You are on page 1of 24

ALOPECIA AREATA

Desi Oktariana, S.ked


Bagian/Departemen Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Pendahuluan
Alopecia areata (AA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya
area kebotakan rambut terlokalisasi tanpa adanya tanda inflamasi dan scar pada
kulit kepala ataupun kulit yang berambut terminal lainnya. Prevalensi penyakit ini
pada masyarakat umum di Amerika Serikat adalah 0,1 0,2 % dengan resiko
untuk terkena alopecia areata selama masa hidup adalah 1,7 %. Perbandingan
insidens alopecia areata sama banyak antara pria dan wanita. 1 Alopecia areata
pertama kali diketahui sebagai penyakit kulit diterangkan dalam Papyrus Ebers
1500 2500 SM. Sedangkan terminologi alopecia areata pertama kali digunakan
oleh Sauvages 1760 dalam Nosologica Medica yang dipublikasikan di Lyons pada
tahun 1760.2
Teori-teori tentang terjadinya alopecia areata antara lain berupa teori
genetik, sitokin, alergi (stigmata atopi), gangguan neurofisiologik dan emosional,
gangguan organ ektodermal, kelainan endokrin, faktor infeksi, faktor neurologi,
faktor hormonal / kehamilan dan beberapa teori lain. Pada 30 tahun terakhir, para
peneliti banyak mengemukakan teori autoimun, baik berupa gangguan pada
sistem imunitas humoral maupun sistem imunitas selular sebagai penyebab
alopecia areata.1,2,3
Terdapat berbagai jenis pengobatan terhadap alopecia areata, baik
pengobatan topikal, intralesi, sistemik, foto kemoterapi, ataupun kombinasinya.
Setiap peneliti berusaha memberikan pengobatan sesuai dengan teori-teori etiologi
yang dianutnya. Peneliti yang menganut teori imunologis memberikan obat yang
berfungsi untuk memperbaiki status imunologis penderita agar tercapai perbaikan
klinis. Kortikosteroid dan imunomodulator (isoprenosin, siklosporin) paling
sering digunakan, baik topikal, intralesi, atau sistemik. Beberapa obat topikal
seperti minoxidil solution, anthralin cream, ultra viotet light therapy dapat
digunakan. Pengobatan dengan imunoterapi topikal (bahan sensitiser) juga dapat

digunakan, seperti diphenilcyclopropen (DCPC), squaric acid dibutyl ester


(SADBE), dan dinitrochlorobenze (DNCB). Golongan interferon, dapsone,
tacrolimus, vitamin dan mineral, cryosurgery, serta dermatography akhir-akhir ini
banyak diteili sebagai terapi alternatif untuk alopecia areata.4
Saat ini belum ada pengobatan yang dapat langsung menyembuhkan
alopecia areata. Efikasi pengobatan bersifat individual, sulit untuk memperkirakan
pertumbuhan rambut terjadi secara spontan. Dari semua terapi yang ada, terapi
alopecia areata belum memuaskan.5
Definisi
Alopecia areata adalah peradangan yang kronis, berulang dari rambut
terminal, yang ditandai oleh timbulnya satu atau lebih bercak kerontokan rambut
pada scalp dan atau kulit yang berambut terminal lainnya. Lesi pada umumnya
berbentuk bulat atau lonjong dengan batas tegas, permukaan licin tanpa adanya
tanda-tanda atropi, skuamasi maupun sikatriks.1-4
lnsidens
Prevalensi alopecia areata pada masyarakat umum di Amerika Serikat
adalah 0,10,2 % dengan perbandingan insidens alopecia areata sama banyak
antara pria dan wanita.1,3,6 Di Unit Penyakit Kulit dan Ketamin RSCM Jakarta,
dalam pengamatan selama 3 tahun (1983 1985), penderita rata-rata sebanyak 20
orang pertahun dengan perbandingan pria dan wanita 6:4. Umur termuda yang
pernah dicatat adalah 6 tahun, dan yang tertua 59 tahun. Resiko untuk terkena
alopecia areata selama masa hidup adalah 1,7 %.1
Etiologi
Alopsia areata telah dikenal sejak 20 abad yang lalu, namun sampai saat
ini penyebabnya yang pasti belum diketahui meskipun ada dugaan merupakan
respon auto imun.1,3
Berbagai faktor atau keadaan patologik yang dianggap berasosiasi dengan
penyakit ini adalah : 7

a. Genetik
Alopecia areata dapat diturunkan secara dominan autosomal dengan penetrasi
yang bervariasi. Frekuensi alopecia areata yang diturunkan secara genetik
adalah 10 50 %. Insidens pada alopecia areata dengan onset dini adalah 37
% pada umur 30 tahun dan 7,1 % pada onset lebih dari 30 tahun. Alopecia
areata pada kembar identik dilaporkan terjadi lebih dari 55 %. Beberapa gen
terkait misalnya kompleks gen HLA (Human Leucocyte Antigen) yang
berlokasi di lengan pendek kromosom-6 membentuk MHC (Major
Histocompatibility Complex). Tiap gen pada kompleks gen HLA memiliki
banyak varian (alel) yang berbeda satu dengan yang lain. Kompleks HLA pada
penderita alopecia areata diteliti karena banyaknya hubungan penyakitpenyakit autoimun dengan peningkatan frekuensi antigen HLA. Penelitian
terbaru menunjukkan adanya hubungan alopecia areata dengan beberapa
antigen HLA kelas I (HLA-A9, -B7, -B8, -B13, -B27). Beberapa penelitian
juga membuktikan bahwa terdapat hubungan alopecia areata dengan HLA
kelas ll (HLA-DR4, -DR5 subtipe DR4 dan DR11, -DQ3 subtipe DQ7 dan
DQ8). Alopecia areata HLA-DRS berhubungan dengan bentuk alopecia areata
onset dini dan alopecia areata dengan hilangnya rambut yang luas. Pada
alopecia areata terjadi peningkatan alel HLA-DQB1*0301 (DQ7), HLADQB*03 (DQ3), dan HLA-DRB1*110 4 (DR11). HLA-DBR1*03 (DQ3)
tampaknya merupakan marker HLA untuk semua bentuk alopecia areata. Alel
HLA-DRB1*0401 (DR4) dan HLA-DRB1*0301 (DQ7) adalah marker untuk
alopecia areata totalis/universalis yang lebih berat. Pada Sindroma Down,
insiden alopecia areata sebanyak 60 dibandingkan dengan 1 pada populasi
normal. Keterlibatan gen pada kromosom 21 diduga menentukan kerentanan
terhadap alopecia areata.8,9
b. Stigmata atopi (faktor alergi)
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara alopecia areata
dengan atopi, terutama alopecia areata berat. Frekuensi penderita alopecia
areata yang mempunyai stigmata atopi adalah sebesar 10 52 %. Kelainan
yang sering dijumpai berupa asma bronkhial, rhinitis, dan atau dermatitis
atopik.10,11

c. Gangguan neurofisiologik dan emosional.


