Professional Documents
Culture Documents
BIOAVAILABILITAS
Disusun oleh :
1. Devi Ayu K.
(0408033)
2. Dian Ratih M.
(0408045)
3. Erlina Candra W.
(0408063)
4. Ria Septiana
(0407119)
PERCOBAAN 3
BIOAVAILABILITAS
I. TUJUAN
Untuk mengetahui bioavailabilitas relatif dari bentuk sediaan berbeda (sirup, eliksir,
suspensi, pulveres)
II. DASAR TEORI
Bioavailabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah obat yang
aktif terapetik yang mencapai sirkulasi umum.
(Leon Shargel.2005.hal 167)
Ketersediaanhayati merupakan karakter suatu obat yang diberikan pada system
biologik utuh. Secara keseluruhan ketersediaanhayati menunjukkan kinetik dan
perbandingan kadar zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat
yang diberikan. Ketersediaanhayati mencakup dua pengertiaan berbeda yaitu : laju dan
intensitas.
(AIACHE JM, Devissaquet J, Ph.1993.hal 103)
Bioavailabilitas (ketersediaanhayati)
Gabungan pengertian laju penyerapan dan jumlah yang diserap pada fase
disposisi obat dalam tubuh menghasilkan konsep ketersediaanhayati.
Profil keberadaan obat didalam darah sebagai fungsi dari waktu disebut pula
profil bioavailabilitas atau profil ketersediaanhayati. Profil ini menggambarkan
interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil
tersebut juga mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh yang tidak diketahui
sebelumnya.
Oleh karena fenomena difusi zat aktif dari darah menuju jaringan yang dapat
terjadi secara bolak-balik (reversibel), maka selalu terjadi hubungan dinamik antara
konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah. Selanjutnya
hal ini digunakan sebagai titik tolak orientasi.
(AIACHE JM, Devissaquet J, Ph.1993.hal 14)
Bioavailabilitas dirumuskaan sebagai bagian (traksi) dari obat yang tidak
berubah yang mencapai sirkulasi sistemik setelah pemberian melalui jalur apa saja.
Untuk dosis obat intravena, bioavailabilitas diasumsikan sama dengan satu. Data
bioavailabilitas setelah pemberian obat oral sebagai persentase dosis yang tersedia di
dalam sirkulasi sistemik. Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya
mungkin kurang dari 100% berdasarkan dua alasan utama: banyaknya obat yang
diabsorpsi tidak sempurna dan eliminasi lintas-pertama.
(Betram Katzung. 2001. hal 71)
Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh FDA
untuk dipasarkan.
(Leon Shargel.2005.hal 170)
Bioavailabilitas atau Availabilitas Sistemik ( = F )
Parameter ini menunjukkan fraksi dari dosis obat yang mencapai peredaran
darah sistemik dalam bentuk aktif. Jika obat dalam bentuk aktif diberikan secara iv
maka F = 1, tetapi bila disuntikkan dalam bentuk derivat yang perlu dikonversi dalam
tubuh, maka F =fraksi yang dikonversi menjadi bentuk aktif, misalnya kloramfenikol,
etil suksinat, hidrokortison, Na-suksinat, klindamisin fosfat.
(dr. Amir Syarif.2007.hal 878)
Availabilitas Relatif
Availabilitas Relatif adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat
dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui. Fraksi dosis yang tersedia secara
sistemik dari suatu produk oral sukar dipastikan. Availabilitas suatu formula obat
dibandingkan terhadap availabilitas suatu formula standar, yang biasanya berupa suatu
larutan dari obat murni, dievaluasi dalam studi crossover. Availabilitas relative dari
dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute pemberian yang sama dapat
diperoleh dengan persamaan berikut:
Availabilitas Relatif =
Dimana produk obat B sebagai standar pembanding yang telah diketahui. Fraksi
tersebut dapat dikalikan 100 untuk member prosen availabilitas relative.
Jika dosis yang diberikan berbeda, suatu koreksi untuk dosis dibuat seperti
dalam persamaan berikut :
Availabilitas Relatif :
(Leon,Shargel.2005.hal 171)
Jika obat diberikan peroral maka F biasanya kurang dari 1 dan besarnya
tergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna (jumlah obat
yang diabsorpsi) dan jumlah obat yang mengalami eliminasi presistemik (metabolisme
lintas pertama) di mukosa usus dan dalam hepar. Obat-obat mengalami eliminasi
presistemik misalnya propanolol, metoprolol, levodopa, klorpomazin, morvin,
propoksifen, verapamil, dan diltiazem.
