You are on page 1of 6

8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Endothelial Progenitor Cells (EPCs)


Endothelial Progenitor Cells (EPCs) adalah sel punca endotel yang berasal
dari sumsum tulang belakang. EPC adalah sel punca berasal dari sumsum tulang
belakang yang dapat berdiferensiasi menjadi endotel dewasa. EPC memiliki
kemampuan untuk membentuk pembuluh darah baru (angiogenesis) dan memicu
terjadinya neovaskularisasi. Pelepasan growth factor dan sitokin-sitokin spesifik
dapat memobilisasi EPC dari sumsum tulang belakang menuju jaringan yang
mengalami kerusakan (Avogaro et al, 2011 dan Bernardi et al, 2012).

2.2.1. Karakterisasi Endothelial Progenitor Cells (EPCs)


Karakterisasi EPC selama ini dilakukan berdasarkan pengetahuan umum
bahwa EPC dapat dibagi menjadi subpopulasi tertentu berdasarkan antigen yang
diekspresikan. Namun, belum ada konsensus mengenai pembagian karakteristik
EPC berdasarkan antigen selain dari pengetahuan umum yang telah disebutkan
(Tecilazich et al, 2013). Penanda fenotip (marker) yang sering digunakan adalah
hematopoietik (CD34), hematopoietik awal (CD133), dan endothelial (KDR
pada manusia dan FLK-1 pada mencit). Penanda tersebut telah diketahui mampu
mengidentifikasi EPC abnormal pada pasien dengan retinopati diabetikum
(Zerbini et al, 2012, Yiu & Tse, 2012, dan Tecilazich et al, 2013). Selain itu, juga
diketahui penanda immunohistokimia lain untuk EPC yaitu VEGFR-2, Dil-acLDL, dan FITC-Isolectin B4 (Bai et al, 2012 dan Zhang et al, 2013).

2.1.1. 2.2.2. Endothelial Progenitor Cells (EPCs) pada Penyakit Diabetes


Mellitus
Pada pasien Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan tipe 2, jumlah EPC yang
beredar menurun, dan parameter fungsional berupa adhesi, migrasi dan sekresi
faktor parakrin proangiogenik yang terganggu, yang disebabkan karena
hiperglikemia. Pada DM Tipe 1 dan 2 tersebut terjadi alterasi EPC, di mana
terjadi penurunan proliferasi, adhesi, migrasi dan penurunan mobilisasi EPC,
serta penurunan masa hidup EPC di pembuluh darah perifer. Studi menunjukkan
bahwa jumlah EPC yang beredar dalam darah menurun pada penyembuhan
lengkap ulkus diabetikum pada pasien. (Fadini et al, 2007 dan Avogaro et al,
2011 dan Tecilazich et al, 2013). Bahkan pada suatu penelitian, diketahui bahwa
EPC yang berasal dari sumsum tulang belakang tikus dengan hiperglikemia
memperlihatkan karakter fenotipe proinflamasi (Loomans et al, 2009).
Diabetes memiliki pengaruh terhadap EPC sirkulatoris yang beredar di
dalam darah. Beberapa mekanisme mengenai alterasi EPC pada diabetes telah
diajukan, dan studi menunjukkan bahwa kombinasi antara hiperglikemia, induksi
inflamasi akibat resistensi insulin, stres oksidatif, dan delesi NO (nitrite oxide)
berperan dalam mekanisme tersebut (Yiu & Tse, 2012). Alterasi EPC pada DM
inilah yang dikaitkan dengan peningkatan risiko atherosklerosis (Fadini et al,
2007 dan Avogaro et al, 2011).
Beberapa faktor menyebabkan alterasi EPC bersifat multifaktorial. Stres
oksidatif yang menyebabkan peningkatan ROS (reactive oxygen species) dan
AGEs (Advanced Glycation End products), inflamasi yang meningkatkan NFKB
(nuclear factor-B), menurunnya faktor produksi oksida nitrit berupa eNOS
(endohelial nitrite oxide synthase) dan NO (nitrite oxide), dan menurunnya

10

aktivitas jalur persinyalan Akt diketahui mampu menurunkan fungsi EPC.


