You are on page 1of 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Demensia ialah kondisi penurunan kemampuan intelektual yang
progresif setelah mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15
tahun) karena gangguan otak organik, diikuti degradasi perilaku dan
kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi kognitif seperti
memori, orientasi, perasaan dan pembentukan pikiran konseptual. Biasanya
kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif.1
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa
disertai gangguan kesadaran.2 Demensia adalah Sindrom penyakit akibat
kelainan otak bersifat kronik/progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur
(Kortikal yang multiple) yaitu; daya ingat, daya fikir, daya orientasi, daya
pemahaman, berhitung, kemampuan belajar, berbahasa, kemampuan menilai.
Kesadaran tidak berkabut, Biasanya disertai hendaya fungsi kognitif, dan ada
kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi,
perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer,
pada penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau
sekunder mengenai otak.3

2.2.

Epidemiologi
Diperkirakan 35.6 juta orang di seluruh dunia hidup dengan demensia
pada tahun 2010. Eropa Barat adalah negara dengan jumlah penduduk dengan
demensia tertinggi (7 juta orang), diikuti dengan Asia Timur dengan 5,5 juta
orang, Asia Selatan dengan 4,5 juta orang dan Amerika Utara dengan 4,4 juta
orang mengidap demensia. Total jumlah penderita demensia hampir menjadi
dua kali lipat tiap 20 tahunnya, menjadi 65,7 juta pada tahun 2030 dan 115,4
juta pada 2050. Proyeksi ini utamanya disebabkan oleh pertumbuhan
penduduk dan penuaan.13
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia.
Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat
2

mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun


prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen.1,2
Di Indonesia pada tahun 2006, dari 20 juta orang lansia diperkirakan
satu juta orang mengalami demensia. Selain itu, berdasarkan jenis kelamin,
prevalensi wanita tiga kali lebih banyak dibanding pria. Hal ini mungkin
refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan pria.
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen
diantaranya menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu
demensia tipe Alzheimer (Alzheimers diseases).
Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya
usia, untuk seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen
pada pria dan 0,8 persen pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya
mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer membutuhkan
lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing home bed). 1,2,4
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia
vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler.
Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita
demensia. Demensia vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh
kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang
yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki
daripada wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis
demensia tersebut.1,5
Penyebab demensia

paling

sering

lainnya,

masing-masing

mencerminkan 1 hingga 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang


berhubungan dengan alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan
dengan gangguan pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan penyakit
Parkinson. Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan
mempunyai banyak penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis
dengan cermat pada seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan
penyebab demensia pada pasien tertentu. 1
2.3.

Etiologi

Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas
65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3)
campuran antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen
diantaranya adalah demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit
Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia
alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus
(HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson.
Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis
berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan metabolik
(misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12
atau defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat depresi. Pada tabel
2.1 berikut ini dapat dilihat kemungkinan penyebab demensia:

Gambar.2.1. Perbadingan persentase etiologi dari demensia.6

Tabel 2.1 Kemungkinan Penyebab Demensia

2.4. Tipe Demensia


2.4.1. Demensia Tipe Alzheimer
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang
selanjutnya diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia
menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan
demensia progresif selama 4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer
didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak; meskipun demikian,
demensia Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis
setelah penyebab demensia lain telah disingkirkan dari pertimbangan
diagnostic.2

Gambar 2.2. Penyakit Alzheimer. Tampak secara jelas plak senilis disebelah
kiri. Beberapa serabut neuron tampak kusut disebelah kanan. Menjadi catatan
tentang adanya kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal. 2

Gambar.2.3 Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak
normal.7

2.4.1.1. Faktor Genetik


Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum
diketahui, telah terjadi kemajuan dalam molekular dari deposit
amiloid yang merupakan tanda utama gangguan neuropatologi.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia
mempunyai riwayat keluarga menderita demensia tipe Alzheimer,
jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetik dianggap
berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut.
Dukungan tambahan tentang peranan genetik adalah bahwa
terdapat angkapersesuaian untuk kembar monozigotik, dimana
angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada angka
kejadian pada kembar dizigotik.
Dalam beberapa kasus yang wtelah

tercatat

dengan

baik,

gangguan ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen


autosomal dominan, walau transmisi tersebut jarang terjadi.

2.4.1.2. Protein Prekursor Amiloid


Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada lengan
panjang kromosom 21. Melalui proses penyambungan diferensial,
dihasilkan empat bentuk protein prekusor amiloid. Protein beta/ A4,
yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu
peptida dengan 42-asam amino yang merupakan hasil pemecahan
dari protein prekusor amiloid. Pada kasus sindrom Down (trisomi
kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein prekusor
amiloid, dan pada kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon
717 dalam gen protein prekusor amiloid, suatu proses patologis
yang menghasilkan deposit protein beta/A4 yang berlebihan.
Bagaimana proses yang terjadi pada protein
dalam perannya

sebagai

penyebab

prekusor

amiloid

utama penyakit Alzheimer

masih belum diketahui, akan tetapi banyak kelompok studi yang


meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein
prekusor amiloid maupun proses metabolisme yang terjadi pada
pasien

dengan

demensia

tipe

Alzheimer

untuk

menjawab

pertanyaan tersebut.2
2.4.1.3. Gen E4 Multipel
Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam
perjalanan penyakit Alzheimer. Individu yang memiliki satu kopi
gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar daripada
individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang
memiliki dua kopi gen E4 memiliki kemungkinan delapan kali
lebih besar daripada yang tidak memiliki gen tersebut.
Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini

tidak

direkomendasikan untuk saat ini, karena gen tersebut ditemukan


juga pada

individu tanpa demensia dan

juga belum tentu

ditemukan paa seluruh penderita demensia.2


2.4.1.4. Neuropatologi
Penelitian neuroanatomi otak klasik pada p asien dengan
penyakit Alzheimer menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran
7

sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel serebri. Gambaran


mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer
adalah plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss
(biasanya

ditemukan

pada

korteks

dan hipokampus), dan

degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut


neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan
protein primer terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal
lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron tersebut tidak
khas ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga
ditemukan pada sindrom Down, demensia pugilistika (punch-drunk
syndrome)

kompleks

Parkinson-demensia

Guam,

penyakit

Hallervon-Spatz, dan otak yang normal pada seseorang dengan


usia lanjut. Kekusutan serabut neuron biasanya ditemukan di
daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus.
Plak senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat
mendukung untuk diagnosis penyakit Alzheimer meskipun plak
senilis tersebut juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam
beberapa kasus ditemukan pada proses penuaan yang normal.2
2.4.1.5. Neurotransmitter
Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi
dari demensia Alzheimer adalah asetilkolin dan norepinefrin.
Keduanya

dihipotesis

Alzheimer.