Bioavailabilitas suatu sediaan obat (preparat dagang) disebut bioavailabilitas
produk yang bersangkutan. Ini ditentukan selain oleh bahan baku obatnya, juga oleh
fomulasi produk tersebut; besarnya dibandingkan dengan bioavailabilitas produk
penemuannya, sehingga merupakan bioavailabilitas relative produk tersebut.
Bioavailabilitas Relatif produk oral x :
x100
[ AUC ] po / dosispo
[ AUC ]iv / dosisiv
(8.3)
Availabilitas absolut yang menggunakan data ekskresi obat lewat urindapat
ditentukan sebagai berikut :
Availabilitas Absolut :
[ Du ] ~po / dosispo
(8.4)
[ Du ] ~po / dosisiv
Availabilitas absolut juga sama dengan F, fraksi dosis yang dapat tersedia
dalam sistemik. Untuk obat-obat yang diberikansecara vaskuler seperti injeksi iv
bolus, F= 1 oleh karena seluruh obatsecara sempurna tersedia dalam sistemik. Untuk
semua rute pemberian pemberian ekstravaskuler, F 1. F biasanya ditentukan dengan
Persamaan 8.3 atau 8.4.
(Leon Shargel, 2005, hal 172)
Parasetamol
Labu takar
Tabung reaksi
Sonde
Scalpel
Efendrof
Mikropippet
Tabung sentrifuge
Vortex-mixer
Beaker glass
Pipet volum
Pipet ukur
Baskom es
Kuvet
Spektrofotometer vis
III.2. BAHAN
Parasetamol
Heparin
TCA 20 %
HCl 6 N
NaNO2 10 %
Asam silfanilat 15 %
NaOH 10 %
Es batu
Kelinci
Diberikan suatu dosis paracetamol secara per oral pada kelinci yang dibagi
menjadi 4 kelompok perlakuan
Panadol sirup
Tempra
Darah diambil tiap satuan waktu, yakni menit ke- 10, 20, 30, 45, 60, 90, 120,
150, 180, 210 pada vena telinga kelinci sebanyak 1,5 ml ke dalam efendrof
yang telah berisi heparin
Diambil filtrat / beningan sebanyak 1,0 ml, ditambah 0,5 ml HCl 6 N dan
ditambah 1,0 ml NaNO2 10 %, didinginkan dan dibiarkan 5 menit
Ditambah dengan TCA 10 % 2,0 ml, disentrifuge 3000 rpm selama 15 menit
Kemudian ditambah 1,0 ml asam sulfanilat 15 % melalui dinding tabung, sampai
gelembung hilang, ditambah lagi dengan 2,5 ml NaOH 10 %
V. DATA PENGAMATAN
Perhitungan
Sirup Paracetamol generic Phapros
Konversi dosis PCT dari manusia asia
Manusia 70 Kg =
x 500 mg = 700 mg
Kelinci
= 700 mg x 0,07
= 49 mg / 1,5 kg
= 32,67 mg / kg BB
= 1.608,9 gram
x 49 mg = 52,56 mg
Stok sirup
= 120 mg / 5ml
Vp
x 5 ml = 2,19 ml
DERET BAKU
Konsentrasi
Koreksi Kadar
100 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2
V1 . C1 = V2 . C2
V1 = 25 g
C2 = 25 g
200 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2
V1 . C1 = V2 . C2
V1 = 50 g
C2 = 218 g
300 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2
V1 . C1 = V2 . C2
V1 = 75 g
C2 = 327 g
400 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2
V1 . C1 = V2 . C2
V1 = 100 g
C2 = 436 g
500 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2
V1 . 1000 = 250 . 500
V1 = 125 g
600 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2
V1 . 1000 = 250 . 600
V1 = 150 g
V1 . C1 = V2 . C2
125 . 1090 = 250 .C2
C2 = 545 g
V1 . C1 = V2 . C2
150 . 1090 = 250 .C2
C2 = 654 g
700 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2
V1 . C1 = V2 . C2
V1 = 175 g
C2 = 763 g
Baku PCT
Berat kertas + zat
= 0,2820
= 0,1730
Berat zat
= 0,1090
A
-0.015
0.005
0.038
0.290
0.292
0,300
763
0,322
a = - 0,097267
b = 6,2202 x 10-4
r = 0,8738
y = 6,2202 x 10-4 x + (- 0,097267 )
Absorbansi
0
Cp ( g / ml )
0
10
20
-0,251
-0,236
-256,1667
-231,1667
30
-0,013
140,5
45
0,007
167,6263
60
0,009
170,8417
90
0,084
291,4169
120
0,002
169,2340
150
0,002
159,5880
180
0,002
159,5880
210
-0,017
133,8333
: 5,4582
: -2,6542.10-3
: -0.9959
K eliminasi
T eliminasi =
= -b
= 2,6542.10-3/ menit
= 0,693 / 2,6542.10-3
= 261,0956 menit
Fase absorbsi
absorbsi
eliminasi
Abs
-0,013
0,007
0,009
30
45
60
Cp
140,5
167,6263
170,8417
Cp
216,7130
208,2545
200,1261
Cpr ( Cp Cp)
76,213
40,6282
29,2844
Regresi t ( 30 - 60 ) vs ln Cpr
a
: 5,2397
: -0.0319
: -0,9838
Cop
= anti ln a
= anti ln 5,2397
= 188,6135 g/ml
Ka
= -b
= -0.0319 /menit
T max
AUC
= 85,0195 menit
AUC100
= 1280,8335 g menit/ml
AUC2010
AUC3020
= 453,3335 g menit/ml
AUC4530
AUC6045
AUC9060
= 6933,879 g menit/ml
AUC12090
AUC150120
= 6909,7635 g menit/ml
AUC180150
AUC210180
AUC210
= 50423,2160 g menit/ml
AUC TOTAL
= 87408,4393 g.menit/ml
= 174,745 g/ml
Cpmax
Parameter Farmakokinetik
No.