Penurunan fungsi EPC akibat faktor-faktor tersebut telah diketahui terjadi pada
berbagai tahapan kehidupan EPC, mulai dari pool EPC, jumlah mobilisasi,
survival EPC pada sirkuler, rekrutmen EPC dan homing pada target, dan fungsi
angiogenesis

EPC

tersebut.

Komplikasi

yang

terjadi

dapat

bersifat

makrovaskuler (penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit pembuluh darah


perifer) atau mikrovaskuler (kardiomiopati, retinopati, nefropati, dan neuropati)
(Yiu & Tse, 2012).
Diketahui bahwa jalur persinyalan VEGF memiliki pengaruh dalam
rekrutmen EPC dan migrasi monosit. Reseptor VEGF, terutama VEGFR-2, pada
salah satu jalur persinyalan, yaitu Flk-1, menjadi inaktif dalam kondisi
hiperglikemia dan peningkatan AGEs. Aktivasi reseptor ini bersifat kolateral
terhadap NO, sehingga dari kerusakan keduanya menghasilkan resultan
gangguan yang parah terhadap rekrutmen dan pelepasan EPC di sumsum tulang
(Kolluru, Bir, & Kevil, 2011).
Studi menunjukkan bahwa EPC dengan penanda CD34+ pada indivividu
dengan diabetes mengalami disfungsi vasoreparatif. Disfungsi CD34+ tersebut
berkaitan dengan gangguan pada sistem komunikasi apokrin-parakrin (Jarajapu
et al, 2014). Selain pada tahap angogenesis, disfungsi CD34+ pada individu
dengan diabetes juga diketahui telah berlangsung pada sejak EPC berada di
dalam sumsum tulang, di mana pada studi diperkirakan berakibat pada defisiensi
sel punca maupun retensi sel pada sumsum tulang. Perlu diketahui bahwa pada
penelitian yang sama tidak ditemukan gangguan mobilisasi leukosit matur dari
sumsum tulang, di mana berarti leukosit tidak diretensi seperti halnya EPC
(Fadini et al, 2013)

11

Pada diabetes yang berlangsung lama, EPC menjadi imobil, dan hal ini
diperburuk dengan kondisi mikroangiopati dan perubahan gradien oksigen.
Diketahui bahwa imobilitas EPC tersebut berkaitan erat dengan patofisiologi
diabetes, namun tidak terikat dengan etiologi diabetes, apakah itu diabetes tipe I
atau diabetes melitus tipe II. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa gangguan
EPC pada sumsum tulang memiliki karakteristik histopatologis mirip dengan
kondisi mikroangiopati pada ginjal dan retina (Fadini et al, 2013).

2.3.2. Fenotip Makrofag


Diketahui bahwa terdapat variasi fenotip makrofag yang ditemukan pada
berbagai kondisi dalam tubuh, yaitu clasically activated macrophages (M1) yang
terlibat dalam pengenalan patogen dan sekresi sitokin pro-inflamasi, dan
alternatively activated macrophages (M2) yang memediasi perbaikan jaringan,
sekresi sitokin anti-inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru (Johnson et
al, 2005 dan Parathath et al, 2011). Heterogenitas dalam populasi makrofag ini
berperan pada sistem imunitas bawaan. Makrofag merespons isyarat lingkungan
dengan cara terpolarisasi menjadi dua fenotipe. (Johnson et al, 2009 dan
Parathath et al, 2011).
Makrofag M1/M2 berawal dari monosit. Monosit bersifat plastis, yaitu
memiliki kemampuan untuk menurun menjadi makrofag terpolarisasi. Plastisitas
ini diketahui berasal dari respon terhadap kematian makrofag spesifik jaringan.
Hasil polarisasi monosit tersebut dapat dibedakan secara fenotip fungsional,
yaitu M1/M2, di mana tiap fenotip secara metabolik memiliki peran yang
berbeda. Sel Makrofag M1 adalah tipe inhibitoris dan pengenal patogen