Beberapa

menjadi
penelitian

hipoaktif
melaporkan

pada
pada

penyakit
penyakit

Alzheimer ditemukannya suatu degenerasi spesifik pada neuron


kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang mendukung
adanya defisit kolinergik pada Alzheimer adalah ditemukan
konsentrasi asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun.2
2.4.1.6. Penyebab Potensial Lainnya
Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan
perkembangan penyakit Alzheimer. Satu teori adalah bahwa
kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid membran
menyebabkan membran yang kurang cairan yaitu, lebih kaku
dibandingkan dengan membran yang normal. Penelitian melalui
8

spektroskopik

resonansi

molecular

(Molecular

Resonance

Spectroscopic; MRS) mendapatkan kadar alumunium yang tinggi


dalam beberapa otak pasien dengan penyakit Alzheimer.2

2.4.2.

Demensia Vaskuler
DVa juga merupakan bentuk demensia yang dapat dicegah
sehingga mempunyai peranan yang besar dalam menurunkan angka
kejadian demensia dan perbaikan kualitas hidup usia lanjut. Dalam
arti kata luas, semua demensia yang diakibatkan oleh penyakit
pembuluh darah serebral dapat disebut sebagai DVa. Istilah DVa
menggantikan istilah demensia multi infark karena infark multipel
bukan satu-satunya penyebab demensia tipe ini. Infark tunggal di
lokasi tertentu, episode hipotensi, infark inkomplit dan perdarahan
juga dapat menyebabkan kelainan kognitif.14
Demensia vascular (DVa) ditemukan umumnya pada lakilaki, khususnya dengan riwayat hipertensi dan faktor resiko
kardiovaskuler lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh
darah serebral berukuran kecil dan sedang yang mengalami
infark dan menghasilkan lesi parenkhim multipel yang menyebar
luas pada otak. Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah
oleh plaq arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain
(misalnya katup jantung). Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit
karotis, hasil funduskopi yang tidak normal atau pembesaran
jantung.2
Saat ini istilah DVa digunakan untuk sindroma demensia yang
terjadi sebagai konsekuensi dari lesi hipoksia, iskemia atau
perdarahan di otak. Prevalensi DVa bervariasi antar negara, tetapi
prevalensi terbesar ditemukan di negara maju. Di Kanada insiden
rate pada usia 65 tahun besarnya 2,52 per 1000 sedangkan di
Jepang prevalensi DVa besarnya 4,8%.(1,5) Prevalensi DVa akan
semakin meningkat dengan meningkatnya usia seseorang, dan lebih

sering dijumpai pada laki-laki. Sebuah penelitian di Swedia


menunjukkan risiko terjadinya DVa pada laki-laki besarnya 34,5%
dan perempuan 19,4%. The European Community Concerted.14
Action on Epidemiology and Prevention of Dementia
mendapatkan prevalensi berkisar dari 1,5/100 wanita usia 75-79
tahun di Inggris hingga 16,3/100 laki-laki usia di atas 80 tahun di
Itali.14
Dalam pembagian klinis dibedakan atas (Standard Pelayanan
PERDOSSI)
1. DVa pasca stroke / Post stroke demensia

Demensia infark strategik

MID (Multiple infark dementia)

Perdarahan intraserebral
2. DVa subkortikal

Lesi iskemik substansia alba

Infark lakuner subkortikal

Infark non takuner subkortikal


3. AD + CVD (DVa tipe campuran)
2.4.2.1 Faktor risiko
Secara umum faktor risiko DVa sama seperti faktor risiko stroke
meliputi: usia, hipertensi, diabetes melitus, aterosklerosis, penyakit
jantung, penyakit arteri perifer, plak pada arteri karotis interna,
alkohol, merokok, ras dan pendidika rendah. Berbagai studi
prospektif menunjukkan risiko vaskular seperti hipertensi, diabetes,
hiperkolestrolemia merupakan faktor risiko terjadinya DVa. Studi
Kohort di Kanada menujukkan, penderita diabetes risiko mengalami
DVa 2,15 kali lebih besar, penderita hipertensi 2,05 kali lebih besar,
10

penderita kelainan jantung 2,52 kali lebih besar. Sedangkan mereka


yang makan kerang-kerangan (shellfish) dan berolahraga secara
teratur merupakan faktor pencegah terjadinya DVa.14

2.4.2.2 Penegakan Diagnosis


Diagnosis demensia ditegakkan melalui dua tahap, pertama
menegakkan diagnosis demensia, kedua mencari proses vaskular
yang mendasari. Terdapat beberapa kriteria diagnostik untuk
menegakkan diagnosis DVa, yaitu: 14
1. Diagnostic and statictical manual of mental disorders edisi ke
empat (DSM-IV)
2. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ)
III
3. International clasification of diseases (ICD-10)
4. The state of California Alzheimers disease diagnostic and
treatment centers (ADDTC)
5. National institute of neurological disorders and stroke and the
association international pour la recherche et lenseignement en
neurosciences (NINDS-AIREN).
Kriteria Dianostik DSM IV
a. Adanya defisit kognitif multipleks yang dicirikan oleh gangguan
memori dan satu atau lebih dari gangguan kognitif berikut ini:

afasia (gangguan berbahasa)

apraksia (gangguan kemampuan untuk mengerjakan aktivitas


motorik, sementara fungsi motoric normal)

agnosia (tidak dapat mengenal atau mengidentifikasikan


benda walaupaun fungsi sensoriknya normal)

11

gangguan

dalam

fungsi

eksekutif

(merancang,

mengorganisasikan, daya abstraksi, membuat urutan).


b. Defisit kognitif pada kriteria a yang menyebabkan gangguan
fungsi sosial dan okupasional yang jelas.
Adapun kriteria diagnosis berdasarkan PERDOSSI adalah
1. Probable vad pasca stroke
a. Adanya demensia secara klinis dan test neuropsikologis
(sesuai dengan demensia Alzheimer)
b. Adanya penyakit serebrovaskuler (CVD) yang ditandai
dengan :

