You are on page 1of 18

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

BIOAVAILABILITAS

Disusun oleh :
1. Devi Ayu K.

(0408033)

2. Dian Ratih M.

(0408045)

3. Erlina Candra W.

(0408063)

4. Ria Septiana

(0407119)

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI


SEMARANG
2010

PERCOBAAN 3
BIOAVAILABILITAS

I. TUJUAN
Untuk mengetahui bioavailabilitas relatif dari bentuk sediaan berbeda (sirup, eliksir,
suspensi, pulveres)
II. DASAR TEORI
Bioavailabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah obat yang
aktif terapetik yang mencapai sirkulasi umum.
(Leon Shargel.2005.hal 167)
Ketersediaanhayati merupakan karakter suatu obat yang diberikan pada system
biologik utuh. Secara keseluruhan ketersediaanhayati menunjukkan kinetik dan
perbandingan kadar zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat
yang diberikan. Ketersediaanhayati mencakup dua pengertiaan berbeda yaitu : laju dan
intensitas.
(AIACHE JM, Devissaquet J, Ph.1993.hal 103)
Bioavailabilitas (ketersediaanhayati)
Gabungan pengertian laju penyerapan dan jumlah yang diserap pada fase
disposisi obat dalam tubuh menghasilkan konsep ketersediaanhayati.
Profil keberadaan obat didalam darah sebagai fungsi dari waktu disebut pula
profil bioavailabilitas atau profil ketersediaanhayati. Profil ini menggambarkan
interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil
tersebut juga mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh yang tidak diketahui
sebelumnya.
Oleh karena fenomena difusi zat aktif dari darah menuju jaringan yang dapat
terjadi secara bolak-balik (reversibel), maka selalu terjadi hubungan dinamik antara
konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah. Selanjutnya
hal ini digunakan sebagai titik tolak orientasi.
(AIACHE JM, Devissaquet J, Ph.1993.hal 14)
Bioavailabilitas dirumuskaan sebagai bagian (traksi) dari obat yang tidak
berubah yang mencapai sirkulasi sistemik setelah pemberian melalui jalur apa saja.
Untuk dosis obat intravena, bioavailabilitas diasumsikan sama dengan satu. Data

bioavailabilitas setelah pemberian obat oral sebagai persentase dosis yang tersedia di
dalam sirkulasi sistemik. Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya
mungkin kurang dari 100% berdasarkan dua alasan utama: banyaknya obat yang
diabsorpsi tidak sempurna dan eliminasi lintas-pertama.
(Betram Katzung. 2001. hal 71)
Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh FDA
untuk dipasarkan.
(Leon Shargel.2005.hal 170)
Bioavailabilitas atau Availabilitas Sistemik ( = F )
Parameter ini menunjukkan fraksi dari dosis obat yang mencapai peredaran
darah sistemik dalam bentuk aktif. Jika obat dalam bentuk aktif diberikan secara iv
maka F = 1, tetapi bila disuntikkan dalam bentuk derivat yang perlu dikonversi dalam
tubuh, maka F =fraksi yang dikonversi menjadi bentuk aktif, misalnya kloramfenikol,
etil suksinat, hidrokortison, Na-suksinat, klindamisin fosfat.
(dr. Amir Syarif.2007.hal 878)
Availabilitas Relatif
Availabilitas Relatif adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat
dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui. Fraksi dosis yang tersedia secara
sistemik dari suatu produk oral sukar dipastikan. Availabilitas suatu formula obat
dibandingkan terhadap availabilitas suatu formula standar, yang biasanya berupa suatu
larutan dari obat murni, dievaluasi dalam studi crossover. Availabilitas relative dari
dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute pemberian yang sama dapat
diperoleh dengan persamaan berikut:

Availabilitas Relatif =
Dimana produk obat B sebagai standar pembanding yang telah diketahui. Fraksi
tersebut dapat dikalikan 100 untuk member prosen availabilitas relative.
Jika dosis yang diberikan berbeda, suatu koreksi untuk dosis dibuat seperti
dalam persamaan berikut :

Availabilitas Relatif :
(Leon,Shargel.2005.hal 171)

