You are on page 1of 37

Dinas

DRAFT Perhubungan
NASKAH Provinsi Jawa Barat
AKADEMIK
PERATURAN
Februari DAERAH
2010 PROVINSI JAWA
BARAT TENTANG PENYELENGGARAAN
PERHUBUNGAN
(BIDANG TRANSPORTASI DARAT)
Pengantar
Keberadaan naskah akademik penyusunan
peraturan daerah tidak diatur secara resmi
dalam peraturan perundangan yang ada di
Indonesia seperti pada Undang-undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, secara
eksplisit tidak mengatur mengenai Naskah
Akademik sebelum penyusunan suatu
peraturan perundang-undangan, yang disebutkan dalam Undang-Undang
tersebut adalah mengenai keterlibatan pihak lain di luar lembaga legislatif
dan eksekutif dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan,
yang dalam hal ini disebut dengan partisipasi masyarakat. Pasal 53
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan :
”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis
dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-
undang atau rancangan peraturan daerah.”
Sebagai bahan “acuan” kepentingan penyusunan naskah akademik ini
dapat mengacu pada Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.

Di dalam Pasal 5 ayat 1 Perpres Nomor 68 Tahun 2005 disebutkan bahwa


:
”Pemrakarsa dalam menyusun rancangan undang-undang dapat
terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang
akan diatur dalam rancangan undang-undang”
Dalam Peraturan Presiden ini juda jelas menyatakan bahwa keberadaan
naskah akademik adalah “dapat” yang berarti bahwa boleh ada dan boleh
tidak ada atau dengan kata lain, tidak diwajibkan.

Kemudian pada ayat 2 Perpres Nomor 68 Tahun 2005 disebutkan :


”Penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen
yang tugas dan tanggungjawabnya dibidang peraturan perundang-
undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan
tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk
itu.”

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Dalam proses penyusunan rancangan peraturan daerah, keberadaan
naskah akademik ini sering dipertanyakan dan dipandang perlu untuk
menentukan arahan pelaksanaan peraturan yang akan ditetapkan atau
akan disepakati bersama. Adapun definisi dan isi naskah akademik ini
disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68
Tahun 2005 sebagai berikut :
”Naskah Akademik adalah naskah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang
berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin
diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan
rancangan undang-undang.”

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah menetapkan


petunjuk naskah akademis dengan surat keputusan Nomor G-
159.PR.09.10 tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah
Akademik Peraturan Perundang-undangan. Disebutkan format susunan
naskah akademik sebagai berikut :
Bagian pertama : laporan hasil pengkajian dan penelitian rangcangan
yang diusulkan dengan memuat :
a. Pendahuluan, berisi latar belakang, tujuan dan kegunaan yang ingin
dicapai, metode pendekatan dan pengorganisasian ;
b. Ruang lingkup berisi ketentuan umum dan materi ;
c. Kesimpulan dan saran.
Bagian kedua : konsep awal rancangan yang terdiri dari pasal-pasal yang
diusulkan, terdiri dari :
a. Konsideran ;
b. Alas/ dasar hokum ;
c. Ketentuan umum ;
d. Rincian materi ;
e. Ketentuan pidana ;
f. Ketentuan peralihan.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 2


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Daftar Isi

Pengantar i
Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Tujuan dan Sasaran 2
3. Ruang Lingkup 2
4. Jangkauan Objek 3
5. Arah Pengaturan 3

BAB II KAJIAN TEORITIS 1


1. Perencanaan Transportasi 1
2. Manajemen Transportasi 2
3. Pengendalian Transportasi 2

BAB III KAJIAN


LEGALITAS 1
1. Perencanaan Transportasi 1
2. Manajemen Transportasi 2
3. Pengendalian Transportasi 2

BAB IV

SUBSTANSI PERATURAN DAERAH 1


1. Perencanaan Transportasi 1
2. Manajemen Transportasi 2
3. Pengendalian Transportasi 2

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 1


1. Perencanaan Transportasi 1
2. Manajemen Transportasi 2

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Di satu sisi, transportasi dipandang sebagai urat nadi perekonomian,
keberadaannya disebut-sebut berperan penting dalam pencapaian
tujuan pembangunan. Sementara di sisi lain, transportasi dipandang
hanya sebagai kebutuhan turunan (bukan kebutuhan utama) sehingga
keberadaannya tidak dipandang sebagai suatu hal yang penting.

Perbedaan cara pandang ini mengakibatkan transportasi dalam kondisi


yang “abu-abu”, seperti penting tapi tidak penting, seperti tidak
penting tapi ternyata penting juga. Arahan pengembangan transportasi
kelihatan seperti tidak konsisten dan kurang jelas prioritasnya, pabila
dikatakan bahwa arah pengembangan transportasi adalah angkutan
umum (massal), dalam kenyataannya kepemilikan kendaraan pribadi
terus meningkat dan belum terlihat upaya nyata untuk mengarahkan
pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum. Jika dikatakan bahwa
prioritas pengembangan moda adalah kereta api pada kenyataannya
sejauh ini belum ada penambahan jalur (track) kereta api, malahan
banyak jalur-jalur kereta api yang sejak lama ada digunakan untuk
kepentingan yang bukan seharusnya. Penanganan masalah
transportasi sepertinya dihadapkan pada permasalahan yang rumit
dan tidak berkesudahan karena memang sangat berkaitan dengan
masalah social, kesadaran manusia (masyarakat dan pemimpinnya),
dan kemauan semua pihak untuk bahu membahu “meminimalisir
kerusakan” yang telah ditimbulkan bersama. Dikatakan meminimalisir
kerusakan karena kelihatannya kesemrawutan transportasi telah
mencapai kondisi yang memprihatinkan dengan banyaknya kajian
yang menyatakan tingginya biaya kemacetan lalulintas, polusi udara,
kebisingan lingkungan dan lain-lain yang konon khabarnya disebabkan
sektor tranportasi. Sementara transportasi sendiri tidak bisa disalahkan
sendirian karena menurut peneliitan, kesemrawutan transportasi
sangat berkaitan dengan perencanaan kota (ketidaksesuaian tata guna
lahan), kesadaran masyarakat dan lemahnya penegakan hukum (law
enforcement), bahkan ada pepatah yang menyatakan bahwa

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
“kesadaran hukum di suatu Negara dapat dilihat pada prilaku
masyarakatnya ketika di jalan”.