Klp
Sampel
1.
2.
Ka
K. el
T1/2
(menit)
T max
(menit)
C Max
(mg/ml)
AUC
Panadol sirup
(160mg/5ml)
0,0247
3,8780.10-3
178,70
88,9196
130,2620
49098,2713
Panadol sirup
(160mg/5ml)
0,0922
1,1005.10-3
629,4
48,61
132,3138
125732,3167
=
65320,794
3.
Tempra
(160mg/5ml)
0,0126
4,5582.10-3
152,03
126,4355
39,4305
63385,1497
4.
PCT Generik
Phapros
(120mg/5ml)
1,9515.10-3
355,1114
91477,0175
5.
PCT Generik
Phapros
(120mg/5ml)
0,0319
2,6542.10-3
261,0956
85,0195
174,745
87408,4393
0,35
0,34
=
89442,7284
6.
PCT Generik
AFI Pharma
9,3705.10-4
739,5550
184445,2278
VI. PEMBAHASAN
Pada percobaan ini, bertujuan untuk mengetahui bioavailabilitas relatif dari
beberapa sediaan yang berbeda yaitu panadol sirup, tempra, PCT generik Phapros dan
PCT generik AFIfarma. Perbedaan bioavailabilitas dari keempat sediaan tersebut dapat
diketahui dari salah satu nilai parameter yang ditentukan yaitu nilai AUC total, F.
Dalam hal ini bioavailabilitas menggambarkan persentase atau jumlah dan kecepatan
zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh atau aktif setelah pemberian suatu produk obat.
Langkah pertama yang dikerjakan adalah pembuatan deret baku dengan
konsentrasi 100, 200, 300, 400. 500, 600, dan 700 g/ml dan pemrosesan cuplikan
darah pada sampel uji dari tiap-tiap pemberian bentuk sediaan secara Peroral.
Diambil cuplikan darah, baik untuk sampel maupun baku, lalu divortex agar
dapat bercampur secara merata dan terbentuk ikatan antara obat dengan protein
plasma. Dan ditambahkan dengan antikoagulan, yaitu TCA. Kemudian dilakukan
proses sentrifugasi. TCA berfungsi untuk mengendapkan protein dalam plasma darah,
sehingga yang tersisa dibagian atas atau yang dikenal dengan supernatan hanyalah
ikatan obat dengan plasma.
Supernatan yang diperoleh dari hasil proses sentrifuge dipindahkan ke dalam
tabung reaksi dan ditambahkan dengan HCl 6N sebanyak 0,5 ml dan NaNO 2 10%
sebanyak 1 ml. Reaksi keduanya akan membentuk HNO2, reaksinya [HCl (aq) +
NaNO2 (aq) HNO2 (aq) + NaCl (aq)]. HNO2 bereaksi secara intramolekuler
membentuk NO+ (ion nitosonium), reksinya [2 HNO2 (aq) OH- (aq) + 2 NO+ (g)].
Ion nitrosonium akan bereaksi dengan parasetamol membentuk senyawa berwarna
kuning (garam diazonium). Kemudian didiamkan selama 15 menit dan setelah itu
ditambahkan asam sulfamat 15% sebanyak 1 ml. Asam sulfamat akan bereaksi dengan
0,48
gas nitrit yang belum hilang, sehingga gas nitrit tersebut dapat dihilangkan, dimana
keberadaan gas nitrit akan mengganggu proses pengukuran absorbansi. Setelah itu,
ditambahkan NaOH 10% sebanyak 2,5 ml. Penambahan NaOH bertujuan untuk
menetralkan larutan yang tadinya bersifat asam karena adanya asam sulfamat. Proses
tersebut harus dilakukan dalam kondisi dingin (dalam es) pada suhu kurang dari 15C
agar reaksi diazotasi dapat berjalan dengan sempurna.