Jika obat diberikan peroral maka F biasanya kurang dari 1 dan besarnya
tergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna (jumlah obat
yang diabsorpsi) dan jumlah obat yang mengalami eliminasi presistemik (metabolisme
lintas pertama) di mukosa usus dan dalam hepar. Obat-obat mengalami eliminasi
presistemik misalnya propanolol, metoprolol, levodopa, klorpomazin, morvin,
propoksifen, verapamil, dan diltiazem.
Bioavailabilitas suatu sediaan obat (preparat dagang) disebut bioavailabilitas
produk yang bersangkutan. Ini ditentukan selain oleh bahan baku obatnya, juga oleh
fomulasi produk tersebut; besarnya dibandingkan dengan bioavailabilitas produk
penemuannya, sehingga merupakan bioavailabilitas relative produk tersebut.
Bioavailabilitas Relatif produk oral x :

(dr. Amir Syarif.2007.hal 878)


Data ekskresi obat lewat urin juga dapat digunakan untuk mengukur
availabillitas relatif apabila jumlah total obat utuh yang diekskresi dalam urin
dikumpulkan. Prosen availabilitas relatif dengan menggunakan data ekskresi urin
dapat ditentukan sebagai berikut:

Prosen availabilitas relative =

x100

adalah jumlah total obat yang diekskresikan dalam urin.


(Leon Shargel.2005.hal 171-172)
Availabilitas Absolut
Besarnya bioavailabilitas suatu obat oral digambarkan oleh AUC (Area Under
the Curve) atau luas area di bawah kurva kadar obat dalam plasma terhadap waktu
obat tersebut dibandingkan dengan AUCnya pada pemberian iv. Ini disebut
bioavailabilitas absolute dari obat oral tersebut. Bioavailabilitas absolute obat oral = F

(dr. Amir Syarif.2007.hal 878)

Availabilitas absolut obat dapat diukur dengan membandingkan AUC produk


yang bersangkutan setelah pemberian oral dan IV. Pengukuran dapat dilakukan
sepanjang Vd dan K tidak bergantung pada rute pemberian. Availabilitas absolut
dengan menggunakan data plasmadapat ditentukansebagai berikut :
Availabilitas Absolut :

[ AUC ] po / dosispo
[ AUC ]iv / dosisiv

(8.3)
Availabilitas absolut yang menggunakan data ekskresi obat lewat urindapat
ditentukan sebagai berikut :
Availabilitas Absolut :

[ Du ] ~po / dosispo

(8.4)

[ Du ] ~po / dosisiv

Availabilitas absolut juga sama dengan F, fraksi dosis yang dapat tersedia
dalam sistemik. Untuk obat-obat yang diberikansecara vaskuler seperti injeksi iv
bolus, F= 1 oleh karena seluruh obatsecara sempurna tersedia dalam sistemik. Untuk
semua rute pemberian pemberian ekstravaskuler, F 1. F biasanya ditentukan dengan
Persamaan 8.3 atau 8.4.
(Leon Shargel, 2005, hal 172)
Parasetamol

Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit.


Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut dalam
etanol.
(Anonim. 1995. hal 649)
Farmakokinetik :
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi
tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam dan masa paruh plasma antara 1-3
jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plsma, 25 % parasetamol terikat
protein plasma. Parasetamol dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian
asetaminofen (80 %) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya
dengan asam sulfat. Selain itu juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil

hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat


ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian
besar dalam bentuk terkonjugasi.
(dr. Amir Syarif. 2007. hal 238)

III. ALAT DAN BAHAN


III.1. ALAT

Labu takar

Tabung reaksi

Rak tabung reaksi

Sonde

Scalpel

Efendrof

Mikropippet

Tabung sentrifuge

Vortex-mixer

Beaker glass

Pipet volum

Pipet ukur

Baskom es

Kuvet

Spektrofotometer vis

III.2. BAHAN

Sediaan parasetamol (Sirup, eliksir, suspensi pulveres)

Parasetamol

Heparin

TCA 20 %

HCl 6 N

NaNO2 10 %

Asam silfanilat 15 %

NaOH 10 %

Es batu

III.3. HEWAN UJI

Kelinci

IV. SKEMA KERJA

Dibuat larutan stok paracetamol


Dibuat kurva baku paracetamol secara internal dengan menggunakan darah
kelinci 250 l + heparin dan dibuat kadar 100, 200, 300, 400, 500, 600, 700 g/ml

Diberikan suatu dosis paracetamol secara per oral pada kelinci yang dibagi
menjadi 4 kelompok perlakuan
Panadol sirup