Transportasi darat sebagai matra yang paling dominan (karena diatas


90% perjalanan manusia dilakukan dengan moda darat ) memiliki
permasalahan yang paling kompleks bila dibandingkan dengan moda
lainnya. Bercampur baurnya kepentingan di jalan mengakibatkan jalan,
terminal, trotoar, shelter dll bukan hanya menjadi media transportasi,
tetapi kadang bisa berubah menjadi tempat bertemunya pedagang dan
pembeli (pasar), tempat mengamen, tempat mengambil pungutan dan
lain-lain. Dengan sendirinya pengaturan yang ditetapkan berkaitan
dengan penggunaan jalan pada khususnya dan transportasi darat pada
umumnya sangat potensial untuk bersinggungan dengan banyak
kepentingan. Ditambah dengan banyaknya instansi yang berwenang
dalam penyelenggaraan transportasi darat baik yang resmi (instansi
pemerintah) maupun tidak resmi (organisasi kemasyarakatan) pada
gilirannya akan memaksakan semua pihak untuk sangat berhati-hati
pada saat merancang aturan yang berhubungan dengan transportasi
darat.

2. Tujuan dan Sasaran


Tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah untuk menentukan
arah kebijakan sector transportasi, sedangkan sasarannya adalah
mengarahkan optimasi sector transportasi darat yang sesuai dengan
arah pembangunan jawa barat yang telah dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jawa Barat yaitu menuju penggunaan angkutan missal
terutama pada pusat-pusat kegiatan di Jawa Barat.

3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup bahasan naskah akademik yang selanjutnya akan
dituangkan dalam peraturan daerah tentang penyelenggaraan
perhubungan adalah :
• Perencanaan transportasi darat, meliputi : perencanaan
(kebutuhan) jaringan dan simpul, kebutuhan angkutan ;
• Manajemen dan operasional transportasi darat, meliputi aturan
yang bersifat pengarahan atau pembatasan;
• Pengendalian penyelenggaraan transportasi darat;

1. Jangkauan Objek
Peraturan Penyelenggaraan Perhubungan tidak hanya mengikat pada
hal-hal yang menjadi tugas pokok dan fungsi Dinas Perhubungan tetapi

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 2


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
semua yang berkaitan dengan penyelenggaraan perhubungan. Dalam
hal penyelenggaraan transportasi darat, peraturan daerah harus dapat
diacu oleh instansi lain seperti Kepolisian Daerah Jawa Barat, Dina Tata
Kota, Bina Marga, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas
Pariwisata dan lainnya sepanjang urusan yang ditangani adalah bidang
transportasi darat.

2. Arah pengaturan.
Arah pengaturan transportasi darat adalah untuk mewujudkan system
transportasi jawa barat yang mendukung arah pembangunan jawa
barat. Berdasar pola fikir ini, jelas bahwa posisi transportasi adalah
pendukung pembangungan sehingga kebijakan transportasi yang
dituangkan dalam peraturan daerah harus sejalan dengan arah
pengembangan pembangunan jawa barat.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 2


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
BAB II KAJIAN TEORITIS
1. Permasalahan Perencanaan Transportasi
Merencanakan atau tidak merencanakan system transportasi untuk
kondisi Jawa Barat saat ini rasanya tidak memberikan perbedaan yang
berarti karena kota-kota di Jawa Barat sudah “terlanjur berkembang”
seiring dengan pesatnya perkembangan penduduk yang berimplikasi
langsung pada kebutuhannya untuk mendapatkan sarana dan
prasarana transportasi.

Perencanaan transportasi seperti halnya perencanaan infrastruktur lain


seperti saluran air, telepon, listrik dan lain-lain tidak dapat dipisahkan
dengan perencanaan kota. Pergeseran fungsi kota dan pengaturan tata
guna lahan akan berdampak langsung pada keteraturan atau
kesemrawutan system transportasi. Sayangnya, pengaturan tata guna
lahan di Jawa Barat seperti halnya provinsi lain di Indonesia adalah
bukan hal yang mudah untuk dilakukan mengingat kepemilikan lahan
tidak berada dalam kewenangan Negara seperti yang terjadi di
Vietnam, Thailand atau Singapura yang mampu menata kota dengan
demikian baiknya.

Sebagai gambaran perencanaan kota di Jawa Barat, dapat


digambarkan kondisi di Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa
Barat :
Berdasarkan Master Plan kota Bandung 1971, maka kota Bandung
dikembangkan dengan fungsi kota sebagai : Pusat pemerintahan,
pusat pendidikan tinggi, pusat perdagangan, pusat industri, pusat
kebudayaan dan pariwisata. Dalam RIK Bandung 2005, fungsi-fungsi
tersebut ditetapkan kembali sebagai fungsi kota Bandung dan hal
tersebut memberikan peluang yang luas bagi pertumbuhan dan
perkembangan kota Bandung dan selanjutnya timbul masalah-masalah
perkotaan seperti masalah transportasi, urbanisasi yang tinggi,
disparitas kepadatan penduduk, terpusatnya kegiatan komersial pada
satu kawasan, dsb. Berdasarkan permasalahan tersebut, ditetapkan
kebijakan pemindahan sebagian fungsi kegiatan kota Bandung dalam
RIK Bandung 2005, diantaranya adalah fungsi primer yang bersifat
mengganggu dan polutan (industri dasar, perdagangan grosir,
pergudangan, dsb.) akan dipindahkan ke Jl.Soekarno-Hatta dan fungsi
sekunder berupa aktivitas perguruan tinggi swasta serta kegiatan
Pemda Kabupaten Bandung. Namun kebijakan tersebut belum dapat
dilaksanakan sepenuhnya yang terlihat dari masuknya aktivitas
industri ke wilayah perluasan kodya Bandung, meluasnya aktivitas
perdagangan ke jalan-jalan utama, pusat-pusat sekunder yang belum

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
berkembang dan semakin banyak perguruan tinggi swasta yang
memperbesar skala kegiatannya di kota Bandung.
Di wilayah pusat kota lama yang termasuk dalam wilayah
pengembangan (WP) Cibeunying terjadi juga perubahan guna lahan
dari rencana semula yang contohnya dapat dilihat pada tabel 1 di
bawah ini :