Defisit neurologik fokal pada pemeriksaan fisik


sesuai gejala stroke (dengan atau tanpa riwayat
stroke)

CT sken atau MRI adanya tanda-tanda gangguan


serebrovaskuler

c. Terdapat hubungan antara kedua gangguan diatas (1 atau


lebih keadaan dibawah ini)

Awitan demensia berada dalam kurun waktu 3 bulan


pasca stroke

Deteriorasi fungsi kognisi yang mendadak atau


berfluktuasi,

defisit kognisi

yang

progresif dan

bersifat stepwise.
2. Probable vad subkortikal
a. Sindroma kognisi meliputi :

Sindroma Diseksekusi: Gangguan formulasi tujuan,


inisiasi,

perencanaan, pengorganisasian,

sekuensial,

12

eksekusi, set-shifting, mempertahankan kegiatan dan


abstraksi

Deteriorasi fungsi memori sehingga terjadi gangguan


fungsi okupasi kompleks dan sosial yang bukan
disebabkan oleh gangguan fisik karena stroke

b. CVD yang meliputi :

CVD yang dibuktikan dengan neuroimaging

Riwayat defisit neurologi sebagai bagian dari CVD:


hemiparese,

parese

otot

wajah,

tanda

gangguan sensorik, disartri, gangguan

Babinski,
berjalan,

gangguan ekstrapiramidal yang berhubungan dengan


lesi subkortikal otak

2.4.2.3 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendapatkan data yang dapat
memberi nilai tambah dalam bidang pencegahan, diagnosis, terapi,
prognosis dan rehabilitasi. 14
1. Pencitraan
Dengan adanya fasilitas pemeriksaan CT scan otak atau MRI dapat
dipastikan adanya perdarahan atau infark (tunggal atau multipel), besar
serta lokasinya. Juga dapat disingkirkan kemungkinan gangguan
struktur lain yang dapat memberikan gambaran mirip dengan DVa,
misalnya neoplasma.
a. Foto Thorak VaD subkortikal
Lesi periventrikuler dan substansia alba luas

13

Tidak

ditemukan

kortikolsubkortikal

adanya:
dan

infark

di

kortikal

infark watershed;

dan

perdarahan

pembuluh darah besar; hidrosefalus tekanan normal (NPH)


dan penyebab spesifik substansia alba (multiple sklerosis,
sarkoidosis, radiasi otak).
b. Magnetic Resonance Imaging VaD subkortikal
Lesi luas periventrikuler dan substansia alba atau multipel
lakuner (>5) di substansia gresia dalam dan paling sedikit

ditemukan lesi substansia alba moderat


Tidak ditemukan infark di teritori non lakuner, kortikosubkortikal dan infark watershed, perdarahan, tanda-tanda
hidrosefalus tekanan normal dan penyebab spesifik lesi
substansia alba (mis. multiple sklerosis, sarkoidosis, radiasi
otak).

2. Laboratorium
Digunakan untuk menentukan penyebab atau faktor risiko yang
mengakibatkan timbulnya stroke dan demensia. Pemeriksaan darah
tepi, laju endap darah (LED), kadar glukosa, glycosylated Hb, tes
serologi untuk sifilis, HIV, kolesterol, trigliserida, fungsi tiroid, profil
koagulasi,

kadar

asam

urat,

lupus

antikoagulan,

antibodi

antikardiolipin dan lain sebagainya yang dianggap perlu.


3. Lain-lain
Foto Rontgen dada, EKG, ekokardiografi, EEG, pemeriksaan
Doppler, potensial cetusan atau angiografi.
2.4.2.4 Gambaran klinik
Serangan terjadinya DVa terjadi secara mendadak, dengan didahului
oleh transient ischemic attack (TIA) atau stroke, risiko terjadinya DVa 9
kali pada tahun pertama setelah serangan dan semakin menurun menjadi 2
kali selama 25 tahun kemudian.

Adanya riwayat dari faktor risiko

penyakit sebero vaskular harus disadari tentang kemungkinan terjadinya


DVa. Gambaran klinik penderita DVa menunjukkan kombinasi dari gejala

14

fokal neurologik, kelainan neuropsikologik dan gejala neuropsikiatrik.


Gejala fokal neurologik dapat berupa gangguan motorik, gangguan
sensorik dan hemianopsia. Kelainan neuropsikologik berupa gangguan
memori disertai dua atau lebih kelainan kognitif lain seperti atensi, bahasa,
visuospasial dan fungsi eksekutif. Gejala neuropsikiatrik sering terjadi
pada DVa, dapat berupa perubahan kepribadian (paling sering), depresi,
mood labil, delusion, apati, abulia, tidak adanya spontanitas. Depresi berat
terjadi pada 25-50% pasien dan lebih dari 60% mengalami sindrom
depresi dengan gejala paling sering yaitu kesedihan, ansietas, retardasi
psikomotor atau keluhan somatik. Psikosis dengan ide-ide seperti waham
terjadi pada 50%, termasuk pikiran curiga, sindrom Capgras. Waham
paling sering terjadi pada lesi yang melibatkan struktur temporoparietal. 14

Gambar.2.4. Makroskopis korteks serebral pada potongan koronal dari suatu


kasus demensia vascular. Infark lakunar bilateral multipel mengenai thalamus,
kapsula interna dan globus palidus.12

15

Gambar 2.5 Pasien dengan demensia kronik biasanya memerlukan perawatan


custodial. Pasien biasanya mengalami kemunduran perilaku, seperti menghisap
jari,khas pada jenis ini.