Tempra

PCT generik Phapros

PCT generik AFIfarma

Darah diambil tiap satuan waktu, yakni menit ke- 10, 20, 30, 45, 60, 90, 120,
150, 180, 210 pada vena telinga kelinci sebanyak 1,5 ml ke dalam efendrof
yang telah berisi heparin

Diambil filtrat / beningan sebanyak 1,0 ml, ditambah 0,5 ml HCl 6 N dan
ditambah 1,0 ml NaNO2 10 %, didinginkan dan dibiarkan 5 menit
Ditambah dengan TCA 10 % 2,0 ml, disentrifuge 3000 rpm selama 15 menit
Kemudian ditambah 1,0 ml asam sulfanilat 15 % melalui dinding tabung, sampai
gelembung hilang, ditambah lagi dengan 2,5 ml NaOH 10 %

diukur absorbansinya pada maks 435 nm

Ditentukan parameter farmakokinetiknya meliputi Ka, K, T1/2,T max, C max, AUC


dan F

V. DATA PENGAMATAN
Perhitungan
Sirup Paracetamol generic Phapros
Konversi dosis PCT dari manusia asia

Manusia 70 Kg =

x 500 mg = 700 mg

Konversi dosis PCT dari manusia

Kelinci

= 700 mg x 0,07
= 49 mg / 1,5 kg
= 32,67 mg / kg BB

Berat badan kelinci

= 1.608,9 gram

Kelinci ( 1,6 gram )

x 49 mg = 52,56 mg

Stok sirup

= 120 mg / 5ml

Vp

x 5 ml = 2,19 ml

DERET BAKU
Konsentrasi

Koreksi Kadar

100 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2

V1 . C1 = V2 . C2

V1 . 1000 = 250 . 100

25 . 1090 = 250 .C2

V1 = 25 g

C2 = 25 g

200 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2

V1 . C1 = V2 . C2

V1 . 1000 = 250 . 200

50 . 1090 = 250 .C2

V1 = 50 g

C2 = 218 g

300 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2

V1 . C1 = V2 . C2

V1 . 1000 = 250 . 300

75 . 1090 = 250 .C2

V1 = 75 g

C2 = 327 g

400 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2

V1 . C1 = V2 . C2

V1 . 1000 = 250 . 400

100 . 1090 = 250 .C2

V1 = 100 g

C2 = 436 g

500 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2
V1 . 1000 = 250 . 500
V1 = 125 g

600 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2
V1 . 1000 = 250 . 600
V1 = 150 g

V1 . C1 = V2 . C2
125 . 1090 = 250 .C2
C2 = 545 g

V1 . C1 = V2 . C2
150 . 1090 = 250 .C2
C2 = 654 g

700 g / ml
V1 . C1 = V2 . C2

V1 . C1 = V2 . C2

V1 . 1000 = 250 . 700

175 . 1090 = 250 .C2

V1 = 175 g

C2 = 763 g

Darah = 250 l - 175 l = 75 l

Baku PCT
Berat kertas + zat

= 0,2820

Berat kertas + sisa

= 0,1730

Berat zat

= 0,1090

Data Absorbansi Kurva Baku


C ( g/ml )
109
218
327
436
545
654

A
-0.015
0.005
0.038
0.290
0.292
0,300

763

0,322

a = - 0,097267
b = 6,2202 x 10-4
r = 0,8738
y = 6,2202 x 10-4 x + (- 0,097267 )