Langkah kedua adalah penentuan panjang gelombang maksimum ( maks)
yang ditetapkan secara langsung. Panjang gelombang maksimum adalah panjang
gelombang dimana terjadi absorbsi maksimum. Dari hasil percobaan diperoleh maks
PCT pada 435 nm.
Langkah ketiga adalah penentuan operating time. Penentuan operating time
dilakukan bila terjadi reaksi pembentukan warna. Tujuan penentuan operating time
adalah untuk mengetahui jangka waktu pengukuran yang stabil dan untuk mendapat
resapan obat yang maksimum. Dari hasil percobaan diperoleh operating time pada 8
menit.
Langkah keempat adalah pengukuran absorbansi deret baku menggunakan
spektrofotometer visible. Dari kurva baku yang didapat akan diperoleh persamaan
y=bx+a yang dapat digunakan untuk mencari kadar PCT dalam plasma. Prinsipnya
adalah kolorimetri, warna yang terbentuk oleh senyawa kompleks serapannya diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum. Intensitas warna yang
dihasilkan akan meningkat secara linier dengan naiknya konsentrasi zat yang
ditetapkan, demikian juga dengan absorbansinya. Pembuatan kurva baku untuk
menggambarkan hubungan antara konsentrasi dan absorban yang berbanding lurus.
Dimana apabila memenuhi hukum Lambert-Beer maka kurva akan berupa garis lurus.
Dari hasil percobaan diperoleh kurva yang cukup linier dengan persamaan y = 6,2202
x 10-4 x + (- 0,097267 ).
Dari hasil pengukuran absorbansi sampel dapat diketahui nilai Cplasma dari
tiap-tiap waktu pengambilan cuplikan pada masing-masing sediaan. Dari sini akan
diperoleh kurva hubungan Waktu vs Cplasma dan dapat pula dihitung nilai parameter
bioavailabilitas dari masing-masing sediaan.
Suatu tetapan laju absorbsi (ka) menunjukkan kecepatan obat untuk dapat
dibsorbsi oleh membran menuju sirkulasi sistemik.
menghasilkan nilai yang paling tinggi. Nilai AUC total menunjukkan ketersediaan
obat dalam darah untuk dapat menghasilkan efek tinggi, sehingga dapat dikatakan
bioavailabilitasnya tinggi. Jadi dalam hal ini, secara keseluruhan PCT generic
AFIfarma dikatakan mempunyai bioavailabilitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Panadol sirup,Tempra,PCT generic Phapros.. Sehingga sediaan PCT generic
AFIfarma ini digunakan sebagai standart pembanding untuk membandingkan dan
menghitung bioavailabilitas relatif dari sediaan Panadol sirup,Tempra,PCT generic
phapros terhadap sediaan PCT generic AFIfarma.
Dihitung nilai bioavailabilitas relatif bukan absolut karena sediaan yang diuji
dan pembandingnya diberikan melalui rute pemberiaan yang sama. Jika nilai
bioavailabilitas absolut diperoleh dengan membandingkan dengan sediaan yang
diberikan melalui intravena. Nilai bioavailbilitas (BA) relatif dari sediaan Panadol
sirup,Tempra,PCT generic phapros berturut-turut adalah 0.35 ; 0.34 ; 0.48. Jadi BA
relatif dari suspensi lebih tinggi dibanding BA relatif eliksir dan pulveres. Sedangkan
nilai BA relatif PCT generic phapros lebih tinggi dari BA relatif Panadol sirup. Dan
nilai BA relatif Tempra paling kecil dibanding yang lainnya. Jadi pada praktikum kali
ini, dihasilkan nilai bioavailabilitas relatif yang paling tinggi adalah pada sediaan PCT
generic phapros. Sedangkan nilai bioavailabilitas relatif yang paling rendah ada pada
sediaan Tempra. Kecuali pada sediaan PCT generic AFIfarma yang pasti mempunyai
bioavailabilitas yang lebih tinggi(1) karena sebagai standar pembanding.
VII. KESIMPULAN
Nilai Bioavailabilitas (BA) relatif dari sediaan Panadol sirup, Tempra dan PCT
generic phapros berturut-turut adalah 0.35 ; 0.34 ; 0.48 dengan sediaan PCT
sirup, Tempra.
.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
AIACHE JM, Devissaquet J, Ph. 1993. Biofarmasi Edisi ke 2. Surabaya : Airlangga
Univercity Press
Mengetahui
Dosen Pengampu,
Praktikan,
(0407151)