Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Sel darah merah (SDM) atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak berinti
sehari-hari.
Produksi
SDM
dirangsang
oleh
hormon
sumsum tulang serta direduksi menjadi globin dan heme. Globin masuk kembali
ke dalam kumpulan asam amino. Besi dibebaskan dari heme, dan bagian yang
lebih besar diangkut oleh protein plasma transferin ke sumsum tulang untuk
produksi SDM. Sisa besi disimpan di hati dan jaringan tubuh lain dalam bentuk
feritin dan hemosiderin untuk digunakan di kemudian hari. Sisa bagian heme
direduksi menjadi karbon monoksida (CO) dan bliverdin. CO diangkut dalam
bentuk karboksihemoglobin, dikeluarkan melalui paru. Biliverdin direduksi
menjadi bilirubin bebas yang kemudian perlahan lahan dilepas ke dalam plasma,
tempat bilirubin bergabung dengan albumin plasma kemudian ke dalam sel-sel
hati untuk diekskresi ke dalam kanalikuli empedu (Ganong, 1999) Perubahan
massa SDM menimbulkan dua keadaan yang berbeda. Jika jumlah SDM kurang,
maka timbul anemia. Sebaliknya, keadaan yang jumlah SDMnya terlalu banyak
disebut polisitemia.
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik
di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat,
terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas
kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan
sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian
sering, anemia terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan
dilewati oleh para dokter di praktek klinik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit
(red cell mass) sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying
capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit atu hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai
adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.Harus diingat bahwa terdapat
keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan
massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan.
Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau
hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan
eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia,jenis kelamin, ketinggian tempat
tinggal seta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.(Aru.
W.Sudoyo, 2009)
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM,
kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100
ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu
cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui
anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium. (Sylvia
A.Price, 2005).
2.2
Kriteria Anemia
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit.Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang
menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal.
Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada
umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Di Negara
Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12 gr/dl
pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi angka
berbeda yaitu 12 gr/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11g/dl
(hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO
menetapkan cut off point anemia untuk keperluarn penelitian lapangan yaitu :
Kelompok
Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki Dewasa
< 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil
< 12 g/dl
Wanita Hamil
< 11 g/dl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis.
Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang
mengunjungi poliklinik atau dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan
pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu bebrapa peneliti di
Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang
dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka 10-11
g/dl.
2.3
penghancuran
eritrosit
dalam
tubuh
sebelum
waktunya
(hemolisis),gambaran lebih rinci tetntang etiologi anemia dapat dilihat ada tabel di
bawah :
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
II.
III.
2.4
Patofisiologi
a. Kehilangan darah berlebih
Terjadi pendarahan karena luka perifer atau karena penyakit misalnya
gastric ulcer dan hemorrhoid.
b. Pendarahan kronis
Pendarahan vagina
Peptic ulcer
Parasit intestinal
Aspirin dan AINS lain
c. Destruksi berlebihan sel darah merah
Antibodi sel darah merah
Obat-obatan
Sequestrasi berlebihan pada limpa
d. Faktor intrakorpuskular
Hereditas
Kelainan sintesis Hb
e. Produksi eritrosit kurang
Defisiensi eritroblas
Anemia aplastik
Antagonis asam folat
Eritroblastopenia terisolasi
antibodi
Abnormalitas endokrin
Hipotiroid
Insufisiensi adrenal
Insufisiensi Pituitary
Granulomatous disease
Collagen vascular disease
2.5
Penyakit hati
Manifestasi Klinik
Tergantung onset, penyebab anemia, dan individu
1) Anemia akut
Gejala kardiorespiratori seperti takikardi, kepala terasa ringan, dan sesak
napas.
2) Anemia kronis
Rasa lelah, letih, vertigo, pusing, sensitif terhadap dingin, pucat.
3) Anemia hipokromik
Rasa tak enak di lidah, penurunan aliran saliva, pagophagia (compulsive
eating of ice).
4) Anemia megaloblastik
Kulit pucat, ikterus, atropi mukosa gastrik.
2.6
2.7
Terapi
2.7.1
Terapi Non-Farmakologi
Mencukupkan asupan nutrisi Fe, asam folat, dan vitamin B12. Misalnya
Terapi Farmakologi
Kandungan Besi
20%
12%
33%
Besi Karbonat
100%
Na Besi
Karbonat
62,5
mg besi / 5 mL
Besi Dekstran
Besi Sukrosa
50 mg besi / mL
20 mg besi / mL
Indikasi
Kontraindikasi
Anemia
defisiensi
besi pada pasien
yang menjalani
hemodialisis
kronis dan
menerima
Hipersensitivitas.
Anemia defisiensi
besi pada pasien yang
tidak memungkinkan
diberikan terapi oral
Anemia defisiensi
besi pada pasien yang
menjalani
hemodialisis kronis
dan menerima terapi
suplemen epoietin
alfa
Hipersensitivitas.
Infeksi ginjal akut.
Hipersensitivitas.
Kelebihan besi.
Anemia non
defisiensi besi.
Anemia non
defisiensi besi.
Peringatan
Rute Parenteral
Pengobatan
Efek Samping
Interaksi Obat
2.
Reaksi
hipersensitivitas
Intravena
8 X 125 mg
Kram, mual,
muntah, flushing,
hipotensi, pruritus.
Inkompatibilitas
dengan benzil
alkohol.
Reaksi
hipersensitivitas.
Reaksi
hipersensitivitas.
Intramuskular
Intravena
10 X 100 mg
Rasa sakit, noda
coklat pada tempat
injeksi, flushing,
hipotensi, demam,
anafilaksis.
Kloramfenikol
meningkatkan
konsentrasi besi
plasma.
10 X 100 mg
Kram kaki, hipotensi.
Menurunkan
absorpsi besi oral
bila diberikan
bersamaan.
bentuk
aktifnya,
tetrahidrofolat,
membutuhkan
vitamin
B12
(sianokobalamin).
Dosis : folat oral 1 mg setiap hari selama 4 bulan
Kontraindikasi : pengobatan anemia pernisiosa dimana vitamin B12 tidak efektif
Efek Samping : perubahan pola tidur, sulit berkonsentrasi, iritabilita, anoreksia,
mual, distensi abdominal, flatulensi.
Interaksi Obat :
3.
Anemia pernisiosa
Absorpsi : absorpsi tergantung pada faktor intrinsik dan kalsium yang cukup.
Dosis : Kobalamin oral 2 mg per hari selama 1 2 minggu, dilanjutkan 1 mg per
hari. Sianokobalamin parenteral 1 mg per hari selama seminggu, dilanjutkan
seminggu sekali selama sebulan, dilanjutkan kobalamin oral per hari.
Kontraindikasi : hipersensitivitas terhadap kobalt atau B12
Efek Samping :
edema pulmonary
11
syok anafilaktik
Interaksi Obat :
Kloramfenikol
menurunkan
efek
hematologi
sianokobalamin
4.
Trombositosis
Riwayat konvulsi
Efek Samping :
Konvulsi
Anafilaksis
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-03.pdf
2. Mansjoer Arif dkk.,2001, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta:
Media Aesculaplus.
13