Gambar 2.6 Gambaran Wilayah yang Terkena oleh Berbagai Tipe Demensia

2.4.3. Familial Multiple System Taupathy dengan Persenile Demensia


Baru-baru ini ditemukan demensia tipe baru, yaitu Familial
Multipel System Taupathy, biasanya ditemukan bersamaan dengan
kelainan otak yang lain ditemukan pada orang dengan penyakit
Alzheimer. Gen bawaan yang menjadi pencetus adalah kromosom 17.
Gejala penyakit berupa gangguan pada memori jangka pendek dan
kesulitan mempertahankan keseimbangan dan pada saat berjalan.
Onset penyakit ini biasanya sekitar 40 50 detik, dan orang dengan
penyakit ini hidup rata-rata 11 tahun setelah terjadinya gejala.2
Seorang pasien dengan penyakit Alzheimer memiliki protein
pada sel neuron dan glial seperti pada Familial Multipel System
Taupathy dimana protein ini membunuh sel-sel otak. Kelainan ini tidak
berhubungan dengan plaq senile pada pasien dengan penyakit
Alzheimer.2

16

2.4.4. Penyakit Binswanger


Dikenal juga sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal,
ditandai dengan ditemukannya infark-infark kecil pada subtansia alba
yang juga mengenai daerah korteks serebri (Gambar 2.4). Dulu
dianggap penyakit yang jarang terjadi tapi dengan pencitraan yang
canggih dan kuat seperti resonansi magnetik (Magnetic Resonance
Imaging; MRI) membuat penemuan kasus ini menjadi lebih sering.2

Gambar.2.7. Penyakit Binswanger. Potongan melintang menunjukkan


gambaran infark pada bagian putih subkortikal.dengan pengurangan
subtansia grisea.2

2.4.5. Penyakit Pick


Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah
frontotemporal. Daerah tersebut mengalami kehilangan neuronal,
gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang merupakan massa
elemen

sitoskeletal.

Badan

Pick

ditemukan

pada

beberapa

spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis.


Penyebab dari penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah
kira-kira 5% dari semua demensia ireversibel.
Penyakit ini paling sering pada laki-laki, khususnya yang
memiliki keluarga derajat pertama dengan penyakit ini. Penyakit

17

Pick sukar dibedakan dengan demensia Alzheimer. Walaupun stadium


awal penyakit lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan
perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatif bertahan. Gambaran
sindrom

Kluver-Bucy

(contohnya:

hiperseksualitas,

flaksiditas,

hiperoralitas lebih sering ditemukan pada penyakit Pick daripada pada


penyakit Alzheimer.2

Gambar.2.8. Penyakit Pick dengan kelainan patologi yang luas .


Gambaran menunjukkan atrofi yang paling luas pada lobus frontalis serta
pada lobus temporalis dan parietalis2 , 1 0

Gambar.2.9. Pemeriksaan PET pada penyakit PICK.2

2.4.6. Penyakit Jisim Lewy (Lewy Body Diseases)


Penyakit Jisim Lewy adalah suatudemensia yang secara klinis
mirip dengan penyakit Alzheimer dan sering ditandai oleh adanya
halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala ekstrapiramidal.
Inklusi Jisim Lewy ditemukan di daerah korteks serebri. Insiden
yang sesungguhnya tidak diketahui. Pasien dengan penyakit Jisim

18

Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse effect) ketika


diberi pengobatan dengan antipsikotik.2,3

Gambar.2.10. Kortikal lewy bodies (panah), Dilahat dengan pewarnaan


hematoxylin dan eosin. Lewy bodies lebih eosinophilik, setengah bulat,
sitoplasmik inklusi.2

2.4.7. Penyakit Hutington


Penyakit Huntington

secara

klasik

dikaitkan

dengan

perkembangan demensia. Demensia pada penyakit ini terlihat sebagai


demensia tipe subkortikal yang ditandai dengan abnormalitas motorik
yang lebih menonjol dan gangguan kemampuan berbahasa yang
lebih ringan dibandingkan demensia tipe kortikal.

Demensia pada

penyakit Huntington menunjukkan perlambatan psikomotor dan


kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan yang kompleks, akan tetapi
memori, bahasa, dan tilikan relatif utuh pada stadium awal dan
pertengahan penyakit.
Dalam perkembangannya,

demensia

menjadi lengkap dan

gambaran klinis yang membedakannya dengan demensia


Alzheimer

adalah tingginya

tipe

insiden depresi dan psikosis, selain

gangguan pergerakan berupa gambaran koreoatetoid klasik.3


2.4.8. Penyakit Parkinson
Sebagaimana pada

penyakit

Huntington,

Parkinsonisme

merupakan penyakit pada ganglia basalis yang biasanya dikaitkan


dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 hingga 30 persen
pasien dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan kemampuan
19

kognitif. Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson


sejajar dengan perlambatan berpikir pada beberapa pasien, suatu
gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai bradifrenia.2
Patofisiologi

2.5.

Semua bentuk demensia adalah dampak dari kematian sel saraf


dan/atau hilangnya komunikasi antara sel-sel ini. Otak manusia sangat
kompleks dan banyak faktor yang dapat mengganggu fungsinya. Beberapa
penelitian

telah

menemukan

faktor-faktor

ini

namun

tidak dapat

menggabungkan faktor ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas


bagaimana demensia terjadi. Pada demensia vaskular, penyakit vaskular
menghasilkan efek fokal atau difus pada otak dan menyebabkan penurunan
kognitif. Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari oklusivaskular
emboli atau trombotik. Area otak yang berhubungan dengan penurunan
kognitif adalah substansia alba dari hemisfera serebral dan nuklei abu-abu
dalam, terutama striatum dan thalamus. Mekanisme demensia vaskular yang
paling banyak adalah infark kortikal multipel, infark single strategi dan
penyakit pembuluh darah kecil.6,7
-

Demensia multi-infark: kombinasi efek dari infark yang berbeda

menghasilkan penurunan kognitif dengan menggangu jaringan neural


Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda menyebabkan
gangguan kognitif yang signifikan. Ini dapat diperhatikan pada kasus

infark arteri serebral anterior, lobus parietal, thalamus dan satu girus
Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan dua sindrom major,
penyakit Binswanger danstatus lakunar. Penyakit pembuluh darah kecil
menyebabkan

perubahan

dinding

arteri, pengembangan

ruangan

Virchow-Robin dan gliosis parenkim perivaskular


Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi pembuluh darah kecil dan
menghasilkan lesikavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang arteri
penetrasi yang kecil. Lakunae ini ditemukan lebih sering di kapsula
interna, nuklei abu-abu dalam, dan substansia alba.Status lakunar adalah
kondisi dengan lakunae yang banyak, mengindikasikan adanya penyakit
pembuluh darah kecil yang berat dan menyebar