Pada alopecia areata dapat terjadi vasokonstriksi yang disebabkan oleh
gangguan saraf autonom, atau setelah tindakan ortodontik. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa stres mungkin merupakan faktor presipikasi
pada beberapa kasus alopecia areata. Pernah dilaporkan bahwa sebelum onset
alopecia areata terjadi, terdapat stres, psikotrauma, kelainan psikiatri, faktor
psikologis, maupun faktor situasi dalam rumah tangga. Sebaliknya, laporan
lain menyatakan bahwa stres tidak memegang peranan penting dalam
patogenesis alopecia areata.7
d. Gangguan organ ektodermal
Kerusakan kuku distropik dianggap berasosiasi dengan alopecia areata,
demikian pula timbulnya katarak tipe subkapsular posterior. 7
e. Kelainan endokrin
Beberapa penyakit endokrin antara lain gangguan fungsi kelenjar dan diabetes
melitus banyak dihubungan dengan alopecia areata. Tiroid, kelenjar yang
paling sering dijumpai kelainannya pada penderita alopecia areata,
memberikan gambaran penyakit goiter. Gangguan endokrin lainnya dapat
berupa vitiligo dan kelainan gonad.7
f. Faktor infeksi
Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan infeksi Cytomegalovirus
(CMV) pada alopecia areata. Infeksi HIV juga berpotensi sebagai faktor
pencetus terjadinya alopecia areata. Namun, penelitian lain menyatakan bahwa
hubungan keterlibatan virus/bakteri belum dapat disimpulkan.7
g. Faktor nuerologi
Perubahan lokal sistem saraf perifer pada level papila dermis mungkin
memegang peranan pada evolusi alopecia areata karena sistem saraf perifer
dapat menyalurkan neuropeptida yang memodulasi proses inflamasi dan
proliferasi. Teori ini didukung oleh Hlordinsk dkk bahwa terdapat penurunan

Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP) dan Substansi P (SP) pada pasien


alopecia areata. Neuro CGRP bekerja sebagai anti-inflamasi poten.
Neuropeptida SP mampu menginduksi pertumbuhan rambut pada tikus.
Pemberian Capsaicin (yang dapat menyebabkan inflamasi neurogenik dan
pelepasan SP) pada seluruh kulit kepala pada dua pasien alopecia areata dapat
meningkatkan adanya SP pada saraf perifolikular pasien alopecia areata dan
menginduksi pertumbuhan rambut velus.7
h. Faktor hormonal / kehamilan
Ketidakseimbangan

hormonal

pada

kehamilan

kadang-kadang

dapat

mencetuskan terjadinya alopecia areata (Sabaroud 1896, Sabaroud 1913).


Kasus alopecia areata banyak dilaporkan terjadi selama masa kehamilan.
Alopecia areata pada keadaan ini pada umumnya besifat sementara. Masa
pubertas dan menopause juga berpotensi untuk berulangnya alopecia areata.7
i. Bahan kimia
Bahan-bahan kimia yang berpotensi untuk terjadinya alopecia areata adalah
acrylamide (Roselino, 1996), formaldehyde, dan beberapa pestisida.7
j. Perubahan musim
Beberapa orang mengalami alopecia areata selama terjadi perubahan musim
yaitu selama musim dingin, bersifat sementara, dan akan tumbuh kembali
dalam musim panas.7
k. Trauma fisik7
l. Local skin injury7
m. Kelainan Imunologis (Lihat aspek imunologis)
Patogenesis
Kelainan yang terjadi pada alopecia areata dimulai oleh adanya
rangsangan yang menyebabkan folikel rambut setempat memasuki fase telogen
lebih awal sehingga terjadi pemendekan siklus rambut. Proses ini meluas,

sedangkan sebagian rambut menetap dalam fase telogen. Rambut yang


melanjutkan siklus akan membentuk rambut anagen baru yang lebih pendek, lebih
kurus, terletak lebih superfisial pada middermis dan berkembang hanya sampai
fase anagen lV. Selanjutnya, sisa folikel anagen yang hipoplastik ini akan
membentuk jaringan sarung akar dalam dan mempunyai struktur keratin seperti
rambut yang rudimenter. Beberapa ciri khas alopecia areata dapat dijumpai,
misalnya berupa batang rambut tidak berpigmen dengan diameter bervariasi dan
kadang-kadang tumbuh lebih menonjol ke atas (rambut-rambut pendek yang
bagian proksimalnya lebih tipis dibanding bagian distal sehingga mudah dicabut),
disebut exclamation-mark hairs atau exclamation point hal ini merupakan tanda
patognomonis pada alopecia areata. Bentuk lain berupa rambut kurus, pendek dan
berpigmen yang disebut black dots.7,12,13
Lesi yang telah lama tidak mengakibatkan pengurangan jumlah folikel.
Folikel anagen terdapat di semua tempat walaupun terjadi perubahan rasio
anagen : telogen. Folikel anagen akan mengecil dengan sarung akar yang
meruncing tetapi tetap terjadi diferensiasi korteks, walaupun tanpa tanda
keratinisasi. Rambut yang tumbuh lagi pada lesi biasanya didahului oleh rambut
velus yang kurang berpigmen.12,13,14
Aspek lmunologis Alopecia Areata
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan alopecia areata
dengan kelainan autoimun yang klasik, terutama pada penyakit tiroid dan vitiligo.
Penyakit tiroid pada alopecia areata adalah sebesar 811,8%. Pada populasi
normal, terdapat peningkatan 2% prevalensi anti-tiroid dan antibodi mikrosomal
tiroid pada pasien alopecia areata. Penderita alopecia areata memiliki insidens
vitiligo empat kali lebih besar. Selain itu, terdapat peningkatan antibodi sel
parietal gastrik, antibodi antinuklear, dan antibodi anti otot polos pada serum
penderita alopecia areata. Alopecia areata juga memiliki hubungan dengan
Anemia pernisiosa, Diabetes mellitus, Lupus ertitematosus, Myastenia gravis,
Reumatoid artritis, Rheumatik polimialgia, Kolitisu lseratif, Liken planus,
Sindroma endokrinopati Candida.7,9,10
1. Aspek imunitas humoral