Tabel 1 :
Contoh perubahan guna lahan di wilayah pengembangan Cibeunying

Tahun
Peruntukan
Lokasi Perubahan dalam Pemanfaatan Perubah
Rencana an

Jl.Lembong,Braga-Sumur Bandung Perumahan Perkantoran 1996

Jl.Ir.H.Juanda,Tamansari-Bandung Wetan Perhotelan Pertokoan 1996

Jl.Cikutra 03/02, Sukapada-Cibeunying Perumahan Pendidikan 1996


Kidul Tinggi

Jl.Ir.JuandaTamansari-Bandung Wetan Perhotelan Pertokoan 1997

Jl.RE.Martadinata 7, Tamansari-bandung Perumahan Kantor Swasta 1997


Wetan

Jl.Kanayakan Baru 06/08,dago-Coblong Perumahan Pendidikan 1997


Tinggi

Jl.Diponegoro, Citarum – Bandung Wetan Perkantoran Pendidikan 1997

Jl.Cikutra, Neglasari – Cibeunying Kaler Perumahan Pendidikan 1998

Jl.Cihampelas 02/07, Cipaganti – Perumahan Kantor Swasta 1998


Coblong

Jl.Komplek Istana dago, 06/09 Dago – Perumahan Pertokoan 1998


Coblong

Sumber : Rejeki, N.T. (1999)

Pada koridor jalan Sudirman-Asia Afrika-A.Yani, akibat perkembangan


lahan di sisi kiri dan kanan sepanjang koridor jalan utama tersebut,
telah mengakibatkan tingginya lalu lintas atau pergerakan lokal
sehingga menurunkan dan menyalahi fungsi jalan tersebut.
Perbandingan pergerakan lokal dan menerus akibat perkembangan

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
lahan di sisi kiri dan kanan koridor jalan utama tersebut selama periode
1990-1995 dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2: Proporsi Lalu Lintas Lokal akibat Perkembangan Lahan

Prosentase
Prosentase Proporsi Lalu
Guna Pertambah
Nama Perkembangan Lintas Lokal &
Lahan an Lalu
Jalan (Menerus)
Guna Lahan Utama Lintas 1995
Lokal
Sudirma 9,86 % Perkantora 5% 34,74%
n n (65,26%)
Asia 27,88 % Perkantora 7,2 % 28,6% (71,4%)
Afrika n
Ahmad 42,17 % Bank 8,7 % 30,23%
Yani (69,77%)
Sumber : Hadi, GK, 1995

Perkembangan lanjut dari pusat-pusat kesempatan kerja baru terlihat


dengan menjamurnya kawasan perumahan skala besar yang dibangun
sejak awal 1980-an yakni dalam bentuk beberapa pusat distrik dan
lingkungan. Selain bekerjanya daya tolak kawasan pusat, pertumbuhan
kawasan perumahan ini juga dipengaruhi oleh kebijaksanaan
pembiayaan pembangunan perumahan lewat fasilitas kredit
perbankan. Pada awal tahun 1990-an pusat-pusat perkembangan
semakin mantap bersama-sama dengan perkembangan beberapa
pusat sekunder di kawasan pinggiran dalam, misalnya pusat sekunder
Maskumambang, Setrasari dan pusat Buahbatu, yang terakhir ini tidak
direncanakan sebelumnya. Di sepanjang jalan Soekarno Hatta
kemudian bermunculan kegiatan perdagangan dan jasa berskala besar,
menengah dan kecil serta beberapa kampus pendidikan tinggi
(Bappeda,1998).

Parengkuan (1991) menyatakan masalah ketersediaan lahan semakin


parah dengan adanya kasus-kasus seperti lahan-lahan yang semula
telah dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu dalam rencana kota,
pada saat akan diimplementasikan sering telah digunakan oleh jenis
kegiatan lainnya. Perubahan guna lahan mudah saja terjadi yang
kemudian disahkan pada evaluasi rencana berikutnya (Winarso, 1995).
Keadaan ini tentu tidak benar, bahkan sering pula menyulut ketidak
puasan masyarakat karena perubahan yang terjadi tidak sesuai
dengan rencana yang telah diketahui masyarakat. Perubahan juga
mempunyai dampak yang besar terhadap pengeluaran publik,
terutama jika perubahan itu untuk guna lahan yang lebih komersial

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
seperti pusat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran dan lain
sebagainya.

Perkembangan guna lahan di Kota Bandung telah mengarah pada


terjadinya polisentrisitas tetapi karena perkembangan guna lahan
kurang dapat dikendalikan maka perjalanan ke pusat kota lama masih
tetap tinggi dan juga variabel aksesibilitas ke tempat kerja tidak
menjadi pertimbangan utama dalam memilih tempat tinggal sehingga
menimbulkan in-efisiensi dalam perjalanan kota khususnya perjalanan
komuter. Akibat kurangnya pengendalian tersebut maka perubahan
guna lahan khususnya yang terjadi di pusat kota lama sudah tidak
sesuai dengan rencana tata guna lahan yang telah ditetapkan, yang
mengakibatkan daya dukung prasarana tidak mencukupi. Untuk
mengatasi hal tersebut Pemerintah Daerah telah membangun
prasarana khususnya jalan, yang justru makin merangsang tidak
terkendalinya perkembangan dan perubahan guna lahan dari rencana
yang telah ditetapkan, khususnya yang terjadi di pusat kota.

Dari gambaran dan analisis data di atas maka masalah yang terjadi di
Kota Bandung dan arahan penanganannya dapat dilihat pada gambar 1
di bawah ini :

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 2


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Masalah

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Kondisi
Keinginan
Kebijakan
Optimasi
Menurunnya
Keinginan
Perilaku tata
transportasi
PembangunanPemerintah
pelakuguna lahan
kinerja : di :bidang tata
terjadi
dari
guna polisentrisitas
in-efisiensi
meningkatkan
perjalanan
fungsi
pemilihan
Prasarana
lahan Jalan dalam pergerakan
jalan
lokasi
Mengefisiensikan
perubahan pergerakan
khususnya
pertumbuhan guna lahan yang
ekonomi komuter
pergerakan
pergerakan
dan
pesat di sepanjang
biaya
ke pusatjalan
kotaarteri
lama masih
dan kesempatan kerja.
prasarana
tinggi karena
perubahan ketergantungan
guna lahan tidak pada
pusat
sesuaikota lamarencana
dengan masih tinggi.
bangkitan
semula perjalanan tinggi terutama
pada jalan-jalan utama dan telah
menyebabkan turunnya fungsi jalan
utama tersebut.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Arahan Penanganan Masalah :

Gambar 1 : Masalah dan Arahan Penanganannya

1. Manajemen Transportasi Darat


Setidaknya ada dua hal menjadi titik perhatian dalam penyelenggaraan
transportasi darat yaitu :
• Manajemen Lalulintas
• Manajemen Angkutan Umum

Sesuai prinsip manajemen yaitu mengoptimalisasikan sumber daya


yang ada, maka penyediaan infrastruktur transportasi juga
menyesuaikan sumber daya yang tersedia misalnya kondisi jaringan
jalan, kemampuan anggaran pemerintah dan sumber daya manusia
yang dimilikinya.