20

Penyakit

Binswanger

(juga

dikenal

sebagai

leukoencephalopati

subkortikal) disebabkanoleh penyakit substansia alba difus. Pada


penyakit ini, perubahan vaskular yang terjadiadalah fibrohialinosis dari
arteri kecil dan nekrosis fibrinoid dari pembuluh darah otak yang lebih
besar.
2.6. Patogenesis
2.6.1. Demensia Alzheimer
Terdapat semakin banyak konsensus yang menyatakan bahwa
produksi dan akumulasi dari peptide beta-amyloid (A) adalah inti dari
patogenesis DA. Bukti yang mendukung peranan penting dari A
mencakup hal-hal berikut: mutasi pada protein perkursor amiloid (PPA)
menyebabkan DA onset-dini; semua mutasi yang diketahui berhubungan
dengan DA meningkatkan produksi A; A bersifat neurotoksik secara in
vitro dan menyebabkan kematian sel; overekspresi dari protein prekursor
amiloid pada tikus transgenic percobaan untuk DA menyebabkan plak
neuritik yang mirip dengan yang dijumpai pada manusia dengan DA;
genotip apolipoprotein E

4, suatu faktor risiko mayor untuk DA,

menyebabkan percepatan deposisi amiloid; dan pembentukan antibody


antiamiloid pada manusia dengan DA tampaknya memperburuk proses
penyakit.7,8
Pembentukan NFT, oksidasi dan peroksidasi lipid, eksitotoksisitas
glutamat, inflamasi dan aktivasi kaskade kematian sel apoptotik dianggap
sebagai konsekuensi sekunder dari pembentukan dan deposisi A (Gambar
2.10). Disfungsi sel dan kematian sel pada kelompok neuron yang
bertanggung jawab untuk mempertahankan sistem neurotransmitter tertentu
menimbulkan defisit asetilkolin, norepinefrin dan serotonin. 8

21

Gambar 2.11. Pembentukan NFT, oksidasi dan peroksidasi lipid, eksitotoksisitas


glutamat,inflamasi dan aktivasi kaskade kematian sel apoptotic

Perubahan proses PPA yang menyebabkan akumulasi A dalam otak


kini dianggap sebagai proses awal yang paling penting pada DA, dan sebagai
penghubung dengan berbagai patologis neurochemical dan sinaptik lainnya.
(Gambar 2.12).9

Gambar 2.12. Proses PPA normal dan patologis Dikutip dari : Johnston MV.
Dementia and Related Disorders. In : Johnston MV, Gross RA. Editors. Principles of

22

Drug Therapy in Neurology. Second edition.New York : Oxford University Press.


2008

Terdapat hubungan antara jumlah amiloid pada otak pasien DA dengan


keparahan demensia, namun jumlah neuron yang hilang dan NFT pada
hipokampus berhubungan lebih erat dengan level kognitif. Protein prekursor
amiloid berlokasi di kromosom 21, dan individu dengan sindroma Down,
dengan trisomi 21, menunjukkan akumulasi A dan perkembangan patologis
DA lebih awal. Pada kultur sel, A terbukti membunuh neuron yang dikultur,
juga mengganggu keseimbangan energi, transpor membran mencakup
transporter glutamat, dan plastisitas sinaptik elektrofisiologis. Amiloid juga
terbukti memicu stres oksidatif jika terakumulasi pada membran neuron dan
mitokondria, menyebabkan peroksidasi lipid, masuknya ion kalsium secara
berlebihan dan pembentukan radikal bebas oksigen. 1,2,7
Oligomer A juga berikatan dengan reseptor NMDA, mempercepat
fungsinya, sehingga neuron dirusak melalui aliran kalsium yang berlebihan
melalui channel NMDA. Aktivitas reseptor NMDA yang berlebihan juga
dihubungkan dengan hiperfosforilasi tau, yang berperan terhadap NFT.
Mekanisme terjadinya akumulasi peptida A pada sebagian besar pasien
dengan DA sporadik tidak begitu jelas, namun pada bentuk yang familial,
terdapat defek pada enzim proteolitik yang normalnya memproses PPA.
Protein prekursor amiloid adalah protein membran yang berperan pada
plastisitas dan survival neuron. Protein prekursor amiloid dapat dipecah pada
daerah ,,-secretase dan pemecahan sequential oleh BACE ( site of APP
cleavage enzyme) dan -secretase menghasilkan fragmen PPA yang memiliki
fungsi fisiologis.
Namun, pemecahan oleh BACE dan -secretase menyebabkan produksi
A yang bersifat toksik. Mutasi yang terjadai pada DA familial menyebabkan
perubahan pada protein PPA sehingga pemecahan oleh BACE dan -secretase
terjadi lebih banyak atau mengubah gen presinilin yang memodifikasi
aktivitas

-secretase. Faktor metabolik dan lingkungan seperti diet tinggi

lemak juga dianggap dapat memodifikasi proses PPA melalui mekanisme


seperti stres oksidatif. Obat-obat penurun kolesterol golongan statin terbukti

23

menurunkan kadar A pada tikus mutan PPA sementara kadar kolesterol yang
tinggi dapat meningkatkan akumulasi peptida, kemungkinan dengan
mempercepat peroksidasi lipid.

Fenotip apoliporotein E juga dapat

meningkatkan risiko DA dengan mempercepat agregasi A. Neuron dengan


proyeksi yang panjang, seperti sistem kolinergik atau neuron dengan input
sinaptik eksitatorik yang kuat, seperti pada hipokampus, lebih cenderung
mengakumulasi A.9
Protein prekursor amiloid awalnya dipecah pada ujung amino A oleh
protease aspartyl yang terikat pada membran (disebut sebagai -secretase).
Pemecahan ini menghasilkan derivative dalam jumlah besar (sAPP) dan
fragmen APP yang terikat pada membrane dengan ujung karboksil (CTF).
Pemecahan CTF oleh -secretase menghasilkan produksi peptide A dengan
ukuran panjang yang bervariasi. 9,10
Dua jenis yang paling menarik perhatian adalah peptide A dengan 40
asam amino (A 40) dan peptide A dengan 42 asam amino (A42). Pada saat
yang sama, suatu cognate CTF diproduksi. Dua protease membran polytopic
homolog, yang disebut sebagai presenilins 1 dan 2 (PS1 dan PS2), tampaknya
merupakan -secretase. Jika keduanya bukan -secretase, setidaknya PS
merupakan kofaktor esensial untuk reaksi pemecahan ini.10
Bukti terbaru dari penelitian oleh British familial dementia (BFD) dan
familial Danish dementia (FDD) mendukung hipotesis bahwa akumulasi A
pada otak merupakan penyebab DA. BFD dan FDD adalah kelainan demensia
dengan onset-lanjut yang dicirikan dengan plak non A, tangles dan hilangnya
neuron. Sebagaimana pada DA, defek utama pada BFD tampaknya adalah
pembentukan abnormal dari suatupeptida dengan kemampuan amiloidogenik.
Dengan

demikian,

pada

dua

kelainan

tersebut,

akumulasi

peptida

amiloidogenik berhubungan dengan demensia. Secara kolektif, data ini


mendukung

versi

modifikasi

dari

hipotesis

kaskade

amiloid,

yang

diilustrasikan pada gambar.10

24

G
ambar 2.13. Agregasi -Amiloid Dikutip dari : Golde TE. Alzheimer disease therapy :
Can the amyloid cascade be halted. J Clin Invest. 2003. 111:11-18 10

2.6.2. Demensia Vaskular


Infark multiple
Demensia multi infark merupakan akibat dari infark multipel dan
bilateral. Terdapat riwayat satu atau beberapa kali serangan stroke dengan
gejala

fokal

seperti

hemiparesis/hemiplegi,

afasia,

hemianopsia.