Penelitian terdahulu gagal menunjukkan adanya antibodi khusus terhadap


sel epidermal atau folikel rambut pada pasien alopecia areata. Penelitian tranfer
pasif serum penderita alopecia areata tikus gagal menginhibisi pertumbuhan
rambut graft. Tobin dkk melaporkan dapat mendeteksi antibodi terhadap folikel
rambut berpigmen melalui cara Western blot pada serum seluruh penderita
alopecia areata (100 %) dibanding hanya 44 % pada kontrol. Juga terdapat level
autoantibodi yang tinggi terhadap struktur folikel rambut anagen penderita
alopecia areata. Respon antibodi terhadap folikel rambut pada alopecia areata
terlihat heterogen karena pasien yang berbeda akan membentuk pola
pengembangan antibodi yang berbeda pula. Struktur target yang paling sering
adalah lapisan luar akar rambut, matriks, lapisan dalam akar rambut, dan batang
rambut.10
Pada alopecia areata, dengan perkecualian terdapatnya autoantibodi organ
spesifik di dalam sirkulasi, tampaknya kelainan pada respons imunitas humoral
tidak terlalu menonjol. Nilai imunoglobulin (Ig) pada umumnya normal walaupun
ada yang menjumpai sedikit di bawah normal. Gilhar dkk (1992) melaporkan
peningkatan kadar IgM disertai penurunan jumlah nilai komplemen hemolitit
total. Peneliti lainnya menjumpai nilai komponen-komponen komplemen (C3 dan
C4) dalam batas-batas normal. Pemeriksaan imunofluoreseni langsung pada lesilesi kulit kepala yang dilakukan oleh Anderson dkk (1999) menunjukkan endapan
C3 dan kadang kadang lgG dan lgM sepanjang zona membran basalis folikel
rambut pada 92 % kasus alopecia areata, dibandingkan hanya 21 % pada kasus
male pattern alopecia. Pada 66,6 % kasus, endapan-endapan lgM dan C3 dijumpai
pada ruang interselular sarung akar luar. Peneliti lain menjumpai endapan
endapan IgC, IgM dan C3 baik di zona membran basalis maupun di ruang
interselular sarung akar dalam. Data-data di atas menunjang peranan faktor imun
di dalam patogenesis alopecia areata. Tetapi beberapa peneliti tidak berhasil
menjumpai endapan-endapan komplemen maupun imunoglobulin.10,11,12
Autoantibodi terhadap organ spesifik di dalam sirkulasi meningkat
fekuensinya pada 5 25 % penderita alopecia areata. Antibodi-antibodi tersebut
adalah terhadap tiroid, sel parietal gaster, dan otot polos serta antinuklear. 10
Namun, beberapa peneliti lainnya tidak dapat membuktikan hubungan antara

alopecia areata dengan autoantibodi organ spesifik. Tobin (1994) mengemukan


tentang pentingnya umur, jenis kelamin, dan beratnya penyakit di dalam
mengevaluasi frekuensi autoantibodi. Prevalensi antibodi antitiroid di jumpai
lebih tinggi pada wanita muda, dan wanita dengan antitiroid. Antibodi terhadap
sel parietal gaster meningkat bermakna hanya pada pria.10
2. Aspek imunilas selular (Cell Mediated Irnunity)
Beberapa penelitian masih memberikan hasil yang diperdebatkan. Pada
alopecia areata, jumlah limfosit T berkurang atau normal, menurut Tobin, jumlah
sel T berkurang pada alopecia areata (dimana penurunnya berhubungan dengan
keparahan penyakit), terjadi kegagalan fungsi sel T helper dan perubahan jumlah
sel T supresor. Sedikit peningkatan sel T helper (CD4) dan penurunan jumlah sel
supresor (CD8) menyebabkan peningkatan rasio sel helper/sel supresor
berhubungan dengan jumlah rambut yang gugur.10 Terapi yang berhasil dengan
bahan-bahan imunomodulator seperti siklosporin oral dan steroid sistemik juga
mendukung patogenesis imun-mediated pada alopecia areata. Gilhar dkk
menyatakan bahwa alopecia areata dapat diinduksi pada kulit kepala manusia
yang ditransplantasi dari tikus yang menderita imunodefisiensi kombinasi yang
berat melalui transfer autologus T limfosit terjadi gugurnya rambut, infiltrasi sel T
perifolikuler serta ekspresi HLA-DR dan ICAM-1 (lnter Cellular Adhesion
Molecule-1) pada epitelium folikular. Sel T yang tidak pernah dikultur dengan
homogen folikular tidak akan pernah menginduksi alopecia areata. Induksi
alopecia areata terjadi setelah diinjeksi dengan sel CD8+ yang dikultur dengan
homogen folikular, bukan oleh sel CD4+. Bukti yang mendukung hipotesis bahwa
alopecia areata merupakan penyakit autoimun organ spesifik adalah bahwa
alopecia areata memiliki kerentanan herediter, peningkatan antibodi organ
spesifik, peningkatan antibodi terhadap folikel rambut berpigmen, peningkatan
level autoantibodi yang tinggi terhadap struktur multipel folikel rambut anagen
pada pasien alopecia areata, dan peningkatan rasio T helper/sel supresor. Induksi
alopecia areata melalui transfer Iimfosit T terkultur dengan homogenitas
folikuler.11

Folikel rambut memiliki sistem imun yang berbeda dengan kulit


sekitarnya yaitu sistem imunnya terdiri dari limfosit T intrafolikular, sel
Langerhans dilapisan luar akar bagian distal, sel mast perifolikuler, makrofag, dan
juga khas terdapat ekspresi MHC folikuler kelas Ia/Ib dan ICAM-1. Folikel
rambut manusia bahkan bisa jadi reservoir sel Langerhans. Epitel folikel rambut
anagen proksimal memiliki kemampuan imun karena lapisan dalam akar rambut
dan matriks rambut tidak mengekspresikan molekul MHC kelas l. Teori Paus
menyatakan adanya keterlibatan regulasi antigen MHC yang meningkat dan atau
yang menurun dari imunosupresan yang diproduksi secara lokal (hormon
melanosit stimulating, adenocorticotropin dan transforming growth factor) akan
menyebabkan sistem imun dapat mengenali antigen di folikel rambut yang
menyebabkan terjadinya onset alopecia areata.10,11
Pengukuran sub-populasi limfosit di dalam sirkulasi dilakukan melalui dua
tehnik yang berbeda dengan menghitung proporsi sel T yang mempunyai reseptor
Fc untuk lgG (sel Tg) dan untuk lgM (sel Tm). Colombe dkk (1995) melaporkan
peningkatan persentasi sel T suppressor (sel Tg) pada penderita alopecia areata.
Sebaliknya, peneliti lain menjumpai penurunan sel T tersebut. Hasilhasil yang
berheda ini tergantung pada perbedaan aktivitas penyakit karena terbukti bahwa
penurunan fungsi sel T suppressor hanya terjadi pada penderita yang secara klinis
penyakitnya masih aktif.9,10,11
Dengan mempergunakan teknik antibodi monoklonal, aktivitas T
suppressor pada alopesia areata dapat dijumpai meningkat, menurun, atau normal.
Untuk membandingkan penelitian-penelitian dengan menggunakan antibodi
monoklonal dengan yang menggunakan perhitungan reseptor Fc ternyata sulit,
karena terdapat disosiasi antara subset-subset sel T yang dijelaskan oleh kedua
metode di atas. Usaha untuk membuktikan adanya respons limfosit terhadap
antigen yang berkaitan dengan rambut juga belum berhasil.11
Bukti lain yang menunjang peranan sistem imunitas selular terhadap
patogenesis alopecia areata, yaitu penemuan histopatologik berupa infiltrat
limfositik (sel T) di sekeliling folikel rambut penderita.10

