You are on page 1of 14

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi dan Klasifikasi
Hipertensi sulit untuk didefinisikan karena sering berubah-ubah dan harus
disesuaikan dengan kondisi. Pasien hipertensi pada saat istirahat memiliki tekanan
darah diastolik dengan pengukuran berulang tetap konsisten pada atau di atas 90
mmHg (12,0 kPa) dapat berisiko tinggi mengalami kesakitan dan kematian akibat
penyakit kardiovaskular. Sebaliknya, penurunan nilai tekanan darah diastolik
dibawah 90 mmHg (12,0 kPa) dapat mengurangi risiko stroke sekitar 35-40% dan
penyakit jantung koroner sekitar 15-20%. Definisi terkini tentang hipertensi
adalah tingkat tekanan darah sistolik pada atau di atas 140 mmHg (18,7 kPa), atau
tingkat tekanan darah diastolik pada atau di atas 90 mmHg (12,0 kPa). Namun
karena tekanan darah sangat bervariasi, sebelum menetapkan pasien mengalami
hipertensi dan memutuskan untuk memulai pengobatan, perlu untuk memastikan
peningkatan tekanan darah dengan pengukuran berulang-ulang selama beberapa
minggu. Setiap nilai pengukuran di kisaran hipertensi ringan atau borderline
ditemukan, kepastian pengukuran harus diperpanjang selama 3-6 bulan. Periode
observasi yang singkat diperlukan pada pasien dengan peningkatan tekanan darah
yang lebih tinggi atau pasien dengan komplikasi (Brunner & Suddarth, 2001; dan
Kaplan, 2006).
Hipertensi sering disebut sebagai the silent killer karena individu yang
mengalami hipertensi sering tidak menampakkan gejala. Ketika penyakit ini
diderita, tekanan darah pasien harus dipantau dengan interval teratur karena
hipertensi merupakan kondisi seumur hidup (Brunner & Suddarth, 2001).
Tekanan sistolik dan diastolik bervariasi pada tingkat individu. Namun
disepakati bahwa hasil pengukuran tekanan darah yang sama atau lebih besar dari
140/90 mmHg adalah hipertensi (JNC VII,2003 dan WHO-ISH 1999). Hipertensi
menurut JNC VII dapat dilihat dari tabel 2.1.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Klasifikasi hipertensi menurut The Seventh Report of The Joint
upNational Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure (JNC 7) (Kusuma, 2003)
Klasifikasi

Tekanan Tekanan Darah Sistolik

Darah

(mmHg)

Tekanan

Darah

Diastolik
(mmHg)

Normal

<120

<80

Prahipertensi

120-139

80-89

Hipertensi derajat 1

140-159

90-99

Hipertensi derajat 2

160

100

Berdasarkan hasil dari berbagai studi eksperimental, kriteria operasional


hipertensi yang disepakati oleh para ahli adalah tekanan darah sistol > 140 mmHg
atau tekanan darah diastol > 90 mmHg ( MacMahon,1990;WHO,1996;Brown dan
Haydock,2000). Kriteria ini digunakan di seluruh dunia, akan tetapi bukan
merupakan nilai batas hipertensi pada semua penderita dewasa. Karena nilai batas
tersebut hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umur secara independen ( Port,
et al,.1999).

2.1.2. Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa jumlah penderita hipertensi
bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Baik hipertensi sistolik maupun
kombinasi dari hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari
separuh orang yang berusia > 65 tahun (Yogiantoro, 2007).
Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari
negara-negara yang sudah maju. Dari data The National Health and Nutrition
Examination Survey (NHNES) menunjukan bahwa adanya peningkatan insidensi
hipertensi pada orang dewasa sekitar 29-31% pada tahun 1999-2000, yang berarti
sekitar 58-65 juta orang mengalami hipertensi di Amerika dan terjadi peningkatan
15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991. Hipertensi primer (essensial)
merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi (Yogiantoro, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia, belum ada data nasional lengkap untuk prevalensi hipertensi.


Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di
Indonesia adalah 8.3%. Survei faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV) oleh
proyek WHO di Jakarta, menunjukkan angka prevalensi hipertensi dengan
tekanan darah 160/90 masing-masing pada pria adalah 13,6% (1988), 16,5%
(1993), dan 12,1% (2000). Pada wanita, angka prevalensi mencapai 16% (1988),
17% (1993), dan 12,2% (2000). Secara umum, prevalensi hipertensi pada usia
lebih dari 50 tahun berkisar antara 15%-20%. Survei di pedesaan Bali (2004)
menemukan prevalensi pria sebesar 46,2% dan 53,9% pada wanita (Depkes,
2007)
Stroke, hipertensi, dan penyakit jantung meliputi lebih dari sepertiga
penyebab kematian, dimana stroke menjadi penyebab kematian terbanyak 15,4%,
kedua hipertensi 6,8%, penyakit jantung iskemik 5,1%, dan penyakit jantung
4,6% (Hasil Riskesdas 2007). Data Riskesdas 2007 juga disebutkan prevalensi
hipertensi di Indonesia berkisar 30% dengan insiden komplikasi penyakit
kardiovaskular lebih banyak pada perempuan (52%) dibandingkan laki-laki (48%)
(Depkes, 2009).

2.1.3. Faktor Risiko


Faktor risiko dan level dari hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti perbedaan sosioekonomi dan akses untuk memperoleh pelayanan
kesehatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah:
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi:
a. Umur
Pada kebanyakan orang yang berusia diatas 65 tahun tekanan darah dapat
meningkat dengan cepat (Spillman & lubitz, 2000). Tekanan darah sistol
meningkat dengan cepat berhubungan dengan usia (burt et al., 1995).
b. Jenis kelamin
Pada usia dini tidak terdapat perbedaan tekanan darah antara pria dan
wanita. Akan tetapi, mulai masa remaja pria cenderung memiliki tekanan
darah yang lebih tinggi dibandingkan wanita (Barret-Connor, 1997). Hal

Universitas Sumatera Utara

ini dibuktikan oleh tingkat kematian yang lebih tinggi pada pria setengah
baya pengidap hipertensi.
c. Suku
Pada kajian populasi menunjukan bahwa masyarakat berkulit hitam
cenderung memiliki tingkat tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan golongan suku yang lain (Hajjar & kotchen, 2003). Jumlah angka
kematian pada kasus hipertensi tinggi pada masyarakat berkulit hitam
(Gillum, 1996).
d. Keturunan
Riwayat keluarga yang menunjukan adanya tekanan darah yang meninggi
merupakan faktor resiko paling kuat bagi seseorang untuk mengidap
hipertensi di masa datang (WHO, 2001).
2. Faktor resiko yang dapat di modifikasi :
a. Kehidupan dini
Baru-baru ini telah diperkirakan bahwa lingkungan yang buruk selama
periode kehamilan menimbulkan faktor resiko penyakit kardiovaskuler
termasuk tekanan darah tinggi (WHO, 2001).
b. Bobot badan
Kelebihan berat badan memiliki resiko 2-6 kali untuk mendapatkan
penyakit hipertensi (Yogiantoro, 2007). Pada populasi di negara Barat,
jumlah kasus hipertensi yang disebabkan oleh obesitas diperkirakan 3060% (WHO, 2001). Pada pasien dengan obesitas tedapat curah jantung
yang meningkat, aktifitas saraf simpatis yang meningkat terutama di
ginjal, kadar angiotensin II dan aldosteron yang meningkat dua hingga tiga
kali lebih banyak, proses natriuesis yang terganggu dan ginjal tidak akan
mensekresikan garam dan air yang tinggi kecuali tekanan arteri yang tinggi
(Guyton , 2008).
c. Faktor nutrisi
Menurut WHO (2001) beberapa faktor nutrisi yang mempengaruhi tekanan
darah adalah:

Universitas Sumatera Utara

Natrium klorida
Kajian eksperimental dan pengamatan menunjukan bahwa asupan
natrium klorida melebihi kebutuhan fisiologis dapat menimbulkan
hipertensi.

Kalium
Kajian INTERSALT mencatat adanya pengurangan tekanan darah
sebesar 2,7 mmHg jika pengeluaran kalium dari urine meningkat
60 mmol/hari melalui urine.

Mikronutrisi lain
Mikronutrisi lain seperti kalsium, magnesium, dan seng juga
memiliki peranan dalam peningkatan tekanan darah.

Makronutrisi lain
Meskipun kajian pengamatan menunjukan adanya hubungan
beberapa makronutrisi (lemak, asam lemak, karbohidrat, serat, dan
protein) terhadap tekanan darah, tetapi belum terdapat hubungan
sebab akibat dengan hipertensi sendiri.

d. Alkohol
Dilaporkan jika meminum minuman keras sedikitnya dua kali per hari,
tekanan darah sistolik dapat naik sekitar 1,0 mmHg dan tekanan darah
diastolik sekitar 0,5 mmHg (WHO, 2001).
e.