Kadar stok PCT


Termorex 160 mg / 5 ml
PCT generik 120 mg / 5 ml
Panadol 160 mg / 5 ml

-Perhitungan Parameter BioavailabilitasGENERIK


T ( menit )
0

Absorbansi
0

Cp ( g / ml )
0

10
20

-0,251
-0,236

-256,1667
-231,1667

30

-0,013

140,5

45

0,007

167,6263

60

0,009

170,8417

90

0,084

291,4169

120

0,002

169,2340

150

0,002

159,5880

180

0,002

159,5880

210

-0,017

133,8333

Regresi t ( 120 210 ) vs ln Cp


a

: 5,4582

: -2,6542.10-3

: -0.9959

K eliminasi

T eliminasi =

= -b
= 2,6542.10-3/ menit

= 0,693 / 2,6542.10-3
= 261,0956 menit
Fase absorbsi

absorbsi

eliminasi

Abs
-0,013
0,007
0,009

30
45
60

Cp
140,5
167,6263
170,8417

Cp
216,7130
208,2545
200,1261

Cpr ( Cp Cp)
76,213
40,6282
29,2844

Regresi t ( 30 - 60 ) vs ln Cpr
a

: 5,2397

: -0.0319

: -0,9838

Cop

= anti ln a
= anti ln 5,2397
= 188,6135 g/ml

Ka

= -b
= -0.0319 /menit

T max
AUC

= 85,0195 menit

AUC100

= 1280,8335 g menit/ml

AUC2010

(20-10) = 2436,667 g menit/ml

AUC3020

= 453,3335 g menit/ml

AUC4530

(45-30) = 2310,9473 g menit/ml

AUC6045

(60-45) = 2538,51 g menit/ml

AUC9060

= 6933,879 g menit/ml

AUC12090

AUC150120

= 6909,7635 g menit/ml

(150-120) = 4932,33 g menit/ml

AUC180150

(180-150) = 4787,64 g menit/ml

AUC210180

(210-180) = 4401,3195 g menit/ml

AUC210

= 50423,2160 g menit/ml

AUC TOTAL

= 87408,4393 g.menit/ml

= 174,745 g/ml

Cpmax

Parameter Farmakokinetik

No.
Klp

Sampel

1.
2.

Ka

K. el

T1/2
(menit)

T max
(menit)

C Max
(mg/ml)

AUC

Panadol sirup
(160mg/5ml)

0,0247

3,8780.10-3

178,70

88,9196

130,2620

49098,2713

Panadol sirup
(160mg/5ml)

0,0922

1,1005.10-3

629,4

48,61

132,3138

125732,3167
=
65320,794

3.

Tempra
(160mg/5ml)

0,0126

4,5582.10-3

152,03

126,4355

39,4305

63385,1497

4.

PCT Generik
Phapros
(120mg/5ml)

1,9515.10-3

355,1114

91477,0175

5.

PCT Generik
Phapros
(120mg/5ml)

0,0319

2,6542.10-3

261,0956

85,0195

174,745

87408,4393

0,35

0,34

=
89442,7284

6.

PCT Generik
AFI Pharma

9,3705.10-4

739,5550

184445,2278

VI. PEMBAHASAN
Pada percobaan ini, bertujuan untuk mengetahui bioavailabilitas relatif dari
beberapa sediaan yang berbeda yaitu panadol sirup, tempra, PCT generik Phapros dan
PCT generik AFIfarma. Perbedaan bioavailabilitas dari keempat sediaan tersebut dapat
diketahui dari salah satu nilai parameter yang ditentukan yaitu nilai AUC total, F.
Dalam hal ini bioavailabilitas menggambarkan persentase atau jumlah dan kecepatan
zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh atau aktif setelah pemberian suatu produk obat.
Langkah pertama yang dikerjakan adalah pembuatan deret baku dengan
konsentrasi 100, 200, 300, 400. 500, 600, dan 700 g/ml dan pemrosesan cuplikan
darah pada sampel uji dari tiap-tiap pemberian bentuk sediaan secara Peroral.
Diambil cuplikan darah, baik untuk sampel maupun baku, lalu divortex agar
dapat bercampur secara merata dan terbentuk ikatan antara obat dengan protein
plasma. Dan ditambahkan dengan antikoagulan, yaitu TCA. Kemudian dilakukan
proses sentrifugasi. TCA berfungsi untuk mengendapkan protein dalam plasma darah,
sehingga yang tersisa dibagian atas atau yang dikenal dengan supernatan hanyalah
ikatan obat dengan plasma.
Supernatan yang diperoleh dari hasil proses sentrifuge dipindahkan ke dalam
tabung reaksi dan ditambahkan dengan HCl 6N sebanyak 0,5 ml dan NaNO 2 10%
sebanyak 1 ml. Reaksi keduanya akan membentuk HNO2, reaksinya [HCl (aq) +
NaNO2 (aq) HNO2 (aq) + NaCl (aq)]. HNO2 bereaksi secara intramolekuler
membentuk NO+ (ion nitosonium), reksinya [2 HNO2 (aq) OH- (aq) + 2 NO+ (g)].
Ion nitrosonium akan bereaksi dengan parasetamol membentuk senyawa berwarna
kuning (garam diazonium). Kemudian didiamkan selama 15 menit dan setelah itu
ditambahkan asam sulfamat 15% sebanyak 1 ml. Asam sulfamat akan bereaksi dengan