Gambaran Klinis

Lesi alopecia areata stadium awal, paling sering ditandai oleh bercak
kebotakan yang bulat atau lonjong, berbatas tegas. Permukaan lesi tampak halus,
licin, tanpa tanda-tanda sikatriks, atrofi maupun skuamasi. Pada tepi lesi kadangkadang tampak exclamation-mark hairs yang mudah dicabut.
Pada awalnya gambaran klinis alopecia areata berupa bercak atipikal,
kemudian menjadi bercak berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk karena
rontoknya rambut, kulit kepala tampak berwarna merah muda mengkilat, licin dan
halus, tanpa tanda-tanda sikatriks, atrofi maupun skuamasi. Kadang-kadang dapat
disertai dengan eritem ringan dan edema. Bila lesi telah mengenai seluruh atau
hampir seluruh kulit kepala disebut alopecia totatis. Apabila alopecia totalis
ditambah pula dengan alopecia dibagian badan lain yang dalam keadaan normal
berambut terminal disebut alopecia universalis. Gambaran klinis spesifik lainnya
adalah bentuk ophiasis yang biasanya terjadi pada anak, berupa kerontokan
rambut pada daerah occipital yang dapat meluas ke anterior dan bilateral 1 2 inci
di atas telinga, dan prognosisnya buruk. Gejala subjektif biasanya pasien
mengeluh gatal, nyeri, rasa terbakar atau parastesi seiring timbulnya lesi.13,14
Ikeda (1965), setelah meneliti 1989 kasus, mengemukakan klasifikasi
alopecia areata sebagai berikut : 6
1.

Tipe umum, meliput 83 % kasus diantara umur 20 40 tahun, dengan


gambaran lesi berupa bercak bercak bulat selama masa perjalanan penyakit.
Penderita tidak mempunyai riwayat stigmata atopi ataupun penyakit endokrin
autonomik, lama sakit biasanya kurang dari 3 tahun.

2.

Tipe atopik, meliputi 10 % kasus, yang umumnya mempunyai stigmata atopi,


atau penyakitnya telah berlangsung lebih dari 10 tahun. Tipe ini dapat menetap
atau mengalami rekurensi pada musim-musim tertentu (perubahan musim).

3.

Tipe kombinasi, meliput 5 % kasus, pada umur > 40 tahun dengan gambaran
lesi-lesi bulat, atau retikular. Penyakit endokrin autonomik yang terdapat pada
penderita antara lain berupa diabetes melitus dan kelainan tiroid.

4.

Tipe prehipertensif, meliputi 4 % kasus, dengan riwayat hipertensi pada


penderita maupun keluarganya. Bentuk lesi biasanya retikular.1
Klasifikasi tersebut sangat berguna untuk menjelaskan patogenesis dan

meramalkan prognosis penyakit.1

10

Pada beberapa penderita terjadi perubahan pigmentasi pada rambut di


daerah yang akan berkembang menjadi lesi, atau terjadi pertumbuhan rambut baru
pada lesi atau pada rambut terminal di sekitar lesi. Hal ini disebabkan oleh
kerusakan keratinosit pada korteks yang menimbulkan perubahan pada rambut
fase anagen lll/IV dengan akibat kerusakan mekanisme pigmentasi pada bulbus
rambut.1,4
Gambaran Histopatologis
Gambaran spesifik pada alopecia areata berupa miniaturisasi struktur
rambut, baik pada fase awal rambut anagen maupun pada rambut telogen yang
distrofik. Struktur fase awal rambut anagen biasanya dominan pada lesi baru,
sedangkan struktur rambut telogen yang distrofik di jumpai pada stadium lanjut.
Struktur fase awal rambut anagen tampak mengecil, bulbusnya terletak hanya
sekitar 2 mm di bawah permukaan kulit. Proses keratinisasi rambut tersebut di
dalam folikel berlangsung tidak sempurna. Sarung akar dalam rambut biasanya
tetap ada. Struktur rambut telogen distrofik tidak mengandung batang rambut atau
hanya berupa rambut distrofik yang kecil. Folikel rambut akan berpindah ke
dermis bagian atas. Kelenjar sebasea dapat tetap normal atau mengalami atrofi.
Terjadi infiltrasi limfosit pada dermis di sekeliling struktu rambut miniatur. Pada
kasus kronik jumlah infiltrat peradangan berkurang, dapat terjadi invasi sel radang
ke matriks bulbus dan sarung akar luar fase awal rambut anagen. Infiltrat
peradangan tampak tersusun longgar menyerupai gambaran sarang lebah.13,14
Diagnosis
Diagnosis alopecia areata berdasarkan gambaran klinis atas pola mosaik
alopecia atau alopecia yang secara klinis berkembang secara progresif, didukung
adanya trikodistrofi, efluvium anagen, atau telogen yang luas, dan perubahan pada
gambaran histopatologi. Pada stadium akut ditemukan distrofi rambut anagen
yang disertai rambut tanda seru (exclamation mark hair) pada bagian proksimal,
sedangkan pada stadium kronik akan didapatkan peningkatan jumlah rambut
telogen. Perubahan lain meliputi berkurangnya diameter serabut rambut,
miniaturisasi, pigmentasi yang tidak teratur. Tes menarik rambut pada bagian tepi
lesi yang positif menunjukkan keaktifan penyakit.1,8

11

Biopsi pada tempat yang terserang menunjukkan peradangan limfostik


peribulbar pada sekitar folikel anagen atau katagen disertai meningkatnya
eosinofil atau sel mast.3,13,14
Diagnosis Banding
Gambaran klinis alopecia areata yang berbentuk khas, bulat berbatas tegas,
biasanya tidak memberikan kesulitan untuk menegakkan diagnosisnya. Secara
mikroskopis, hal tersebut diperkuat oleh adanya rambut distrofik dan
exclamation-mark hairs. Pada keadaan tertentu gambaran seperti alopecia areata
dapat dijumpai pada lupus eritematosus diskoid, dermatofitosis, trikotilomania
atau sifilis stadium ll, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lebih
lanjut. Masa awitan alopecia areata yang cepat dan difus sulit dibedakan secara
klinis dari alopecia pasca febris dan gangguan siklus rambut lainnya, kecuali bila
dijumpai rambut distrofik. Sikatriks pada lesi alopecia areata yang kronik dapat
pula terjadi oleh karena berbagai manipulasi sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan biopsi kulit.1,3,14
Penatalaksanaan
Perjalanan penyakit alopecia areata dan rekurensinya tidak dapat
diprediksi, terutama yang mengalami emisi spontan sebelumnya sehingga evaluasi
pengobatan menjadi sulit. Pada umumnya sulit untuk mengobati alopecia areata
yang berat, sehingga masih tetap dicari jenis dan sistem pengobatan baru yang
diharapkan memberi hasil yang lebih baik.
Jenis - Jenis Terapi Topikal
Kortikosteroid topikaI
Merupakan imunosupresor yang nonspesifik yaitu kortikosteroid kelas ll
(Clobatasol propionate) dalam bentuk larutan dengan cara pemakaian 2 x 1
ml/hari dioles pada seluruh kepala. Lama pengobatan 3 4 bulan. Terapi
dikurangi secara bertahap bila alopecia membaik. Pada Triple therapy digunakan
kortikosteroid potensi tinggi dalam bentuk krim, yang dipakai 30 menit sesudah
pengolesan dengan larutan minoxidil, disertai dengan penyuntikan kortikosteroid
1 x sebulan. Bila tidak ada perbaikan maka dapat dialihkan pada Shorf contact