Manajemen angkutan umum saat ini tengah menjadi perhatian


nasional, bukan hanya di Jawa Barat. Permasalahan transportasi
berupa kemacetan, kesemrawutan, polusi udara dan suara serta
pemborosan energy sebagai masalah yang timbul karena semakin
tingginya mobilitas penduduk diyakini dapat diselesaikan dengan
manajemen angkutan umum yaitu dengan penyelenggaraan angkutan
massal.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 3


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Sampai saat ini sebenarnya belum ada satu penelitian pun yang dapat
membuktikan bahwa angkutan umum lebih baik daripada angkutan
pribadi. Keterbatasan aksesibilitas, waktu pelayanan dan keterbatasan
pola perjalanan menjadikan angkutan umum sulit dibandingkan
realibilitasnya dengan kendaraan pribadi. Negara besar seperti
Amerika malah menetapkan kebijakan fully motorized city untuk kota-
kota besarnya.

Negara-negara yang menetapkan kebijakan prioritas angkutan umum


seperti Inggris dan Singapura dengan jelas menetapkan aturan
pembatasan kendaraan pribadi dengan ketat. Indonesia sendiri yang
dihadapkan pada masalah kemacetan lalulintas berkepanjangan
menetapkan kebijakan prioritas angkutan massal tetapi belum
merencanakannya dengan matang terbukti dengan belum tegasnya
pembatasan kendaraan pribadi dan minimnya penggunaan anggaran
untuk pembangunan infrastruktur transportasi public.

Mau tidak mau, arahan kebijakan sudah ditetapkan dan harus


didukung oleh semua elemen apabila semua pihak berkeinginan agar
program tersebut tercapai. Setiap program yang dipercaya produktif
untuk mendukung pengembangan angkutan umum (massal) harus
didukung seperti penyediaan lajur khusus bus, reaktivasi jalur kereta
api, atau pernyiapan subsidi bagi angkutan perintis. Disisi lain,
program yang bersifat kontra produktif sedapat mungkin dibatasi
seperti kenyamanan penggunaan kendaraan pribadi yang dibatasi
dengan batasan wilayah operasi yang tidak boleh masuk kota,
peningkatan biaya operasional kendaraan pribadi dengan menaikan
harga bahan bakar kendaraan pribadi atau pembatasan ruang parkir
dan lain-lain.

1. Pengendalian Penyelenggaraan Transportasi

Prinsip pengendalian adalah membatasi penggunaan atau prilaku yang


diperkirakan akan membawa dampak kurang baik apabila dibiarkan
berlanjut. Mengendalikan dan tidak mengendalikan adalah pilihan yang
sama rumit dan masing-masing membawa konsekwensi yang mau
tidak mau ditanggung bersama. Seperti halnya laju pertumbuhan
pendudukan saat ini yang tidak dikendalikan seiring dengan
berhentinya program keluarga berencana juga dapat dijadikan bahan
perbandingan apakah pemerintah daerah perlu atau tidak perlu
mengendalikan penyelenggaraan transportasi darat.

Sepertinya yang telah dan sedang dilakukan pemerintah dalam


penyelenggaraan transportasi darat ini adalah mengendalikan
angkutan penumpang dan membebaskan angkutan barang. Angkutan
penumpang “dikendalikan” dengan adanya mekanisme perijinan yang
pada awalnya dimaksudkan untuk mengendalikan jumlah angkutan

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 3


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
umum yang beroperasi di jalan. Angkutan barang dibebaskan sesuai
mekanisme pasar dan bebas beoperasi sepanjang jalan yang dilewati
sesuai dengan kelas jalannya.

2. Perijinan transportasi darat.


Pada hakikatnya, perijinan adalah fungsi pengendalian. Pengendalian
agar terjadi keseimbangan antara permintaan dan penawaran,
pengendalian agar terpenuhi standar pelayananan, dan pengendalian
agar tarif terjaga sesuai daya beli masyarakat.
Dalam kenyataannya, saat ini fungsi perijinan banyak bergeser dari
fungsi pengendalian ke fungsi pengumpulan pendapatan asli daerah
dengan adanya peluang bagi daerah untuk mendapatkan penghasilan
dari retribusi daerah. Definisi retribusi daerah itu sendiri sudah “bias”
yang pada awalnya hanya dapat dikenakan pada penyediaan fasilitas
yang dinikmati public menjadi tarif yang dikenakan ketika
mendapatkan pelayanan. Jelas sangat berbeda karena pada konsep
pertama, pemrakarsa menyediakan fasilitas terlebih dahulu sedangkan
pada pemikiran kedua adalah berupa pengumpulan dana masyarakat
untuk kenikmatan yang belum tentu diperolehnya.

3. Pembiayaan.

Suatu negara bisa mengenakan besaran pajak di atas atau di bawah


pengeluaran untuk jalannya. Perbandingan antara pajak jalan dan
pengeluaran negara untuk sektor jalan di beberapa negara maju
diperlihatkan dalam tabel 1. Hal ini bisa dikaitkan dengan tujuan-tujuan
negara yang lebih luas. Kebanyakan negara maju justru mengenakan
pajak di atas kebutuhan pengeluaran untuk jalannya, kecuali negara
negara yang mengutamakan kendaraan pribadi (Amerika), produsen
mobil terbesar (Jepang) serta negara wisata (Austria). Hubungan
antara pajak kendaraan dengan pengeluaran untuk sektor jalan bisa
berbeda di tiap-tiap negara. Pada negara maju dengan alasan
transparansi dan akuntabilitas hubungan antara pajak jalan dengan
pengeluaran sektor jalan sangat jelas bahkan ada yang sudah dikelola
secara terpiah dalam skema yang disebut road fund. Inggris telah
menerapkan skema ini pada tahun 1930-an hingga dilakukannya
penghapusannya tahun 1937 (Sutomo,2003).