Pseudobulbar palsy sering disertai disartria, gangguan berjalan (small step


gait), forced laughing/crying, refleks Babinski dan inkontinensia.
Computed tomography imaging (CT scan) otak menunjukkan hipodensitas
bilateral disertai atrofi kortikal, kadang-kadang disertai dilatasi ventrikel.6,7
Infark lacunar
Lakunar adalah infark kecil, diameter 2-15 mm, disebabkan kelainan
pada small penetrating arteries di daerah diencephalon, batang otak dan sub
kortikal akibat dari hipertensi. Pada sepertiga kasus, infark lakunar bersifat
asimptomatik. Apabila menimbulkan gejala, dapat terjadi gangguan
sensorik, transient ischaemic attack, hemiparesis atau ataksia. Bila jumlah

25

lakunar bertambah maka akan timbul sindrom demensia, sering disertai


pseudobulbar palsy. Pada derajat yang berat terjadi lacunar state. CT scan
otak menunjukkan hipodensitas multipel dengan ukuran kecil, dapat juga
tidak tampak pada CT scan otak karena ukurannya yang kecil atau terletak
di daerah batang otak. Magnetic resonance imaging (MRI) otak merupakan
pemeriksaan penunjang yang lebih akurat untuk menunjukkan adanya
lakunar terutama di daerah batang otak (pons). 6,7,12, 12
Strategic single infarct
Strategic single infarct dementia merupakan akibat lesi iskemik pada
daerah kortikal atau sub kortikal yang mempunyai fungsi penting. Infark
girus angularis menimbulkan gejala afasia sensorik, aleksia, agrafia,
gangguan memori, disorientasi spasial dan gangguan konstruksi. Infark
daerah distribusi arteri serebri posterior menimbulkan gejala amnesia
disertai agitasi, halusinasi visual, gangguan visual dan kebingungan.
Infark daerah distribusi arteri serebri anterior menimbulkan abulia,
afasia motorik dan apraksia. Infark lobus parietalis menimbulkan gangguan
kognitif dan tingkah laku yang disebabkan gangguan persepsi spasial.
Infark pada daerah distribusi arteri paramedian thalamus menghasilkan
thalamic dementia.6,7, 12
2.7. Gambaran Klinis Demensia
2.7.1. Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya
apraksia dan agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam
kriteria DSM IV. Tanda-tanda neurologis lainnya yang dikaitkan dengan
demensia adalah bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada 10 persen
pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20 persen pada pasien
dengan

demensia

vaskuler.

Refleks

primitif

seperti

refleks

menggenggam, refleks moncong (snout), refleks mengisap, refleks


tonus kaki serta refleks palmomental dapat ditemukan melalui
pemeriksaan neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien.2
Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat
digunakan The Mini Mental State Exam (MMSE).

26

ambar 2.14. Test menggambar jam pada penilaian MMSE.

Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejalagejala neurologis tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa
ringan, kelemahan, tanda defisit neurologis fokal terutama yang terkait
dengan penyakit serebro-vaskuler, pseudobulber palsy, disartria, dan
disfagia yang lebih menonjol dibandingkan dengan gejala-gejala
diatas pada jenis-jenis demensia lainnya.2
2.7.2. Reaksi Katastrofik
Pasien dengan

demensia

juga

menunjukkan

penurunan

kemampuan yang oleh Kurt Goldstein disebut perilaku abstrak.


Pasien mengalami kesulitan untuk memahami suatu konsep dan
menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih jauh lagi,
kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis,
dan kemampuan menilai suara juga terganggu. Goldstein juga
menggambarkan reaksi katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran
subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh tekanan. 11
Pasien biasanya mengkompensasi defek yang dialami dengan cara
menghindari kegagalan dalam kemampuan intelektualnya, misalnya
dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya
dengan

pemeriksa.

Buruknya

penilaian

dan

kemampuan

mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya ditemukan pada


demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis. Contoh
dari kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda
dengan tidak wajar, ketidakpedulian terhadap penampilan dan

27

kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam hubungan


sosialnya.2,12
2.7.3. Sindrom Sundowner
Sindrom sundowner ditandai

dengan

keadaan

mengantuk,

bingung, ataksia dan terjatuh secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut


muncul pada pasien yang berumur lebih tua yang mengalami sedasi
yang berlebihan dan penderita demensia yang bereaksi secara
berlebihan terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang
kecli sekalipun. Sindrom tersebut juga muncul pada pasien demensia
saat sitmulus eksternal seperti cahaya dan isyarat interpersonal
dihilangkan.2
2.8.

Pemeriksaan Demensia
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena
sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan
pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa

langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain:1,2, 12, 15


2.8.1. Riwayat medik umum
Anamnesis yang detail adalah bagian penting untuk menilai apakah
seseorang menderita demensia atau tidak. Penting untuk menanyakan
onset keluhan, proses perkembangan penyakit, pola gangguan
kongnitif dan ada atau tidaknya gejala non kongnitif seperti gangguan
perilaku, halusinasi dan delusi. Penderita bisa jadi tidak dapat
memberikan informasi yang cukup akurat oleh karena itu keluarga atau
kerabat juga perlu diwawancara.
Penggunaan DSM-IV dan NINCDS-ADRDA untuk kriteria
diagnostic demensia Alzheimer memiliki tingkat akurasi dengan
sensitivitas hingga 80%. Terdapat bukti bahwa penggunaan Skor
Iskemik hachinski dapat digunakan untuk membedakan demensia
Alzheimer dengan Demensia Vaskular. Kriteria klinis untuk demensia
dengan Lewy Body dan demensia frontotemporal tidak berhubungan