0,48

gas nitrit yang belum hilang, sehingga gas nitrit tersebut dapat dihilangkan, dimana
keberadaan gas nitrit akan mengganggu proses pengukuran absorbansi. Setelah itu,
ditambahkan NaOH 10% sebanyak 2,5 ml. Penambahan NaOH bertujuan untuk
menetralkan larutan yang tadinya bersifat asam karena adanya asam sulfamat. Proses
tersebut harus dilakukan dalam kondisi dingin (dalam es) pada suhu kurang dari 15C
agar reaksi diazotasi dapat berjalan dengan sempurna.
Langkah kedua adalah penentuan panjang gelombang maksimum ( maks)
yang ditetapkan secara langsung. Panjang gelombang maksimum adalah panjang
gelombang dimana terjadi absorbsi maksimum. Dari hasil percobaan diperoleh maks
PCT pada 435 nm.
Langkah ketiga adalah penentuan operating time. Penentuan operating time
dilakukan bila terjadi reaksi pembentukan warna. Tujuan penentuan operating time
adalah untuk mengetahui jangka waktu pengukuran yang stabil dan untuk mendapat
resapan obat yang maksimum. Dari hasil percobaan diperoleh operating time pada 8
menit.
Langkah keempat adalah pengukuran absorbansi deret baku menggunakan
spektrofotometer visible. Dari kurva baku yang didapat akan diperoleh persamaan
y=bx+a yang dapat digunakan untuk mencari kadar PCT dalam plasma. Prinsipnya
adalah kolorimetri, warna yang terbentuk oleh senyawa kompleks serapannya diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum. Intensitas warna yang
dihasilkan akan meningkat secara linier dengan naiknya konsentrasi zat yang
ditetapkan, demikian juga dengan absorbansinya. Pembuatan kurva baku untuk
menggambarkan hubungan antara konsentrasi dan absorban yang berbanding lurus.
Dimana apabila memenuhi hukum Lambert-Beer maka kurva akan berupa garis lurus.
Dari hasil percobaan diperoleh kurva yang cukup linier dengan persamaan y = 6,2202
x 10-4 x + (- 0,097267 ).
Dari hasil pengukuran absorbansi sampel dapat diketahui nilai Cplasma dari
tiap-tiap waktu pengambilan cuplikan pada masing-masing sediaan. Dari sini akan
diperoleh kurva hubungan Waktu vs Cplasma dan dapat pula dihitung nilai parameter
bioavailabilitas dari masing-masing sediaan.
Suatu tetapan laju absorbsi (ka) menunjukkan kecepatan obat untuk dapat
dibsorbsi oleh membran menuju sirkulasi sistemik.

Tmax menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai


puncak. Di samping Ka, Tmax ini juga digunakan sebagai parameter untuk
menunjukkan kecepatan absorpsi. Hambatan pada proses absorpsi obat dapat dengan
mudah dilihat dari mundurnya/memanjangnya T max.
Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah/serum/plasma.
Pada saat kadar mencapai puncak, proses-proses absorpsi, distribusi dan eliminasi
berada dalam keadaan seimbang. Selain menggambarkan derajat absorpsi, nilai Cmax
ini umumnya juga digunakan sebagai tolok ukur, apakah dosis yang diberikan
cenderung memberikan efek toksik atau tidak. Dosis dikatakan aman apabila kadar
puncak obat tidak melebihi kadar toksik minimal (KTM).
Tetapan kecepatan eliminasi (Keliminasi) menunjukkan laju penurunan kadar
obat setelah proses-proses kinetik mencapai keseimbangan. Nilai ini menggambarkan
proses eliminasi, walaupun perlu diingat bahwa pada waktu itu mungkin proses
absorpsi dan distribusi masih berlangsung.
Waktu paro eliminasi (T eliminsi) adalah waktu yang diperlukan agar kadar
obat dalam sirkulasi sistemik berkurang menjadi separonya. Nilai T 1/2 ini banyak
digunakan untuk memperkirakan berbagai kondisi kinetik, misalnya kapan obat akan
habis dari dalam tubuh, kapan sebaiknya dilakukan pemberian ulang (interval
pemberian), kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai keadaan tunak
(steady state) pada pemberian berulang, dan sebagainya.
Nilai AUC (Area Under Curve) dapat dihitung pada berbagai periode
pengamatan, sesuai kebutuhan. Nilai ini menggambarkan derajat absorpsi, yakni
berapa banyak obat diabsorpsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Dengan
membandingkan nilai AUC pemberian ekstravaskuler terhadap AUC intravena suatu
obat dengan dosis yang sama, akan didapatkan nilai ketersediaan hayati absolut (= F),
yakni fraksi obat yang dapat diabsorpsi dari pemberian ekstravaskuler.
Nilai T1/2 eliminasi yang diperoleh dari sediaan tempra 2,53jam sesuai dengan
nilai T1/2 eliminasi sebenarnya dari PCT. Pada literatur Farmakologi dan Terapi UI,
disebutkan bahwa nilai T1/2 eliminasi PCT adalah sebesar 1-3 jam.AUC total (kadar
obat dalam darah total) sedian PCT generic AFIfarma menghasilkan nilai AUC total
yang paling tinggi yaitu 184445,2278 g/ml .
Jika dilihat dari nilai