Tabel 3. Perbandingan antara pajak jalan terhadap pengeluaran untruk


sektor jalan

Negara Pajak jalan sbg % pengeluaran


jalan
Belanda 434
Inggris 335
Selandia Baru 235
Swedia 230
Denmark 214
Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1
tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Jerman 148
Australia 113
Swis 107
Austria 80
Jepang 80
Amerika 63
Sumber Button, 1993

Dalam memperkirakan besarnya kebutuhan untuk penyelenggaraan


jalan juga tidaklah mudah, terutama di negara berkembang dimana
kebutuhan jalan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakatnya
tidak selalu memadai karena terbatasnya perencanaan yang memadai.
Lebih jauh lagi di Indonesia di mana perbedaan tingkat perkembangan
antar wilayahnya sangat besar. Perkiraan kebutuhan biaya
pengembangan jalan dan opsi-opsi memenuhinya diperlihatkan dalam
gambar 2.

7.0
District
Share of
RDC
6.0
PKB District District
(RDC) Share of Roads
5.0 RDC & Funded
RUC from from RDC
District National & RUC
District
Rp Trillion p.a.

Road Revenues
Roads Share of
Fund Allocated
4.0 RUC Through
Provincial
Funds

3.0

Fuel
2.0 Levy/ Provincial
Provincial PBBKB Share of RDC Provincial
Share of National &
Roads (RUC) & RUC from
Provincial
National Road RDC
Roads
Fund
1.0 Funded
from RDC
National
National National & RUC
Share of
Share of Revenues
Roads RUC
RUC
0.0
Funding Needs Fund Sources Option 1 Option 2 Option 3
National Fund Funds at Each Provincial Funds
Level

Gambar 2 Opsi Implementasi Road Fund


Sumber: Technical Assistance for Ascertaining the Appropriateness fo Establishing a Road Fund in
Indonesia, Dit.Jen. Prasarana Wilayah, 2001, hal. 47

Indonesia masih menganut penggunaan PKB untuk berbagai keperluan


pembangunan (multi purpose) di sisi lain pengeluaran untuk sektor
jalan juga dicarikan dari berbagai sumber termasuk bantuan luar
negeri. Kelemahan sistem ini adalah tiadanya transparansi dan
akuntabilitas penggunaan uang publik dari sektor transportasi jalan
dalam rangka memenuhi kenutuhan pengembangan sektor ini. Banyak
negara telah menerapkan “earmarking” (mengarahkan penggunaan
pendapatan PKB untuk pengembangan sistem transprtasi jalan) atau
bahkan telah mengelola secara tersendiri pendapatan dari pajak jalan
Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1
tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
ini guna keperluan sektor jalan. Adanya hubungan ini akan membuat
pengelolaan dan pengembangan sektor transportasi jalan lebih terarah
dan terkendali. Lebih jauh sistem ini akan memungkinkan lebih
transparan dalam penetapan pajak kendaraan yang lebih rasional.
Untuk lebih jelasnya lihat gambar 3.

Other Better Roads and


Roads Other Programs
Programs Better
Lower Roads
User and
Costs
Lower User Costs

More Accountable Funds for Road


More
Road Accountable
Agency Development
Road Agency

Government Road Fund Government


Budget Road
(usually for Fund
maintenance) Budget
(usually for maintenance)

General Revenues General


General
Tax from Road General
Tax
Tax
Revenues User Tax
Revenues
Revenues Charges Revenues

Alternative
Present
Arrangements
Arrangements
Involving a Road Fund

Gambar 3 . Konsep Road fund


Sumber: Dit.Jen. Prasarana Wilayah, 2001, hal. 2

Dinas Pekerjaan Umum telah mengupayakan dana reservasi jalan dan


sayangnya aturan mengenai pengelolaan sector transportasi ini belum
diatur dengan jelas seperti halnya anggaran pendidikan yang telah
ditetapkan sebesar 20% dari anggaran pemerintah.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 2


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
BAB III KAJIAN LEGALITAS

1. Hierarki Perundangan
Jenis dan Hierarki peraturan perundangan menurut pasal 7 Undang-
undang RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut :

• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
• Peraturan Pemerintah;
• Peraturan Presiden;
• Peraturan Daerah.

Sesuai dengan hierarki ini, maka peraturan yang dijadikan dasar bagi
penyusunan peraturan daerah bidang transportasi darat adalah :
• Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia ;
• Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan ;
• Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah ;
• Undang-undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ;
• Undang-undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ;
• Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan
Angkutan Jalan ;

Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 belum dilengkapi dengan


peraturan pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaanya. Beberapa
peraturan pemerintah yang masih diacu dalam penyelenggaraan
transportasi darat adalah merupakan petunjuk pelaksanaan undang-
undang yang ada sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun
1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan yang pada masanya
sempat ditangguhkan karena “kontroversi” besaran sanksi yang
dianggap terlalu berat bagi masyarakat, peraturan pemerintah
dimaksud adalah sebagai berikut :
• Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan
Jalan ;
• Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor di Jalan ;
• Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan
Lalulintas Jalan;
• Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan
dan Pengemudi;
Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1
tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Perhatian akan hierarki peraturan perundangan ini penting mengingat
menurut informasi dari media cetak (pikiran rakyat), terhitung 10
Desember 2008, pemerintah pusat membatalkan 2.398 peraturan
daerah (perda) mengenai pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
Pemerintah juga membatalkan 267 rancangan peraturan daerah
(raperda) yang diajukan. Jawa Barat termasuk daerah yang perda-nya
banyak dibatalkan. Menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
Depkeu Mardiasmo, ribuan perda dan raperda mengenai PDRD
tersebut dibatalkan pemerintah pusat karena dinilai tidak sinergis
dengan aturan di pusat, malah pungutan-pungutan yang diambil oleh
daerah cenderung menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost
economy).Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tersebut
juga menyebutkan beberapa sector yang Perda PDRD-nya dibatalkan,
seperti sektor perhubungan (15%), pertanian (13%), industry dan
perdagangan (13%), lalu kehutanan (11%). Sementara untuk tingkat
provinsi, yang paling banyak dibatalkan perda-nya antara lain Jawa
Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi
Selatan.

Sekalipun tidak disebutkan dalam hierarki peraturan perundangan,


namun ada aturan antara peraturan pemerintah dengan peraturan
yang ditetapka di daerah yaitu keputusan menteri atau peraturan
menteri dan dalam pelaksanaannya diacu dalam operasional
penyelenggaraan transportasi darat diantaranya :
• Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 5 Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraaan Bermotor di
Jalan ;
• Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 3 Tahun 1994
tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan;
• Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 31 Tahun 1995
tentang Terminal Transportasi Jalan;
• Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 65 Tahun 1993
tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalulintas dan Angkutan
Jalan;
• Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 35 Tahun 2003
tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan
Kendaraan Umum;
• Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 14 Tahun 2006
tentang Manajemen dan Rekayasa Lalulintas di Jalan.

