak ada perbaikan
dalam tanda dan gejala klinis setelah 48 jam, konsul kepada dokter kulit atau ahli
mikrobiologi atau keduanya diperlukan.
Dapatkan kekambuhan dicegah?
Beberapa penelitian prospektif dan retrospektif menemukan bahwa banyak penderita selulitis
mengalami episode berulang, terutama mereka dengan faktor predisposisi yang tidak diobati.
Salah satu penelitian retrospektif melaporkan sebanyak 47% mengalami kekambuhan dari
kumpulan 171 pasien yang telah menderita satu episode sebelumnya.
Antibiotik Profilaksis
Percobaan The Dermatology Clinical Trials Network PATCH II (antibiotik profilaksis untuk
penatalaksanaan selulitis dirumah II) adalah percobaan yang besar, multisentral dan
dilakukan secara acak di Inggris yang menilai kemanjuran 6 bulan profilaksis penisilin dalam
usaha penurunan kekambuhan. Total 123 partisipan dipilih secara acak, dirawat
menggunakan penisilin (n=60) versus plasebo (n=63); tingkat kekambuhan 20% dan 33%
berurutan (hazard ratio 0,53, confidence interval 95% 0,26 1,07, p=0,08) dengan tidak ada
perbedaan pada angka efek samping antara kedua grup. Penulis penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa tidak ada hasil signifikan secara statistik yang terlihat pada penurunan
tingkat selulitis dengan profilaksis penisilin V, namun terdapat hasil yang menjanjikan dan
profilaksis jangka panjang (untuk 1 tahun) mungkin dibutuhkan. Percobaan PATCH I, yang
menilai satu tahun profilaksis penisilin V masih dalam proses. Panduan CREST menyarankan
antibiotik profilaksis dengan penisilin V atau eritromisin selama 1 hingga 2 tahun pada pasien
dengan dua atau lebih episode selulitis sebelumnya.

You might also like