12

anthralin therapy. Dalam suatu penelitian digunakan flucinolone acetonide cream


0,2 % dua kali sehari, 61 % menunjukkan hasil adanya respon. Pada penelitian
selanjutnya dengan menggunakan topikal desoximetasone (Topicort) cream dua
kali sehari selama 12 minggu, secara statistik pertumbuhan rambut tidak
bermakna dibandingkan dengan placebo. Pada penggunaan topikal korticosteroid
potensi tinggi selama 3 bulan berlurut-turut memberikan hasil yang lebih baik.
Topikal betametasone dipropionactere cream 0,05 % dua kali sehari dapat
digunakan.15
Oleh karena alopecia areata, salah satu diantara penyebab kerontokan
rambut dianggap diperantarai oleh reaksi imun, maka secara khusus kita dapat
memakai steroid secara topikal maupun intralesi. Kortikosteroiid ini dapat juga
dikombinasi

dengan

antralin

atau

minoxidil.

Kontra

indikasi

adalah

hipersensitivitas bahan tersebut, infeksi kulit oleh virus atau jamur. Efek samping
dari obat ini adalah untuk terapi jangka panjang akan menekan fungsi adrenal,
folikulitis, telangiektasi dan atropi lokal, pruritus, kulit kering dan rasa terbakar.
Tidak pernah dilaporkan efek sistemik.15
Larutan berisi progesteron
Menurut Dr. Orentreich progesteron dalam bentuk larutan dengan kadar 2
4 %. Pada pria hanya 1 cc 2 x sehari pada daerah kebotakan, untuk menghindari
efek feminisasi. Bagi wanita diberi dosis yang lebih kecil (< 2 %) untuk mencegah
gangguan menstruasi. Pemakaian progesteron bagi kerontokan rambut selain
secara topikal dapat juga dilakukan dengan suntikan ke dalam kulit kepala.
Terdapat kemungkinan progesteron bersaing dengan 5-alfareduktase, yang dapat
menurunkan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan mengubah keseimbangan
hormonal dalam folikel, sehingga mengakibatkan berkurangnya rambut yang
rontok.10,16

Terapi topikal dengan bahan- bahan iritan


Antralin

13

Pada dasarnya suatu irritant treatment bagi alopecia areata bekerja


dengan memutuskan pertumbuhan sel yang normal dan diferensiasi sel-sel
didalam kulit yang mengakibatkan kerusakan fisik dan akan merangsang sistem
imun untuk bereaksi dan membatasi kerusakan kulit.
Suatu contact dermatitis inducer adalah bahan kimia yang menginduksi
sistem imun alergik terhadapnya dan tidak memiliki kerja langsung pada sel sel
kulit. Suatu iritan dan contact dermatitis inducer bekerja sebagai suatu kompetisi
antigenik (persaingan / konkurensi).
Antralin merangsang pertumbuhan rambut kembali oleh sifat-sifat
iritannya. Kemungkinan bahwa mediator-mediator yang berlainan memegang
peranan yang dominan pada dermatitis yang dicetuskan oleh antralin.17
Sitokin yang terlibat pada perbaian dari pertumbuhan rambut adalah lL1b
yang menunjukkan duksi yang luar biasa sesudah pengobatan antralin dan Tumor
Necrosis Factor lnterferon , akan menurun sesudah pengobatan dengan
antralin.18
Antralin merupakan bahan topikal yang paling banyak dipakai di antara
bahah-bahan iritan lainnya untuk pengobatan alopecia areata. Dengan short
contact anthralin therapy digunakan krim antralin 1-3 %, dioleskan pada daerah
kebotakan hanya untuk beberapa jam sampai terjadi iritasi kulit kemudian dicuci
dengan air dan sabun, pemakaian ini dilakukan selama 6 bulan. Dikombinasikan
dengan pengolesan larutan minoxidil 5 % 2 x sehari. Efektivitas minoxidil bisa
dipercepat dengan antralin.5
Antralin secara topikal dapat merangsang pertumbuhan kembali rambut
oleh sifat sifat iritannya. Terdapat kemungkinan bahwa berbagai mediator yang
berlainan dapat memegang peranan dominan pada dermatitis yang dicetuskan oleh
folikuler langsung oleh ada bukti mengenai efek stimulasi menyebabkan suatu
dermatitis iritatif yang ringan mengubah fungsi imun kulit setempat yang terlibat.
Terapi kombinasi dengan antralin 0.5 % dan minoxidil 5 % memberi respons
kosmetik sebesar 11 % dalam waktu 6 bulan. Respons ini dipertahankan setelah
terapi diteruskan selama 84 minggu. Pertumbuhan kembali rambut terjadi pada
minggu ke-12. Hasil yang diperoleh dengan terapi kombinasi lebih baik daripada
pemakaian obat secara tunggal. Jadi terapi kombinasi dengan memakai obat-obat