Tabel 4. Inventarisasi Ketentuan dalam Hal Penyediaan Angkutan Umum


beserta Masalah yang Dihadapi

No Ketentuan/ Dasar Dapat Kendala / masalah yang dihadapi


Jenis Hukum dilaksanakan
Pengendalian ?

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Ya Tidak

1 2 3 4 5 6

1 Pengaturan UU 14/1992 V • minimnya anggaran


Jaringan Trayek Pemerintah untuk
yang efisien PP41/1993 menyediakan pelayanan
tranportasi yang memadai
• Perusahaan kecil dengan
manajemen “warung kopi”
• Terlalu banyak kendaraan
kecil
• Persaingan Operator angkutan
yang tidak sehat
• Premanisme, dengan adanya
penguasa jalur
2 Efisiensi Jumlah PP 41/1993 ps V • Perijinan trayek “dikuasai”
armada dalam 28 ayat (1) dealer, dan operator terlilit
Penambahan dan (2) setoran bank
armada • Perusahaan kecil dengan
(Kuantitas) manajemen “warung kopi”
• Terlalu banyak kendaraan
kecil
• Persaingan Operator angkutan
yang tidak sehat
• Premanisme, dengan adanya
penguasa jalur
3 Evaluasi PP 41/1993 ps V V • Keterbatasan anggaran
kebutuhan 28 ayat (3) • Perbedaan jangka waktu
penambahan pelaksanaan yaitu pada PP
jumlah kendaraan KM 35/2003 ps 41/1993 ps 28 ayat (3)
7 menyebutkan bahwa evaluasi
dilakukan oleh Menteri
Perda 21/2001 sekurangnya 6 bulan sekali,
ps 18 KM 35/2003 ps 7 oleh
Gubernur dan dalam Perda
21/2001 dilaksanakan
selambat-lambatnya 5 tahun
sekali
4 Tarif UU 14/1992 ps V • Sistem operasi yang tidak
42 efisien dengan sistem setoran
tanpa mempertimbangkan
PP 41/1993 ps load faktor, frekwensi
43 pelayanan
• Tidak ada deskriminasi
harga/tarif waktu sibuk dan
tidak sibuk
• Persaingan Operator angkutan
yang tidak sehat
• Premanisme, dengan adanya
penguasa jalur
5 Standar PP 41/1993 ps • Perusahaan kecil dengan
pelayanan 8,51 manajemen “warung kopi”
(kualitas • kurang efektifnya peran
pelayanan) pengujian

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
7 Wajib Angkut UU 14/1992 ps V Kesadaran operator kurang, hanya
Penumpang 43 melihat keuntungan saja

8 Karcis UU 14/1992 ps V Perusahaan kecil dengan manajemen


43 “warung kopi”

9 Laporan PP 41/1993 ps V Perusahaan kecil dengan manajemen


Kepengusahaan 22 “warung kopi”

& kegiatan PP 41/1993 ps


operasional 31

Sumber : Study Evaluasi dan Penetapan Jaringan Trayek Angkutan Orang di Jawa
Barat, 2006

Dilihat dari urusan yang dihadapi, aturan perundangan akan


“bermasalah” ketika aturan tersebut mulai mengatur kepentingan
orang lain, sebagai contoh untuk permasalahan pada table diatas, sulit
diaplikasikan ketika ada kepentingan pengusaha angkutan umum yang
bermain di dalamnya. Sementara aturan-aturan yang mengikat
kedalam seperti keputusan menteri perhubungan tentang rambu dan
marka jalan tidak menghadapi masalah yang berarti karena
pemerintah yang menetapkan aturan dan pemerintah sendiri yang
melaksanakannya.

1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah
Peraturan Daerah diatur pada Pasal 136 sebagai berikut :
(1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat
persetujuan bersama DPRD.
(2)Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing
daerah.
(4)Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
(5) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah
diundangkan dalam lembaran daerah.

Pada Pasal 137 dijelaskan bahwa :


Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1
tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

Hak masyarakt dalam penyusunan Peraturan Daerah diatur pada Pasal


139 ayat (1) sebagai berikut :
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis
dalam rangka
penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan


Angkutan Jalan
Undang-undang ini adalah rujukan utama dalam penyusunan peraturan
daerah tentang penyelenggaraan perhubungan. Undang-undang ini
juga merupakan undang-undang pengganti atas undang-undang yang
ada sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang
Lalulintas dan angkutan Jalan. Pada saat awal proses penyusunannya,
undang-undang nomor 22 Tahun 2009 diharapkan member nafas baru
dalam penyelenggaraan perhubungan seperti pengembalian tugas
pokok dan fungsi masing-masing seperti penyelenggaraan surat ijin
mengemudi oleh instansi perhubungan namun dalam kenyataannya
hal tersebut tidak dapat dilaksanakan. Pada dasarnya tidak ada
perbedaan yang mencolok antara undang-undang Nomor 14 Tahun
1992 dengan Undang-undang nomor 22 tahun 2009, upaya
penyempurnaan undang-undang terlihat pada pembagian kewenangan
yang semakin jelas antara kepolisian, perhubungan, perdagangan dan
perindustrian serta instansi yang membidangi jalan. Pembagian
kewenangan tersebut disesuaikan dengan nafas otonomi daerah dan
“disempurnakan” dengan adanya kewajiban koordinasi antar instansi.

Ruang lingkup pengaturan dalam Undang – undang Nomor 22 Tahun


2009 ini dijelaskan pada Pasal 4 sebagai berikut :
Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar
melalui:
a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di
Jalan;
b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas
pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi
Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas,
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Pembinaan diatur pada Pasal 5 sebagai berikut :
(1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dan pembinaannya dilaksanakan olehPemerintah.
(2) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. pengendalian; dan
d. pengawasan.
(3) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya yang meliputi:
a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian
negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan;
c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang
bertanggung jawab di bidang industri;
d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang
bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi
Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum,
Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia.

Pada pasal 6 disebutkan urusan pemerintah provinsi sebagai berikut :


Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya
melampaui batas wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada
perusahaan angkutan umum di provinsi; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
provinsi.