Kegiatan fisik
Orang yang normotensi tetapi kurang gerak dan tidak bugar mempunyai
resiko 20-50% lebih besar untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan
orang yang lebih aktif bergerak dan bugar (WHO, 2001).

f.

Faktor psikososial
Terdapat bukti bahwa berbagai bentuk stress yang akut dapat
meningkatkan tekanan darah (WHO, 2001).

g. Faktor lingkungan
Adanya polusi udara, polusi suara, dan air lunak semuanya telah
diindikasikan sebagai faktor penyebab tekanan darah tinggi.

Universitas Sumatera Utara

2.1.4. Patofisiologi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga kerja jantung bertambah. Sebagai
akibatnya, terjadi hipertrofi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi.
Akan tetapi, kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan
hipertrofi kompensasi akhirnya terlampaui, dan terjadi dilatasi jantung dan payah
jantung. Jantung semakin terancam dengan adanya atheriosklerosis koroner yang
menyebabkan penyediaan oksigen miokardium berkurang. Peningkatan kebutuhan
oksigen pada miokardium terjadi akibat hipertrofi ventrikel dan peningkatan
beban kerja jantung yang akhirnya dapat menyebabkan angina atau infark
miokardium (Price, 2006).
Kerusakan pembuluh darah akibat hipertensi, terlihat jelas diseluruh
pembuluh darah perifer. Perubahan pada pembuluh darah retina dapat diketahui
dengan pemeriksaan oftalmoskopik. Atheriosklerosis yang dipercepat dan
nekrosis medial aorta merupakan faktor presiposisi terbentuknya aneurisma dan
diseksi. Perubahan struktur-struktur dari arteri kecil dan arteriola menyebabkan
penyumbatan pembuluh darah progresif dan dapat menyebabkan mikroinfark
jaringan. Akibat pembuluh darah yang paling nyata terjadi pada otak dan ginjal
(Price, 2006).
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ
tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ,
atau karena efek tidak langsung dari adanya autoantibodi terhadap reseptor ATI
angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dan ekspresi dari nitric oxide
syntase,dan lain-lain (Yogiantoro, 2007).

2.1.5. Komplikasi
Berikut merupakan beberapa komplikasi dari hipertensi yang dapat terjadi
(Yogiantoro, 2007; Price, 2006).

Universitas Sumatera Utara

1. Kerusakan pada otak


Tekanan darah yang tinggi pada pembuluh darah otak mengakibatkan
pembuluh sulit meregang sehingga darah yang ke otak kekurangan
oksigen. Pembuluh darah di otak juga sangat sensitif, sehingga ketika
semakin melemah maka dapat menimbulkan pendarahan akibat pecahnya
pembuluh darah.
2. Ganguan dan kerusakan mata
Tekanan darah tinggi melemahkan bahkan merusak pembuluh darah di
belakang mata, gejalanya yaitu pandangan kabur dan berbayang.
3.

Gangguan dan kerusakan jantung


Akibat tekanan darah yang tinggi, jantung harus memompa darah dengan
usaha yang lebih tinggi lagi. Otot jantung semakin menebal dan melemah
sehingga mudah kehabisan energi untuk memompa lagi. Jika terjadi
penyumbatan darah akibat atheriosklerosis, maka dapat menimbulkan
komplikasi yang lebih serius. Gejalanya yaitu, pembengkakan pada
pergelangan kaki (swollen ankles), peningkatan berat badan, dan nafas
yang tersenggal-senggal.

4. Gangguan dan kerusakan ginjal


Ginjal berfungsi untuk menyaring darah serta mengeluarkan air dan zat
sisa yang tidak diperlukan tubuh. Ketika tekanan darah tinggi, pembuluh
darah kecil akan rusak. Akibatnya ginjal tidak mampu lagi menyaring dan
mengeluarkan zat-zat sisa. Umumnya gejala pada ginjal tidak segera
tampak, namun komplikasinya menimbulkan gejala yang serius.

2.1.6.

Gejala Klinis
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menunjukkan gejala

sampai bertahun-tahun. Oleh karena itulah hipertensi dikenal sebagai silent killer.
Peninggian tekanan darah terkadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang
spesifik. Namun jika terjadi komplikasi maka akan muncul gejala seperti pada
ginjal, mata, otak, atau jantung karena akibat dari kerusakan organ akibat
tingginya tekanan darah. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala,

Universitas Sumatera Utara

epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata
berkunang-kunang, dan pusing (Mansjoer, 2005).