14

dengan mekanisme kerja yang berlainan dapat menghasilkan suatu efek sinergistik
dan dengan demikian menghasilkan efektivitas kosmetik yang lebih tinggi.17
Obat topikal yang bekerja langsung pada folikel rambut
Minoxidil (2,4-diamino 6 piperidinopyrimidine-3-oxide)
Mekanisme kerja minoxidil untuk merangsang pertumbuhan rambut tidak
diketahui, meskipun bukti-bukti yang muncul menunjukkan adanya kemungkinan
efek folikuler yang langsung (mitogenic effect) dan periferal vasolidator yang
poten. Minoxidil mempunyai efek mitosis secara langsung pada sel epidermis dan
memperpanjang kemampuan hidup keratinosid. Juga diduga bahwa mekanisme
kerja dihubungkan dengan hambatan masuknya kalsium ke dalam sel. Masuknya
kalsium dalam sel secara normal dapat meningkatkan faktor pertumbuhan
epidermis (EGFs), yang menghambat pertumbuhan rambut. Alergi terhadap
minoxidil dapat dipastikan dengan melakukan uji tempel dengan larutan minoxidil
komersil dan propilen glikol yang diencerkan. Apabila hasil kedua uji tempel
adalah positif (+), maka propilen glikol merupakan penyebab utama dermatitis
kontak alergika (DKA) ini. Dengan demikian dapat dipakai campuran larutan
minoxidil yang bebas propilen glikol, dengan efektivitas sebaik larutan terdahulu.
Minoxidil 5 % harus dioleskan 2 x sehari untuk jangka waktu 2-3 bulan sebelum
terjadi peningkatan jumlah rambut. Apabila obat dihentikan maka rambut kembali
hilang dalam waktu 6 bulan. Pertumbuhan rambut dapat dilihat paling cepat 2
bulan sampai 1 tahun sesudah terapi dengan 5 % minoxidil. Pemberian topikal
tidak efektif pada alopecia totalis tau alopecia universalis. Kombinasi minoxidil 5
% dengan antralin dioleskan dua kali sehari dapat mempercepat efektifitasnya.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa kombinasi minoxidil dengan asam retinoat
topikal dapat meningkatkan absorpsi minoxidil perkutan sehingga jumlah
minoxidil yang mencapai folikel juga meningkat, dapat meningkatkan diferensiasi
folikel dan pembentukan dermal vessel, meningkatkan kecepatan pertumbuhan
rambut, memperpanjang fase anagen, merubah rambut velus menjadi rambut
terminal, dengan cara bekerja secara sinergis dengan minoxidil. Iritasi pada
pemakaian tretinoin secara topikal merupakan efek samping yang dapat dikontrol
pada banyak subyek dan suatu true contact alergy terhadap tertinoin topikal

15

jarang terjadi. Kebanyakan pasien tidak menganggap iritasi sebagai suatu


masalah. Kombinasi minoxidil 5 %, asam azelaik dan betametason (Xandrox)
dikenal dengan formulasi Dr. Lee. Pasien-pasien yang memakai Xandrox
dianjurkan

diperiksa

secara

periodik

bagi

kemungkinan

adanya

HPA

(Hipotalamus Pituitary Adrenal axis) axis suppression dengan urinary free


cortisol test dan ACTH StimuIarion test .19
Pemakaian bahan sensitisers topikal
Adanya mekanisme auto-imun tidak berarti adanya suatu penyakit
autoimun. Disekitar lesi dari folikel rambut pada alopecia areata adalah CD4+ dan
CDs+ limfosit. Sel-sel ini kemungkinan kandidat alternatif untuk menjadi
pencetus dari alopecia areata. Apabila penyakit auto-imun terjadi pada organ Iain,
jaringan sepenuhnya rusak. Tetapi hal ini tidak terjadi pada alopecia areata. Secara
klinis efek-efek dari iritan hampir sama dengan contact sensitizing chemical
dengan induksi dari suatu inflamatory dermatitis yang merupakan gejala kunci.20
lmunoterapi topikal berkaitan dengan induksi dan maintenance dari
dermatitis kontak alergi pada daerah kebotakan untuk merangsang pertumbuhan
rambut rambut embali. Perubahan dalam respon imun setempat berperan besar.
Alergi kontak sensitisasi akan merubah perbandingan peribulbar T4 : T8 dari 4 : 1
menjadi 1 : 1 (kompetisi antigenik yang menghambat reaksi auto imun). 6 Pada
awalnya dipakai dinitroklorobenzen (DNCB), terapi kemudian dihentikan setelah
diketahui bahwa bahan ini bersifat mutagenik dalam test Ames. Squaric acid
dibutyl esfer (SADBE) yang negatif pada test Ames (non mutagenic tetapi
larutannya tidak stabil). Sensitiser yang kini paling banyak dipakai adalah
diphencyprone (DCPC) yang non-mutagenik, tetapi sensitif terhadap degradasi
sinar ultra ungu. Sensitiser topikal ini dipakai pada terapi atopesia areata.
Diphencyprone dioleskan1 x seminggu selama 20 24 minggu. Apabila tidak ada
respons hingga 24 minggu maka imunoterapi topikal ini dihentikan.
Aplikasi

berulang-ulang

bahan

sensitisers

secara

topikal

dapat

mencetuskan pertumbuhan kembali rambut di kepala pada 50 % - 90 % pasien


yang diterapi. Sensitisasi kontak alergik dapat menyebabkan persaingan antigenik
yang menghambat berbagai reaksi auto-imun. Terapi dengan allergic contactants
memerlukan waktu yang lama (berbulan bulan) menyebabkan efek samping

16

seperti pruritis, adenopati, eritema multiforme, vitiligo, dan kemungkinan


terjadinya reaksi autosensitisasi yang dapat membahayakan pasien.16,20
Kontra indikasi pada yang hipersensitivitas, anafilaksis, ibu hamil dan
menyusui. Sedangkan efek samping dapat limfadenopati servikal, perubahanperubahan pigmentasi, erupsi mirip eritema multiforme dan urtikaria.20
Imunosupresor / imunomodulator yang spesfik
Siklosporin
Topikal dapat bermanfaat pada beberapa pasien dengan alopecia areata.
Akan tetapi, daya induksi dari suatu kelainan limfoproliferatif dan kanker kulit
membatasi cara pemakaian ini. Pada suatu penelitian digunakan siklosporin 5 %
dan 10 % solution 2 kali seharis elama 4 12 bulan tidak menunjukkan
pertumbuhan (24 pasien) sedangkan 3 pasien menunjukkan pertumbuhan rambut
velus dengan larutan 10 %.
Siklosporin menghambat aktivasi sel T penolong (T4 limfosit) yang dapat
patogenik pada alopecia areata. Suatu percobaan dengan siklosporin 6 mg/kg/hari
peroral selama 3 bulan menyebabkan pertumbuhan rambut kembali pada 50 %
pasien, namun kerontokan rambut terjadi lagi setelah obat dihentikan. Tidak
terdapat respons yang menguntungkan dengan pemakaian siklosporin topikal.
Kontra indikasi hipersensitivitas, hipertensi, karsinoma. Jangan diberikan
bersama PUVA atau UVB pada psoriasis karena akan dapat rneningkatkan
karsinoma. Rifampicin, fenobarbital, isoniasid, karbamasepin, fenitoin dapat
menurunkan konsentrasi siklosporin. Azithromycin, itraconazole, ketoconazole,
fluconazole, erithromycin, acyclovir, amphotericin B dan grape fruit juice dapat
meningkatkan toksisitas siklosporin.15
Foto kemo terapi
Inflammatory cells didalam kulit mudah rusak oleh sinar UV. Psoralen
membantu memperbaiki efektivitas dari sinar UV dalam menghancurkan sel sel
peradangan kulit. Dengan psoralen misalnya metoksalen, trioksalen dan sinar ultra
ungu-A (PUVA), menyebabkan rambut tumbuh kembali. Diberi 3 hari dalam
seminggu dengan dosis 0,6 0,8 ml/kg p.o, 1 2 jam sebelum dipapar dengan