Undang – undang ini secara tersurat pada pasal 13 mengamanatkan


pembentukan forum penanganan transportasi darat yang diketuai oleh
gubernur dan beranggotakan dinas terkait seperti dinas perhubungan,
dinas perindustrian dan perdagangan, dinas pekerjaan umum, badan
perencanaan daerah dan kepolisian.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 3


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
(1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi.
(2) Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh forum Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
(3) Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas melakukan
koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan
keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(4) Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsure pembina,
penyelenggara, akademisi, dan masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

Dana Preservasi Jalan diatur pada Pasal 29 sebagai berikut :


(1) Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus
dipertahankan.
(2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.
(3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan
pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.
(4) Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan
pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pengelolaan dana Preservasi jalan ini diatur pada pasal berikutnya oleh
menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan.

Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas diatur pada Pasal 93 sebagai


berikut :
(1) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk
mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu
Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan,
Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan
lajur atau jalur atau jalan khusus;
b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan
Kaki;
c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat;
d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas
berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas;
e. pemaduan berbagai moda angkutan;
f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan;

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 3


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau
h. perlindungan terhadap lingkungan.
(3) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi kegiatan:
a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. perekayasaan;
d. pemberdayaan; dan
e. pengawasan.

Perincian mengenai kegiatan manajemen dan rekayasa lalulintas Pasal


94 sebagai berikut :
(1) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93
ayat (3) huruf a meliputi:
a. identifikasi masalah Lalu Lintas;
b. inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas;
c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan
barang;
d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung
jalan;
e. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau dayatampung
Kendaraan;
f. inventarisasi dan analisis angka pelanggaran dan Kecelakaan
Lalu Lintas;
g. inventarisasi dan analisis dampak Lalu Lintas;
h. penetapan tingkat pelayanan; dan
i. penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan
jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas.
(2) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat
(3) huruf b meliputi:
a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan
Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu; dan
b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan
kebijakan yang telah ditetapkan.
(3) Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93
ayat (3) huruf c meliputi:
a. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan serta
perlengkapan Jalan yang tidak berkaitan langsung dengan
Pengguna Jalan;
b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan
perlengkapan Jalan yang berkaitan langsung dengan
Pengguna Jalan; dan
c. optimalisasi operasional rekayasa Lalu Lintas dalam rangka
meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan efektivitas
penegakan hukum.
(4) Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93
ayat (3) huruf d meliputi pemberian:
a. arahan;

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 3


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
b. bimbingan;
c. penyuluhan;
d. pelatihan; dan
e. bantuan teknis.
(5) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93
ayat (3) huruf e meliputi:
a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan;
b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan
c. tindakan penegakan hukum.

Analisis Dampak Lalu Lintas diatur pada Pasal 99 sebagai berikut :


(1) Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan
infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan,
Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.
(2) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya
pengembangan;
c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan
dampak;
d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau
pembangun dalam penanganan dampak; dan
e. rencana pemantauan dan evaluasi.
(3) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk
mendapatkan izin Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
menurut peraturan perundang-undangan.

Tanggung jawab dan Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum diatur


pada Pasal 138 sebagai berikut :
(1) Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi
kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan
terjangkau.
(2) Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan
Kendaraan Bermotor Umum.

Sedangkan pada Pasal 139 disebutkan sebagai berikut :


(1) Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk
jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi
serta lintas batas negara.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 3


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
(2) Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya
angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang
antarkota dalam provinsi.
(3) Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya
angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang
dalam wilayah kabupaten/kota.
(4) Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum
lain sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.

Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum


dalam trayek diatur pada pasal 142 yaitu terdiri atas:
a. angkutan lintas batas negara;
b. angkutan antarkota antarprovinsi;
c. angkutan antarkota dalam provinsi;
d. angkutan perkotaan; atau
e. angkutan perdesaan.

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak


dalam trayek diatur pada pasal 151 yaitu terdiri atas:
a. angkutan orang dengan menggunakan taksi;
b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;
c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan
d. angkutan orang di kawasan tertentu.

Pasal 157
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan
Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri
yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.

Angkutan Massal diatur pada Pasal 158 sebagai berikut :


(1) Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis
Jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan
Kendaraan Bermotor Umum di kawasan perkotaan.
(2) Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didukung dengan:
a. mobil bus yang berkapasitas angkut massal;
b. lajur khusus;
c. trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan
trayek angkutan massal; dan
d. angkutan pengumpan.

Peraturan lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 159 sebagai berikut :


Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan missal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158 diatur dengan peraturan Menteri yang

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 3


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.

Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum diatur pada


pasal 160 sebagai berikut :
Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas:
a. angkutan barang umum; dan
b. angkutan barang khusus.

Kemudian pada Pasal 161 disebutkan persyaratan Pengangkutan


barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a sebagai
berikut:
a. prasarana Jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas Jalan;
b. tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk memuat
dan membongkar barang; dan
c. menggunakan mobil barang.

Perizinan Angkutan diatur pada Pasal 173 sebagai berikut :


(1) Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan
orang dan/atau barang wajib memiliki:
a. izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek;
b. izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek;
dan/atau
c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat
berat.
(2) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku untuk:
a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans;
atau
b. pengangkutan jenazah.

Mekanisme perizinan diatur pada Pasal 174 sebagai berikut :


(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa
dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat
keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada
1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan.

Tanggung jawab penyelenggara angkutan umum diatur pada Pasal


197 ayat (1) sebagai berikut :

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 2


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan
wajib:
a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum
untuk mendapatkan pelayanan;
b. memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum
dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan
permintaan angkutan umum; dan
c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan
orang dan barang.

Arah pengembangan jasa angkutan umum diatur pada Pasal 198


sebagai berikut :
(1) Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa
yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan
yang sehat.
(2) Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang
sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah harus:
a. menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar;
b. menetapkan standar pelayanan minimal;
c. menetapkan kriteria persaingan yang sehat;
d. mendorong terciptanya pasar; dan
e. mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa
angkutan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan
persaingan yang sehat diatur dengan peraturan pemerintah.

Penyidikan di bidang lalulintas dan angkutan jalan diatur pada Pasal


259 sebagai berikut:
(1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dilakukan oleh:
a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus menurut Undang-Undang ini.
(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas:
a. Penyidik; dan
b. Penyidik Pembantu.

Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur pada Pasal 262


sebagai berikut :
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis
dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya
memerlukan keahlian dan peralatan khusus;

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 2


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
b. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan
orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum;
c. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau
dimensi Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang
dipasang secara tetap;
d. melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan Bermotor
yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;
e. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan
Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas
pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian
Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau
f. melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin
penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c
dengan membuat dan menandatangani berita acara
pemeriksaan.
(2) Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Terminal dan/atau
tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap.