AUC total, bentuk sediaan PCT generic AFIfarma

menghasilkan nilai yang paling tinggi. Nilai AUC total menunjukkan ketersediaan

obat dalam darah untuk dapat menghasilkan efek tinggi, sehingga dapat dikatakan
bioavailabilitasnya tinggi. Jadi dalam hal ini, secara keseluruhan PCT generic
AFIfarma dikatakan mempunyai bioavailabilitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Panadol sirup,Tempra,PCT generic Phapros.. Sehingga sediaan PCT generic
AFIfarma ini digunakan sebagai standart pembanding untuk membandingkan dan
menghitung bioavailabilitas relatif dari sediaan Panadol sirup,Tempra,PCT generic
phapros terhadap sediaan PCT generic AFIfarma.
Dihitung nilai bioavailabilitas relatif bukan absolut karena sediaan yang diuji
dan pembandingnya diberikan melalui rute pemberiaan yang sama. Jika nilai
bioavailabilitas absolut diperoleh dengan membandingkan dengan sediaan yang
diberikan melalui intravena. Nilai bioavailbilitas (BA) relatif dari sediaan Panadol
sirup,Tempra,PCT generic phapros berturut-turut adalah 0.35 ; 0.34 ; 0.48. Jadi BA
relatif dari suspensi lebih tinggi dibanding BA relatif eliksir dan pulveres. Sedangkan
nilai BA relatif PCT generic phapros lebih tinggi dari BA relatif Panadol sirup. Dan
nilai BA relatif Tempra paling kecil dibanding yang lainnya. Jadi pada praktikum kali
ini, dihasilkan nilai bioavailabilitas relatif yang paling tinggi adalah pada sediaan PCT
generic phapros. Sedangkan nilai bioavailabilitas relatif yang paling rendah ada pada
sediaan Tempra. Kecuali pada sediaan PCT generic AFIfarma yang pasti mempunyai
bioavailabilitas yang lebih tinggi(1) karena sebagai standar pembanding.

VII. KESIMPULAN

Nilai Bioavailabilitas (BA) relatif dari sediaan Panadol sirup, Tempra dan PCT
generic phapros berturut-turut adalah 0.35 ; 0.34 ; 0.48 dengan sediaan PCT

generic AFIfarma(1) sebagai standart pembandingnya.


Nilai BA relatif dari tinggi ke rendah adalah sediaan PCT generic phapros, Panadol

sirup, Tempra.
.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
AIACHE JM, Devissaquet J, Ph. 1993. Biofarmasi Edisi ke 2. Surabaya : Airlangga
Univercity Press

Katzung, Bertram. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba


Shargel, Leon. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya:
Airlangga University Press
Syarif Amir. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Gaya Baru

Mengetahui

Semarang, 4 Juni 2010

Dosen Pengampu,

Praktikan,

Djatmika, S.Si., Apt.

Silviane Soemarsono (0407133)

Fx Sulistyanto W. S., S.Si., Apt.

Sitaresmi Angeliasari (0407135)

Totok Aria Hidayat (0407139)

Widyana Wahyu P. (0407150)

Willy Tirza Eden

(0407151)

You might also like