17

UVA. Dapat diberi secara topikal. Namun cara ini dapat meningkatkan risiko
terjadinya photodamaged dan kanker kulit, sehingga pemakaiannya dibatasi.5
Photochemotherapy (PUVA) dalam jangka waktu lama dapat mencetuskan
pertumbuhan rambut kepala dan tubuh pada 70 % pasien yang diterapi.
Pertumbuhan kembali nampaknya berkaitan dengan jumlah energi yang
dihasilkan. Respons awal dilihat setelah pemakaian 85 120 J/m2/hari.5
Khusus bagi pasien pasien dengan alopecia areata, University of British
Columbia Hair Research and Treatment Centre, 1998, membuat protokol
pengobatan pada orang dewasa, sebagai berikut:14

Kerontokan rambut < 50 %

a. Tanpa terapi
b. Penyuntikan triamisinolon asetonid intralesi
c. Larutan minoxidil 5 %
d. Kombinasi larutan minoxidil 5 % dengan kortikosteroid topikal potensi tinggi.
e. Kombinasi larutan minoxidin 5 % dan antralin.
f. lmunoterapsie cara topikal apabila berbagai cara tersebut di atas tidak
menolong.

Kerontokan rambut 50 %

a. Lmunoterapi secara topikal dengan diphencyprone (DPCP)


b. Larutan minoxidil 5 % dan kortikosteroid topikal potensi tinggi.
c. Larutan minoxidil 5 % dan antralin.
d. PUVA.
e. Kortikosteroid sistemik.20
Pengobatan experimental
Tacrolimus (FK 506)
Suatu imunosupressive agen untuk menstimulasi pertumbuhan rambut
pada CD1.5
Jenis Jenis Terapi Sistemik

18

Penggunaan obat sistemik untuk mengobati kerontokan rambut biasanya


digunakan untuk alopecia areata adalah :
Golongan imunomodulator; kortikoteroid, isoprinosin dan siklosporin
Kortikosteroid
Penggunaan sterois sistemik pada pengobatan alopecia areata masih
kontroversial. Angka pertumbuhamn rambut besarnta bervariasi (27 89%) dan
hal ini sulit untuk dibandingkan karena dosis pemberian yang digunakan dalam
beberapa penelitian berbeda. Tidak ada kesepatan resmi berkaitan dengan
pemakaian dosis steroid sistemik. Kortikosteroid yang sering digunakan adalah
prednison dengan dosis dan lama pemberian selang sehari dengan dosis 80 120
mg/hari selama antara 8 42 bulan atau dosis denyut 300 mg yang diberikan
sebanyak 4 kali dengan interval 4 minggu. Kekambuhan dapat terjadi dan
waktunya bervariasi antara 6 - 15 bulan sesudah prednison dihentikan.
Triamsinolon asetat 40 - 80 mg/hari IM, 1 - 6 kali/minggu selama 4,5 - 18
bulan dilaporkan memberikan hasil baik pada 11 pasien, relaps terjadi 4 - 9
minggu setelah penghentin obat. Friedli, dkk melaporkan pemakaian metil
prednisolon yang diberikan secara intravena dalam dosis denyut 250 mg/hari,
selama 3 hari pada bulan ke 1,3,6 dan ke 12. Kekambuhan terjadi pada sebagian
pasien, waktunya antara 3 -12 bulan seteIah obat dihentikan .15
lsoprinosin
lsoprinosin berfungsi meningkatkan jumlah dan fungsi limfosit T, serta
meningkatkan fungsi fagositosis, juga menurunkan kadar autoantibody yang
sering didapatkan pada alopecia areata, alopecia totalis atau alopecia universalis,
yaitu nuclear antibody, smooth muscle antibody, striated muscle antibody, serta
epidermal dan atau gastric parietal cell antibody. Dosis yang digunakan adalah 50
mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimal antara 3 - 5 g sehari. Lama pemberian
bervariasi, berkisar antara 20 minggu sampai 6 bulan. Dosis yang diberikan
biasanya tidak menetap, tetapi diturunkan setelah minggu ke 3 sampai minggu ke
- 8. Tidak semua pasien memberi respon memuaskan dan pada alopecia totalis dan
universalis kekambuhan terjadi antara 2 minggu sampai 5 bulan setelah obat
dihentikan, sementara pada alopecia areata lebih dari 1 tahun. Sabardi, dkk

19

melaporkan kasus alopecia areata pada anak yang diobati isoprinosin dengan dosis
masing- masing 2 x 400 mg/hari dan 4 x 250 mg/hari. Dosis diturunkan setelah 2
bulan menjadi 2 kali / minggu dan dilanjutkan sampai 6 bulan. Efek samping
penggunaan isoprinosin yang paling sering adalah peningkatan ringan asam urat
serum, nausea, dan skin rash. Sedangkan kontra indikasinya adalah penderita
gout, urolitiasis, dan disfungi ginjal. 5,15
Siklosporin
Siklosporin memiliki efek menghambat infiltrasi imunitas ke dalam dan
sekitar folikel rambut, menghambat ekspresi HLA DR di epitel folikel, ekspresi
ICAM-1, sel T CD4, CD8, dan sel Langerhans di folikel rambut, serta
menurunkan rasio CD4/CD8. Gupta,dkk (melaporkan pemberian siklosporin
dengan dosis 6 mg/kg/hari selama12 minggu. Pertumbuhan rambut mulai terjadi
antara minggu ke 2 - 4, sedangkan kesembuhan didapatkan tiga bulan setelah obat
dihentikan. Penulis lain melaporkan pemberian siklosporin dengan dosis 5
mg/kgBB/hari

dan

prednison

5 mg/hari.

Dosis

siklosporin

diturunkan

1mg/gBB/hari setelah 10 minggu dan setelah itu 0,5 mg/kgBB/hari tiap 6 minggu.
Total lama pemberian siklosporin 24 minggu dan prednison dihentikan 1 bulan
sesudah siklosporin dihentikan. Efek samping sillosporin adalah sakit kepala,
fatigue, diare, hiperplasia ginggiva, flushing dan myalgia serta peningkatan ureum
dan kreatinin serum.5,14
Golongan fototerapi PUVA dan Psoralen
Foto terapi untuk alopecia areata, totalis, dan universalis dengan
menggunakan psoralen + UVA (PUVA). PUVA dapat mempengaruhi populasi
limfosit di kulit dan dalam sirkulasi. Pada alopecia areata diduga menyebabkan
perubahan respon imun melalui mekanisme yang kompleks yang menyebabkan
bulbus rambut terbebas dari serangan reaksi imun. Secara umum, PUVA
mempunyai peran sebagai imunosupresif pada kulit. PUVA dapat menunkan
jumlah sel - T, kebanyakan seI CD3+, CD4+ dan CD8+. Juga menurunkan jumlah
reseptor interleukin (IL-2). Walaupun tidak menurunkan jumlah sel Langerhans,
PUVA menurunkan ekspresi pembentukan imumnojistokemia, jadi dapat