1. Undang – undang nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan

Hal yang perlu diperhatikan dari undang- undang ini adalah hak dan
kewajiban masyarakat yang disebutkan pada Pasal 62 sebagai
berikut :

(1) Masyarakat berhak:


a. memberi masukan kepada penyelenggara jalan dalam rangka
pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan;
b. berperan serta dalam penyelengaraan jalan;
c. memperoleh manfaat atas penyelenggaraan jalan sesuai
dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan;
d. memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan jalan;
e. memperoleh ganti kerugian yang layak akibat kesalahan dalam
pembangunan jalan; dan
f. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian
akibat pembangunan jalan.
(2) Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban dalam
pemanfaatan fungsi jalan.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
peraturan pemerintah.

2. Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian


Negara Republik Indonesia

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 3


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Undang- undang tentang Kepolisian ini dipandang perlu untuk dibahas
tersendiri karena pada Pasal 13 disebutkan bahwa :

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. menegakkan hukum; dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada


masyarakat.

Kemudian pada Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa :

Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,


Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli


terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,


ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

Pada Pasal 18 undang-undang Kepolisian dalam kondisi tertentu, Kepolisian


mempunyai kewenangan mutlak untuk mengatur sesuai penilaian sendiri :

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia


dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Urusan pemerintah daerah provinsi untuk bidang perhubungan darat
sesuai peraturan ini adalah sebagai berikut :
• Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan
provinsi;
• Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan
selain ntuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional dan jalan provinsi.
• Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe B.
• Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe B.
• Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe B.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 3


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
• Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk
angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi wilayah kabupaten/kota
dalam satu provinsi.
• Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan provinsi.
• Pemberian izin trayek angkutan antar kota dalam provinsi.
• Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan
jalan provinsi.
• Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya
melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
• Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan
taksi yang
• wilayah pelayanannya melebihi kebutuhan kabupaten/kota dalam satu
provinsi.
• Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk
pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat
pelayanan tinggi/wilayah operasinya melebihi wilayah kabupaten/kota
dalam satu provinsi.
• Pemberian izin operasi angkutan sewa.
• Pemberian rekomendasi izin operasi angkutan pariwisata.
• Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi antar kota dalam provinsi.
• Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan
penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu
lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas
pendukung di jalan provinsi.
• Pengoperasian dan pemeliharaan unit penimbangan kendaraan bermotor.
• Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan provinsi.
• Penyelenggaraan andalalin di jalan provinsi.
• Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas
di jalan provinsi.
• Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang
mengakibatkan
• korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu provinsi.
• Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.
• Pemberian izin operasi angkutan sewa berdasarkan kuota yang ditetapkan
pemerintah.
• Pengoperasian alat penimbang kendaraan bermotor di jalan.
• Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan
provinsi.
• Pelaksanaan penyidikan pelanggaran: Perda Provinsi tentang LLAJ,
pemenuhan persyaratan teknik dan laik jalan, pelanggaran ketentuan
pengujian berkala, perijinan angkutan umum ;
• Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di
wilayah provinsi.

1. Pengendalian dan Penegakan Hukum Peraturan Daerah

Penegakan hukum di bidang lalulintas dan angkutan jalan adalah


kewenangan kepolisian RI dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh
penyidik pegawai negeri sipil sesuai bidangnya yang dalam hal ini
adalah PPNS perhubungan. Selain itu, penegakan hukum peraturan
daerah dilakukan oleh polisi pamong praja.
Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1
tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi
Pamong Praja yang pada pasal 1 menyebutkan bahwa :

Ayat 8) :
Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP,
adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Ayat 9):
Polisi Pamong Praja adalah anggota Satpol PP sebagai aparat
pemerintah daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 3


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
BAB IV. SUBSTANSI PERATURAN
DAERAH
Seperti halnya produk hukum lainnya, peraturan daerah menganut azas
kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat,
kesesuaian antara isi dan materi muatan, dapat dilaksanakan,
kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan
(pasal 5 Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan). Selain itu, peraturan juga selayaknya
memperhatikan kewenangan dan aspirasi dari para pihak yang
berkepentingan (stake holders).

1. Perencanaan Transportasi Darat


2. Manajemen Transportasi
3. Pengendalian
4. Pembiayaan, Peralatan dan Sumberdaya Manusia.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
BAB V. KESIMPULAN & SARAN

1. Kesimpulan
Penyelenggaraan tansportasi darat sekurang-kurangnya meliputi tiga
hal yaitu perencanaan, manajemen operasional dan pengendaliannya.
Perencanaan meliputi perencanaan jaringan dan simpul seperti
jaringan trayek angkutan umum, jaringan lintas angkutan barang,
letak-letak terminal, shelter, rest area dan lain-lain. Manajemen
operasional meliputi manajemen atau pengaturan penggunaan
kendaraan umum dan kendaraan pribadi dengan prioritas angkutan
massal, penyediaan infrastruktur pendukung dan penetapan kebijakan
operasionalnya. Pengendalian yang termasuk didalamnya upaya
penegakkan hukum melibatkan semua instansi yang berwenang yaitu
polisi lalu lintas dan polisi pamong praja.

2. Saran
Peraturan daerah penyelenggaraan perhubungan disarankan tidak
hanya mengikat pada tugas pokok dan fungsi dinas perhubungan tapi
meliputi semua elemen yang terlibat dan bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan transportasi darat meliputi kepolisian daerah jawa
barat, dinas tata ruang, dinas bina marga, dinas pariwisata, dan lain-
lain.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)
Daftar Pustaka :

----------------------------------, 2004, Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 2004


tentang Jalan ;

----------------------------------, 2004, Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004


tentang Pemerintahan Daerah ;

----------------------------------, 2004, Undang-undang RI Nomor 33 Tahun 2004


tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah ;

----------------------------------, 2004, Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 2004


tentang Pembentukan Peraturan Penundang-
undangan ;

----------------------------------, 2007, Undang-undang RI Nomor 26 Tahun 2007


tentang Penataan Ruang;

----------------------------------, 2009, Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2009


tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan ;

Button, K J., 1993, Transport Economics, 2nd Edition, Edward Elgar,


Cheltenham, UK

Dishub Jabar, 2006, Study Evaluasi dan Penetapan Jaringan Trayek


Angkutan Orang di Jawa Barat.

One, L., Sutomo, H, 2003, Reformasi Sistem Pajak Kendaraan Bermotor,


paper.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat 1


tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Bidang
Transportasi Darat)

You might also like