12

sementara sel M2 adalah tipe yang berperan dalam perbaikan jaringan (Italiani &
Boraschi, 2012).
Polarisasi M1/M2 tidak langsung membagi populasi makrofag menjadi dua
subpopulasi yang berbeda. Fenotip M1/M2 bersifat fungsional, sehingga dalam
satu subset dapat ditemukan fenotip M1 dan M2 yang bercampur. Persinyalan
intra dan ekstrasel meregulasi keseimbangan antara fungsi M1 dan M2 tersebut,
di mana pada akhirnya makrofag dapat menjadi berbahaya apabila salah satu
fenotip saja menjadi dominan (Italiani & Boraschi, 2012).

2.3.4. Makrofag M1
Makrofag M1 diketahui merupakan fenotipe respon monosit terhadap
kondisi inflamasi. Bentuk ini merupakan classically activated macrophage yang
bersifat proinflamasi. Makrofag M1 terbentuk sebagai respon akibat penurunan
aktivitas jalur persinyalan Akt-1 pada EPC. Penurunan aktivitas jalur persinyalan
Akt-1 terjadi akibat turunnya aktivitas Flk-1, peningkatan AGEs, stres oksidatif,
dan menurunnya NO. Hasil akhir dari penurunan aktivitas Akt-1 mengakibatkan
peningkatan diferensiasi sel T ke arah fenotipe Th-1. Sel Th-1 yang aktif akan
mensekresi IFN, yang secara parakrin akan menstimulasi monosit ke arah M1
(Italiani & Boraschi, 2012).
Aktivasi makrofag M1 aktivasi dipicu oleh Interferon- (IFN-), bakteri
lipopolisakarida bakteri (LPS), atau tumor necrosis factor (TNF), dan dimediasi
oleh beberapa jalur sinyal transduksi yang melibatkan Signal Transducer and
Activator of Transcription (STAT), Nuclear Factor-kappa B (NF-B), dan
Mitogen-Activated Protein Kinases (MAPK). Peristiwa ini meningkatkan
produksi agen microbisidal seperti Reactive Oxygen Species (ROS) dan Nitrit

13

Oxide (NO), dan memicu respons inflamasi dengan meningkatkan kapasitas


presentasi antigen dan menginduksi imunitas Th1 melalui produksi sitokin
seperti IL-12 (Johnson et al, 2005 2009 dan Parathath et al, 2011).

2.3.5. Makrofag M2
Makrofag M2 adalah fenotip sebagai respon terhadap sitokin-sitokin Th2,
semisal IL-4 atau IL13, pemicu Toll-like receptor (TLR), pemicu reseptor Fc,
dan kompleks imun. Sitokin antiinflamatoris (semisal IL-10) TGF-, dan
glukokortikoid juga diketahui memiliki peran dalam aktivasi monosit ke arah
M2. Setiap jenis stimulus diketahui mampu membentuk subset M2 tertentu. M2a
terbentuk akibat adanya stimulus IL-4 dan IL3. M2b terbentuk akibat adanya
stimulus kompleks imun dan pemicu Fc/TLR. Subset terakhir, M2c, terbentuk
akibat adanya stimulus IL-10, TGF-, dan glukokortikoid (Italiani & Boraschi,
2012).
Sebaliknya, Aktivasi makrofag M2 digunakan untuk menggambarkan
aktivasi makrofag dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan aktivasi M1,
termasuk makrofag yang distimulasi oleh IL-4/IL-13 dan makrofag yang
distimulasi oleh IL-1. Di antara banyak perbedaan molekuler antara aktivasi M1
dibandingkan M2, rasio IL-12 dan produksi IL-10 dapat digunakan untuk
membedakan makrofag M1 dan M2 (Johnson et al, 2005 2009 dan Parathath et
al, 2011). Diketahui juga bahwa fenotip makrofag M2 secara in vivo dapat
diketahui dari rasio IL-12lo IL-13lo IL-10hi TGF-hi dan adanya reseptor berjenis
manosa (CD206), galaktosa, dan scavenger dalam jumlah besar (Italiani &
Boraschi, 2012).

You might also like