28

dengan diagnoiss neuropatologis namun masih dapat dibedakan


dengan pengamatan klinis. 7,10,11
Skrining baik dilakukan oleh para praktisi untuk menemukan
kondisi medis lain yang biasa terjadi pada lansia dan memiliki potensi
menyebabkan demensia, seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi
kronik, enyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke
demensia vaskular. Pada saat wawancara biasanya pada penderita
demensia sering menoleh yang disebut head turning sign. Adanya
depresi pada lansia dengan demensia perlu diselidiki, mengingat
depresi memiliki hubungan dengan angka kejadian demensia.
Penilaian depresi dapat dilakukan dengan bantuan Skala Depresi
Geriatrik (Yesavage)

Gambar 2.15. Kriteria diagnosis berdasarkan DSM-IV dan


NINCDS-ADRDA. Sumber: Miller, Bruce L. and Bradley F.
Boeve. The Behavioural Neurology of Dementia. New York:
Cambridge University Press
2.8.2. Riwayat neurobehavioral

29

Anamnesis kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis


demensia atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori.
(memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang
dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal
wajah orang, bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan.
2.8.3. Penilaian Fungsi Kongnitif
Pemeriksaan yang dilakukan oleh praktisi untuk menilai fungsi
kongnitif sangatlah bervariasi. Mini Mental State Examination
(MMSE) dikembangkan sebagai alat skrining untuk demensia dan
telah digunakan secara luas.12 Ringkasan hasil MMSE memberikan
penilaian yang bersifat superfisial terhadap fungsi memori, bahasa dan
visuoperseptual. Ulasan sistematik menunjukan bahwa MMSE cocok
untuk mendeteksi demensia pada individu dengan dugaan gangguan
kongnitif.
Pemeriksaan Addenbrookes Congnitive memiliki pengukuran
yang lebih komprehensif untuk fungsi kongnitif. Pemeriksaan ini
menilai 6 komponen dari fungsi kongnitif.
2.8.4. Riwayat Keracunan Nutrisi, dan Obat
Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati
toksik dan gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih
inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi
pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu
diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik
dapat menurunkan fungsi kognitif.

2.8.5. Pemeriksaan Penunjang (Asosiasi Alzheimer Indonesdia, 20 12)


2.8.5.1.
Pemeriksaan Laboratorium Rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu
diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu

30

pencarian etiologi

demensia khususnya

pada demensia

reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah


demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal,
pemeriksaan

laboratorium

rutin

sebaiknya

dilakukan.

Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:


pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum,
kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam
folat
2.8.5.2.

Imaging
Kemampuan

pemeriksaan

klinis

(anamnesis

dan

pemeriksaan fisik) untuk memprediksi lesi struktural telah


dilaporkan memiliki sensitivitas dan spesifisitas 90%. Imaging
dapat digunakan untuk mendeteksi penyebab reversible dari
demensia dan digunakan untuk diagnose banding demensia.
Terdapat banyak pilihan untuk imaging diantaranya
Computed tomography (CT), magnetic resonance imaging
(MRI),
(SPECT)

single
dan

photon
positron

emission

controlled

emission

tomography

tomography

(PET).

Pengukuran lebar lobus temporal medial dengan CT dapat


membantu membedakan demensia dari depresi tetapi tidak
dapat membedakan penyebab daripada demensia itu sendiri.
MRI dapat mendeteksi volumetric pada hipokampus yang
dapat membantu diagnosis klinis dari penyakit Alzheimer dan
menentukan diagnosis banding sebagai contoh Demensia
Vaskular. Studi menunjukan penggunaan MRI lebih baik
dibanding PET dan SPECT dalam mendiagnosis demensia.
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam
pemeriksaan

demensia

walaupun

hasilnya

masih

dipertanyakan.

31

Beberapa

studi

menunjukan

adanya

keuntungan

pemeriksaan SPECT dalam mendiagnosis penyakit alzhiemer


namun kriteria klinis lebih sensitive untuk mendiagnosis
penyakit Alzheimer. SPECT digunakan dalam membedakan
Alzheimer demensia dari vascular demensia, demensia dengan
lewy body dan demensia frontotemporal.
Kombinasi investigasi struktural dan fungsional akan
memberikan keakuratan diagnosis yang lebih baik. SPECT
dapat dilakukan dengan kombinasi CT untuk menentukan
diagnosis banding demensia ketika diagnosis meragukan.
2.8.5.3.

Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran
spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada
Alzheimer

stadium

lanjut

dapat

memberi

gambaran

perlambatan difus dan kompleks periodik.


2.8.5.4.

Pemeriksaan Cairan Otak


Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan
demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai
rangsangan meningen dan panas demensia presentasi atipikal,
hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal
pada CT scan.

2.9.

Diagnosis Banding Demensia


Penurunan kognitif akibat usia
Apabila usia meningkat, terjadi kemunduran memori yang ringan.
Volume otak akan berkurang dan beberapa sel saraf atau neurons akan
hilang.
Depresi
Biasanya orang yang depresi akan pasif dan tidak berespon.
Kadang-kadang keliru dan pelupa.
Delirium
Adanya kekeliruan dan perubahan status mental yang cepat.
Individu

ini

disorientasi, pusing,

inkoheren.

Delirium

disebabkan

32

keracunan atau infeksi yang dapat diobati.Biasanya sembuh sempurna


setelah penyebab yang mendasari diatasi
Kehilangan memori
Antara penyebab kehilangan memori yang lain adalah malnutrisi,
dehidrasi, fatigue, depresi, efek samping obat, gangguan metabolik,
trauma kepala, tumor otak jinak, infeksi bakteri atau virus dan Parkinson.
Berikut adalah diagnosa banding demensia berdasarkan tipe demensia

Tabel 2.2. Diagnosa banding demensia berdasarkan tipe demensia.


Sumber: Shaik, Saiffuddin Sheriff and Anoop Ranjan Varma. 2012.
Review of Differentiating the Dementias: a Neurological Approach.
Progress in Neurology and Psychiatry

33

Tabel 2.3. Perbandingan Demensia vascular dan penyakit Alzheimer


2.10. Penatalaksanaan
2.10.1. Penatalaksanaan Demensia Alzheimer
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh
karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan
simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada
penderita dan keluarga.1
Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum
mempunyai efek yang menguntungkan.
-

Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan
inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit alzheimer,
dimana penderita Alzheimer didapatkan penurunan kadar
asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat
digunakan antikolinesterase yang bekerja secara sentral seperti
fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat
ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama
pemberian berlangsung. Beberapa peneliti menyatakan bahwa
obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan
intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer.