20

menurunkan presentasi antigen. Claudy,dkk melaporkan pemberian metoksalen


dengan dosis 10 mg untuk yang berat badannya 25 kg sampai 60 mg untuk yang
berat badannya > 90 kg, diberikan 2 jam sebelum radiasi PUVA ke seluruh badan.
Frekuensi radiasi 3 x/minggu dengan energi 8- 8,5 J/cm2 setiap beberapa kali
penyinaran5. Dosis radiasi ditingkatkan 1 J/cm2 setiap beberapa kali penyinaran
dan rerata radiasi keseluruhan adalah 505 J/cm2. Kekambuhan terjadi antara 8
bulan sampai 2 tahun setelah penghentian terjadi. Para peneliti lain menggunakan
dosis metosalen yang bervariasi, misalnya 10 mg/hari untuk yang berberat badan
< 30 kg sampai 60 mg/haru intuk yang berat badannya > 90 kg atau 0,6m g/kgBB,
semua diberikan 2 jam sebelum radiasi. Dosis awal radiasi 1 J/cm2 dan
ditingkatkan sampai dengan 9 J/cm2.5
Golongan vitamin dan mineral
Vitamin terutama digunakan pada keadaan defisiensi vitamin yang
bersangkutan. Kerontokan rambut pada alopecia dapat merupakan salah satu
gejala defisiensi beberapa jenis vitamin, misalnya B-12, biotin, dan vitamin D.
Untuk

keadaan

tersebut,

suplemen

vitamin

yang

bersangkutan

dapat

menghilangkan semua gejala defisiensi, termasuk gejala kerontokan rambut pada


alopecia. Vitamin B12 diberikan dengan dosis 1 mg/minggu lM pada bulan
pertama, yang dilanjutkan dengan 1 mg/bulan, perbaikan terjadi setelah1 tahun.
Sedangkan biotin diberikan dengan dosis 150 mg/hari yang memberikan
perbaikan setelah 1 minggu, dan vitamin D dengan dosis 00 400 lU/hari.
Vitamin B6 yang diberikan secara lM setiap hari selama 20-30 hari
memberikan perbaikan pada wanita dengan alopecia difusa atau efluvium telogen,
dosis pemberian tersebut dapat diulangi dengan interval 6 bulan. Pemberian
vitamin E dosis tinggi pada pasien keganasan yang mendapat sitostatik
doksorubsin ternyata tidak dapat mencegah terjadinya kerontokan rambut pada
pasien- asien tersebut.5
Beberapa analisa dilaporkan konsentrasi Zinc pada serum darah pasien
alopecia areata menurun. Zinc sulfat dapat digunakan pada beberapa pengobatan
alopecia areata.5

21

lnterferon
Interferon 2 (1,5 million lU) 3 kali seminggu selama 3 minggu.5
Dapsone
Dosis 50 mg 2 kali sehari digunakan selama 6 bulan.5
Jenis - Jenis Terapi Lain
Cryothterapy
Bekerja menstimulasi pertumbuhan r mbut pada alopecia areata. Pada satu
penelitian pada anak dan dewasa terjadi pertumbuhan rambut kembali pada lebih
dari 60 % dari area alopecia areata pada 70 dari 72 pasien yang diteliti. 5
Dermatography
Pada 1986 oleh Van Der Vender telah dimulai penelitian dengan Japanese
tattoing Technique untuk aplikasinya. Metode ini terus berkembang dan sejak
1990 disebut dermatography.5

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Dawber RPR, Berker, D,Wojnarowska. F, Disorders of Hair, In Champion RH
et al eds. Rook, Wilkinsons, Ebling Textbook of Dermatology: in form
volumes 6th ed oxford, Black Well Science Ltd,1998, 2869- 931.
2. Sawaya ME, Biochemistry and Control of Hair Growth, ln Arndt KA et al eds,
Cutaneus Medicine and Surgery an Integrated Program in Dermatology; in
two volumes, Philadelphia ; WB Saunders Company, 1996, 1245 - 67.
3. Olgen A.E. Hair Disorders. In: Fitzpatrick TB, et al eds. Dermatology in
General Medicine 5th ed. New York : MC Graw Hill lnc,' l999 : 729 46
4. Velden EM et als : Dermatography as new treatment for alopecia areata of the
eyebrows. In International Journal of Dermatology, vol 37, Blacwell Science
Ltd, 1998 ; 617 21
5. Anrdt, Bowers KE. Alopecia areata, in Manual of Dermatologic therapeutics
with Essential of Diagnosis. Dermatologica 2002; 117; 120-140
6. Ikeda T. A new classification of alopecia areata. Dermatologica 1965; 131:
42145.
7. McDonagh AJG, Messenger AG. The pathogenesis of alopecia areata.
Dermatol Clin 1996; 14: 66170.
8. van der Steen P, Traupe H, Happle R et al. The genetic risk for alopecia areata
in first degree relatives of severely affected patients: an estimate. Acta Derm
Venereol 1992; 72: 3735.
9. Colombe BW, Price VH, Khoury EL et al. HLA class II antigen associations
help to define two types of alopecia areata. J Am Acad Dermatol 1995; 33:
75764.
10. Tobin DJ, Orentreich N, Fenton DA et al. Antibodies to hair follicles in
alopecia areata. J Invest Dermatol 1994; 102: 7214.
11. Gilhar A, Pillar T, Assay B et al. Failure of passive transfer of serum from
patients with alopecia areata and alopecia universalis to inhibit hair growth in
transplants of human scalp skin grafted on to nude mice. Br J Dermatol 1992;
126: 16671.
12. Anderson I. Alopecia areata: a clinical study. BMJ 1999; ii: 12502.

23

13. Eckert J, Church RE, Ebling FJ. The pathogenesis of alopecia areata. Br J
Dermatol 1968; 80: 20310.
14. Muller SA, Winkelmann RK. Alopecia areata. Arch Dermatol 1963; 88: 290
7.
15. Sharma VK. Pulsed administration of corticosteroids in the treatment of
alopecia areata. Int J Dermatol 1996; 35: 1336.
16. Happle R. Antigenic competition as a therapeutic concept for alopecia areata.
Arch Dermatol Res 1980; 267: 10914.
17. Schmoeckel C, Weissmann I, Plewig G et al. Treatment of alopecia areata by
anthralin-induced dermatitis. Arch Dermatol 1979; 115: 12545.
18. Fiedler-Weiss VC, Buys CM. Evaluation of anthralin in the treatment of
alopecia areata. Arch Dermatol 1987; 123: 14913.
19. Fenton DA, Wilkinson JD. Topical minoxidil in the treatment of alopecia
areata. BMJ (Clin Res Ed). 1983; 287: 10157.
20. Rokhsar CK, Shupack JL, Vafai JJ et al. Efficacy of topical sensitizers in the
treatment of alopecia areata. J Am Acad Dermatol 1998; 39: 75161.

24

You might also like