2.1.7. Evaluasi Hipertensi


Evaluasi hipertensi pada pasien hipertensi bertujuan untuk:
1. Menilai

pola

hidup

dan

identifikasi

faktor-faktor

risiko

kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit penyerta yang


mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan.
2. Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
3. Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit
kardiovaskular (Yogiantoro, 2007).
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang
keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang (Yogiantoro, 2007).
Anamnesis meliputi:
1.

Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah

2.

Indikasi adanya hipertensi sekunder


a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria,
pemakaian obat-obat analgesik dan obat/bahan lain
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)

3.

Faktor-faktor risiko
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau
keluarga pasien
b. Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya.
d. Kebiasaan merokok .
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olahraga
g. Kepribadian

Universitas Sumatera Utara

4.

Gejala kerusakan organ


a. Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemic attack, defisit sensoris atau motoris.
b. Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuria .
c. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki.
d. Arteri perifer : ekstremitas dingin .

5.

Pengobatan antihipertensi sebelumnya


Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
a. Tes darah rutin
b. Glukosa darah (sebaiknya puasa)
c. Kolesterol total serum
d. Kolesterol LDL dan HDL serum
e. Trigliserida serum
f. Asam urat serum
g. Kreatinin serum
h. Kalium serum
i. Hemoglobin dan hematokrit
j. Urinalisis
k. Elektrokardiogram (Yogiantoro, 2007).

Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya


kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedangkan pemeriksaan
lainnya hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan
gejala pasien (Yogiantoro, 2007).

2.2. Persepsi
Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individuindividu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna
kepada lingkungan. Persepsi seseorang individu mempengaruhi bagaimana cara
menafsirkan dari suatu obyek yang dilihatnya. Apa yang dipersepsikan seseorang
dapat berbeda dari kenyataan obyektif (Sunarto, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Persepsi menurut Jallaludin (2007) adalah pengalaman tentang objek,


peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna inderawi. Persepsi
menurut Baihaqi (2007) adalah semua rangsang yang masuk didalam diri kita
melalui panca indera yang sudah dipahami sebelumnya.
Menurut Sunaryo (2004), persepsi dapat diartikan sebagai proses
diterimanya rangsang melalui panca indera yang didahului oleh perhatian
sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal
yang diamati, baik yang luar maupun dalam diri individu.
Menurut Baihaqi (2007), sifat persepsi antara lain :
1. Persepsi timbul secara spontan pada manusia,
2. Persepsi merupakan sifat paling asli, yang tolok ukur
perbuatan kesadaran manusia,
3. Dalam mempersepsikan tidak selalu dipersepsikan secara
keseluruhan, mungkin juga hanya sebagian dan dibayangkan,
dan
4. Persepsi tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi atau
bergantung pada konteks pengalaman.
Menurut Baihaqi (2007) persepsi dibentuk oleh tiga lapisan, yaitu:
1.

Lapisan fisis/fisiologis, yaitu objek dunia,

2. Lapisan psikis, yaitu penghayatan sumber kesatuan, dan


3. Lapisan eksistensial, yaitu berhubungan dengan pribadi.
Ditinjau dari fungsinya, secara kognitif persepsi berfungsi untuk kontak
utama dengan manusia dan dunia. Sedangkan secara emosional berfungsi untuk
membangkitkan perasaan dan merangsang tindakan-tindakan tertentu (Baihaqi,
2007).
Menurut Jalaludin (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
persepsi adalah:
1. Faktor-faktor fungsional
Faktor-faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu,
dan hal lainnya sehingga disebut juga sebagai faktor-faktor personal. Persepsi

Universitas Sumatera Utara

secara fungsional bersifat selektif sehingga obyek-obyek yang mendapatkan


tekanan dalam persepsi biasanya memenuhi tujuan individu yang melakukan
persepsi.
Termasuk dalam faktor fungsional ini adalah pengaruh kebutuhan,
kesiapan, mental, suasana emosional, dan latar belakang sosial budaya. Jadi yang
menentukan persepsi bukan jenis atau stimulus tetapi karakteristik orang
menentukan respon atau stimulus.
2. Faktor-faktor struktural
Faktor struktural merupakan pengaruh yang berasal dari sifat stimulus
fisik dan efek-efek yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Menurut teori
Gestatlt prinsip yang bersifat struktural yaitu apabila kita kita mempersepsikan
sesuatu, maka kita akan mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan.