34

Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer
didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent
enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal
ini disebabkan kerusakan neuronal padanukleus basalis.
Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari
selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna
terhadap fungsikognisi dibandingkan placebo selama periode

yang sama.
Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat
memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan
binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer

tidak menunjukkan perbaikan klinis yangbermakna.


Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat
disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian
klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2
reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2mg peroral selama 4
minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk

memperbaiki fungsi kognitif.


Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis
(delusi,

halusinasi)

dan tingkah

laku.

Pemberian

oral

Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4minggu akan memperbaiki


gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi
sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline25-

100 mg/hari).
Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam
miktokondria dengan bantuan enzym ALC transferase.
Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan
aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.Pada
pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam

35

pengobatan, disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau


menghambat progresifitaskerusakan fungsi kognitif.
2.10.2. Penatalaksanaan Demensia Vaskuler
Tatalaksana komprehensif
-

Terapi Suportif
Berikan perawatan fisik yang baik, misalnya nutrisi yang
bagus, kacamata, alat bantu dengar, alat proteksi (untuk anak
tangga, kompor, obat-obatan) dan lain-lain. Sewaktu-waktu
mungkin perlu pembatasan/pengekangan secara fisik.1,2
Pertahankan pasien berada dalam lingkingan yang sudah
dikenalnya dengan baik, jika memungkinkan. Usahakan
pasien dikelilingi oleh teman-teman lamanya dan bendabenda yang biasa ada di dekatnya. Tingkatkan daya
pengertian dan partisipasi anggota keluarga.
Pertahankan keterlibatan pasien melalui kontak personal,
orientasi yang sering (mengingatkan nama hari, jam, dsb).
Diskusikan berita aktual bersama pasien. Pergunakan
kalender, radio, televisi. Aktifitas harian dibuat terstruktur
dan terencana.1,3
Bantulah untuk mempertahankan rasa percaya diri pasien.
Rawatlah mereka sebagai orang dewasa (jangan perlakukan
sebagai anak kecil, jaga dignity dari pasien-komentar
penerjemah). Rencana diarahkan kepada kekuatan/kelebihan
pasien. Bersikaplah menerima dan menghargai pasien.
Hindari suasana yang remang-remang, terpencil; juga
hindari stimulasi yang berlebihan.

Terapi Simtomatik
Kondisi pasien

psikiatrik

memerlukan

obat-obatan

dengan dosis yang sesuai :4,5


Ansietas akut, kegelisahan, agresi, agitasi: Haloperidol
0,5 mg per oral 3 kali sehari (atau kurang); Risperidon 1
mg peroral sehari. Hentikan setelah 4-6 minggu.

36

Ansietas non psikotik, agitasi: Diazepam 2 mg per oral


dua kali sehari, venlafaxin XR. Hentikan setelah 4-6
minggu.
Agitasi kronik: SSRI (misal Fluozetine 10-20 mg/hari)
dan atau Buspiron (15 mg dua kali sehari); juga
pertimbangkan Beta Blocker dosis rendah.
Depresi: pertimbangkan SSRI dan anti depresan baru
lainnya dahulu; dengan Trisiklik mulai perlahan-lahan
dan tingkatkan sampai ada efek misal Desipramin 75150 mg per oral sehari.
Insomnia: hanya untuk penggunaan jangka pendek.
-

Terapi Khusus :1,2


Identifikasi dan koreksi semua kondisi yang dapat
diterapi. Tidak ada terapi obat khusus untuk demensia yang
ditemukan bermanfaat secara konsisten, walaupun banyak
yang sedang diteliti (misal vasodilator serebri, antikoagulan,
stimulan metabolik serebri, oksigen hiperbarik).
Perubahan perilaku dan berbagai aspek psikologis pada
orang dengan demensia merupakan problem tersendiri bagi
keluarga. Tidak jarang hal ini membuat suasana kacau dan
mengakibatkan stres bagi pelaku rawat (caregiver). Untuk itu
perlu adanya strategi penanganan yang tepat agar gangguan
perilaku pada demensia seperti agitasi, wandering, depresi,
delusi

paranoid,

apatis,

halusinasi,

dan

agresivitas

(verbal/fisik) dapat diatasi. Strategi tatalaksana meliputi


pengembangan program aktivitas dan pemberian obat bila
perlu. Program aktivitas meliputi stimulasi kognitif, mental,
dan afektif yang dikemas dalam bentuk yang sesuai untuk
pasien tersebut.
Tatalaksana demensia harus disesuaikan dengan tahapan
demensia, kondisi lingkungan, dan sumber-sumber dukungan

37

yang ada (fisik maupun finansial), sarana terapi yang


tersedia, serta harapan pasien dan keluarganya.
Pemberian obat untuk gangguan perilaku pada demensia
bersifat simtomatik, dapat dipergunakan beberapa jenis
psikotropik dalam dosis kecil. Pemeilihan jenis terapi harus
sesuai dengan target terapi berdasarkan hasil pengkajian yang
cermat dan menyeluruh.
Prevensi dan Rehabilitasi
Di tingkat sekunder, pencegahan progresivitas penyakit
dilakukan dengan pemberian obat yang dapat menahan laju
perkembangan demensia. Dalam hal ini diperlukan keteraturan dan
kesinambungan obat dalam jangka waktu lama.
Pada tingkat tersier, upaya pencegahan

perburukan

fungiskognitif dilakukan dengan program aktivitas dan stimulasi


(jangan berlebihan atau di luar batas kemampuan individu), terapi
kenangan

(reminiscence),

validation,

snoezelen,

penyesuaian

lingkungan dan latihan orientasi realitas. Rehabilitasi kognitif dalma


hal ini bererti mengawetkan (preserve) fungsi-fungsi (aset) kognitif
yang masih ada, bukan mengembalikan kepada fungsi semula.

2.11.

Prognosis
Prognosis demensia vaskular lebih bervariasi dari penyakit

Alzheimer. Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka


harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya
meninggal dunia akibat infeksi sekunder. Penyebab kematian lainnya
untuk demensia secara umum adalah komplikasi dari demensia,
penyakit kardiovaskular dan berbagai lagi faktor seperti keganasan.1

38

You might also like