2.3. Pengobatan Hipertensi


Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi farmakologis dan non
farmakologis. Menurut Yogiantoro (2007) tujuan dari pengobatan pasien
hipertensi adalah untuk:
1. Menurukan tekanan darah dengan target tekanan darah <140/90 dan
untuk individu beresiko tinggi (diabetes, gagal ginjal proteinuria) <
130/80.
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.

1. Terapi nonfarmakologi:
Pengubahan gaya hidup pada pasien harus dilaksanakan sebelum
mempertimbangkan perawatan dengan obat untuk menurunkan tekanan
darah dan resiko penyakit kardiovaskular yang lainnya (Kaplan, 2001).
Terapi nonfarmakologi hipertensi menurut JNC VII terdiri dari:
a. Pengubahan gaya hidup yang mempengaruhi penurunan tekanan
darah:

Menurunkan berat badan berlebih.

Universitas Sumatera Utara

Menurunkan konsumsi alkohol berlebih.


Batasi asupan alkohol tidak lebih dari 30 ml etanol perhari pada
pria(yaitu 720 ml bir, 300 ml anggur, 60 ml wiski) atau 15 ml etanol
perhari untuk wanita dan orang dengan berat badan lebih ringan.

Latihan fisik
Meningkatkan aktivitas aerobik 30-45 menit dalam 1 minggu.

Menurukan asupan garam


Kurangi

asupan

natrium

tidak

lebih

dari

100mmol/hari

(2,4 g natrium klorida atau 6 g sodium).

Menjaga asupan kalium diet (sekitar 90 mmol / hari).

Menjaga asupan diet kalsium dan magnesium untuk kesehatan


umum.

b.

Pengubahan gaya hidup untuk menangani faktor resiko berkaitan:

Menghentikan kebiasaan merokok.

Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan


lemak.

Mengendalikan diabetes.

2. Terapi farmakologis
Jenis-jenis obat antihipertensi yang dianjurkan untuk terapi
hipertensi adalah:
1. Diuretika, terutama jenis obat Thiazide atau Aldosterone
Antagonist
Thiazide merupakan obat utama dalam terapi hipertensi
dimana terbukti paling efektif dalam menurunkan risiko
kardiovaskular. Thiazide dapat digunakan sebagai obat tunggal
pada penderita hipertensi ringan sampai sedang dan dapat juga
dikombinasi

dengan

obat

antihipertensi

lain

untuk

meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dan mencegah


retensi cairan oleh antihipertensi lain (Nafrialdi, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2. Beta Blocker
Merupakan obat antihipertensi yang populer kedua setelah
diuretik. Beta blocker digunakan sebagai obat tahap pertama
pada hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien
dengan penyakit jantung koroner (khususnya infark miokard
akut), pasien dengan aritmia supraventrikel dan ventrikel tanpa
kelainan konduksi (Nafrialdi, 2007).
3. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist
Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist pada terapi
hipertensi memberikan efek yang sama dengan antihipertensi
yang lain. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist
terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang
rendah seperti pada usia lanjut (Nafrialdi, 2007).
4. Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI)
Obat golongan ini bermanfaat terutama pada pasien hipertensi
yang kronik atau menetap akibat penyakit parenkim ginjal.
Hiperkalemia mungkin terjadi pada penggunaaan ACE
inhibitor akibat hambatan pada renin (Rahayoe, 2003).
5. Angiotensin II Receptor Blocker AT, receptor
antagonist/blocker (ARB)
Angiotensin II Receptor Blocker sangat efektif untuk
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan
kadar renin yang tinggi sepeti hipertensi renovaskular lain dan
hipertensi genetik, tetapi kurang efektif pada hipertensi dengan
kadar renin yang rendah (Nafrialdi, 2007).

Menurut Yogiantoro (2007) strategi untuk meningkatkan kepatuhan pasien


pada pengobatan adalah:

Empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasi, dan


kepatuhan pasien.

Universitas Sumatera Utara

Dokter

harus

mempertimbangkan

latar

belakang

budaya,

kepercayaan pasien serta sikap pasien terhadap pengobatan.

Pasien diberi tahu hasil pengukuran tekanan darah, dan target yang
masih harus dicapai.

Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup (Riaz, 2012).


Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan
darah sampai sebelum dimulai pengobatan antihipertensi (Yogiantoro, 2007).

Universitas Sumatera Utara

You might also like